<data:blog.pageTitle/>

This Page

has moved to a new address:

http://duniaperpustakaan.com

Sorry for the inconvenience…

Redirection provided by Blogger to WordPress Migration Service
Dunia Perpustakaan | Informasi Lengkap Seputar Dunia Perpustakaan: December 2000

Saturday, December 2, 2000

Jaringan Informasi Bidang Ilmu-ilmu Sosial & Humaniora (JIBIS & Humaniora)

Jaringan Informasi Bidang Ilmu-ilmu Sosial & Humaniora (JIBIS & Humaniora)


Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 2 No. 2 - Desember 2000

Abstrak


Konsep jaringan informasi di Indonesia tercetus sejak tahun 1971 pada Workshop Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi untuk Indonesia yang diadakan di Bandung. Sejalan dengan kesepakatan tersebut, banyak jaringan informasi yang berkembang namun mekanisme koordinasi dan perkembangan jaringan informasi masih menemukan banyak kendala diantaranya kurangnya pembinaan yang berkesinambungan yang mampu meningkatkan kemampuan, baik secara individu para anggota maupun secara integral pada pola atau mekanisme kerjasama. Untuk memperbaiki dan menyegarkan kembali konsep Sistem Jaringan Informasi Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora yang ada Perpustakaan Nasional RI berupaya menjadikan JIBIS sebagai media pertukaran informasi yang mutakhir di antara jaringan pusdokinfo.

I. Latar Belakang

Sehubungan dengan semakin majunya teknologi, keanekaragaman kebutuhan dan tuntutan masyarakat terhadap informasi yang dapat diperoleh secara cepat, tepat dan akurat, perpustakaan dituntut untuk lebih meningkatkan sumberdaya dan pelayanannya secara proaktif untuk memenuhi kondisi tersebut. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tidak ada satupun perpustakaan dan  pusat informasi dan/atau dokumentasi dapat melayani pemakainya dengan hanya mengandalkan kemampuannya sendiri.

Pemenuhan kebutuhan dan tuntutan tersebut dapat terlaksana  secara optimal bila dilakukan melalui kerjasama antar perpustakaan, pusat informasi dan/atau dokumentasi. Kerjasama yang disusun berdasarkan prinsip saling menolong , saling membutuhkan dan saling memanfaatkan dalam mekanisme kerja yang jelas,  transparan dan sinergis dalam kesejajaran peran kerjasama tersebut akan menghasilkan apa yang disebut dengan Jaringan Informasi.

Konsep jaringan informasi di Indonesia telah tercetus sejak tahun 1971 pada Workshop Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi untuk Indonesia  di Bandung.  Pada saat itu Workshop menyepakati empat jaringan informasi nasional termasuk lembaga koordinasinya yaitu :

1. Jaringan informasi bidang ilmu dan teknologi , dengan PDIN-LIPI sebagai pusat jaringan;
2. Jaringan informasi bidang pertanian dan biologi, dengan Pusat Perpustakaan Pertanian dan Biologi, Departemen Pertanian, sebagai pusat jaringan;
3. Jaringan informasi kesehatan dan kedokteran, dengan Departemen Kesehatan sebagai pusat jaringan;
4. Jaringan informasi ilmu sosial dan humaniora, dengan Perpustakaan Nasional sebagai pusat jaringan.

Semenjak kesepakatan tersebut, selanjutnya, banyak jaringan-jaringan informasi yang tumbuh dan berkembang untuk memenuhi tuntutan. Namun pada umumnya, mekanisme koordinasi dan perkembangan jaringan informasi tersebut masih banyak menjumpai berbagai kendala dan terlihat adanya kelemahan yang salah satunya adalah  kurangnya pembinaan yang berkesinambungan yang mampu meningkatkan kemampuan, baik secara individu para anggota maupun secara integral pada pola atau mekanisme kerjasama.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Perpustakaan Nasional RI  bermaksud untuk menyegarkan kembali atau memperbaiki konsep Sistem Jaringan Informasi Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora yang telah ada.

II. Ruang Lingkup :

Jaringan informasi Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora dikembangkan dalam lingkup:
· Perpustakaan, pusat informasi dan/atau dokumentasi yang bergerak di bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora dan bidang lain yang relevan yang memberikan jasa penyajian, penyampaian dan pemasaran informasi kepada masyarakat melalui anggota peserta jaringan.
· Sumberdaya perpustakaan seperti : sumberdaya manusia, koleksi, sistem prasarana dan lain-lain.
VISI : Menjadikan JIBIS/JIS sebagai media pertukaran informasi yang prima dan mutakhir  diantara  jaringan pusdokinfo di dunia.
MISI:
1. Meningkatkan daya guna semua informasi yang berkaitan dengan ilmu-ilmu  sosial dan humaniora dalam memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna serta  dalam upaya pemerataan masyarakat memperoleh informasi melalui sistem  pelayanan jaringan secara cepat, tepat dan akurat.
2.Memanfaatkan sumber daya bersama (re source sharing).
3.Memanfaatkan prasarana teknologi informasi atau media lain yang dimiliki untuk menyelesaikan jasa dan komunikasi.
4.Saling membina kemampuan sumberdaya (manusia, koleksi) antar anggota jaringan.

III. Tujuan

Jaringan Informasi Bidang Ilmu-ilmu Sosial  dan Humaniora dibentuk dengan tujuan untuk :
1. Meningkatkan daya guna informasi bidang ilmu-ilmu  sosial dan humaniora yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat pengguna serta dalam rangka upaya pemerataan masyarakat untuk memperoleh informasi secara cepat, tepat dan akurat melalui sistem pelayanan jaringan.
2. Memanfaatkan sumber daya bersama (re source sharing).
3. Memanfaatkan prasarana teknologi informasi atau media lain yang dimiliki untuk  menyediakan sarana akses jasa informasi dan komunikasi diantara pemasok dan pengguna.
4. Saling membina kemampuan sumberdaya (manusia, koleksi) antar anggota jaringan

IV.Sasaran :

Untuk memberikan nilai aktualisasi jaringan, kerjasama ini memiliki sasaran :
Terwujudnya peningkatan daya guna semua informasi yang berkaitan dengan ilmu- ilmu  sosial dan humaniora dalam memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna serta dalam upaya pemerataan masyarakat memperoleh informasi secara cepat, tepat dan akurat melalui sistem pelayanan jaringan.

Terpenuhinya pemanfaatan sumber daya bersama (re source sharing).
Terwujudnya pemanfaatan prasarana teknologi informasi atau media lain yang  dimiliki untuk menyediakan jasa informasi dan komunikasi dua arah   antara  produsen dan pemakai.
Terbinanya sistem pembinaan kemampuan sumberdaya (manusia, koleksi) antar  anggota  jaringan

V. Pola Organisasi Sistem Jaringan

Dasar yang diusulkan dalam pembentukan Jaringan Informasi Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Saling memerlukan
Unsur saling memerlukan antar perpustakaan  adalah hal yang mutlak bagi  suatu perpustakaan dan pusat informasi dan/atau dokumentasi dewasa ini, karena tidak ada satupun diantara lembaga ini yang dapat memenuhi kebutuhannya dari koleksi yang dimiliki sendiri;

2. Konfigurasi  Jaringan
Konfigurasi jaringan  yang dibentuk mengacu kepada kesamaan posisi dan peran, sehingga masing-masing anggota jaringan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama ;

3. Organisasi jaringan
Model organisasi yang disarankan adalah berbentuk Sarang laba-laba dimana Perpustakaan Nasional RI  sebagai titik tumpu koordinasi dalam penyelenggaraan kegiatan.

4. Prasaran / Sarana Jaringan
Sarana Pendukung yang dimanfaatkan, dalam koneksitas jaringan adalah
a. Sistim otomasi terpasang
b. Telekomunikasi
c. Jaringan Pos dan sebagainya.

VI. Hak dan Kewajiban

1. Saling akses antar anggota
Dengan sistem jaringan diharapkan tiap anggota dapat saling berkomunikasi dan saling akses dalam membagi informasi kepada semua anggotanya.

2. Kesepakatan
Dalam setiap pembentukan jaringan perlu ada kesepakatan bersama  yang didasari atas kewajiban dan hak yang harus ditaati didalam pelaksanaan kerjasama.
Adapun kewajiban dan hak yang disepakati adalah sebagai berikut:
a. Kewajiban anggota peserta jaringan
a.1. Taat azas terhadap peraturan dan kesepakatan yang telah ditetapkan;
a.2. Menyajikan, menyampaikan dan memberitahukan jasa informasi yang dimiliki kepada anggota peserta jaringan;
a.3. Menyediakan / mengupayakan anggaran operasional sendiri untuk masing-masing anggota peserta jaringan baik dari usaha atau institusi yang  bersangkutan.
a.4. Secara berkesinambungan mempersiapkan data perkembangan pusdokinfo dari masing-masing jaringan.
a.5. Mempersiapkan data peta kekuatan koleksi perpustakaan yang sudah di up date.

b. Hak anggota peserta jaringan
b.1. Memperoleh, informasi tentang perkembangan masing-masing anggota jaringan;
b.2. Mengajukan  pendapat dan saran dalam rangka pengembangan Jaringan Ilmu Sosial dan Humaniora;
b.3. Bergerak proaktif  dan harmonis dalam melakukan kerjasama antar anggota

3. Mekanisme kerja jaringan
Mekanisme kerja jaringan ditentukan oleh jenis jasa informasi yang akan diberdayakan bersama  antara lain :

3.1.Bidang mencakup kegiatan-kegiatan penyajian, penyampaian dan pemasaran informasi kepada anggota jaringan misalnya didalam kegiatan  penelusuran informasi, pinjam antarperpustakaan, pemasaran jasa informasi dan  konsultasi  informasi;
3.2.Bidang pengembangan koleksi mencakup kegiatan-kegiatan pengidentifikasian sumber-sumber bahan pustaka dan penyaluran bahan pustaka ke anggota jaringan misalnya pertukaran daftar tambahan koleksi, pertukaran koleksi dan penerbitan daftar induk tambahan dan katalog induk majalah.

VII. Keanggotaan

Kriteria keanggotaan jaringan informasi bidang ilmu sosial  adalah sebagai berikut:
a. Unit perpusdokinfo formal (memiliki organisasi & manajemen resmi)
b. Mempunyai kesediaan secara sukarela dan komitmen dari institusi dan/atau induk lembaga yang bersangkutan untuk menjadi anggota peserta jaringan;
c. Memiliki unit kerja yang mempunyai tugas pokok memberikan jasa informasi
d. Mempunyai fasilitas jaringan di bidang ilmu sosial dan humaniora dan sudah didayagunakan;
e. Mempunyai  misi yang sinergis dengan misi jaringan;
f. Mengajukan permintaan menjadi anggota jaringan ke sekretariat jaringan
g. Proaktif antar anggota melakukan kerjasama melalui penggunaan infrastruktur jaringan yang ada

VIII . Kelembagaan Pendukung :

Untuk menggunakan dan memberikan wadah berkomunikasi, perlu dibentuk kelembagaan jaringan yang bersifat nonformal yang berfungsi sebagai simpul dan sekretariat forum komunikasi jaringan. Fungsi lain lembaga ini adalah :
menampung aspirasi dan permasalahan yang berkembang baik yang muncul dilingkungan internal maupun eksternal;
meningkatkan kerjasama antar anggota peserta jaringan dengan pola simbiose mutualistis;
Menyelenggarakan pertemuan untuk pembahasan dan pemecahan masalah yang muncul.

Status dan lokasi kelembagaan  di pegang lembaga perpustakaan yang memiliki akses dan peran secara nasional.

IX. Lain-Lain

Hal-hal yang belum diatur atau perlu penjelasan lebih lanjut akan diatur dalam kesepakatan bilateral dan multilateral secara terpisah yang tidak terlepas dari ketentuan ini.

Labels:

Pengolahan Bahan Pustaka di Perpustakaan Nasional : Pandangan Akademis

Pengolahan Bahan Pustaka di Perpustakaan Nasional : Pandangan Akademis


Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 2 No. 2 - Desember 2000

Abstrak


Evaluasi terhadap pengolahan bahan perpustakaan di Perpustakaan Nasional RI dilakukan berdasarkan pengamatan secara acak terhadap terbitan Perpustakaan Nasional diantaranya Katalog Induk Nasional, Bibliografi Nasional Indonesia, Informasi Buku Baru Perpustakaan Nasional dan juga melalui pemeriksaan secara acak terhadap beberapa Katalogisasi Dalam Terbitan buku terbitan Indonesia serta masukan dari pustakawan praktisi.

Hasilnya setiap entri yang dimuat mencantumkan hampir semua komponen deskripsi bibliografi termasuk notasi DDC dan tajuk subjek serta KDT. Ditemukan beberapa kekeliruan dan diharapkan dapat diperbaiki sehingga hasil pengolahan tersebut dapat dipercaya agar dapat diikuti oleh perpustakaan lainnya.

1.Pendahuluan

Makalah ini dimulai dengan melakukan perubahan atas istilah bahan perpustakaan. Istilah bahan pustaka sebagai terjemahan kata library material(s) kurang tepat karena bahan pustaka mengacu ke bahan untuk membuat library material. Bahan tersebut dapat berupa kertas, deluwang (terbuat dari kayu) tertentu yang tumbuh di beberapa tempat di pulau Jawa), seluloid, plastik dan sebagainya. Untuk itu tulisan ini menggunakan istilah bahan perpustakaan atau materi perpustakaan (Sulistyo-Basuki 2000, 1)

2.Evaluasi Pengolahan

Evaluasi Pengolahan terhadap pengadaan dapat dilakukan lebih mudah.  Misalnya, dari segi kuantitas maupun kualitas. Kajian kuantitas, dapat dimulai dari kajian tentang jumlah bahan perpustakaan yang diterima atau dimuat dalam  bibliografi, jumlah penerbit, instansi serta badan korporasi yang mengirimkan contoh terbitan dan rekamannya, tahun terbit dan lain-lain. Kajian Kualitas mencakup mutu materi perpustakaan yang diterima, misalnya untuk tingkat SMU ke bawah, dan untuk tingkat perguruan tinggi. Salah satu uji mutu terhadap koleksi perpustakaan adalah metode conspectus, yang telah dilakukan terhadap banyak perpustakaan di luar Indonesia.

Evaluasi pengolahan sulit dilakukan, kecuali bila hal tersebut dikaitkan dengan uji simpan dan temu balik informasi (Chowdury 1999). Uji tersebut telah dilakukan terhadap berbagai jenis perpustakaan, namun tidak satupun yang meliputi Perpustakaan Nasional. Maka evaluasi terhadap hasil pengolahan oleh Perpustakaan Nasional harus dilakukan melalui survei kuesioner ataupun wawancara mendalam dengan beberapa responden. Hal tersebut rasanya belum pernah dilakukan di Indonesia. Dengan demikian evaluasi terhadap pengolahan bahan perpustakaan sebagaimana diminta oleh Perpustakaan Nasional RI, dilakukan berdasarkan pengamatan secara acak terhadap terbitan Perpustakaan Nasional antara lain ialah Katalog Induk Nasional, Bibliografi Nasional Indonesia, Informasi Buku Baru Perpustakaan Nasional. Pemerikasaan acak terhadap beberapa Katalogisasi Dalam Terbitan (KDT) buku terbitan Indonesia serta masukan dari pustakawan praktisi.

3.Hasil Pengamatan

Hasil pengamatan yang dapat dicatat terbagi atas pengarang, klasifikasi dan masalah lain.

3.1. Pengarang

Mengenai nama pengarang yang termuat dalam bentuk terbitan Perpustakaan Nasional terdapat kejanggalan sebagai berikut:

(1) Deskripsi bibliografis yang tidak mencantumkan nama pengarang sebagai entri utama. Hal tersebut dapat ditemukan pada Informasi Buku Baru. Deskripsi tersebut menyalahi peraturan, bila kita melihat tujuan katalog sebagaimana dikemukakan oleh Cutter, lebih dari seratus tahun yang lalu. Disebutkan tujuan katalog antara lain untuk mengetahui apakah perpustakaan memiliki buku (dalam arti luas) yang ditulis oleh pengarang tertentu. Dengan tiadanya tajuk pengarang pada deskripsi maka apa yang dimuat dalam Informasi Buku Baru sudah menyalahi hakikat pengkatalogan dengan imbas bahwa pemakai akan kesulitan mencari buku oleh pengarang tertentu.
Bila pengelola Informasi Buku Baru mau membuka contoh terbitan Bibliografi Nasional maka deskripsi tanpa tajuk pengarang akan jarang sekali ditemukan.

Deskripsi semacam itu dilakukan oleh British Library Document Supply Centre (dahulu The British Library Lending Division) di Boston Spa, Inggeris. Namun harus diperhatikan bahwa pada BLDSC, penempatan materi perpustakaan dilakukan secara tidak bergerak (fixed), tidak melayani umum terkecuali permintaan fotokopi artikel. Memang ada artikel yang mendeskripsikan hal tersebut, dimuat di sebuah majalah kepustakawanan Indonesia lalu ditiru tanpa melihat latar belakang penggunanya.

(2) Inkonsistensi dalam penulisan tajuk nama, berdasarkan peraturan penentuan tajuk entri nama Indonesia, secara umum dinyatakan bahwa kata utama adalah nama bagian akhir dengan beberapa pengecualian. Pada contoh yang diterima penulis, hal tersebut tidak konsisten. Pada Bibliografi Nasional Indonesia (Desember 1999, 35) entah mengapa tajuk pengarang Edy Parwanto ada pada Edy Parwanto sedangkan entri lain sudah menggunakan peraturan yang benar. Mudah-mudahan ini terjadi karena kesalahan penyuntingan atau hal ini menunjukkan bahwa penyuntingan final masih belum baik.

Penulisan nama pengarang yang menggunakan gelar kebangsawanan. Ada kalanya ditulis benar tetapi ada pula yang tidak. Contoh:
Polim, Teuku Muhammad Ali Panglima
Yamin, Siti Sundari, Raden Ayu
Menurut ketentuan sebutan gelar dinyatakan pada tajuk baru diikuti gelar pengarang.

(3) Penulisan nama pengarang. Hal ini merupakan masalah kontroversial akibat adanya EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Perpustakaan Nasional RI mengambil kebijakan menyesuaikan semua nama Indonesia dengan ejaan baru padahal pengarang yang bersangkutan tidak pernah menulis nama mereka dalam EYD. Walaupun secara terbuka mereka tidak pernah mengemukakan kekesalan mereka.

Dalam sebuah pertemuan, informasi tentang hal itu sudah dikemukan semasa Perpustakaan Nasional di pegang oleh Mastini. Hal serupa pernah dikemukakan langsung oleh salah seorang yang namanya ditulis dalam ejaan baru padahal yang bersangkutan tidak pernah menulis dalam EYD. Mereka itu antara lain Koentjaraningrat, Koesnadi Hardjasoemantri, Prijonoherijanto. Mereka selama ini tidak pernah menulis nama mereka dalam EYD tetapi mengapa dalam Bibliografi Nasional Indonesia ditulis dalam EYD? .

Alasan yang dikemukakan oleh Perpustakaan Nasional RI bahwa generasi berikutnya kurang mengenal nama yang ditulis dengan ejaan lama. Tetapi hal itu pun masih dapat dipertanyakan. Salah satu fungsi perpustakaan adalah pendidikan, yang diartikan perpustakaan dapat mendidik masyarakat melalui penyediaan materi perpustakaan. Analoginya perpustakaan dapat mendidik masyarakat dengan cara menunjukkan keanekaragaman historis, artinya sepanjang sejarah Indonesia ada masa di mana nama ditulis dengan ejaan lama. Pedidikan untuk pemakai itu dilakukan dengan tetap mempertahankan tajuk nama pengarang dengan keanekaragaman ejaannya. Dengan demikian, alasan Perpustakaan Nasional RI tetap mempertahankan nama sesuai dengan yang dikemukakan oleh pengarang dapat dipertahankan.

(4) Penentuan tajuk nama bagi pengarang yang memiliki singkatan pada bagian akhir. Menurut ketentuan, nama pengarang yang memiliki singkatan pada bagian akhir, namun tidak diketahui kepanjangannya akan tetap ditulis sesuai dengan nama tersebut, tidak ditentukan pada nama akhir. Contoh:

Fattah Shobri B.
Mursalim Umar Gani S.
Bila kita nmemperhatikan Standar Penentuan Entri Utama (1981,11), maka bagi pengarang yang bagian terakhir namanya terdiri atas inisial atau singkatan, maka kata utamanya ditentukan pada bagian pertama dari nama dengan tidak mengubah urutannya.

Adanya inisial atau singkatan pada nama juga terdapat pada biarawan atau biarawati yang mengikuti ordo atau tarekat tertentu. Maka nama seperti Mariarosa Guerrini,OSA, disitu OSA bukanlah bagian dari nama melainkan ordo biarawati yang bersangkutan. OSA singkatan dari Ordo Sancti Agustini (Heuken SJ 1989).

(5) Penulisan nama yang dimulai dengan Sri, Bambang, Endang. Konon karena ada pakar budaya Jawa yang menyatakan bahwa nama Sri, Endang dan Bambang harus dijadikan satu tidak dapat dipisahkan. Sampai sekarang nama pakar tersebut tidak pernah diketahui juga tidak pernah disebutkan dalam kata pengantar.
Lebih lanjut dikatakan bahwa Sri ini hanya berlaku untuk kelompok etnis Jawa, tidak berlaku untuk kelompok etnis lain.

Hal ini dialami juga nama Endang, namun banyak pengkatalog Indonesia tidak pernah menjawab secara tegas bagaimana dengan pengarang yang memiliki nama Endang yang berasal dari Etnis Sunda, apakah tajuk namanya pada Endang Suhana ataukah Suhana, Endang.

Bila kita berpijak pada peraturan yang sederhana, maka nama pengarang yang dimulai dengan Sri, Bambang diatur sesuai dengan peraturan umum. Jadi yang menjadi kata utama ialah bagian nama yang terakhir.

(6) Sebutan untuk Ny., sebaiknya ditinggalkan. Bila kita berpegang pada jender, maka sebutan Ny. tidak perlu disebutkan pada nama pengarang. Perhatikan tajuk entri utama Prang, Anneke M.W., Ny. Nama Nyonya dimasukkan untuk memisahkan pengarang yang sama, misalnya Soebandi dan Ny. Soebandi atau untuk sebutan lain seperti Nyonya rumah yang merupakan sebuah parafrase.

(7) Authority list. Sampai saat ini Perpustakaan Nasional belum menyebarluaskan authority list yang mencakup nama pengarang, perorangan maupun badan korporasi. Upaya tersebut telah dimulai oleh Pusat Pembinaan Perpustakaan.

(8) Badan korporasi. Dalam penentuan nama pengarang, dikenal juga bentuk kata utama untuk nama badan korporasi. Perubahan nama seperti departemen menyebabkan perubahan kata utamanya. Perhatikan, misalnya Departemen Transmigrasi yang berubah nama berkali-kali, bahkan pernah ¿turun pangkat¿ sampai tingkat Dirjen. Di sini dirasakan sebuah ¿authority list¿ bagi nama badan korporasi Indonesia.
(9) Judul seragam. Bila sebuah karya muncul dalam berbagai judul maka perlu judul seragam atau konvensional untuk keperluan pengkatalogan untuk mengumpulkan semua edisi dari karya yang sama di bawah satu tajuk. Lazimnya judul seragam secara tradisi digunakan untuk kitab suci, kredo, karya litturgis dan karya klasik anonim. Judul seragam juga diperlukan untuk karya perundang-undangan.

Karya Perundang-undangan.
Untuk judul seragam sudah ada kesepakatan berdasarkan kerjasama dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional), berupa judul seragam [Undang-undang, peraturan]. Itupun konon memerlukan waktu 12 tahun untuk mencapai kesepakatan.
Contoh:
Indonesia.
{Undang-undang, peraturan dan sebagainya}

Yang perlu dibuat lagi ialah tajuk untuk perjanjian.
Misalnya
Indonesia.
[Perjanjian dan sebagainya. As, Juni 200]

Karya klasik anonim
Untuk praktek di Eropa barat digunakan batas tahun 1500 (Wynar 1992, 280) dengan asumsi bahwa tahun tersebut merupakan mulainya pencetakan buku secara-besaran. Untuk Indonesia sudah saatnya memulai, paling sedikit untuk karya klasik yang dikenal di Indonesia. Contoh.
Seribu Satu Malam. Bahasa Indonesia.

Karya Keagamaan
Pembuatan tajuk seragam untuk keagamaan sudah waktunya dilakukan, karena karya tersebut meningkat dalam jumlah cukup banyak. Perhatikan tajuk untuk m(a)esjid, Al Qur¿an (ataukah AlQur¿an, Al Quran). Contoh tajuk:
Alkitab. Perjanjian baru. Injil Markus. Bahasa Indonesia.
Gereja katolik.
[Misa, Epfani. Bahasa Indonesia]

3.2. Klasifikasi dan Tajuk Subjek

a) Klasifikasi yang digunakan dalam Bibligrafi Nasional Indonesia tidak jelas batasannya, berapa angka sesudah titik (3 angka pertama). Kalau diperhatikan ada karya yang diberi notasi yang lebih panjang. Bagi Perpustakaan Nasional, notasi yang dihasilkan hendaknya serinci mungkin, lalu terserah pada masing-masing perpustakaan seberapa banyak notasi yang akan digunakan.

b) Kekurang-cermatan dalam penentuan notasi. Ada karya yang kurang tepat sehingga menyulitkan pemakai. Misalnya untuk pelajaran Bahasa Jawa seharusnya 499.222 bukannya 419.22 (Bibliografi Nasional Indonesia Desember 1999,26).

c) Tajuk subejk yang diberikan sangat sederhana sehingga timbul pertanyaan apakah daftar tajuk yang dibuat oleh Perpustakaan Nasional RI itu khusus didisain untuk perpustakaan sekolah, ataukah perpustakaan umum. ataukah perpustakaan perguruan tinggi. Kalau melihat penampilannya, jelas bukan untuk tingkat perpustakaan nasional. Sebuah sumber justru mengatakan kalau daftar tajuk subjek terbitan Perpustakaan Nasional justru tidak digunakan di lingkungan Perpustakaan Nasional RI sendiri!

3.3. KDT (Katalog Dalam Terbitan)

Adalah ironis bahwa KDT yang  memuat kesalahan mendasar, justru berasal dari Terbitan Perpustakaan Nasional RI. Dalam ketentuan pengkatalogan, ada ketentuan bahwa materi yang berasal dari luar halaman harus ditulis di antara kurung siku, misalnya [kata pengantar oleh ], justru pada terbitan Perpustakaan Nasional RI kesalahan tersebut banyak diulang. Perhatikan pada terbitan Perpustakaan Nasional, semua tambahan kata pengantar oleh Mastini Hardjaprakosa selalu ditambahkan tanpa tambahan tanda kurung pada hal di halaman judul kata tersebut tidak ada.

3.4. Hal lain

(a) Dalam kode lokasi untuk perpustakaan perguruan tinggi digunakan kode UN. Seingat penulis dalam sebuah pertemuan pada awal 1990an, kode UN sudah diputuskan diganti dengan PT (Perguruan Tinggi) sesuai dengan kode jenis perpustakaan lain (PN-Perpustakaan Nasional atau tingkat nasional, PK untuk perpustakaan khusus, PU untuk perpustakaan umum, PD untuk perpustakaan daerah) di samping alasan bahwa perpustakaan universitas tidak selalu tepat karena ada perpustakaan akademi, sekolah tinggi, institut yang kesemuanya lain dari universitas.

Dalam INDOMARC ada ketentuan bahwa nama perpustakaan FISIP UI menjadi JKPTuisip bukannya JKUNINDfisip (12 dijit). Di sini perlu kerjasama antarbagian pengolahan dengan bagian yang mengembangkan INDOMARC di lingkungan Perpustakaan Nasional RI.

(b) Pada Bibliografi Nasional Indonesia yang terbit selama tahunan terdapat kesalahan fatal bagian Ikhtisar Kedua DDC. Pada notasi 130 tercetak Gereja Paranormal [huruf tebal dari penulis]. Bila editor memperhatikan maka 130 adalah Paranormal phenomena sehingga terjemahan yang benar adalah Gejala Paranormal [huruf tebal dari penulis]. Sungguh sebuah ketelodoran fatal yang diharap tidak terbaca oleh kelompok yang tersinggung sehingga dapat menimbulkan protes masyarakat yang sebenarnya dapat dicegah asal editor lebih teliti.

(c) Jumlah entri yang dimuat. IKAPI dalam berbagai kesempatan mengemukakan bahwa setiap tahun di Indonesia terbit sekitar 5000-6000 judul baru, dan jumlah tersebut menurun menjadi 2000-3000 judul pada tahun 2000 ini (Kompas, Agustus 2000). Dari jumlah tersebut masih perlu ditambah dengan terbitan pemerintah yang mencakup lembaga negara, departemen, pemerintah daerah, perguruan tinggi sehingga sebenarnya jumlah cakupan per tahun diharapkan lebih dari 6000 entri.

Sekilas saja dapat dikatakan jumlah tersebut rasanya belum tercapai di Bibliografi Nasional Indonesia. Hal tersebut terjadi karena beberapa sebab:

(c.1) UU Serah Simpan Karya Cetak, Karya Rekam belum berlaku sepenuhnya karena ketidakmauan atau kelalaian di pihak penerbit, dan ketidaktekunan di pihak Perpustakaan Nasional. Penerbit menganggap Undang-undang tersebut tidak perlu diikuti sepenuhnya, sedangkan Perpustakaan Nasional tidak menepati janjinya. Dahulu pernah ada janji Perpustakaan Nasioanl untuk mengirim Bibliografi Nasional Indonesia kepada penerbit atau siapa saja yang mengirimkan contoh terbitannya ke Perpustakaan Nasional. Sampai dengan bulan Juli 2000, janji tersebut tidak pernah dipatuhi.

(c.2) Ada keterbatasan dana proyek. Mungkin proyek di lingkungan Perpustakaan Nasional RI hanya membatasi pemasukan data sisa akan dipindahkan ke entri sehingga bila datanya melewati pagu maka data sisa akan dipindahkan ke tahun anggaran berikutnya. Bila hal ini benar maka hal tersebut sangat disayangkan karena keberhasilan sebuah perpustakaan  nasional antara lain tercantum seberapa jauhnya bibliografi nasional mampu mencatat seluruh terbitan sebuah negara.

Walaupun angka perkiraan buku baru kini (Juli 2000) diperkirakan hanya 2000 judul, bagaimanapun keduaribu judul itu masih dapat ditambah dengan terbitan pemerintah dan ¿grey literature¿ artinya dokumen dalam segala format yang tidak dapat diperoleh dari pasar bebas.

4.Saran

Dari uraian di atas dapat dikemukakan berbagai saran perbaikan proses pengolahan materi perpustakaan di Perpustakaan Nasional RI sebagai berikut:

(a) Pembentukan authority list nama pengarang Indonesia, meliputi pengarang perorangan, badan korporasi, tajuk seragam. Hal ini sudah dimulai oleh beberapa pihak misalnya Pusat Pembinaan Perpustakaan, Jaringan Perpustakaan APTIK. Sungguh pun demikian kesemua standar itu harus diperiksa ulang karena menurut ketentuan yang dikemukakan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) maka standar harus diperbaiki setiap 5 tahun. Juga hendaknya diperhatikan agar kata utama ditulis sesuai dengan nama yang tercantum pada karyanya.

(b) Perbaikan dalam KDT. Semua keterangan yang berasal dari luar halaman judul harus ditambah kurung siku. Demikian pula semua terbitan Perpustakaan Nasional RI hendaknya disesuaikan dengan peraturan, jangan asal ada sambutan Mastini Hardjaprakoso langsung ditambahkan KDT tanpa kurung siku.
Notasi Klasifikasi juga diperbaiki. Contoh yang diambil secara acak. Buku  Semiotika karangan Panoeti Sadjiman sebaiknya masuk kelas 400 karena Panoeti banyak bergerak di bidang bahasa bukannya bidang filsafat.

(c) INDOMARC. Di Internet beberapa minggu yang lalu muncul diskusi tentang pelatihan MARC, oleh Perpustakaan Nasional RI atau di luar Perpustakaan Nasional RI. Diskusi mengenai perlunya pelatihan INDOMARC menunjukkan bukti bahwa INDOMARC masih belum banyak diketahui pustakawan praktisi, padahal praktek pemasukan data dengan format INDOMARC telah dilakukan di JIP FSUI mulai akhir tahun 1980an.

Di segi lain sudah mulai dirasakan perlunya INDOMARC untuk multimedia, ini juga diperlukan untuk Perpustakaan Nasional RI karena multimedia sebagai karya rekam termasuk ranah UU serah simpan KCKR. Katalogisasi atas bahan perpustakaan termasuk multimedia. Selama ini sudah banyak multimedia termasuk mikrofilm, CD ROM yang dihasilkan oleh berbagai badan korporasi Indonesia. Multimedia semacam itu belum atau jarang dicakup dalam Bibliografi Nasional Indonesia sehingga memerlukan persiapan di lingkungan Perpustakaan Nasional. Persiapan tersebut meliputi penyediaan SDM yang berkualifikasi memiliki ketrampilan.

(d) Daftar Tajuk Subjek. Daftar Tajuk Subjek yang disusun oleh Perpustakaan Nasional RI sudah waktunya direvisi besar-besaran atau ditinggalkan, guna menyiapkan jalan bagi pembentukan daftar tajuk subjek yang mencerminkan bobot karya sebuah Perpustakaan Nasional.

Daftar tajuk subjek yang ada sekarang ini tidak jelas tujuannya, apakah untuk keperluan perpustakaan umum, sekolah ataukah perguruan tinggi. Ada kesan bahwa tajuk subjek yang digunakan untuk Bibliografi Nasional Indonesia justru tidak menggunakan tajuk subjek buatan Perpustakaan Nasional RI sehingga timbul ironi bahwa karya sendiri tidak digunakan oleh lingkungan sendiri. Daftar tajuk subjek tidak digunakan oleh Bibliografi Nasional Indonesia mungkin karena cakupannya tidak luas, istilahnya tidak cocok: namun mungkin juga digunakan dengan tambahan tajuk subjek, namun tambahan tersebut tidak pernah disebarluaskan.
Bila ingin membuat daftar tajuk baru yang mencerminkan karya sebuah perpustakaan nasional, maka sedikit banyak Library of Congress Subject Headings (LCSH) dapat digunakan sebagai dasar. Tindakan awal ialah memeriksa tajuk subjek pada entri Indonesia yang di LCSH cukup banyak.

(e) Persiapan memasuki materi yang tersimpan di internet. Dengan berkembangnya internet maka sudah saatnya memikirkan deskripsi materi yang tersimpan di Web. Untuk keperluan tersebut diperlukan format lain seperti Dublin Core.

(f) Peningkatan cakupan Bibliografi Nasional Indonesia. Data yang masuk dalam Bibliografi Nasional Indonesia lebih banyak dibatasi karena keterbatasan dana yang diasosiasikan dengan proyek. Bila kita mengingat fungsi Perpustakaan Nasional ialah mengumpulkan semua karya cetak dan rekam sebagai khzanah budaya bangsa, maka fungsi itu diwujudkan dalam cakupan Bibliografi Nasional Indonesia yang luas. Perpustakaan Nasional kembali ke khitahnya. Dengan demikian Perpustakaan Nasional RI tidak perlu repot-repot dengan berbagai kursus dan pelatihan penyetaraan yang hasilnya justru merendahkan martabat pustakawan.

Bila dalam sebuah diskusi di Internet (i_c_s@egroups.com) ada pertanyaan  mengapa pustakawan pada loyo, itu tidak lain salah satu penyebabnya karena begitu mudah menjadi pustakawan sebagai profesi sementara di bidang lain tuntutan untuk memasuki profesi justru semakin diperketat.

(g) Notasi Klasifikasi. Ada kesan bahwa pustakawan yang menjalankan klasifikasi kurang berani mencantumkan notasi yang panjang serta kurang luas pengetahuan umumnya. Bila mau dan mampu Perpustakaan Nasional RI dapat menghasilkan notasi yang panjang lalu terserah pada masing-masing pemakai untuk menggunakannya. Penggu-naannya dapat panjang, dapat pendek, asal saja Perpustakaan Nasional RI sudah memberikan tandanya, misalnya hubungan politik Indonesia ¿ AS diberi notasi 327.598073. Kalau dilakukan oleh Perpustakaan Nasional RI apostrof sebagai pembatas, jadi hasilnya ialah 327¿598¿0¿73. Maka perpustakaan lain dapat menyalinnya, lalu seberapa panjang notasi yang akan digunakan terpulang pada garis haluan (policy) masing-masing perpustakaan.

(h) Perlu garis haluan (policy) menyangkut pencantuman tahun di belakang tajuk entri utama. Apakah semua perlu diberi tahu meniru praktek di LC ataukah cukup untuk nama-nama yang sama. Misalnya nama Soeharto banyak ditemukan di Pusat Deposit Perpustakaan Nasional RI lalu diberi tanda pembeda berupa tahun kelahiran. Misalnya
Soeharto, 1927-
Soeharto, 1918-

(i) Penyusunan peraturan deskripsi bibliografis. Apa yang dibuat oleh Pusat Pembinaan Perpustakaan yang kini diteruskan oleh Perpustakaan Nasional RI dijadikan satu dengan Standar Penentuan Tajuk Entri (SNI 001-1976) sehingga di Indonesia hanya ada satu peraturan deskripsi bibliografis untuk keseragaman serta kemudahan pertukaran data. Penyusunan pedoman tersebut menyertakan Ikatan Pustakawan Indonesia dan dunia akademis.

Saran lain ialah:

(1) Agar pustakawan di lingkungan pengolahan menambah pengetahuan mereka dengan banyak membaca. Dorongan untuk lebih banyak membaca harus berasal dari diri sendiri tidak boleh oleh dorongan luar. Rasanya percuma Perpustakaan Nasional RI menyelenggarakan seminar meningkatkan minat baca dengan mengundang orang dari luar, jikalau di kalangan pustakawan sendiri tidak ada usaha untuk meningkatkan diri dengan cara membaca. Juga mengundang pembicara dari luar, terlepas dari segi promosi dan keuntungan, menunjukkan rasa percaya diri yang rendah di kalangan pustakawan.

(2) Meninggalkan praktek membuat deskripsi bibliografi dengan menggunakan akses judul sebagaimana tertera pada Informasi Buku Baru Koleksi Perpustakaan Nasional RI (Accession List). Praktek tersebut meninggalkan prinsip pendekatan pada pengarang yang telah dimulai 100 tahun yang lalu. Juga pada praktek entri pada judul hanya digunakan di perpustakaan khusus (setidak-tidaknya di BLLD atau kini The British Library Document Supply Centre) yang tidak untuk umum. Bilamana yang menggambarkan praktek tersebut-khususnya di Inggris, maka praktek tersebut tidak dianut oleh majoritas perpustakaan.

5. Apa yang harus segera dilakukan
Berdasarkan uraian dan saran di atas maka tindakan yang harus segera dilakukan ialah:

(1) Menyusun peraturan penentuan tajuk entri berdasarkan bahan perpustakaan yang ada dengan mempertimbangkan keputusan teknis menyangkut:

(a) Penulisan nama pengarang, apakah tetap dalam bentuk sebenarnya ataukah sengaja ditulis dalam EYD. Sebaiknya kita menghormati pengarang dengan memperhatikan peranan pustakawan untuk mendidik pemakai.

(b) Perbaikan pada nama pengarang yang berakhir dengan inisial atau singkatan;

(c) Penentuan tajuk entri yang sederhana sehingga mengurangi pengecualian peraturan termasuk pengarang yang namanya dimulai dengan Bambang, Endang, Sri dan sebagainya.

(d) Penentuan tajuk entri untuk judul seragam yang menyangkut perjanjian, karya keagamaan.

(2) Pembuatan authority list untuk nama Indonesia, mencakup nama perorangan, badan korporasi dan judul seragam untuk karya perundang-undangan serta karya klasik.

(3) Pembuatan deskripsi bibliografi untuk multimedia.

(4) Persiapan deskripsi untuk materi yang tersimpan di Internet.

(5) Revisi INDOMARC yang meliputi multimedia dan materi yang tersimpan di Internet. Hal ini erat kaitannya dengan butir 3 dan 4.

(6) Panduan teknis menyangkut penggunaan DDC edisi 21.

6. Penutup

Perpustakaan Nasional RI, dalam hal ini Pusat Deposit dan Pengembangan Bahan Pustaka [sic] telah mengeluarkan berbagai terbitan seperti Bibliografi Nasional Indonesia, Katalog Induk Nasional dan Informasi Buku Baru Koleksi Perpustakaan Nasional RI (Accession List). Setiap entri yang dimuat mencantumkan hampir semua komponen deskripsi bibliografi termasuk notasi DDC dan tajuk subjek serta KDT. Dalam pengolahan tersebut terdapat beberapa kekeliruan yang diharapkan dapat diperbaiki sehingga hasil pengolahan tersebut dapat dipercaya agar diikuti oleh perpustakaan lain.

Dengan mengikuti hasil pengolahan Perpustakaan Nasional RI termasuk KDTnya maka Perpustakaan Nasional RI secara tidak langsung telah melakukan salah satu fungsi yaitu pengembangan (dahulu pembinaan) pengkatalogan termasuk penentuan notasi klasifikasi dan tajuk subjek.

Labels:

Tantangan Menuju Era Perpustakaan Digital


Tantangan Menuju Era Perpustakaan Digital.


Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 2 No. 2 - Desember 2000



Abstrak


Pergerakan perpustakaan digital di Indonesia menarik dan beresiko karena secara keseluruhan masyarakat belum selesai bertransformasi di berbagai aspek sementara di sisi lain dituntut untuk menyelaraskan langkah dengan pergerakan dan perkembangan yang ada. Di bidang ilmu perpustakaan merupakan keharusan untuk memasuki era perpustakaan digital, dimana esensi dari perpustakaan digital adalah memberikan gambaran dan pemerian yang tepat kepada pengguna tentang informasi yang dibutuhkan dan ketersediaannya. Pustakawan dalam era perpustakaan digital dituntut untuk lebih memahami dan memprediksikan segala tantangan dan hambatan yang muncul, mengasah dan memacu daya pikir serta bertindak sistematis.


Perpustakaan digital telah menjadi wacana dan bahasan yang begitu populer di kalangan praktisi teknologi Informasi, dan para pustakawan di Indonesia. Setidaknya dalam dua tahun terakhir, rekan pustakawan dan para pengguna perpustakaan di belahan dunia maju telah sampai di suatu tahapan di mana segala sesuatu yang masih menjadi wacana dan bahasan di negara kita, telah menjadi kelaziman di negara mereka.

Di Indonesia sejumlah institusi sudah memulainya. Pada hematnya kelak kita memang akan dan harus sampai pada tahapan yang sudah dicapai rekan-rekan kita di luar negeri. Pergerakan ke arah perpustakaan digital di Indonesia menjadi menarik dan beresiko. Pasalnya secara keseluruhan masyarakat kita belum lagi usai bertransformasi di begitu banyak aspek, seperti dari budaya feodal menuju demokrasi, dari budaya lisan menuju budaya baca, bahkan dari budaya paper menuju paperless.

Sementara di sisi lain kita harus selalu menyelaraskan langkah dengan pergerakan dan perkembangan yang ada. Akibatnya kita harus sering membuat loncatan melewati suatu tahapan untuk mencapai tahapan lain yang lebih tinggi. Loncatan yang kita lihat dan alami tidak membawa banyak masalah, jika kita telah memiliki dasar atau fundamen yang kuat sebelum meloncati satu tahapan guna mencapai tahapan yang lebih tinggi. Sebaliknya, berbagai permasalahan dan kerawanan acap muncul jika fundamen kita belum benar-benar kuat saat memutuskan untuk membuat loncatan.

Di bidang ilmu perpustakaan adalah keharusan untuk segera memasuki era perpustakaan digital mengharuskan kita melakukan serangkaian lompatan ke depan, lewat pijakan yang belum kokoh, dengan kata lain potensial memunculkan beragam permasalahan. Kita masih melihat slogan "Baca Baca Baca" yang disuntikkan ke masyarakat melalui seluruh saluran televisi nasional. Hal ini menyiratkan kita belum lagi selesai menumbuhkan budaya baca di masyarakat. Secara keseluruhan membaca belum menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Artinya perpustakaan juga bukan merupakan tempat yang populer dan rutin dikunjungi anggota masyarakat.

Di sisi pustakawan sendiri, kita masih terlalu berpegang pada pola dan paradigma lama, di mana pustakawan berpenampilan dan bekerja secara low profile dan terlampau bersahaja. Pustakawan diidentikkan dengan orang yang berpenampilan serius dan hemat berkata-kata. Kita bisa melihat bagaimana gambaran itu tertanam di benak orang lain, lewat berbagai film dan iklan di layar kaca. Gambaran sosok pustakawan tercenung di belakang meja, hanya berbicara untuk memperingatkan para pengunjung yang berbicara terlalu keras, selebihnya diam. Tidak ada yang bisa disalahkan dari penggambaran stereotip itu, tanpa disadari barangkali kita sendiri yang membuat dan menanamkannya.

Ilustrasi di atas menunjukkan fundamen di bidang keperpustakaan masih sangat rapuh. Kita masih ¿direpotkan¿ upaya memberdayakan masyarakat agar membaca menjadi bagian dari kebutuhan hidup.

Pustakawan sendiri masih harus meredefinisikan tugas dan citra dirinya. Kita tidak mungkin terus-menerus sembunyi dari kejaran pertanyaan yang bermuara pada kebutuhan pengguna. Sikap pustakawan yang defensif-pasif, membiarkan pengguna perpustakaan kebingungan bagaimana mendapatkan suatu informasi, dan harus bertanya pada siapa, sudah harus menjadi bagian dari sejarah masa lalu, yang tidak boleh lagi diulang.

Pada saat kita memutuskan perpustakaan kita sebagian atau seluruhnya berbasis teknologi informasi, di saat itu pula akan semakin banyak pengguna yang datang dengan berbagai kebutuhan dan pertanyaannya. Mereka datang secara langsung atau masuk lewat dunia maya. Kualitas dan kuantitas interaksi antara pengguna dengan pustakawan justru meningkat. Kemampuan pustakawan untuk berkomunikasi dan berempati dengan pengguna menjadi keharusan dan penting.

Esensi perpustakaan digital – apalagi jika diaplikasikan di Indonesia – adalah memberikan gambaran dan pemerian yang tepat kepada pengguna tentang informasi yang dibutuhkan dan ketersediaannya, sebelum si pengguna memutuskan datang langsung ke perpustakaan yang bersangkutan. Akhir proses penelusuran informasi ini pengguna tetap harus datang ke perpustakaan.

Situasi di atas membuat pustakawan di kala bertugas akan mendapatkan peluang untuk melakukan kegiatan pendidikan pemakai. Disamping akan terdapat lebih banyak tanda-tanda untuk memandu pengguna yang berada di gedung perpustakaan, situs, dan pangkalan data. Terjadinya banyak interaksi dan empati dia antara pustakawan dan pengguna tak mungkin dihadapi dengan pola kerja defensif-pasif.

Kita mendapatkan tugas dan tantangan yang lebih berat dibandingkan rekan-rekan pustakawan di negara maju. Namun, memasuki era perpustakaan digital adalah tuntutan yang tidak bisa ditunda. Di pihak lain meredefinisikan cara pandang terhadap tugas dan cara kerja seorang pustakawan adalah keharusan lain lagi.

Memaksakan memasuki perpustakaan berbasis teknologi informasi tanpa ada upaya meredefinisikan tugas dan cara kerja pustakawan, bagaikan mendirikan bangunan megah dari kartu, begitu sulit dibangun dan begitu mudah rubuh saat selesai dibangun.

Tetapi seberapa pun berat dan kompleksnya tantangan yang ada dihadapan kita, rasanya tidak perlu membuat kita ragu untuk memasuki era perpustakaan digital. Hal ini dapat dilakukan dengan memahami dan memprediksikan apa saja tantangan dan hambatan yang akan muncul, mengasah antisipasi, memacu daya pikir dan bertindak sistematis dalam mencapai tujuan akhir adalah hal paling baik dilakukan para pustakawan menjelang era itu.

Jaka Anindita
Staf Perpustakaan Utan Kayu
Jl Utan Kayu No 68H, Jakarta Timur13120
Telp. (021) 857 3388 ext 104, Fax (021) 856 7811, e-mail: jaka@isai.or.id

Labels: