<data:blog.pageTitle/>

This Page

has moved to a new address:

http://duniaperpustakaan.com

Sorry for the inconvenience…

Redirection provided by Blogger to WordPress Migration Service
Dunia Perpustakaan | Informasi Lengkap Seputar Dunia Perpustakaan: June 2005

Sunday, June 19, 2005

Transformasi Perpustakaan Nasional Menuju Layanan Berkualitas Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi

Transformasi Perpustakaan Nasional Menuju Layanan Berkualitas Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi.


Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 7 No. 1 - Juni 2005

Abstrak


Era Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) membawa pengaruh besar bagi transformasi layanan perpustakaan, tidak terkecuali Perpustakaan Nasional RI. Kebutuhan akan informasi mendorong perpustakaan untuk mengambil peran sebagai gerbang informasi masyarakat.

Untuk mendukung peran tersebut diperlukan prasarana teknologi dan SDM perpustakaan yang handal dengan etos kerja tinggi. Selain itu, kerjasama antar perpustakaan menjadi suatu keniscayaan. Dengan ditunjang kompetensi profesional dan perangkat teknologi diharapkan Perpustakaan Nasional RI mampu mewujudkan visi sebagai Perpustakaan Kelas Dunia (World Class Library).

Latar Belakang


Setiap orang tentu memiliki persepsi dan gambaran tersendiri tentang keberadaan sebuah perpustakaan. Bagi sebagian civitas akademik, perpustakaan merupakan bagian integral dan esensial dari dunia pendidikan. Namun bagi sebagian yang lain, pepustakaan tidak lebih sebagai sebuah bangunan dengan ruang pengap yang penuh dengan rak-rak buku yang hanya dikunjungi bila musim ujian tiba.

Bagi khalayak publik yang lebih luas, citra perpustakaan pun tidak jauh berbeda. Umumnya mereka masih terpancang pada citra perpustakaan masa lalu sebagai tempat koleksi buku dan dokumen yang kaku, formal, tanpa gaya, dan hanya dikunjungi bila membutuhkan bahan-bahan referensi. Tempat di mana para pustakawan tradisional bergelut dengan tugas rutin harian yang statis dan menjemukan.

Kini zaman telah berubah. Wajah perpustakaan pun sebagian telah banyak berubah seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan sosial-ekonomi masyarakat. Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sedikit banyak telah mempengaruhi rumah tangga dan dinamika perpustakaan.

Sebagian perpustakaan latah bertransformasi ke dalam bentuk perpustakaan maya (virtual library), perpustakaan tanpa dinding (library without wall), bahkan perpustakaan digital (digital library). Koleksi perpustakaan pun dilengkapi dengan koleksi cetak hingga elektronik dengan piranti teknologi termutakhir seperti DVD (Digital Versatiel Disc).

Kini perpustakaan tidak sekedar berfungsi sebagai tempat yang asyik bagi para kutu buku melainkan juga sebagai gerbang dan akses layanan informasi bagi masyarakat luas.

Namun, realitas di lapangan ternyata tidak seindah yang kita bayangkan. Adalah kenyataan jika kini banyak perpustakaan yang telah memutakhirkan diri dengan perangkat TIK, namun adalah fakta juga bila ternyata lebih banyak perpustakaan yang masih terengah-engah untuk sekedar mendapatkan dana pembelian buku, gedung baru, staff, apalagi pengadaan teknologi.

Baik perpustakaan umum, perpustakaan sekolah, maupun perpustakaan perguruan tinggi banyak yang masih terkendala oleh problema klasik yakni dana. Toh, perpustakaan yang mengaku telah terotomatisasi pun ternyata masih belum terlepas dari penyakit akut berupa rendahnya profesionalisme staff untuk mengimbangi aplikasi teknologi perpustakaan. Berangkat dari fakta tersebut tulisan ini mencoba mengkritisi kiprah layanan perpustakaan berbasis TIK sekaligus solusi praktis untuk rekomendasi bagi Perpustakaan Nasional dan jaringannya di masa depan.

Memposisikan TIK Sebagai Sarana ; Bukan Sebagai Tujuan Perpustakaan

Trend perpustakaan modern yang berbasis TIK diakui memang telah menjadi tuntutan global. Orientasi layanan prima dan distribusi akses informasi yang lebih luas berbasis kecanggihan teknologi menjadi visi masa depan perpustakaan, tak terkecuali visi dan misi induk perpustakaan tanah air Pepustakaan Nasional RI, yang mengidealismekan cita-cita sebagai Perpustakaan Kelas Dunia (World Class Library) seperti visi yang dikemukakan  Hernandono dalam Sutoyo  (2001: 137). Sebuah langkah berani sekaligus menantang di tengah berbagai keterbatasan Perpustakaan Nasional RI dan perpustakaan lain pada umumnya.

Boleh dikatakan aplikasi TIK dalam perpustakaan umum (public library) begitu juga jaringan Perpusnas di Daerah sangat terlambat bila dibandingkan dengan aplikasi TIK di perpustakaan perguruan tinggi maupun perpustakaan khusus (institusi). Tidak mengapa, yang penting aplikasi TIK tersebut tidak mengurangi substansi dan fungsi yang sebenarnya dari penerapan TIK.

Jangan sampai TIK di perpustakaan sekedar sebagai efek berantai demam teknologi yang kemudian terhenti pada tataran tujuan jangka pendek. TIK adalah sarana dan bukan tujuan serta harus diimbangi dengan kapasitas SDM perpustakaan. Peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan haruslah menjadi konsekuensi logis dari keberadaan TIK tersebut.

Menurut Purwono (2002: 23) dalam memandang urgensi TIK dalam perpustakaan, harus dibedakan antara cara dan hasil akhir. Artinya harus dibedakan antara tujuan (purpose of) dan pembenaran (justification) dari aplikasi tersebut. Dengan kata lain strategi penerapan TIK haruslah mempertimbangkan faktor efektifitas TIK sebagai solusi kemudahan dan kualitas layanan perpustakaan.

Jika ternyata TIK tidak mampu memberikan solusi kongkrit terhadap kemudahan dan kualitas pelayanan, maka TIK bukan atau belum memenuhi unsur pembenaran (justification). TIK merupakan cara dan bukan tujuan dari garis besar layanan perpustakaan. Bahkan secara keseluruhan kualitas layanan justru ditentukan oleh kapasitas profesional dari staf perpustakaan itu sendiri.

Kapasitas SDM Perpustakaan sebagai Tulang Punggung Layanan Berkualitas

Perpustakaan akan dapat dirasakan sebagai sumber dan akses informasi yang berkualitas jika perpustakaan tersebut dikelola oleh staf yang profesional dengan didukung perangkat TIK yang memadai. Sebaliknya, perpustakaan akan dengan mudah ditinggalkan para penggunanya jika hanya berfungsi sebagai gudang buku dengan staf yang tidak bergairah alias tanpa greget.

Staf pustakawan sering terjebak dan terkungkung pada rutinitas pekerjaan fisik tanpa ada keinginan untuk mengembangkan diri dan belajar bagaimana mengolah dan memanfaatkan seluruh informasi yang dimiliki perpustakaan. Hal tersebut tentu akan menguatkan citra perpustakaan sekedar sebagai museum buku tanpa memberi nilai lebih terhadap informasi yang dikandungnya.

Konteks tersebut di atas mengisyaratkan bahwa staf perpustakaan perlu melakukan transformasi fungsi seiring tuntutan TIK dalam layanan perpustakaan. Perpustakaan harus dapat memainkan peran penting dalam menambah nilai pada informasi dan perpustakaan itu sendiri. Perangkat TIK memungkinkan pekerjaan tradisional perpustakaan, seperti misalnya akuisisi, pengelolaan, pengolahan, dan penyebaran informasi dapat terkomputerisasi.

Hal itu akan lebih efisien dari sisi waktu dibandingkan dengan prosedur konvensional sebelumnya (manual). Pustakawan pun harus dapat melayani penelusuran topik, download dokumen dari dunia maya (internet), maupun mengolah informasi bagi para pemesan. Jika perpustakaan enggan berbenah diri, bukan tidak mungkin suatu saat perpustakaan akan ditinggalkan penggunanya dan beralih ke sumber informasi lain.

TIK seharusnya dapat menggantikan layanan manual perpustakaan yang berbasis kertas maupun fotokopi. Hal ini penting mengingat selama ini layanan manual tersebut belum sepenuhnya mampu mendorong kebiasaan pengguna perpustakan untuk menganalisis dan mengkritisi teks-teks yang sifatnya informatif.

Secara bertahap, TIK akan mengubah perilaku pemakaian bahan pustaka oleh pengguna maupun pustakawan itu sendiri dalam mengidentifikasi informasi, menentukan lokasi, mengakses, analisa, membandingkan, dan bahkan revisi pustaka. Secara keseluruhan TIK akan membawa dimensi baru bagi layanan perpustakaan yang lebih informatif dan berkualitas.

Perpustakaan Nasional sebagai Gerbang Informasi

Perpustakaan Nasional berikut jaringannya di daerah, harus dapat berperan sebagai gerbang informasi (information gateways) dengan perangkat TIK yang dimiliki. Dengan demikian kegiatan Perpustakaan Nasional tidak hanya mengelola informasi yang dimiliki, melainkan juga memberi kemudahan para pengguna untuk mengakses dan memanfaatkan informasi tersebut.

Kandungan informasi dalam perpustakaan harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak hanya menjadi rekaman informasi belaka. Informasi yang dimiliki diharapkan dapat dikelola maupun dikemas dengan menarik (edutainment) sehingga setiap pengguna merasa puas dengan layanan perpustakaan.

Sudah waktunya bagi Perpustakaan Nasional sebagai induk perpustakaan dalam negeri, untuk memutakhirkan koleksinya dalam bentuk kemasan informasi yang lebih beragam. Tidak hanya berupa koleksi tercetak melainkan juga dalam bentuk digital bahkan multimedia. Menurut Lien (2004: 15) kandungan nilai informasi dari koleksi dapat ditingkatkan dengan cara menyediakan akses hanya ke sumber-sumber yang dapat dipercaya kualitasnya. Misalnya dengan membuat portal atau pintu masuk ke sumber-sumber yang sudah diseleksi oleh perpustakaan atau lembaga lain (subject-based gateways).

Aplikasi TIK telah memberi kemudahan untuk meng-online-kan koleksi dalam bentuk digital, tentu dengan memperhatikan ketentuan undang-undang yang berlaku. Menurut Dwiyanto (2004: 7) koleksi online menjadi populer karena lebih banyak dikutip atau dimanfaatkan oleh pengguna informasi.

Perpustakaan Nasional sebagai kanal infomasi dalam negeri harus mulai berbenah dangan mengoptimalkan sistem layanan perpustakaan berbasis TIK. Hal ini penting mengingat Perpustakaan Nasional telah memantapkan diri untuk mewujudkan cita-cita sebagai  Perpustakaan Kelas Dunia (World Class Library) sekaligus sebagai suri tauladan (pilot project) bagi perpustakaan-perpustakaan binaannya di Daerah.

Sistem layanan berbasis TIK itu pun hendaknya adalah hasil rancang bangun para pustakawan Perpustakaan Nasional itu sendiri. Dengan demikian, ada integrasi antara sistem, jenis layanan, maupun staf pustakawan itu sendiri. Sudah siapkah Perpustakaan Nasional berikut stafnya mampu merealisasikannya?. Kita lihat dan kita tunggu.

Menurut Astanto (2002: 12), setiap pengguna perpustakaan akan merasa at home di perpustakaan jika staf pustakawan benar-benar welcome kepada seluruh pengguna tanpa deskriminasi apapun. Cara pemberian layanan diharapkan dapat memberikan kesan bahwa perpustakaan adalah teman dan sahabat bagi seluruh pengguna. Pendekatan layanan serba otomatis melalui TIK jangan sampai mengurangi atau bahkan meniadakan pendekatan human touch yang ramah dan bersahabat.

Meski tren perpustakan tanpa dinding (virtual library) semakin mendunia, kenikmatan menyentuh dan membaca buku secara langsung serta meresapinya tetap belum akan tergantikan. Hampir dapat dipastikan pelayanan berbasis mesin tetap akan terasa hambar tanpa dibarengi tatap muka maupun senyuman bersahabat para punggawa perpustakaan.

Umumnya pengguna malas berkunjung ke perpustakaan karena alasan keterbatasan koleksi dan tidak profesionalnya staf dalam memberikan layanan yang memuaskan. Untuk alasan pertama mungkin dapat dimaklumi karena tiap perpustakaan memiliki kemampuan yang berbeda dalam melengkapi koleksinya. Alasan kedua umumnya menyangkut kinerja staf dan pustakawan yang belum berubah meski telah dimudahkan dengan piranti TIK sekalipun. Hal itu pun masih harus ditambah dengan kecenderungan yang kaku dan birokratis dalam layanan sehingga memakan waktu yang lebih lama.

Solusi Praktis Layanan Berbasis TIK di Era Otonomi Daerah

Otonomi daerah sedikit banyak berpengaruh terhadap struktur dan manajemen Perpustakaan Nasional berikut jaringannya di Daerah. Ada kesan koordinasi di antara jaringan Perpustakaan Nasional sangat lemah, baik dalam hal jenis dan macam layanan maupun pengadaan koleksi. Masing-masing wilayah mulai terjangkiti ego kewilayahan sehingga sinergi antar perpustakaan sangat sulit dilakukan. Pada gilirannya penggunalah yang merasakan dampaknya, sehingga mereka yang berdomisili di luar cakupan wilayah kerja administratif perpustakaan yang bersangkutan harus kecewa karena tidak bisa dilayani.

Jika demikian, visi Perpustakaan Nasional yang ingin mendorong mayarakat yang belajar dan sadar informasi pun seharusnya dapat dipertanyakan. Perlu kiranya diadakan perubahan kebijakan yang bersifat birokratis di semua lingkungan perpustakaan, khususnya lingkup Perpustakaan Nasional dan jaringannya sehingga tidak ada lagi kesan deskriminasi apalagi ego kewilayahan dalam layanan.

Memang untuk melihat sejauh mana kinerja sebuah perpustakaan sudah berhasil melaksanakan tugasnya memberikan layanan jasa informasi kepada pengguna, menurut Sutoyo (2001: 132) setidaknya dapat dilihat dari 3 (tiga) tolok ukur :

kelengkapan koleksi, penelusuran informasi,  dan kualitas informasi yang disajikan . Hal ini berlaku juga bagi Perpustakan Nasional dan jaringannya di Daerah.

Perpustakan yang baik, tidaklah cukup hanya bertugas mengumpulkan koleksi maupun informasi, melainkan juga sistem katalog yang memadai, penelusuran topik yang komprehensif, serta staf pustakawan yang berdedikasi dengan profesinya.

Dengan demikian keberadaan TIK lebih sebagai katakanlah suplemen bagi kinerja layanan yang berkualitas dengan profesionalisme staf tetap sebagai tulang punggung.

Tugas dan fungsi utama Perpustakaan Nasional sesuai dengan Keppres No. 176 tahun 2000 adalah mengembangkan, membina, dan mendayagunakan seluruh jenis perpustakan di Indonesia. Menurut Hernandono dalam Sutoyo (2001: 160) salah satu misi Perpustakaan Nasional RI adalah membina dan mengembangkan semua jenis perpustakaan. Adalah fakta jika kondisi umumnya perpustakaan di tanah air sangat beragam. Perpustakan sekolah (school library), perpustakaan umum (public library), maupun perpustakaan perguruan tinggi (college library) menghadapi masalah dan tantangan tersendiri. Perpustakaan Nasional harus mulai merintis kerjasama dengan perpustakaan yang dianggap maju yang kemudian mentransfernya kepada perpustakaan binaannya di daerah.

Kegiatan kerjasama sumber informasi antara Perpustakaan Nasional dengan perpustakaan lainnya mutlak diperlukan karena Perpustakaan Nasional tidak bisa memonopoli sumber dan kanal akses informasi. TIK telah memberi kesempatan yang sama bagi para provider untuk menyajikan informasi dalam berbagai bentuk melalui beragam institusi. Kerjasama dalam penyediaan koleksi dan penelusuran topik lintas perpustakaan menjadi hal yang wajar karena masing-masing tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Kerjasama tersebut harus didasari dengan komitmen layanan yang berkualitas dan kepuasan pengguna perpustakaan secara umum.

Komitmen Perpustakaan Nasional sebagai induk dan pembina perpustakaan di tanah air harus dimanifestasikan dalam berbagai program kerja yang solutif dan kreatif. Solutif artinya mampu menjembatani atas kebutuhan masyarakat akan informasi yang tanpa batas dengan fakta masih terbatasnya  sarana informasi yang tersedia. Kreatif artinya program tersebut efektif dan tidak harus berbiaya tinggi. Sebagai contoh misalnya, perpustakaan keliling dapat menjadi alternatif solusi kebutuhan informasi masyarakat di wilayah terpencil.

Dengan kondisi geografis nusantara yang maha luas, Perpustakaan Nasional berikut jaringannya di Daerah belum dapat mengcover secara keseluruhan. Perpustakaan keliling dengan bus yang membawa beberapa ratus koleksi dapat menjadi penawar dahaga informasi bagi masyarakat terpencil. Kalau ada anggaran lebih, bus dapat pula dilengkapi dengan fasilitas TIK khususnya internet.

Menurut Komalasari (2004; 41), bus perpustakaan keliling dapat dilengkapi dengan infrastruktur Wireless LAN (Local Area Network) yakni teknologi sambungan untuk dua tempat yang menggunakan udara sebagai medianya. Dengan hanya membayar biaya hak penggunaan frekuensi ke Postel sekitar Rp. 2,7 juta per tahun, bus perpustakaan keliling telah terhubung dangan akses internet dengan kekuatan 2,4 GHz. Perpustakan keliling berinternet dapat menjangkau wilayah yang lebih luas sekaligus memberikan pilihan informasi yang lebih beragam kepada masyarakat.

Solusi kreatif lainnya adalah Perpustakaan Nasional mencoba melakukan gebrakan dengan meluncurkan layanan bagi program belajar jarak jauh (long distance learning). Menurut Fraser dkk (2004: 61) layanan berbasis internet ini merupakan tren global di mana  pihak perpustakaan bekerjasama dengan institusi pendidikan untuk menyediakan koleksi online yang dibutuhkan serta dapat dikirimkan via internet kepada mereka yang karena berbagai sebab memilih program belajar jarak jauh.

Pustakawan akan lebih disibukkan dengan fungsinya sebagai penjaga pintu gerbang informasi karena pekerjaan teknis lainnya telah diambil-alih TIK. Pustakawan akan disibukkan dengan pengadaan, pengorganisasian dan pengaksesan informasi.

Terobosan layanan program belajar jarak jauh tersebut akan menjadi  pilot project bagi perpustakaan lain, khususnya perpustakaan perguruan tinggi. Hal ini karena meski secara umum kondisi perpustakan perguruan tinggi lebih peka terhadap perkembangan TIK, sepengetahuan penulis belum ada satu pun yang berani menyediakan layanan program belajar jarak jauh.

Mungkin karena kompleksitas layanan tersebut dan belum adanya kebijakan baku pemerintah yang mengatur program belajar jarak jauh, menyebabkan respon perpustakaan terhadap tren layanan tersebut masih sepi. Lambat-laun tren tersebut akan menjadi bagian dinamika institusi pendidikan dan layanan perpustakaan di masa depan.

Keberhasilan Perpustakaan Nasional mengembangkan layanan bagi program belajar jarak jauh berbasis TIK akan menjadi batu loncatan menuju visi Perpustakaan Kelas Dunia (world class Library). Perpustakaan Nasional akan lebih berperan dalam mewujudkan masyarakat madani yang sadar dan peduli akan informasi. Perpustakaan Nasional berikut jaringannya di daerah juga turut membantu kalangan dunia pendidikan dalam mensuplai literatur yang diperlukan.

Tidak hanya itu, layanan tersebut mampu merangsang para pakar dari berbagai disiplin ilmu maupun khalayak publik ada umumnya untuk menuangkan beragam informasi dan transfer ilmu pengetahuan berupa katalog publik (public domain). Tanpa mengurangi arti penting hak cipta, katalog publik dalam layanan program belajar jarak jauh Perpustakaan Nasional RI akan menjadi alternatif sumber informasi maupun referensi bagi kalangan akademisi sekarang dan di masa depan.

Kesimpulan

Trend perpustakaan modern yang berbasis TIK diakui memang telah menjadi tuntutan global. Orientasi layanan prima dan distribusi akses informasi yang lebih luas berbasis kecanggihan teknologi menjadi visi masa depan perpustakaan, tak terkecuali visi dan misi induk perpustakaan tanah air Pepustakaan Nasional RI, yang mengidealismekan cita-cita sebagai Perpustakaan Kelas Dunia (World Class Library). TIK adalah sarana dan bukan tujuan serta harus diimbangi dengan kapasitas SDM perpustakaan.

Perpustakaan harus dapat memainkan peran penting dalam menambah nilai pada informasi dan perpustakaan itu sendiri. Pendekatan layanan serba otomatis melalui TIK jangan sampai mengurangi atau bahkan meniadakan pendekatan human touch yang ramah dan bersahabat. Perpustakaan Nasional harus mulai merintis kerjasama lintas perpustakaan serta merancang program-program yang bersifat solutif-kreatif yang memudahkan akses masyarakat terhadap informasi

Labels:

Thursday, June 16, 2005

Bersama Perpustakaan Nasional RI meningkatkan citra Bangsa Indonesia

Bersama Perpustakaan Nasional RI meningkatkan citra Bangsa Indonesia.


Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 7 No. 1 - Juni 2005

Abstrak


PERPUSNAS mempunyai tugas dan fungsi serta wewenang yang strategis bagi kemajuan perpustakaan di Indonesia. Oleh karena itu PERPUSNAS harus didukung oleh staf ahli yang kuat, agar dapat menghasilkan kebijakan makro yang strategis dan mendapat dukungan dari Pemerintah. PERPUSNAS merupakan citra dalam aktivitas intelektual dan kebudayaan bangsa Indonesia.

Kekayaan intelektual, budaya dan seni bangsa Indonesia harus dapat ditampilkan kepada bangsa-bangsa lain. Pengumpulan karya anak bangsa ini bisa dilaksanakan dalam bentuk jaringan, dan bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dalam memberikan pelayanan kepada publik dalam negeri maupun luar negeri yang lebih baik, PERPUSNAS sudah harus merintis one-stop services.

Pada awalnya perpustakaan yang terdekat dan sudah siap dengan data katalog elektronik yang kompatibel diminta untuk menyerahkan data. Perpustakaan tersebut juga diminta membina perpustakaan di sekitarnya agar merintis katalog elektronik yang kompatibel dengan data PERPUSNAS. Mengingat masih sangat sedikitnya perpustakaan sekolah, PERPUSNAS perlu menganggarkan untuk membiayai sekolah yang bisa mengajukan proposal untuk inisiasi pendirian perpustakaan.

Untuk menjangkau masyarakat yang tinggal di pedalaman, perpustakaan keliling perlu terus ditambah dan menghimbau kepada Pemerintah Daerah agar terus membina perpustakaan keliling yang sudah diberikan oleh PERPUSNAS. Kepada pihak-pihak perorangan atau kelompok yang telah menyelenggarakan pelayanan kepustakaan bagi masyarakat agar diberi penghargaan dan diberikan bantuan, sehingga mutu pelayanannya dapat ditingkatkan. Begitu juga dengan perpustakaan yang telah memberikan pelayanan yang baik diberikan penghargaan.

Pendahuluan

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (selanjutnya disingkat PERPUSNAS) mempunyai misi: Membina, mengembangkan dan mendayagunakan semua jenis perpustakaan; Melestarikan bahan pustaka (karya cetak dan karya rekam) sebagai hasil budaya bangsa; Menyelenggarakan layanan perpustakaan. Disamping itu menurut Surat Keputusan Kepala PERPUSNAS No. 03/2001 tugas PERPUSNAS adalah melaksanakan tugas pemerintahan di bidang perpustakaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam melaksanakan tugas, PERPUSNAS mempunyai fungsi antara lain:

  • Mengkaji dan menyusun kebijakan nasional di bidang perpustakaan;

  • Melancarkan dan membina terhadap kegiatan instansi Pemerintah di bidang perpustakaan.


Dari tugas dan fungsi ini sudah jelas bahwa PERPUSNAS mengemban tugas yang sangat strategis dalam bidang perpustakaan di Indonesia. PERPUSNAS menjadi instansi kunci bagi maju mundurnya perpustakaan di Indonesia.
Dalam menjalankan tugas dan fungsi seperti tersebut di atas PERPUSNAS menghadapi tantangan yang berat. Perpustakaan di Indonesia masih merupakan instansi yang tidak diminati oleh masyarakat. Seringkali orang kehilangan selera bila bertemu dengan hal-hal yang berhubungan dengan perpustakaan.

Bahkan di dunia pendidikan saja, keberadaan perpustakaan itu masih dianggap bukan prioritas utama. Perpustakaan hanya dibicarakan oleh pejabat bila diminta oleh pustakawan, atau disebutkan bahwa perpustakaan itu penting hanya pada acara seremonial yang diadakan oleh pihak perpustakaan. Setelah acara seremonial selesai, hilang sudah hal-ihwal perpustakaan di benak para pejabat pendidikan. Apalagi bila menyangkut dana, maka kepentingan perpustakaan berada di prioritas terakhir. Sepertinya pendidikan dapat tetap berjalan dengan baik tanpa perpustakaan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fuad A. Gani, ketua Departemen Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia pada akhir tahun 2003 di 50 sekolah di Jakarta dengan 500 responden siswa memperlihatkan dengan jelas betapa jauhnya perpustakaan dari minat para siswa. 60 persen dari responden mengaku belum pernah memanfaatkan perpustakaan sekolah. Alasannya, buku-buku di perpustakaan isinya sama dengan kurikulum buku bacaan yang dimiliki siswa, image perpustakaan kaku, angker, dan dingin, bukunya tidak lengkap, tidak pernah bertambah koleksinya, dan ruangannya tidak asyik bagi siswa (Kompas, 22 April 2005).

Dari komentar responden  terlihat bahwa perpustakaan-perpustakaan sekolah tersebut tidak dikelola dengan baik, sehingga tidak menimbulkan minat bagi siswa untuk memanfaatkannya. Kemudian dalam banyak kesempatan muncul anggapan minat baca orang Indonesia sangat kurang.

"Yang benar, perpustakaan di sini, baik itu yang umum atau sekolah kondisinya sengsara," kata Zulfikar Zen, seorang dosen dari Departemen Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia.  Menurut UNESCO, jumlah perbandingan buku yang dibutuhkan yakni 1:40, artinya 40 judul buku untuk satu orang. Tapi, yang terjadi di perpustakaan di Indonesia adalah 1:4. "Ironis sekali padahal perpustakaan adalah jendela dunia" kata Fuad. (Kompas, 22 April 2005).

Apa yang bisa dilakukan oleh PERPUSNAS ?

Banyak sekali yang bisa dilakukan oleh PERPUSNAS untuk meningkatkan apresiasi masyarakat dan pemerintah terhadap perpustakaan. PERPUSNAS sebagai pembina semua kegiatan instansi Pemerintah di bidang perpustakaan, bahkan mempunyai wewenang menyusun rencana nasional secara makro di bidang perpustakaan, seharusnya mempunyai kelompok staf ahli untuk berbagai jenis perpustakaan. Staf ahli tersebut diambil dari para ahli atau pemerhati dunia perpustakaan dan pendidikan dari luar PERPUSNAS. Hal itu sudah lazim dilakukan di berbagai departemen di Pemerintah Pusat.

Para staf ahli itu haruslah mendalami masalah perpustakaan di Indonesia, juga mempunyai wawasan luas dan kreativitas yang tinggi, serta mau mencurahkan waktu dan pikirannya untuk kemajuan perpustakaan di Indonesia. Diantara para staf ahli itu perlu ada yang bergelar profesor atau doktor, tidak harus dalam bidang perpustakaan. Hal itu penting,  karena di masyarakat kita masalah gelar itu masih berpengaruh kuat.

Disamping itu, biasanya para pakar yang mempunyai gelar tersebut mempunyai rasa  percaya diri yang tinggi dan dapat berargumentasi dengan kuat. Menghadapi para pengambil keputusan di negeri ini diperlukan kecakapan dalam menyampaikan argumentasi yang kuat dan logis, yang dapat dipercaya, dan last but not least yang mau didengar oleh para pengambil keputusan tersebut.  Staf ahli ini dikontrak per tahun, sehingga penggantian dapat cepat dilakukan bila ternyata ada yang tidak produktif.

Dari para staf ahli inilah harus dihasilkan berbagai rencana nasional secara makro dan perumusan kebijakan nasional dalam bidang perpustakaan. Dengan demikian akan dihasilkan keputusan-keputusan yang strategis dan mempunyai kekuatan secara nasional. Tentunya pihak PERPUSNAS harus tetap memegang kendali dalam mengevaluasi hasil-hasil rekomendasi dari para staf ahli. Jangan sampai rekomendasi itu melenceng dari tujuan awal, sehingga malah merugikan dunia perpustakaan di Indonesia.

Selain kelompok staf ahli, PERPUSNAS perlu membina tim yang mempunyai keahlian dalam menulis di media massa. Tim ini secara berkala diharapkan menghasilkan tulisan-tulisan yang bisa dimuat di media massa, yang akan memberi efek untuk mempengaruhi opini publik secara positif terhadap dunia perpustakaan Indonesia. Dukungan publik terhadap kemajuan dunia perpustakaan sangat dibutuhkan, karena perpustakaan di Indonesia belum diperlakukan sebagaimana mestinya.

Walau sudah banyak yang mempunyai kesadaran untuk menyelenggarakan perpustakaan bagi anak-anak maupun masyarakat umum, namun belum seimbang dengan banyaknya rakyat Indonesia, sehingga efeknya terhadap kemajuan bangsa hampir tidak terlihat. Pihak-pihak pengambil keputusan dan penyelenggara pendidikan, terutama untuk tingkat sekolah dasar dan menengah masih tetap buta dan tuli tentang pentingnya anak-anak suka membaca sedari usia dini.

Kasus robohnya gedung-gedung sekolah dasar di berbagai daerah yang muncul hampir setiap hari di media massa, memberikan contoh betapa besar efek dari pemberitaan di media massa. Setelah berita-berita itu muncul, barulah pada akhirnya Pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa akan memperbaiki gedung-gedung sekolah dasar. Mungkin pustakawan juga perlu sering-sering bekerjasama dengan media massa untuk menunjukkan betapa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan berkaitan dengan masalah perpustakaan di Indonesia.

Untuk meyakinkan para pengambil keputusan PERPUSNAS perlu melakukan penelitian-penelitian tentang pentingnya peran perpustakaan dalam mencerdaskan sumber daya manusia Indonesia. Menampilkan data yang akurat akan memperkuat argumentasi, sehingga para pengambil keputusan tidak dapat berkelit lagi. Anggaran yang kecil yang sekarang diterima PERPUSNAS jangan jadi penghalang. Justru besarkan dahulu tugas dan fungsi PERPUSNAS, baru dengan beban tugas dan fungsi  yang besar dapat digunakan untuk meminta anggaran yang lebih besar.

Perpustakaan Nasional Merupakan Citra Bangsa  

Perpustakaan nasional merupakan citra dalam aktivitas intelektual dan kebudayaan sebuah bangsa. Oleh karena itu PERPUSNAS harus menjaga citra itu dengan baik. PERPUSNAS harus berusaha sekuat tenaga untuk bisa mengkoleksi semua hasil karya anak bangsa dalam berbagai media, apakah itu hasil penelitian yang memberi manfaat kepada masyarakat, novel best seller, lukisan yang bernilai seni tinggi, dan lain sebagainya. Bila hasil karya itu berupa mesin atau sejenis peralatan, tidak harus barangnya yang dikoleksi tapi cukup foto-fotonya dengan deskripsi yang jelas mengenai hasil karya tersebut.

Untuk itu memang PERPUSNAS tidak mungkin bekerja sendirian, tetapi harus bermitra dengan berbagai pihak. Kerjasama itu bisa dilakukan dengan berbagai perpustakaan, media massa, dan lain-lain. Cara lain untuk mengkoleksi hasil karya anak bangsa ini PERPUSNAS bisa juga melakukannya dalam bentuk jaringan, yang membagi fokus pendataan berdasarkan bidang ilmu. Sebagai contoh, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dengan berbagai pusat-pusat penelitiannya berfokus mengumpulkan  karya-karya dalam bidang sains dan teknologi.

PERPUSNAS sendiri lebih baik berfokus untuk mengumpulkan karya-karya dalam ilmu-ilmu sosial, budaya, seni dan humaniora. Dengan demikian akan meringankan tugas masing-masing, disamping dengan makin banyaknya pihak yang menjaring karya-karya tersebut, maka diharapkan akan makin banyak karya yang terdata. Disamping itu PERPUSNAS dalam berbagai kesempatan selalu menghimbau kepada semua pihak agar menyerahkan hasil karyanya kepada PERPUSNAS atau perpustakaan umum daerah terdekat, namun tetap menyerahkan datanya ke PERPUSNAS.

Hasil karya anak bangsa selain dikoleksi perlu disebarluaskan keberadaannya kepada masyarakat nasional maupun internasional. Oleh karena itu PERPUSNAS dalam jangka waktu tertentu, lima tahun sekali misalnya, perlu melaksanakan pameran hasil karya tersebut secara besar-besaran. Agar pameran lebih meriah lagi, perlu juga diundang pihak-pihak lain, termasuk perpustakaan nasional dari negara-negara lain, agar masyarakat Indonesia bisa membandingkan prestasi bangsa-bangsa lain di dunia, dan terinspirasi untuk dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi di masa depan.

Masyarakat kita sering lemah dalam dokumentasi dan tidak dapat mengenali kekayaan yang kita miliki, sehingga kita tidak mengetahui kekuatan kita bahkan tidak dapat memanfaatkan kekuatan dan kekayaan kita, baik kekayaan sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam.

Merintis One-Stop Services

PERPUSNAS harus bisa menyelenggarakan pelayanan informasi seperti yang juga diberikan oleh perpustakaan-perpustakaan nasional di negara-negara lain. Kalaupun belum bisa mengejar kecanggihan perpustakaan nasional di negara maju, tetapi PERPUSNAS sudah harus merintis pelayanan informasi ke arah sana. Di negara-negara maju sekarang ini sedang dilanda one-stop services, artinya untuk mengetahui sebuah informasi, pengguna cukup mendatangi satu perpustakaan. Dari perpustakaan itu dia akan dapat mengetahui ada di mana informasi yang dicarinya.

Dengan demikian pengguna sangat dibantu, tanpa pergi dari satu perpustakaan ke perpustakaan lain, dia sudah dapat kepastian soal keberadaan informasi yang dicarinya, bahkan dapat memperoleh hard copy dari informasi tersebut. Sungguh sebuah pelayanan yang akan sangat didambakan oleh pengguna di Indonesia, bahkan mungkin pengguna dari negara lain yang membutuhkan informasi mengenai Indonesia.

Walaupun pada saat ini hal itu merupakan tugas yang sangat berat untuk direalisasikan, namun PERPUSNAS sudah harus memulai merintis pelayanan itu. Beberapa perpustakaan yang sudah mempunyai data koleksi dalam elektronik yang saling kompatibel supaya mulai diundang untuk memberikan datanya ke PERPUSNAS. Perpustakaan-perpustakaan tersebut kemudian dihimbau untuk membina perpustakaan yang berada di sekitarnya, agar data katalog elektronik milik mereka kompatibel dengan sistem yang ada di PERPUSNAS.

Demikian terus dilakukan pembinaan dari satu perpustakaan kepada beberapa perpustakaan di sekitarnya, diharapkan suatu waktu sudah cukup banyak data katalog induk yang terhimpun di PERPUSNAS. Salah satu jalan lain yang bisa ditempuh PERPUSNAS adalah memanfaatkan jaringan yang sudah ada, bila jaringan informasi tersebut masih berjalan. Atau kalau jaringan itu sudah tidak berjalan, PERPUSNAS bisa membangkitkan kembali. Keterbatasan dana diatasi sementara dengan pengumpulan data secara parsial, artinya dalam jangka pendek hanya mengundang pihak-pihak yang terdekat dahulu.

Bila sudah ada data awal yang terkumpul, terutama data yang mungkin diperlukan Pemerintah atau para anggota Dewan Perwakilan Rakyat, gunakan data itu untuk meyakinkan Pemerintah dan para wakil rakyat bahwa katalog induk itu perlu dibiayai khusus, agar cepat terwujud.

Situs PERPUSNAS di internet sekarang ini sudah cukup bagus, hanya perlu terus dilengkapi. Hypertext Jaringan Perpustakaan bila diklik tidak hanya memberikan informasi tentang jaringan itu, tetapi yang lebih penting adalah data katalog dari jaringan itu.

PERPUSNAS harus mempunyai tim teknologi informasi yang kuat, yang selalu siap untuk memecahkan masalah data yang tidak kompatibel dengan sistem yang digunakan PERPUSNAS. Perjalanan yang cukup panjang masih terbentang untuk terwujudnya one- stop services, tetapi semua itu harus dilakukan agar perpustakaan-perpustakaan Indonesia tidak berada dalam posisi tertinggal dari perpustakaan bangsa-bangsa lain.

Peningkatan Pembinaan Perpustakaan Sekolah dan Umum

Pembinaan minat baca terhadap anak-anak perlu lebih dipertajam dan lebih diaktifkan lagi. Memang seharusnya pihak yang membina sekolah dasar dan sekolah menengah yang harus melakukan pembinaan minat baca, namun mereka sudah kewalahan dengan berbagai masalah pendidikan dasar dan menengah, sehingga tidak kelihatan usaha-usaha mereka ke arah pembinaan minat baca.

Jangankan memikirkan perpustakaan sekolah,  gedung-gedung sekolah dasar saja banyak yang sudah rusak berat atau bahkan roboh tidak mendapat perhatian dari mereka. Di pihak lain, belum terlihat juga adanya tanda-tanda kesadaran pihak-pihak sekolah dasar sendiri untuk membina minat baca, dilihat masih sangat sedikitnya sekolah dasar yang dilengkapi dengan perpustakaan. Menurut Fuad Hassan (2001) dari 200.000 SD hanya sekitar 1 persen yang memiliki perpustakaan standar, dari sekitar 70.000 SLTP baru 34 persen yang memiliki perpustakaan standar, sedangkan dari sekitar 14.000 SLTA hanya sekitar 54 persen yang memiliki perpustakaan standar (dalam Saputro, 2004).

Oleh karena itu pihak-pihak perpustakaan yang kena dampak dari rendahnya minat baca, harus mengambil inisiatif untuk melakukan pembinaan minat baca. PERPUNAS dalam hal ini sangat mempunyai kekuatan untuk menggerakkan berbagai pihak agar berpartisipasi dalam meningkatkan minat baca anak-anak.
Adanya anggaran untuk pengadaan 31 buah mobil perpustakaan keliling yang diserahkan PERPUSNAS pada awal tahun 2005 ini sungguh kabar yang menggembirakan bagi dunia perpustakaan Indonesia.

Namun bila diingat luasnya Indonesia dan banyaknya rakyat Indonesia yang berada di daerah pedalaman, tentunya mobil perpustakaan keliling itu masih harus ditambah terus. Dan yang tidak boleh dilupakan juga adalah bagaimana menambah koleksi perpustakaan keliling tersebut. Bila PERPUSNAS hanya menginisiasi adanya perpustakaan keliling itu, PERPUSNAS perlu untuk selalu mengetuk pihak Pemerintah Daerah masing-masing untuk terus membina koleksi perpustakaan kelilingnya. Agar Pemerintah Daerah yang diberikan mobil perpustakaan keliling tersebut mempunyai komitmen untuk terus membina perpustakaannya, PERPUSNAS perlu memantau kualitas perpustakaan keliling itu dari waktu ke waktu.

Bila ada Pemerintah Daerah yang tidak peduli dengan kelanjutan perpustakaan keliling itu, bisa dilaporkan kepada Pemerintah Pusat. Jika tidak ada tindak lanjut dari Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah yang lalai itu, beritanya perlu disebarluaskan di media massa, agar dipermalukan kepada masyarakat.

Untuk lebih mendekatkan perpustakaan kepada para anak sekolah dasar, PERPUSNAS perlu meminta dana kepada Pemerintah untuk membiayai pihak-pihak sekolah dasar yang sanggup membuat proposal bagi pendirian perpustakaan sekolah. Proposal itu harus lengkap sampai dengan rencana pengelolaan perpustakaan itu ke depan, judul-judul buku yang diinginkan sebagai koleksi awal, juga bagaimana rencana untuk memperbaharui koleksi itu selanjutnya.

PERPUSNAS akan memberikan koleksi awal dan pelatihan kepada guru yang ditunjuk untuk mengelola perpustakaan. Bila Pemerintah tidak mempunyai dana, PERPUSNAS bisa mengusahakan bantuan dari negara-negara donor yang mau memberikan dana bantuan, bukan pinjaman. Masih banyak pihak-pihak dari luar negeri yang mau membantu, asalkan dapat dipercaya oleh calon-calon donor. Bantuan ini akan sangat memberikan kemajuan yang signifikan bila dijalankan dalam lima tahun  misalnya. Dengan demikian akan cukup banyak sekolah dasar yang mempunyai perpustakaan.

Proyek PERPUSNAS dengan bantuan Bank Dunia mengembangkan 770 perpustakaan sekolah dan umum di Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan, dan Jawa Tengah (Kompas, 6 Agustus 2003) sungguh merupakan proyek strategis. PERPUSNAS perlu terus memantau dampak dari proyek ini kepada anak didik ataupun masyarakat di sekitar proyek, terutama dampak positifnya. Gunakan data proyek ini untuk mengekspose manfaat perpustakaan yang bermutu bagi masyarakat di sekitarnya. Diharapkan adanya data yang  konkrit akan meyakinkan Pemerintah untuk memasukkan unsur perpustakaan dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia.

Memberi Penghargaan kepada Berbagai Mitra

Bila ada organisasi atau perorangan yang serius menyelenggarakan perpustakaan jangan dianggap saingan, tetapi justru dianggap mitra. Seperti Dauzan Farook yang mempunyai Perpustakaan Mabulir (Majalah dan Buku Keliling Bergilir). Perpustakaan ini  didirikan, dikelola dan didanai sendiri sejak tahun 1990, dengan jumlah koleksi sekitar 5000 buku dan 4000 majalah.

Mbah Dauzan, demikian masyarakat sekitarnya memanggil beliau, menjalankan perpustakaan ini di rumahnya di bilangan Kauman, Yogyakarta dengan dibantu oleh empat orang pegawai. Dia mendatangi kelompok bermain anak, remaja masjid, karang taruna, kelompok belajar, serta mahasiswa untuk dipinjaminya buku atau majalah secara gratis. Tiap hari tiga sampai empat tempat ia datangi. Kini sekitar 100 kelompok dengan masing-masing anggota kelompok 4-20 orang menjadi pembaca setia perpustakaan Mabulir.

Untuk membiayai kebutuhan operasional perpustakaan itu, semua biaya mulai dari pembelian dan perawatan buku serta majalah sampai menggaji asisten dikeluarkan dari kocek pribadi, yaitu dari uang pensiun yang dia terima setiap bulan sebagai mantan pejuang. (Wahyu, 2005). PERPUSNAS perlu memberi penghargaan kepada orang-orang seperti Mbah Dauzan ini. Pada saat PERPUSNAS berulang tahun atau acara-acara peringatan yang berhubungan dengan buku atau perpustakaan, orang-orang seperti itu perlu diundang, diberi bantuan baik berupa buku-buku maupun uang.

Penghargaan seperti ini diharapkan akan menggugah makin banyak pihak untuk membantu PERPUSNAS maupun Perpustakaan Umum Daerah dalam memberikan pelayanan kepustakaan, terutama di daerah-daerah yang belum terjangkau oleh perpustakaan yang resmi.

Sekolah-sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah, perpustakaan umum dan juga perguruan tinggi ataupun instansi-instansi yang mempunyai perpustakaan yang baik, setiap tahunnya perlu diberikan penilaian. Yang terbaik akan diundang ke PERPUSNAS untuk mendapatkan penghargaan. Berita ini juga perlu disebarluaskan melalui media massa, agar yang mendapat predikat terbaik merasa tidak sia-sia telah berkorban dan bekerja keras.

Penutup

Pembangunan perpustakaan di sekolah tidak mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Ini terlihat dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang tidak mencantumkan perpustakaan sebagai salah satu sarana yang harus dimiliki sekolah, demikian kata Kepala PERPUSNAS Dady P. Rachmananta (Kompas, 3 Juli 2003). Padahal budaya membaca harus mulai dibina pada masa-masa di sekolah.

Dengan  demikian sudah pasti yang merasakan dampaknya adalah pustakawan. Oleh karena itu pustakawan harus terus berjuang untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak agar perpustakaan di Indonesia bisa berperan optimal dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia. Perjuangan yang berat ini harus dikoordinasikan dengan baik, agar semua elemen pustakawan ikut berpartisipasi. Siapa lagi yang harus menjadi komandan perjuangan ini kalau bukan  Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang memang mempunyai tugas dan fungsi serta wewenang di tingkat pusat.

Amanat yang dipegang oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (RI) menyebabkan instansi ini bisa bergerak ke Pemerintah Pusat, maupun ke bawah ke perpustakaan-perpustakaan, atau bahkan bergerak mendekati para pihak donor dari negara-negara maju. Semoga Perpustakaan Nasional RI bisa menggerakkan roda-roda kereta perpustakaan Indonesia yang bisa menggilas semua penghambat kemajuan perpustakaan di Indonesia. Dirgahayu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Labels: