<data:blog.pageTitle/>

This Page

has moved to a new address:

http://duniaperpustakaan.com

Sorry for the inconvenience…

Redirection provided by Blogger to WordPress Migration Service
Dunia Perpustakaan | Informasi Lengkap Seputar Dunia Perpustakaan: August 2010

Thursday, August 12, 2010

6 Fungsi Perpustakaan yang Wajib Anda Tahu!

Dunia Perpustakaan | Jika kita membaca Undang-Undang No 43 tahun 2007 tentang perpustakaan, pada Bab I pasal I, disebutkan bahwa Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka.

Atas dasar itupula kemudian diartikan bahwa perpustakaan itu memiliki beberapa fungsi.

Namun sayangnya, diantara beberapa fungsi perpustakaan, yang paling hanya diingat oleh beberapa orang biasanya hanya pada fungsi-fungsi perpustakaan yang terkait dengan tempat baca buku, penelitian, dan sejenisnya.

Padahal kalau diruntut secara utuh, fungsi perpustakaan yang juga penting dan harus diperhatikan adalah terkait fungsi perpustakaan sebagai tempat rekreasi.

Namun sayangnya fungsi tersebut tidak digarap di banyak perpustakaan di Indonesia.

Beberapa perpustakaan yang memang sudah menyadari dan ingin menjadi perpustakaan yang memiliki fungsi secara UTUH, sebagaimana fungsi keseluruhan perpustakaan itu sendiri, maka perpustakaan tersebut berbenah dengan menyediakan berbagai fasilitas untuk menyempurnakan fungsi perpustakaan sebagaimana yang seharusnya.

Bagi anda yang belum tahu secara lengkap fungsi perpustakaan, berikut ini kami rangkum beberapa fungsi perpustakaan secara utuh yang harus anda ketahui.

Fungsi Perpustakaan


Fungsi perpustakaan dari waktu ke waktu mungkin bisa saja akan mengalami perubahan, namun pada dasarnya fungsi perpustakaan adalah sebagai berikut :

#1. Fungsi Penyimpanan

gambar: flickr.com
Perpustakaan bertugas menyimpan koleksi (informasi) yang diterimanya. Tujuan ini nampak pada perpustakaan nasional. Perpustakaan nasional menyimpan semua terbitan tercetak yang diterbitkan di negara bersangkutan.

Sebagai contoh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia berfungsi menyimpan terbitan yang dihasilkan di Indonesia beserta terbitan tentang Indonesia yang diterbitkan di luar negeri.

Hal tersebut didasarkan pada Undang-undang Deposit yaitu UU No. 4 Tahun 1990 tentang Wajib Simpan Karya Cetak dan Rekam. Pelaksanaan UU ini diatur oleh PP No. 70 Tahun 1991 yang isinya menyatakan tentang kewajiban setiap penerbit, pencetak, dan produsen untuk mengirimkan contoh terbitan, baik cetak maupun terekam kepada Perpustakaan Nasional dan atau perpustakaan lain yang ditunjuk.

#2. Fungsi Edukatif (pendidikan)

  gambar: flickr

Perpustakaan berfungsi sebagai tempat belajar mandiri. Baik di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah, perpustakaan dapat dimanfaatkan untuk tempat belajar seumur hidup.

Di sekolah, perpustakaan dapat dimanfaatkan dalam proses belajar mengajar,  mengenalkan berbagai macam bacaan, dan,meningkatkan minat baca siswa agar gemar membaca.

Di luar sekolah, perpustakaan dapat dimanfaatkan oleh mereka yang sudah bekerja untuk menambah ilmu dan keterampilan mereka.
  

#3. Fungsi Penelitian 

gambar: flickr.com[/caption]


Perpustakaan memiliki fungsi penelitian, artinya sumber-sumber informasi  yang ada di perpustakaan dapat dijadikan bahan rujukan untuk melakukan penelitian. Umumnya fungsi ini terdapat di perpustakaan perguruan tinggi. Mereka memanfaatkan informasi yang ada di perpustakaan untuk keperluan penelitian ilmiah, seperti pembuatan makalah, skripsi, dan penelitian lainnya.

#4. Fungsi Pelestarian [Kultural]

gambar: flickr.com[/caption]
Perpustakaan menyimpan khasanah budaya bangsa serta meningkatkan nilai dan apresiasi budaya dari masyarakat sekitar perpustakaan melalui penyediaan bahan bacaan.

Selain itu perpustakaan juga menyediakan bahan pustaka baik cetak maupun elektronik tentang kebudayaan antarbangsa. Hal itu bertujuan agar masyarakat dapat melestarikan dan dapat mengikuti perkembangan peradaban manusia dari masa ke masa,

#5. Fungsi Informatif 

gambar: flickr.com[/caption]


Perpustakaan mempunyai fungsi informatif, artinya informasi yang dibutuhkan pengguna dapat dicari di perpustakaan. Setiap pengguna tentu membutuhkan informasi yang berbeda-beda.

Mungkin mereka membutuhkan informasi tentang obyek wisata, jadwal penerbangan, fasilitas kesehatan dan lain-lain. Oleh karena itu perpustakaan tidak hanya menyediakan informasi tentang koleksinya, melainkan juga informasi tentang lingkungan sekitarnya.

#6. Fungsi Rekreasi

Terlihat beberapa pengunjung sedang asyik bermain minigolf di library yang disediakan pihak perpustakaan untuk melengkapi fungsi perpustakaan sebagai tempat rekreasi. | gambar: flickr.com

Kalau di Indonesia ada perpustakaan menyediakan fasilitas rekreasi atau bermain, mungkin akan ada yang berkomentar, "bermain-main kok di perpustakaan, perpustakaan itu tempatnya untuk belajar!"

Iya kan?

Bahkan terkadang pustakawan juga kadang ada yang berfikir seperti itu. Padahal mereka lupa bahwa salah satu fungsi perpustakaan memang untuk tujuan rekreasi dan berwisata.

Perpustakaan mempunyai fungsi sebagai tempat dan sarana yang dapat memberikan hiburan pada penggunanya. Hal itu dilakukan dengan mendekorasi ruangan sebaik mungkin agar pengguna nyaman dalam memanfatkan perpustakaan.

Selain itu, saat ini perpustakaan juga dilengkapi dengan media audio visual (TV, VCD). Ada juga yang dilengkapi dengan warnet. Jadi, pengguna dapat memanfatkan perpustakaan secara maksimal tanpa harus berpindah tempat untuk mendapatkan semua informasi yang diperlukannya.

Fungsi-fungsi perpustakaan akan berubah seiring perkembangan zaman. Oleh karena itu perpustakaan harus meningkatkan peran dan fungsinya dengan berbagai usaha, antara lain dengan mengadakan seminar, diklat perpustakaan, workshop, lokakarya, dan lain-lain.

Diharapkan dengan berbagai usaha tersebut, perpustakaan akan mampu meningkatkan fungsinya dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Dan yang harus jadi catatan bahwa fungsi perpustakaan tidak melulu hanya untuk belajar saja namun juga bisa berfungsi sebagaimana ulasan diatas.

Jika ke-enam fungsi perpustakaan tersebut bisa difahami, maka saat membangun perpustakaan, maka sewajibnya harus dibangun dengan menyediakan fasilitas yang mampu menjalankan keenam fungsi perpustakaan tersebut.

Labels:

Monday, August 2, 2010

Strategi Peningkatan Mutu Pada Perpustakaan Perguruan Tinggi

Dunia Perpustakaan | Tulisan ini membahas terkait dengan Strategi Peningkatan Mutu Pada Perpustakaan Perguruan Tinggi, yang didalamnya dibahas mulai dengan strategi hingga soal pendanaan dan terkait lainya.
Salah satu aktivitas para mahasiswa di Perpustakaan | gambar: archdaily.com

Abstrak

Artikel ini membahas tentang bagaimana meningkatkan mutu perpustakaan perguruan tinggi. Mutu perpustakaan dapat diartikan sebagai sebuah pencapaian yang dilakukan melalui serangkaian proses, baik dalam kegiatan jangka pendek mauapun jangka panjang. Adapun serangkaian proses menciptakan mutu perpustakaan dapat di spesifikasikan dalam tiga hal, yaitu memperhatikan mutu input, mutu proses dan konteks serta mutu outcome.

Artinya perncapaian mutu dilihat secara input memiliki kesiapan mental, adanya proses layanan yang didukung dan disesuaikan dengan kebutuhan pengguna sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan outcomes yang berkualitas sebagai produk dari rangkaian sebelumnya.

Selanjutnya untuk meningkatkan mutu perpustakaan perguruan tinggi setidaknya memerlukan strategi khusus, dengan harapan agar tujuan yang direncanakan dapat tercapai secara efektif dan efisien.

Strategi khusus yang dimaksud antara lain: perencanaan strategis, penerapan prinsip learning organization, serta berorientasi kepada kepuasan dan kebutuhan pemustaka dengan mempersiapkan kualitas koleksi, SDM, layanan, komitmen petugas serta dukungan dana yang cukup.

Pendahuluan

Keberadaan perguruan tinggi sebagai salah satu ujung tombak peningkatan sumber daya manusia dibidang pendidikan adalah suatu kenyataan yang tidak terbantahkan. Perguruan tinggi sebagai salah satu institusi yang berperan memajukan pembangunan bangsa memerlukan sebuah sarana pusat informasi dan dokumentasi sebagai sumber belajar yang dikelola secara baik, mudah, cepat dan tepat.

Keberadaan perpustakaan sebagai salah satu pusat sumber belajar pada perguruan tinggi merupakan amanah Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 butir 20, yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Pada sisi yang sama, peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 42 juga dinyatakan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki antara lain buku dan sumber belajar lainnya.

Dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat dimaknai bahwa disetiap satuan pendidikan khususnya lembaga pendidikan tinggi baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat harus menyediakan pusat sumber belajar berupa perpustakaan sebagai pendukung proses pembelajaran sekaligus sebagai pusat informasi akademik.

Apalagi perpustakaan sebagai jantung sekaligus pusat sumber belajar pada perguruan tinggi mutlak diperlukan.

Dalam era informasi dan komunikasi, dimana antar negara yang satu dan yang lain seakan menjadi satu akibat begitu mudahnya transfer informasi dilakukan menuntut individu-individu masa kini dan institusi perguruan tinggi unggulan menerapkan strategi khusus dalam menghadapinya.

Berbagai macam strategi memang perlu dipakai, agar individu dan institusi perguruan tinggi tidak terlindas dan tertinggal jauh dibelakang individu-individu dan institusi perguruan tinggi lain.

Banyak stretegi khusus yang dilakukan, misalnya penekanan terhadap pengembangan research bagi seluruh civitas akademika terutama staf pengajarnya sebagai upaya menuju research university.

Ada yang menekankan pada pengembangan particular skills keterampilan-keterampilan khusus bagi mahasiswanya agar sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Bahkan terdapat pula beberapa perguruan tinggi berlevel best universities in the world yang menerapkan gabungan dua penekanan strategi akademis tersebut, meskipun secara umum mereka terkenal dengan research universities.

Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa satu prasyarat utama yang tidak bisa dikesampingkan oleh institusi perguruan tinggi dalam meningkatkan kualitas dan mutu akademik, serta menuju perguruan tinggi berkelas dunia world class university adalah pengembangan library and information center.

Meningkatkan kualitas pepustakaan dan pusat informasi perguruan tinggi adalah penting karena salah satu yang dipakai untuk mengukur apakah perguruan tinggi itu maju atau tidak yaitu mutu perpustakaan (USNEWS Edisi 2006).

Bersandar dari pernyataan tersebut, maka sebuah pertanyaan penting adalah bagaimana meningkatkan mutu perpustakaan perguruan tinggi dilihat dari aspek manajemen pengelolaan perpustakaan. Untuk itu, tulisan ini secara khusus akan membahas strategi peningkatan mutu perpustakaan perguruan tinggi dalam perspektif manajemen.

Proses Pencapaian Mutu Perpustakaan

Mutu perpustakaan pada hakikatnya memang tidak bisa dirumuskan secara mutlak, karena rumusannya akan tergantung pada seberapa luasnya perspektif yang hendak dijangkau dan siapa yang hendak merumuskannya.

Namun mutu perpustakaan sering kali dirumuskan sebagai akhir dari sebuah pencapaian yang dilakukan melalui serangkaian proses, baik dalam kegiatan jangka pendek maupun jangka panjang. Bahkan dalam proses pencapaian tersebut melibatkan berbagai unsur lainnya secara internal dan eksternal.

Serangkaian proses pencapaian mutu perpustakaan dapat dispesifikasikan dalam tigal hal, diantaranya:
Pertama, mutu input perpustakaan; meliputi kecakapan pustakawan, pengelola/kepala perpustakaan, staf layanan dan administrasi.

Kedua, mutu proses dan konteks; proses pencapaian mutu perpustakaan melalui mutu layanan, mutu koleksi dan mutu efektif serta efisiensi dalam proses penelusuran sebuah informasi, serta dukungan lembaga dan masyarakat.

Ketiga, mutu outcome; layanan perpustakaan yang prima, memuaskan dan koleksi yang bermutu serta sangat menunjang terhadap proses pembelajaran civitas akademikanya. Secara konsep, kesemua unsur tersebut saling berinteraksi dan ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya.

Ketiga dimensi penentu mutu perpustakaan secara fundamental merupakan suatu setting dari perpustakaan yang mencerminkan kualitas proses dan outcomes. Oleh karena itu rangkaian logis (logical sequence) proses pencapaian mutu perpustakaan adalah adanya input yang memiliki kesiapan mental, adanya proses layanan yang didukung dan disesuaikan dengan kebutuhan pengguna serta menghasilkan outcomes yang berkualitas sebagai produk dari rangkaian proses sebelumnya.

Apakah mutu perpustakaan bisa dirumuskan seperti itu? Jawabnya bisa. Mengingat bahwa mutu perpustakaan perguruan tinggi dipahami dan diinterpretasikan secara beragam.

Namun secara konkret, mutu perpustakaan dapat dipakai dan diinterpretasikan dengan beberapa hal;
Pertama, sebuah perpustakaan perguruan tinggi harus merencanakan dan memiliki tujuan yang jelas, pasti dan berpandangan secara luas.

Kedua adanya suatu pendekatan pengukuran atau pelaksanaan evaluasi secara rutin yang memungkinkan variabel penting dapat diidentifikasi, dipertimbangkan dan diukur.

Ketiga adanya suatu kerangka kerja untuk proses penyempurnaan, yang secara komprehensif meliputi komponen-komponen yang berkaitan dengan sistem perpustakaan dan memberikan peluang bagi perubahan.

Dengan demikian, maka sebagai langkah awal dalam meningkatkan mutu perpustakaan perguruan tinggi harus diupayakan suatu strategi agar tujuan-tujuan yang direncanakan dapat tercapai secara efektif dan efisien.

Beberapa strategi berikut kiranya dapat diaplikasikan yaitu: perencanaan strategis dengan pendekatan analisis SWOT, penerapan prinsip learning organization sebagai bentuk pembelajaran institusi sekaligus evaluasi menuju perubahan dan perbaikan, serta berorientasi kepada kepuasan dan kebutuhan pemustaka dengan mempersiapkan kualitas koleksi, kualitas SDM, kualitas layanan, komitmen petugas serta dukungan dana yang cukup.

Perencanaan Strategis

Perencanaan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk membuat masa depan yang diinginkan lebih baik dari masa sekarang. Menurut Bryson perencanaan memiliki tiga tahapan: pertama, pemikiran strategis untuk menemukan aspek visi, misi, strategi yang akan digunakan.

Kedua, perencanaan jangka panjang untuk mengkombinasikan pemikiran intuitif dan pemikiran analitis sehingga menghasilkan proyeksi pemikiran masa depan dalam upaya mewujudkan visi, misi dan strategi. Ketiga, tahap perencanaan taktis yang merupakan langkah operasional sehari-hari dari suatu organisasi (Bryson. 1998: 98).

Setelah selesai analisa visi, misi maupun mandat, langkah selanjutnya menurut Bryson adalah analisa SWOT untuk menganalisa lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal dapat dikelompokan menjadi:
  1. sumber daya yang terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya fisik, sumber daya dana, dan sumber daya teknologi.
  2. proses,
  3. output. Sedangkan lingkungan eksternal adalah perubahan lingkungan dari sisi sosial, ekonomi, politik, maupun teknologi dan lingkungan pelanggan, pesaing, dan kerjasama (Bryson, 1998: 95-103).
Analisis SWOT merupakan instrumen perencanaan strategi yang biasa dipergunakan pada dunia pendidikan, termasuk juga perpustakaan didalamnya.

Dengan menganalisis kekuatan dan kelemahan perpustakan, akan didapatkan peluang untuk mengatasi ancaman dan meminimalkan kelemahan. Dalam hal ini sekedar sebagai pandangan, untuk kasus perpustakaan perguruan tinggi misalnya, faktor kekuatan, kelemahan dan peluang bisa digambarkan antara lain sebagai berikut:

a. Kekuatan
  • Kepemilikan koleksi yang banyak
  • Sistem otomasi perpustakaan (dapat diperoleh secara gratis, seperti : program Senayan).
  • Pustakawan dan pengelola berijazah ilmu perpustakaan dan informasi.
b. Kelemahan
  • Kualitas pelayanan belum optimal
  • Minimnya upaya pemasaran jasa perpustakaan.
  • Anggaran perpustakaan kurang dari standar (kurang dari 5%) dari anggaran perguruan tinggi.
  • Rendahnya kemampuan berbahasa asing bagi pustakawan
  • Rendahnya kemampuan menulis dan meneliti bagi pustakawan
  • Respon pada kebutuhan user masih rendah
  • Sarana dan prasarana yang terbatas.
c. Tantangan
  • Pimpinan dan pengambil kebijakan yang tidak memahami pentingnya perpustakaan
  • Jumlah anggota yang banyak, yakni seluruh civitas akademika perguruan tinggi yang bersangkutan.
  • Petugas layanan yang berpenampilan kaku, serta tidak ramah.
  • Beragamnya pemustaka yang terdiri atas mahasiswa, dosen, peneliti, guru besar dan sebagainya.
d. Peluang
  • Dana bantuan dari pemerintah dan luar negeri
  • Melimpahnya jumlah anggota perpustakaan perguruan tinggi
  • Pustakawan yang berpengalaman dan berijazah ilmu perpustakaan
  • Kerja sama dengan perpustakaan lain, atau pusat sumber belajar, pusat penjaminan mutu akademik dilingkungan kampus.
  • Kepemilikan sistem otomasi perpustakaan secara online.
  • Adanya pusat badan kerja sama (Pusbangker) pada tiap-tiap perguruan tinggi sebagai fasilitator dalam melakukan hubungan kerjasama antar pusat informasi, dokumentasi dan perpustakaan.
Kelemahan-kelemahan yang secara umum terdapat pada perpustakaan perguruan tinggi haruslah segera diupayakan jalan keluarnya. Upaya memasarkan produk perpustakaan perguruan tinggi bisa lebih gencar dilakukan dengan cara yang lebih kreatif dan menarik.

Pencarian dana juga harus dilakukan dengan lebih kreatif tidak semata-mata mengandalkan bantuan dari pemerintah. Pelayanan lebih ditingkatkan disemua segmen dan lini. Koleksi yang ada lebih disesuaikan dengan kebutuhan pemustaka utama atau civitas akademika.

Kemampuan meneliti, menulis dan berbahasa asing dapat ditingkatkan dengan diklat ataupun kursus jurnalistik dan bahasa asing. Serta keterbatasan sarana dan prasarana diupayakan dengan mencari bantuan hibah, dan sebagainya.

Peluang yang ada diperpustakaan perguruan tinggi hendaknya dioptimalkan untuk mengatasi kelemahan. Apa yang menjadi penyebab meningkatnya animo mahasiswa ataupun masyarakat berkunjung dan mempergunakan jasa perpustakaan bisa dijadikan bahan evaluasi.

Peluang dana bantuan dan kerjasama dengan lembaga lain baik dalam maupun luar negeri harus diapresiasi dan dimanfaatkan se-efektif mungkin. Kekuatan yang sudah ada di perpustakaan perguruan tinggi haruslah dipertahankan bahkan ditingkatkan lagi. Tantangan juga harus diantisipasi dengan berbagai usaha.

Learning Organization

Perpustakaan perguruan tinggi haruslah mau belajar terus menerus berkelanjutan dan tidak takut dengan perubahan dan persaingan, seperti kata pepatah If you don?t change you die. Oleh karena itu dibutuhkan kejelian dalam mengelola perpustakaan perguruan tinggi.

Peluang harus diditangkap dengan cermat, strategi harus dicanangkan, dan promosi perpustakaan harus dilakukan dengan cepat dan teliti. Untuk itu institusi perpustakaan perguruan tinggi harus dikondisikan untuk siap menghadapi berbagai tantangan.

Tantangan dijadikan sebuah peluang. Inovasi harus terus berjalan karena belajar atau learning bagi suatu institusi adalah syarat mutlak untuk mempertahankan eksistensi dan menaikan mutu organisasi perpustakaan.

Peter M. Senge berteori tentang disiplin kelima (The Fifth Discipline), yaitu:
  1. Pertama, keahlian pribadi (personal mastery), yaitu belajar untuk meningkatkan kualitas pribadi yang mendorong semua anggota untuk mengembangkan diri mereka ke arah sasaran dan tujuan yang mereka pilih serta senantiasa menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan (change).
  2. Kedua, model mental, yang dilakukan dengan terus melakukan perenungan, mengklarifikasi, memperbaiki gambaran dan senantiasa menyenangkan pihak lain.
  3. Ketiga, membangun visi bersama, yaitu komitmen dalam kelompok tentang masa depan yang direncanakan bersama.
  4. Keempat, learning organization, yaitu mengubah keahlian berkata dan berfikir secara kolektif sehingga kelompok manusia dapat lebih mengembangkan kecerdasan dan kemampuannya.
  5. Kelima, berfikir sistemik (system thinking), yaitu suatu kekuatan berfikir untuk menguraikan atau memahami kekuatan antar hubungan yang membentuk perilaku sistem (Peter M Senge. 2002: 10-11).
Para ahli manajemen modern melihat learning organization sebagai pengorganisasian kreativitas, kecakapan, dan transfer pengetahuan yang selanjutnya diharapkan mampu memperbaiki perilaku sebagai penjabaran dari wawasan dan pengetahuan yang baru serta dapat membawa perubahan perilaku yang akan menuntun pada perbaikan dan peningkatan kinerja

(Slater, S.F.&Narver J.C. 1995: 63-74). Dalam hal ini perpustakaan perguruan tinggi harus melakukan perubahan paradigama dan cultural transformation yakni menjadi center information yang prima.

Berorientasi Pengguna

Dalam rangka menciptakan keunggulan bersaing dalam strategi bersaing, David Osborne dan Ted Gaebler menandaskan bahwa kebiasaan yang harus dikembangkan pada pelanggan adalah:

(a) selalu tepat waktu. (b) selalu menindaklanjuti janji. (c) tidak mengumbar janji. (d) selalu berusaha berbuat baik lagi. (e) memberikan pilihan. (f) memperlakukan pelanggan dengan baik, serta (g) kontak langsung secara ramah

(O?hara B.S.&Bolesand Johnston, M.W. 1991: 1). Konsep berorientasi kepada pelanggan menurut Lovelock, Wirtz dan Keh harus senantiasa memberikan informasi kepada pelanggan, memberikan penawaran yang terbaik, dan mampu menyelesaikan permasalahan pelanggan yang berhubungan dengan pelayanan (Christoper Lovelock dkk. 2002 :157).

Untuk mengetahui tingkat kepuasan pengguna perpustakaan bisa melakukan survey dan mendata semua keluhan yang dirasakan pelanggan. Masukan-masukan dari pelanggan juga bisa dilakukan dengan survey. Menurut prinsip-prinsip Total Quality Management, definisi kualitas yang paling bermakna adalah persepsi pelanggan mengenai kualitas.

Menurut Sallis tujuan dari setiap anggota dalam manajemen ini adalah menciptakan budaya mutu untuk kepuasan pelanggannya.

Sedangkan Peter dan Warman menyatakan bahwa dalam Total Quality Management budaya organisasi yang didukung dan ditentukan oleh pencapaian kepuasan pelanggan secara terus menerus melalui sistem terintegrasi yang terdiri dari bermacam alat, teknik dan pelatihan-pelatihan

(Husaini Usman, 2006: 462-467). Jadi esensi TQM ialah cara pengorganisasian dan keterlibatan seluruh anggota organisasi, yakni setiap bagian, setiap aktifitas, setiap orang di semua level yang memiliki seperangkat prinsip, seperangkat komponen, seperangkat keuntungan dari Total Quality Management.

Diantara prinsip dari TQM adalah: mengutamakan kepuasan pelanggan, respek terhadap setiap orang, manajemen berdasarkan fakta dan perbaikan secara terus menerus (Lasa HS. 2005: 24). Sedangkan Andrew Taylor & Frances Hill mengungkapkan bahwa prinsip TQM mencakup antara lain:

TQM membutuhkan komitmen dan keterlibatan semua anggota organisasi secara terus menerus, TQM membutuhkan sistem informasi yang akurat, makna pelanggan disini adalah pelanggan internal dan eksternal serta mendukung pentingnya hubungan internal para pegawai (Husaini Usman. 2006: 43-49).

Dari seperangkat prinsip di atas, TQM memiliki keuntungan:
  1. Pertama, memfokuskan pada pentingnya tim antar bidang dengan kombinasi staf akademik dan administrasi.
  2. Kedua, menyokong perbaikan pengorganisasian secara berkelanjutan.
  3. Ketiga, meningkatkan tingkat kepuasan eksternal pelanggan.
  4. Keempat, Menghemat biaya operasional secara nyata.
  5. Kelima, memperbaiki komitmen, moral, dan motivasi pegawai.
  6. Keenam, sebuah cara baru dalam memenej organisasi yang mengunggulkan tujuan kesamaan yang luas, akuntabel, dan keterlibatan seluruh anggota organisasi ((Husaini Usman. 2006: 45).
Misi utama manajemen ini adalah kepuasan pelanggan. Semua organisasi yang ingin mempertahankan keberadaannya harus berobsesi pada mutu. Mutu harus sesuai dengan yang dipersyaratkan pelanggan. Mutu adalah keinginan pelanggan bukan keinginan institusi perpustakaan.

Tanpa layanan dan penyediaan informasi yang bermutu serta sesuai dengan keinginan pemustaka, maka perpustakaan perguruan tinggi boleh jadi hanya tinggal namanya saja.

Jadi institusi perpustakaan perguruan tinggi harus mempunyai mekanisme tentang tempat yang umumnya menentukan kebutuhan dan persepsi pemustaka. Kemudian institusi perpustakaan perguruan tinggi harus mampu merespon informasi ini dalam satu kerangka waktu (time-frime) yang tepat.

Karena pemustaka adalah raja yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Meskipun suatu perpustakaan perguruan tinggi sudah berfokus kepada pemustaka atau pengguna, hal itu bukan berarti institusi tersebut tidak membutuhkan strategi yang lengkap untuk menemukan persyaratan yang diinginkan pelanggan.

Dalam hal ini perpustakaan perguruan tinggi akan berhadapan dengan tantangan yang lebih berat dalam berhubungan dengan pemustaka eksternal karena harapan mereka bermacam-macam, dari latar belakang dan kepentingan yang berbeda, bisa jadi malah keinginan mereka saling berbenturan satu dengan yang lainnya.

Oleh karena itu pendekatan strategis harus dilakukan. Akan tetapi juga bukan berarti pemustaka internal dilupakan karena setiap orang dalam suatu perpustakaan bukan hanya seorang penyalur (suplier) tetapi juga seorang pemustaka bagi yang lainnya serta harus tetap diperhatikan.

Kegiatan mencari akar persoalan, dan memilih solusinya kemudian mengimplementasikan perbaikan-perbaikan dilakukan oleh semua pustakawan ini biasanya didukung oleh tim pengembangan yang memfokuskan kepada tujuan perpustakaan.

TQM mempunyai banyak arti, terutama berkaitan dengan perbaikan institusi perpustakaan dengan memfokuskan kepada pelanggan berupa pemustaka yang dicapai melalui pengelompokan pustakawan dan staf perpustakaan dalam berbagai tingkatan di struktur organisasi perpustakaan.

TQM berpandangan bahwa semua pustakawan dan staf perpustakaan berdampak pada kualitas layanan dan penyediaan informasi yang disajikan. Sistem dan proses dari perpustakaan dianggap sama tingginya dengan informasi yang disediakan, layanan yang disajikan dan output-nya.

Agar pemustaka merasa puas, perpustakaan perguruan tinggi bekerja keras menjamin mutu layanan dan penyediaan informasi setidaknya dalam tiga hal, yaitu pustakawan, program kerja dan proses (fasilitas atau sarana dan prasarana penunjang kegiatan layanan, penyediaan informasi berbasis TI, sarana belajar bagi pemustaka yang nyaman dan sebagainya).

Pustakawan harus mempunyai kompetensi yang kuat dibidang perpustakaan dan pengembangannya. Program kerja harus disesuaikan dengan kebutuhan pemustaka, khususnya menunjang dan mendukung kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Kualitas Pelayanan

Parasuraman, et.al. dalam Fitzsimmons menyatakan bahwa kualitas pelayanan suatu organisasi bisa diukur dengan ukuran-ukuran yang baku, yaitu antara lain:
  • – Tangibles, yaitu bukti fisik kemampuan suatu organisasi dalam menunjukan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan kemampuan suatu organisasi dalam sarana dan prasarana fisik dan keadaan lingkungan menjadi bukti nyata pelayanan yang meliputi fasilitas fisik seperti gedung, infrastruktur, sarana dan prasarana lainnya.
  • – Reliabilitas, atau keandalan organisasi dalam memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja sesuai dengan yang diharapkan pelanggan seperti tepat waktu, simpatik, tidak berbuat kesalahan, dan sebagainya.
  • – Responsiveness, yaitu ketanggapan untuk memberikan pelayanan yang cepat dan tepat pada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas.
  • – Assurance, atau jaminan dan kepastian berupa pengetahuan maupun sikap sopan santun, dan menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Komponennya yaitu terdiri dari komunikasi, kredibilitas, keamanan, kompetensi dan sopan santun.
  • – Emphaty, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual yang diberikan kepada konsumen sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka (James A. Fitzsimmons. 2001: 16).
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Gronroos, pada tahun 1990 menunjukan bahwa setidaknya terdapat enam kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas suatu pelayanan, yaitu:
  1. Pertama, profesionalisme dan keterampilan karyawan.
  2. Kedua, sikap dan perilaku.
  3. Ketiga, fleksibilitas dan kelenturan.
  4. Keempat, kehandalan dan kepercayaan.
  5. Kelima, pemulihan atau recovery, dan keenam, reputasi dan kredibilitas (Johnson Robert. 1995: 55).
Rogers menyatakan bahwa, faktor kunci pembentuk kapabilitas internal organisasi, dalam hal pelayanan jasa adalah sumber daya manusia yang terlibat langsung dalam pelayanan kepada pelanggan (Rogers, et.al. 1994: 14).

Melihat beberapa pendapat di atas, maka dalam hal ini pustakawan adalah orang yang berperan sebagai frontliners yang melakukan kegiatan pelayanan langsung kepada pemustaka.

Peran kontributif pustakawan sangat menunjang keberhasilan pembelajaran pemustaka, khususnya dalam penelusuran informasi serta menunjukan alternatif jawaban dan solusi melalui berbagai koleksi yang ada.

1. Pustakawan

Penyelenggaraan perpustakaan perguruan tinggi yang baik tidak mungkin terlaksana jika tidak tersedia pustakawan yang memiliki perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) yang baik guna membantu suksesnya pelaksanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Artinya pustakawan yang profesional adalah pustakawan yang melaksanakan tugas kepustakawanannya dengan kemampuan tinggi (high proficiency) serta dituntut mempunyai keragaman kecakapan (various cempetencies) yang bersifat psikologis yang meliputi tiga dimensi, yaitu cognitive competence (kecakapan ranah cipta), affective competence (kecakapan ranah rasa) dan psychomotorik competence (kecakapan ranah karsa) (Dreher. 2001: 30).

Strategi peningkatan mutu pustakawan pada perpustakaan perguruan tinggi bisa dilakukan dengan:
  • Rekruitmen calon pustakawan yang berijazah ilmu perpustakaan dan informasi.
  • Memiliki keterampilan komputer
  • Pemberian izin studi lanjut S2 dan S3 di dalam dan luar negeri.
  • Pelatihan pustakawan yang bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional
  • Kunjungan atau studi banding ke perpustakaan perguruan tinggi yang lebih besar dan maju baik dalam maupun luar negeri.
  • Peningkatan kompetensi berbahasa asing, minimalnya bahasa inggris.
  • Memperhitungkan rasio pustakawan dan jumlah pemustaka yang dilayani.
  • Peningkatan jumlah dan kualitas terbitan ilmiah dan penelitian bagi pustakawan.
Perpustakaan perguruan tinggi sebagai organisasi jasa nirlaba yang bertugas membantu pelaksanaan Tri Dharma Perguruan tinggi sudah seharusnya menyediakan sumber daya manusia yang bekerja secara profesional.

2. Staf Perpustakaan

Selain pustakawan, perpustakaan perguruan tinggi juga memerlukan tenaga karyawan atau staf perpustakaan non fungsional yang profesional dan berkualitas.

Djoyonegoro dan Suryadi mengemukakan beberapa ciri individu yang berkualitas, yaitu apabila memiliki sikap, perilaku, wawasan, kemampuan, keahlian, serta keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan berbagai bidang dalam sektor pembangunan (Djoyonegoro&Suryadi. 1995: 32).

Kompetensi karyawan atau staf perpustakaan perguruan tinggi perlu ditingkatkan agar sesuai dengan tuntutan tugas dimasa depan. Oleh karena itu jika ada rekruitmen karyawan atau staf perpustakaan perlu antisipasi dengan memprediksi berbagai kecenderungan perkembangan dan perubahan.

Jabatan dan tugas yang menuntut pengembangan pengetahuan dan teknologi, perlu diimbangi dengan kemampuan SDM yang berkualitas. Adapun kompetensi karyawan atau staf perpustakaan ditingkatkan lagi kualitasnya dengan diklat atau upgrade.

3. Pimpinan/Kepala Perpustakaan

Peran kepemimpinan dalam membawa keberhasilan suatu perpustakaan perguruan tinggi sangatlah menentukan. Kualitas dan karakteristik pimpinan dalam lingkup akademik harus mendorong kepada tercapainya tujuan perpustakaan.

Menurut Ramsden, karakteristik pimpinan atau kepala diharapkan mempunyai visi, imajinasi, integritas akademik, inspirasi, jaringan kerja, percaya diri, dan kolaborasi (P. Ramsden, tt.: 82). Selain aspek di atas, untuk tercapainya keberhasilan perpustakaan perguruan tinggi diperlukan pula gaya kepemimpinan yang tepat yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.

Disisi lain seorang kepala perpustakaan perguruan tinggi harus mempunyai pandangan kedepan (visioner) dan mampu menciptakan kerjasama kemitraan, saling mendukung dan sharing.

Untuk mengetahui lebih pasti pelayanan seperti apa yang harus diberikan kepada pemustaka maka setidaknya perpustakaan perguruan tinggi menggunakan metode atau pendekatan yang bisa mengukur secara langsung aspek-aspek:
  1. Pertama,  kualitas pelayanan yang diharapkan pemustaka.
  2. Kedua, pelayanan yang diharapkan pemustaka.
  3. Ketiga, tingkat kesenjangan yang terjadi antara harapan dan kenyataan yang dihadapi pemustaka.
Pengukuran kepuasan pelanggan harus dilakukan secara berkala dan berkesinambungan, karena dari waktu ke waktu dapat terjadi pergeseran dari faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pemustaka.

Kemampuan mendeteksi secara lebih dini perubahan tersebut merupakan keunggulan kompetitif yang harus diperjuangkan oleh perpustakaan perguruan tinggi. Akan tetapi pelayanan yang berkualitas bukanlah akhir segalanya, masih ada hal yang juga sangat penting untuk diupayakan, yaitu loyalitas pemustaka.

4. Loyalitas Pemustaka

Pemasaran adalah perang. Fakta yang mendukung pernyataan tersebut adalah makin maraknya aktifitas mata-mata (khususnya diperusahaan-perusahaan berskala besar) dan informasi pesaing (marketing intelligence).

Hermawan Kertajaya menyatakan bahwa di era of choices saat ini kepuasan hanyalah proses, bukan hasil akhir. Moving target dari setiap the marketing company adalah loyalitas pelanggan (Hermawan Kertajaya, et.al., 2002: 43).

Griffin Jill menyatakan bahwa tingkat loyalitas pelanggan dapat dikelompokan dalam tujuh tahapan, yaitu suspect, prospect, disqualified prospect, first time customer, repeat customers, clients, advocates (Griffin Jill. 1995: 34-35). Untuk konteks perpustakaan perguruan tinggi bisa dijelaskan sebagai berikut:
  1. Suspects, meliputi semua mahasiswa baru sebagai calon yang akan mendaftar sebagai anggota perpustakaan. Perpustakaan perguruan tinggi menyebut sebagai suspect karena yakin mereka akan menjadi anggota dan memanfaatkan sumber-sumber informasi perpustakaan. Namun belum tahu apapun mengenai perpustakaan ataupun jasa yang ditawarkan.
  2. Prospect adalah orang-orang yang memiliki kebutuhan akan informasi ataupun jasa tertentu dan mempunyai kemampuan untuk memperolehnya. Meskipun mereka belum melakukan transaksi dan proses pencarian informasi, mereka telah mengetahui keberadaan perpustakaan di kampusnya dan jenis jasa yang ditawarkan, karena rekomendasi dari orang lain.
  3. Disqualified prospect, yaitu prospect yang telah mengetahui keberadaan barang atau jasa tertentu, tetapi mereka tidak mempunyai kebutuhan akan hal itu, atau tidak mempunyai kemampuan untuk memperolehnya.
  4. First time customers, ialah mahasiswa baru yang mendaftar untuk pertama kalinya. Mereka menjadi pemustaka atau pengguna yang baru.
  5. Repeat customers, yaitu mahasiswa atau pemustaka yang telah melakukan registrasi pada perpustakaan sebanyak dua kali atau lebih.
  6. Clients adalah pemustaka yang mampu memperoleh semua jasa yang ditawarkan dan yang mereka butuhkan. Hubungan dengan pemustaka ini sudah kuat dan berlangsung lama, yang membuat mereka tidak terpengaruh oleh daya tarik perpustakaan lain.
  7. Advocates adalah mereka yang mampu memperoleh seluruh informasi jasa yang ditawarkan. Mereka mendorong teman-temannya untuk mempergunakan dan memperoleh jasa dan informasi perpustakaan tersebut. Ia membicarakan, melakukan pemasaran dan membawa pengguna untuk menjadi anggota perpustakaan.
Melihat tahapan pengelompokan loyalitas pelanggan di atas, maka strategi yang perlu dilakukan perpustakaan perguruan tinggi dalam hal loyalitas adalah mengupayakan pemustaka:

Pertama, dari suspect menjadi qualified prospect. Adapun hal yang perlu dilakukan oleh perpustakaan perguruan tinggi adalah menjawab pertanyaan: siapa sasaran perpustakaan perguruan tinggi?, bagaimana memposisikan produk berupa informasi dan jasa perpustakaan?, serta bagaimana menyaring prospect yang potensial?

Kedua, qualified prospect menjadi fist time customers. Beberapa langkah yang perlu dilakukan perpustakaan perguruan tinggi ialah: mendengarkan segala keluhan pemustaka, mendiagnosis masalah yang dialami pemustaka, menawarkan solusi bagi permasalahan pemustaka, serta bagaimana belajar dari kegagalan masa lalu.

Ketiga, dari repeat customers menjadi loyal clients. Strategi yang perlu dirumuskan ialah: 1) Menset pengguna, sehingga mengetahui siapa pengguna terbesar, jasa informasi dan jenis koleksi apa yang mereka perlukan, dan mengapa mereka loyal. 2) Membuat hambatan agar pengguna tidak berpindah. Hambatan tersebut bisa berupa hambatan fisik, psikologis, maupun ekonomis. 3) Melatih dan memotivasi pustakawan dan staf perpustakaan untuk loyal. 4) Promosi yang mempunyai nilai tambah untuk perpustakaan perguruan tinggi.

Perpustakaan perguruan tinggi harus senantiasa membangun keunggulan kompetitifnya dengan upaya-upaya yang kreatif dan inovatif sehingga akan menjadi pilihan bagi banyak pemustaka yang akhirnya mereka diharapkan menjadi loyal.

Oleh karena itu, perpustakaan perguruan tinggi perlu melakukan identifikasi prioritas kepentingan dan keinginan pemustaka secara tepat. Di era persaingan bebas ini customer satisfaction lebih merupakan suatu proses, bukan tujuan akhir.

Sebab moving target dari Perpustakaan Perguruan tinggi adalah customer loyalty. Maka perpustakaan perguruan tinggi sepatutnya menyusun kerangka berfikir yang kuat untuk membangun pemustaka yang loyal.

5. Bersikap Enterpreneurship

Semua upaya dalam strategi yang sudah dikemukakan sebelumnya akan lebih mantap apabila semua yang terlibat dalam pengelolaan perpustakaan perguruan tinggi mampu bersikap enterpreneurship.

Sebuah sikap yang biasanya hanya dipakai didunia usaha ini sangat mendukung untuk diterapkan sebagai upaya memajukan dan meningkatkan daya saing perpustakaan perguruan tinggi yang bersangkutan.

Adapun sikap yang berhubungan dengan seorang enterpreneur di bagi dalam tiga kemampuan, yaitu:

kemampuan berinovasi dan terbuka dengan hal-hal yang baru,  sikap proaktif, berwawasan kedepan sehingga menjadi penggerak pertama, serta berani mengambil resiko (Sheila Slauter&Lary L. Laslie, 1997: 178).

Sikap dan jiwa enterpreneurship harus dimiliki semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan perpustakaan perguruan tinggi. Spirit enterpreneurship sangat dibutuhkan dalam kondisi perubahan lingkungan yang cepat dan serba tidak menentu seperti saat ini.

Pendanaan

Dukungan dana untuk sektor pengembangan perpustakaan perguruan tinggi sangatlah penting. Tampak jelas bahwa sebagian sumber dana pengelolaan dan pengembangan perpustakaan perguruan tinggi berasal dari mahasiswa (pendaftaran anggota, wakaf, hadiah, hibah dan sebagainya).

Adapun anggaran dana dari pemerintah bukan rahasia lagi jumlahnya, yaitu belum setara dengan alokasi standar pengembangan dan pengelolaan perpustakaan (5% dari anggaran operasional perguruan tinggi tersebut).

Oleh karena itu dalam hal pendanaan, perpustakaan perguruan tinggi memang harus lebih kreatif. Artinya perpustakaan perguruan tinggi harus banyak bekerja sama dengan banyak kalangan untuk memenuhi kekurangan dana.

Misalnya mengembangkan kewirausahaan (entrepreneurial) dan kemampuan mencari sumber-sumber penerimaan.

Komitmen

Untuk mencapai keberhasilan tujuan organisasi, berbagai strategi di atas masih memerlukan komitmen yang kuat dari pustakawan, kepala perpustakaan, maupun staf atau karyawan perpustakaan. Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel menyatakan berdasarkan teori tujuan (goal theory), komitmen berpengaruh secara langsung terhadap pencapaian tujuan maupun efektivitasnya (Wayne K. Hoy and Cecil G. Miskel. 1999: 186).

Kenneth Schatz dan Linda Schatz menyatakan sebagian besar keberhasilan suatu perusahaan disebabkan adanya komitmen dari orang-orang yang ada di perusahaan tersebut (companies attribute largerly their success largerly to the commitment of their people) (Kenneth Schatz&Linda Schatz. 1986: 134).

Semakin kuat komitmen orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan perpustakaan maka akan semakin lapang dan mudah aplikasi serta pencapaian mutu sebuah perpustakaan perguruan tinggi, begitu juga sebaliknya.

Kesimpulan

Mutu perpustakaan merupakan sebuah pencapaian yang dilakukan melalui serangkaian proses baik dalam kegiatan jangka pendek maupun jangka panjang.

Bahkan dalam proses pencapaian tersebut melibatkan berbagai unsur lainnya secara internal dan eksternal. Dilihat dari dimensi proses pencapaian mutu, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan oleh sebuah perpustakaan perguruan tinggi, yaitu: mutu input, mutu proses dan konteks, serta mutu outcome.

Pada sisi lain, perpustakaan dalam meningkatkan mutu layanan memerlukan strategi khusus, diantaranya adalah:

pertama, perencanaan sebagai sebuah tindakan yang dilakukan untuk membuat masa depan yang diinginkan lebih baik dari masa sekarang.

Kedua, learning organization sebagai prinsip untuk tetap belajar secara terus menerus berkelanjutan serta tidak takut dengan perubahan dan persaingan.

Serta ketiga, senantiasa berorientasi terhadap kebutuhan pengguna melalui pendekatan TQM dengan berbekal menyediakan SDM, koleksi, dan layanan yang berkualityas serta didukung oleh komitmen petugas dan dana yang cukup.

Dengan upaya dan usaha tersebut, maka perpustakaan perguruan tinggi akan tampak bermutu dan melakukan perubahan kedepan guna mensukseskan kegiatan pendidikan dan penelitian di tiap-tiap perguruan tinggi.

Sumber Rujukan

  • Bryson, John M.  1998. Strategic Planning For Public and Nonprofit organizations. San Fransisco: Jossey Bass.
  • Djoyonegoro dan Suryadi. 1995. Peningkatan Kualitas SDM untuk Pembangunan. Jakarta: Depdikbud.
  • Dreher. 2001. Human Resource Strategy, A Behavioral Perspective for the General Manager. Mc Graww-Hill international Edition.
  • Fitzsimmons, James A. 2001. Service Management: Operations, Strategy, and Information Technology. McGraww-Hill International Edition.
  • Hoy, Wayne K.  and Miskel, Cecil G. 1999. Educational Administration. New York: Mc Graww Hill Inc.
  • Jill, Griffin. 1995. Customer Loyalty, How to Earn; How to Keep It. Lexington Books, an Imprint of the Free Press.
  • Kertajaya, Hermawan et.al. 2002. Mark Plus on Strategy. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Lasa HS. 2005. Manajemen Perpustakaan. Yogyakarta: Gama Media.
  • Lovelock, Christoper., Wirtz, Jochen., and Keh, Hean Tat. 2002. Service Marketing in Asia: Managing People, Technology and Strategy.
  • O?hara B.S., Johnston, Bolesand M.W. 1991. The Influence of Personal Variables on Salesperson Selling Orientation. Journal of Perdonal Selling and Sales Management. Vol. XI No. 1.
  • P. Ramsden. tt. Leading Academics. Buckingham: Society for Research Into Higher Education and the Open University Press.
  • Robert, Johnson. 1995. The Determinant of Service Quality: Satisfies and Dissatisfiers. International Journal of Service Industry Management. Vol.6, no. 5, h. 55.
  • Rogers, et.al. 1994. Increasing Job Satisfaction of Service Personnel. The journal of Service Marketing. Vol. 8, no. 1, h. 14.
  • Schatz, Kenneth and Schatz, Linda. 1986. Managing by Influence. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs.
  • Senge, Peter M . 2002. The Fifth Discipline Book. Batam: Interaksa.
  • Slater, S.F. and Narver J.C. 1995. Market Orientation dan the Learning Organization. Journal of Marketing. Vol. 59 (July), h. 63-74.
  • Slauter, Sheila and Laslie, Lary L. 1997. Academic Capitalism: Politics, Policies and The Enterpreneurial University. London: The Johnson Hopkins University Press.
  • Usman, Husaini. 2006. Manajemen, Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.
Penulis: Safrudin Aziz [sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 12 No. 2 - Agustus 2010]

Labels: ,

Penulisan Buku Kepustakawanan

Dunia Perpustakaan | Penulisan Buku Kepustakawanan | Permasalahan terkait budaya menulis, bukan hanya masalah di bidang referensi untuk kepustakawanan.

Hampir semua bidang dan profesi di Indonesia, memiliki maslaah yang sama terkait minimnya budaya menulis.

Terlalu jauh mungkin, jika kita ngomongin terkait dengan budaya menu8lis, karena untuk urusan MEMBACA saja, di Indoensia masih rendah, bahkan di kalangan Pustakawan saja, yang setiap harinya menjaga dan mengelola buku, tidak semua pustakawan suka membaca, apalagi menulis?

(Baca juga: Minat Baca Rendah, Tapi Cerewet Banget! Itulah Netizen Indonesia?)

Untuk memotivasi agar para pustakawan mau rajin menulis, mungkin ada baiknya para pustakawan, maupun calon pustakawan (mahasiswa di Jurusan Ilmu Perpustakaan) di seluruh Indonesia, bisa membaca tulisan dari Lasa HS ini.

Abstrak

Buku sebagai media rekam, pelestari, dan pengembang ilmu pengetahuan dan bidang tertentu berperan besar dalam pengembangan suatu bidang atau profesi. Tinggi rendahnya penerbitan buku juga merupakan salah satu indikator maju mundurnya suatu bangsa dalam ilmu pengetahuan dan bidang tertentu.

Bidang kepustakawanan berkaitan erat dengan pengembangan perbukuan, karena bidang ini mengkaji rekaman kekayaan intelektual dan artistik umat manusia dari waktu ke waktu. Sedangkan pengembangan bidang kepustakawanan tidak secepat pengembangan bidang lain. Hal ini salah satu penyebabnya adalah minimnya penerbitan buku kepustakawanan.

Rendahnya penerbitan buku termasuk bidang kepustakawanan antara lain disebabkan kurang motivasi, orientasi materi,berbagai  ketakutan, kurang percaya diri, dan terjebak rutinitas. Padahal para pustakawan dan mereka yang bekerja di perpustakaan memiliki banyak kesempatan untuk melakukan penulisan. Mereka setiap hari berhadapan dengan sumber informasi, fasilitas akses informasi, dan bergaul dengan banyak kalangan.

Untuk itu perlu adanya usaha-usaha memotivasi, dorongan, bantuan, dan perhatian serius dalam penulisan buku kepustakawanan, Dengan usaha-usaha ini diharapkan meningkat penerbitan buku kepustakawanan. Hal ini akan lebih meningkatkan usaha-usaha pengembangan ilmu perpustakaan dan profesi kepustakawanan.

Pendahuluan

Buku dalam bentuk cetak maupun elektronik berfungsi sebagai media penyimpan, pengembang, dan penyebar ilmu pengetahuan. Pemikiran ilmuwan tidak akan hilang berabad lamanya apabila direkam/dicatat. Melalui buku, ilmu pengetahuan disusun secara sistematis untuk mempermudah pemahaman dan pengembangannya. Kemudian ilmu pengetahuan itu menyebar lebih luas dan  mampu menembus dimensi jaman, generasi, geografi, dan politik.

Pustakawan sebagai tenaga profesional memiliki tanggung jawab moral untuk mengembangkan ilmu perpustakaan, perpustakaan, dan profesi pustakawan. Pengembangan ini antara lain melalui penyusunan konsep, melakukan penelitian, penulisan artikel, penulisan makalah, maupun penulisan buku.

Latar Belakang

Perlunya pembahasan, motivasi, dan dorongan penulisan buku kepustakawanan terutama di kalangan pustakawan didasarkan pada pemikirian bahwa:

1. Rendah kesadaran transformasi bidang  kepustakawanan   melalui buku

Transformasi bidang kepustakawanan   selama ini banyak dilakukan melalui seminar, penulisan artikel, lomba karya tulis, perkuliahan, diskusi, dan lainnya. Kemudian transformasi itu dilakukan melalui media elektronik sesuai kemajuan teknologi informasi. Hal ini akan lebih mudah, cepat, dan tanpa seleksi.

Penulisan buku cetak bidang kepustakawanan masih jarang dilakukan oleh para pustakawan. Langkanya buku-buku kepustakawanan menunjukkan rendahnya penulisan buku kepustakawanan oleh pustakawan di negeri ini.

Hal ini dikuatkan antara lain  oleh penelitian Laksmi (2007: 66) bahwa penulisan buku tentang kepustakawanan selama 53 tahun (1952 ? 2005) hanya 237 judul. Ini berarti bahwa penulisan buku kepustakawanan hanya sekitar 4,4 judul per tahun.

2. Pustakawan kurang percaya diri

Ketakutan dan ketidakmampuan menulis buku dapat disebabkan bahwa para pustakawan itu kurang percaya diri alias penakut. Mereka takut kalau-kalau buku yang akan ditulis itu nanti dibajak, tidak dibayar royaltinya, dikritik, difotokopi, atau dibohongi penerbit.

Bayangan ketakutan ini selalu menyelimuti sebagian besar pustakawan kita. Karena ketakutan yang berlebihan itulah, maka pustakawan itu sampai pensiun tidak pernah menulis buku. Menulis buku tinggal angan-angan belaka dan namapun hilang ditelan masa.

3. Menulis buku dianggap beban berat

Menulis karya akademik, karya ilmiah, dan buku kadang dianggap sebagai beban tersendiri dalam kegiatan keilmuan. Anggapan ini juga menimpa pustakawan. Mereka terjebak oleh rutinitas kerja yang harus sesuai prosedur yang ditetapkan.

Saking sibuk kerja lalu beralasan tidak punya waktu untuk menulis artikel maupun buku. Menulis buku bagi pustakawan memang seharusnya tidak sekedar untuk mencari angka kredit sebagai salah satu syarat kenaikan jabatan/pangkat.

Penulisan buku maupun artikel seharusnya dianggap sebagai kewajiban moral dan tanggung jawabnya sebagai seorang profesional.

4. Terbuka peluang penulisan buku kepustakawanan

Pustakawan memiliki banyak peluang untuk menulis buku dengan munculnya beberapa penerbit dalam berbagai bidang akhir-akhir ini di beberapa kota. Penerbit akan bisa melakukan kegiatan penerbitan kalau ada pasokan naskah dari penulis.

Maraknya penerbitan diakui oleh Tuhana Taufiq Andrianto (2003) Selaku  seorang Redaktur Pelaksana Penerbit  Aditya Media Yogyakarta yang mengatakan bahwa akhir-akhir ini perkembangan penerbitan dan percetakan semakin pesat.

Disamping itu pustakawan memiliki kesempatan besar untuk memilih tema buku yang akan ditulis melalui sumber informasi yang mereka geluti setiap hari. Mereka leluasa memanfaatkan sumber informasi baik cetak maupun noncetak.

Dengan peluang ini sebenarnya pustakawan mampu menulis buku dalam bidang apapun temasuk bidang kepustakawanan. Namun dengan berbagai alasan, kesempatan itu tidak mereka manfaatkan. Akhirnya kehidupan profesinya loyo, kurus kering, dan  tak sehat  akibat kurang asupan gizi. Padahal setiap hari mereka menghadapi makanan yang bergizi.

Tujuan


1. Menumbuhkan keberanian menulis pada pustakawan

Kebanyakan pustakawan dan mereka yang bekerja di perpustakaan takut menulis artikel maupun buku yang diterbitkan. Mereka takut kalau-kalau tulisannya dianggap jelek, salah, takut dikritik, takut dibajak, takut tak dibayar royaltinya, atau takut ketahuan kapasitas keilmuannya.

Padahal bila direnungkan bahwa ilmuwan dan para profesional yang tidak menulis akan terbatas pengembangannya. Hal ini ibarat burung yang bersayap satu yang hanya mampu menggelepar dari satu dahan  ke dahan lain atau dari satu pohon ke pohon lain.

Sedangkan burung yang bersayap dua akan mampu terbang jauh melintasi batas geografi dan dimensi waktu menjelajahi dunia.

2. Mengawetkan, melestarikan, dan mengembangkan ilmu perpustakaan dan Informasi.

Ilmu perpustakaan dan informasi, konsep, teori, maupun hasil penelitian yang telah ditemukan itu lama kelamaan bisa hilang dari peredaran apabila tidak dilakukan perekaman/pencatatan terutama dalam bentuk buku.

Maka buku menjadi prasyarat muncul dan perkembangan ilmu pengetahuan dalam semua dimensi (termasuk kepustakawanan) (Magnis_Suseso, 1997:21). Ilmu dan informasi kepustakawanan akan cepat dan meluas penyebarannya antara lain perlu adanya sistem pencatatan, pengawetan, dan penulisan dalam bentuk buku.

3. Meningkatkan kuantitas dan kualitas penulisan buku-buku
Kepustakawanan.

Perkembangan pendidikan kepustakawanan memang meningkat akhir-akhir ini. Perkembangan ini antara lain dengan dibukanya program studi/jurusan perpustakaan diploma sampai pascasarjana di beberapa PTN/PTS.

Hal ini diperkirakan karena adanya kenaikan kebutuhan akan pustakawan oleh beberapa lembaga swasta maupun instansi pemerintah.

Namun demikian perkembangan ini tidka dibarengi dengan peningkatan penerbitan buku kepustakawanan. Hal ini juga diakui oleh Laksmi (2006) yang menyatakan bahwa buku-buku teks tentang kepustakawanan masih jarang.

Lebih  lanjut dinyatakan bahwa jumlah pengajar dan mahasiswa dalam ilmu perpustakaan dan informasi terus meningkat. Demikian pula dengan pertumbuhan teknologi informasi. Namun kenyataan menunjukkan hal yang berlawanan.

4. Meningkatkan kualitas pendidikan kepustakawanan

Meskipun bertambah program studi/jurusan ilmu perpustakaan dan informasi di beberapa PTN/PTS, namun kenyataannya hanya beberapa program studi/jurusan itu yang terakreditasi dengan nilai A. Hal ini antara lain disebabkan minimnya karya ilmiah baik bentuk artikel apalagi buku oleh sivitas akademika (dosen dan mahasiswa).

Dengan meningkatnya penerbitan buku kepustakawanan diharapkan mampu meningkatkan kualitas lulusan. Sebab melalui buku diharapkan tumbuh saling menghargai dan meningkat daya penalaran peserta disik. Mereka akan lebih rasional dan beretika dalam kehidupan kepustakawanan (Andrianto,  2003:7)

Peran Buku Dalam Pengembangan Kepustakawanan

Dengan ditemukannya buku berarti membuka langkah penting bagi manusia dalam cara berpikir dan memahami dirinya dan lingkungannya.

Buku yang dicetak dan disebarluaskan dapat memengaruhi ribuan bahkan jutaan orang sekaligus, dapat dibaca berulang kali, dan sulit untuk dilarang. Bahkan buku semakin dilarang, justru orang semakin penasaran ingin membaca dan membelinya.

Sekedar contoh buku Gurita Cikeas (Galang Press, 2009)  tulisan George Aditjondro yang kontroversial itu justru banyak orang yang ingin membacanya bahkan untuk beli saja harus pesan seminggu sebelumnya (Januari 2010).

Dalam hal ini sebenarnya pengarang dan penerbitnya tak perlu gundah gulana. Sebab di balik pelarangan maupun pencekalan itu nama penulis dan penerbit semakin populer.

Buku memang merupakan salah satu media kecerdasan bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki tradisi baca/akses informasi dan perbukuan yang tinggi.  Kegiatan ini menunjukkan maju tidaknya tingkat keilmuan suatu bangsa.

Satu hal yang diakui oleh banyak pihak dan ini merupakan realitas bahwa dunia baca dan perbukuan kita sangat rendah. Hal ini sangat berpengaruh pada kualitas pendidikan dan kualitas sumber daya manusia kita.

Beberapa data dapat dikemukakan rendahnya produksi publikasi dan perbukuan kita. Daniel Dhakidae (1997: 187) seorang peneliti, lulusan UGM dan Cornell University itu mengemukakan data;

  • Pertama, di Indonesia terdapat sekitar 84 % penduduknya terbebas dari belenggu buta huruf. Angka ini jauh di atas rata-rata negara-negara berkembang, yaitu 69 %. Ini faktor yang menyenangkan.
  • Kedua, di Indonesia, jumlah oplah seluruh surat kabar hanya 2,8 % dari jumlah penduduknya. Hal ini masih jauh bila dibanding dengan indeks minimal UNESCO yakni 10 %. rata-rata negara industri malah sudah 30 %.
  • Ketiga, di Indonesia, jumlah judul buku baru yang diterbitkan hanyalah 0,0009 % dari total penduduknya. Ini berarti bahwa 9 judul buku baru untuk setiap sejuta penduduk. Kondisi ini jauh berbeda bila dibanding rata-rata negara yang maju yakni  55 judul per sejuta penduduk.

Menanggapi rendahnya perbukuan kita, Mastini Hardjoprakoso (mantan Kepala Perpustakaan Nasional RI) (1997: 84-85) ) menyatakan bahwa Indonesia dengan produksi buku lebih kurang 5.000 judul/tahun dengan tiras rata-rata 3.000 tiap judul dengan jangka penjualan 2 ? 3 tahun  Hal ini jelas memengaruhi kualitas pendidikan kita pada umumnya.

Ketertinggalan kita dalam hal pendidikan dan kualitas SDM diakui juga oleh Amien Rais (2003: 17). Tokoh reformasi kita itu menyatakan bahwa kualitas pendidikan nasional kita masih cukup payah dan parah. Tingkat kemahiran membaca anak di usia 15 tahun masih sangat menyedihkan.

Dari 41 negara yang diteliti, kemampuan baca anak-anak Indonesia jatuh urutan ke 39. Sekitar 37,6 % anak-anak Indonesia hanya bisa membaca tanpa mampu menangkap maknanya. Dalam kaitan ini ada ironi yang sulit dipahami.

Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 menyebutkan:?Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional?.

Fenomena Penulisan Buku Kepustakawanan

Iklim penulisan buku pada umumnya memang masih rendah dalam masyarakat kita, baik masyarakat pada umumnya maupun masyarakat intelektual. Selama ini para intelektual melakukan kegiatan penulisan karya akademik maupun karya ilmiah seolah-olah merupakan keterpaksaan atau dipaksa oleh aturan.

Mereka memang telah menulis karya akademik seperti tugas akhir, skripsi, tesis, maupun disertasi. Namun setelah mereka menyelesaikan tugas-tugas akademik tersebut lalu berhenti tidak menulis, apalagi menulis buku berdasarkan kesadaran.

Kondisi seperti itu juga melanda pustakawan yang mengaku dirinya sebagai seorang profesional. Keadaan ini antara lain dibuktikan oleh penelitian Laksmi (207: 74) yang menyatakan bahwa lebih dari 20 penulis yang menulis sebanyak dua sampai empat judul buku.

Penulis aktif yang paling banyak memberikan kontribusinya adalah Sulistya-Basuki (UI), Soejono Trimo (almarhum, UNPAD), dan Lasa Hs (UGM) masing-masing menulis lebih dari 10 judul buku.

Rendahnya penulisan buku kepustakawanan di negara kita kecuali disebabkan ketidakmampuan, juga sebagai akibat rendahnya minat baca masyarakat, pelanggaran hak-hak intelektual, kurang percaya diri, kemalasan, dan lemah berbahasa asing.

Sebagai seorang profesional, tenaga kependidikan, dan intelektual seharusnya pustakawan  mampu melahirkan pemikiran, penemuan, maupun penelitian di bidangnya yang terekam dan bentuk tulisan terutama buku cetak maupun elektronik.

Sebagai karya ilmiah, buku memuat gagasan-gagasan individu dalam disiplin tertentu. Gagasan-gagaan ini diorganisir secara sistematis dalam suatu struktur, didukung oleh analisis, konsep, argumentasi, dan data (Laksmi, 2007: 63).

Diakui bahwa penulisan buku-buku kepustakawanan masih sedikti. Hal ini dapat dilihat dari penulisan buku ajar bidang perpustakaan.

Pada kurun waktu 1991 ? 2001 (sepuluh tahun) tercatat 89 judul buku yang terbit yang berarti bahwa rat-rata setiap tahun terbit 9 judul buku (Marzuki, 2002). Dikatakan selanjutnya bahwa dari 89 judul buku terdapat 27 judul buku (30%) ditulis bersama termasuk karya terjemahan.

Rendahnya penulisan buku di kalangan pustakawan ini juga ditunjukkan oleh kegiatan pengembangan profesi para pustaakwan utama.

Mereka yang telah mencapai kedudukan jabatan setingkat guru besar itu ternyata hanya beberapa orang saja yang menulis buku. Sebenarnya melalui buku-buku mereka itu diharapkan lahir pemikiran-pemikiran visoner, solusi, dan rekaman penemuan mereka sebagai dasar pengembangan bidang kepustakawanan.

Keberhasilan mereka menduduki jabatan fungsional tertinggi itu ternyata diperoleh dari kegiatan penulisan makalah. Ada juga diantara mereka yang menduduki jabatan struktural dan menjelang pensiun lalu pindah ke jabatan fungsional. Hal ini dilakukan untuk memperpanjang batas usia pensiun.

Dari 15 orang pustakawan utama yang telah melakukan orasi ilmiah di Jakarta dan Yogyakarta ternyata sebagian besar mereka tidak menulis buku. Dari data yang diperoleh ternyata seorang menulis 5 judul buku, 2 orang menulis 6 judul buku, seorang menulis 9 judul buku, dan hanya seorang yang menulis lebih dari 25 judul buku yang diterbitkan oleh 14 penerbit.

Rendahnya penulisan buku kepustakawaan nampaknya tidak sendirian. Sebab kondisi umum penulisan buku di berbagai bidang memang rendah. Gibbs (dalam Hernandono, 2008) mendaftar negara-negara penghasil tulisan ilmiah, maka Indonesia termasuk satu negara yang dikategorikan ?kehilangan ilmu pengetahuan?.

Sebab secara keseluruhan Indonesia hanya mampu menghasilkan tulisan/ilmu pengetahuan 0,012 % diantara negara-negara lain. Kondisi inipun ternyata paling rendah di tingkat ASEAN. Sebab Singapura mampu menerbitkan 0,179 %, Thailand menerbitkan 0,084 %, Malaysia menerbitkan 0,064 % dan Filipina 0,035 %.

Pustakawan sebagai tenaga kependidikan seharusnya mampu berkomunikasi secara lisan maupun tertulis. Untuk itu pustakawan harus memiliki people skill (Akernathy, 1999) yakni;

1) kemampuan pemecahan masalah; 2) memiliki etika profesi; 3) terbuka; 4) memiliki ketrampilan; 5) memiliki kepemimpinan dan;  6) belajar terus menerus. Oleh karena itu, pustakawan perlu responsif, inovatif, dan adaptif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan memiliki soft skill.

Pustakawan hendaknya mampu merespon perubahan dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang menantang. Kiranya perlu disingkirkan sikap mempertahankan paradigma lama.

Dalam hal ini Feret dan Marcinek (1999) dalam Ahmad (2001) menyatakan bahwa pustakawan harus berjalan seirama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Upaya Peningkatan Penulisan Buku Kepustakawanan

Untuk meningkatkan aktivitas penulisan terutama penulisan buku kepustakawanan kiranya perlu adanya motivasi, peninjauan nilai AK, pemberian penghargaan, pemberian stimulan, penyelenggaraan, maupun penyelenggaraan sarasehan.

1. Memotivasi

Motivasi merupakan proses pengembangan dan pengarahan perilaku individu maupun kelompok agar mereka menghasilkan produk yang diharapkan sesuai tujuan dan sasaran organisasi/lembaga (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990: 378).

Motivasi merupakan upaya penggunaan hasrat yang paling dalam untuk mencapai sasaran, membantu inisiatif, bertindak efektif, dan bertahan dalam menghadapi kegagalan. Orang yang memiliki motivasi tinggi akan berusaha keras dan penuh kreativitas dalam mencapai sasaran. Mereka yang memiliki motivasi tinggi tidak mudah goyang, bahkan mereka mampu bertahan dalam menghadapi kegagalan.

Menulis itu merupakan kreativitas yang didasarkan pada fungsi berpikir, merasa, mengindera, dan intuisi. Unsur-unsur ini diperlukan agar orang tidak kehabisan tema yang akan ditulis.

Kreativitas dalam hal ini bukan sekedar menciptakan tema-tema baru, tetapi juga diperlukan kemauan dan keberanian berpikir divergen. Yakni suatu pemikiran yang tidak seperti biasanya, bahkan dalam keadaan tertentu harus berani melawan arus.

Oleh karena itu tanpa motivasi yang tinggi pustakawan tidak akan mampu menulis apalagi menjadi penulis yang profesional.

Memang bermacam-macam motivasi orang dalam melakukan kegiatan penulisan atau menjadi penulis, misalnya mencari urang, ingin dikenal atau mencari angka kredit. Biasanya motivasi yang bersifat materi ini tidak akan lama. Karena begitu sesuatu itu tercapai lalu berhenti menulis.

Apabila ditinjau dari teori Abraham H. Maslow, maka kegiatan tulis menulis itu mampu memenuhi kebutuhan fisik/physiological needs, kebutuhan sosial/social needs, kebutuhan penghargaan/esteem needs, dan kebutuhan rasa ingin berkembang/sense of achievement.

2. Peninjauan Angka Kredit

Kecilnya angka kredit penulisan artikel, makalah, dan buku bagi pejabat fungsional pustakawan merupakan hambatan psikologis tersendiri bagi mereka. Angka kredit penulisan bagi pustakawan dan dokter memang lebih rendah bila dibanding dengan angka kredit penulisan bagi guru, dosen, maupun peneliti.

Tidak diketahui secara pasti letak perbedaan angka kredit yang sangat menyolok itu. Apakah kualitas tulisan para guru, dosen, dan peneliti itu lebih bagus daripada tulisan pustakawan dan dokter. Ataukah para tenaga pendidik itu banyak yang menulis. Padahal kenyataan betapa banyak para guru dan dosen yang tidak mampu menulis apalagi menulis buku.

Kenaikan jabatan/pangkat para guru dan dosen itu diperoleh melalui pengumpulan angka kredit dari kegiatan mengajar, melakukan penelitian, menyampaikan makalah, dan menulis artikel ilmiah di jurnal tertentu saja. Semantara itu menulis buku hanya menjadi angan-angan kosong semata.

Menulis buku bagi pustakawan dan para profesional lain, seharusnya tidak sekedar untuk mencari angka kredit sebagai syarat kenaikan jabatan/pangkat tertentu. Menulis buku hendaknya dipandang sebagai tanggung jawab moral  seorang ilmuwan dan profesional.

Untuk lebih menggairahkan pustakawan dalam melaksanakan kegiatan penulisan perlu ditinjau kembali angka kredit penulisan/pengembangan profesi pada SK Menpan No. 132/12/2002 itu. Sebab angka kredit untuk butir-butir kegiatan pengembangan profesi sejak SK MENPAN No. 18 Tahun 1988 belum dirubah.

Padahal untuk butir-butir kegiatan bersifat ketrampilan sudah dua kali mengalami perubahan yakni pada SK Menpan Nomor 33/1998 dan SK Menpan No. 132/2002.

3. Pemberian penghargaan

Untuk mendorong minat menulis, selama ini telah dilakukan lomba penulisan artikel. Namun realita bahwa para juara-juara itu rata-rata muncul bila ada kejuaraan. Malah ada beberapa pustakawan yang hobinya mengikuti kejuaraan tulis menulis. Sedangkan di majalah-majalah kepustakawanan nama-nama itu tak pernah muncul.

Disamping itu, ternyata banyak para juara itu hanya muncul saat itu. Lain kali tak pernah lagi mengirim naskah ke majalah-majalah kepustakawanan. Mereka dapat diibaratkan lahir sekali untuk mati selamanya. Pola ini perlu perlu dirubah. Sebab sistem penyelenggaraan ini tidak mampu melahirkan penulis-penulis produktif. Mereka ternyata kurang memiliki kesadaran berprofesi dan tanggung jawab moral.

Dalam pemilihan penulis produktif dapat dinilai dari seberapa banyak artikel yang pernah dimuat oleh media cetak atau seberapa buku yang pernah diterbitkan oleh penerbit profesional dan bukan penerbit lembaga.

4. Memberikan Stimulan

Pihak-pihak tertentu seperti Perpustakaan Nasional sebagai pembina perpustakaan dan pustakawan maupun lembaga terkait seperti Depdiknas dan Depag dapat memberikan bantuan stimulan penulisan buku. Bantuan stimulan ini dapat diberikan setelah buku itu terbit atau sebelumnya.

Hal ini akan lebih mendorong penulisan buku kepustakawanan. Pemikiran ini dikemukakan karena motivasi penulisan bagi sebagian pustakawan masih bersifat kasat mata/tangible seperti angka kredit, jabatan/pangkat, nama, hadiah, dan lainnya. Kadang motif-motif jangka pendek ini kandas di tengah jalan.

5. Lomba penulisan buku kepustakawanan

Lomba penulisan kepustakawanan telah sering diselenggarakan baik oleh lembaga kepustakawanan, organisasi profesi, maupun pegiat pendidikan lain. Penyelenggaraan lomba ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran menulis.

Penyelenggaraan lomba ini dapat ditingkatkan menjadi lomba penulisan buku (teks, referens, bunga rampai, dll.) bidang kepustakawanan. Adapun penilaian naskah buku ini dapat dilakukan dengan :
  • a. Pemilihan naskah buku terbaik yang selanjutnya dapat diterbitkan
  • b. Pemilihan buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit profesional maupun lembaga, baik kualitas dan kuantitasnya.
Dalam hal pemilihan ini tentunya skor buku yang diterbitkan penerbit profesional harus lebih tinggi daripada buku yang diterbitkan oleh instansi. Sebab buku-buku terbitan instansi ini kadang tidak dilakukan seleksi maupun editing yang ketat.

Buku-buku ini terbit kadang hanya karena ada anggaran yang nylonong atau atas pertimbangan pertemanan. Kemudian buku-buku seperti ini tidak laku dijual di toko-toko buku meskipun katanya berkualitas. Maka buku mutu belum tentu mutu. Lalu apa fungsi buku mutu itu kalau hanya sekedar dicetak dan menumpuk di lemari lembaga.

Kiranya masih banyak cara untuk meningkatkan penulisan buku kepustakawanan di negeri ini seperti meningkatkan frekuensi pameran buku, penerjemahan, membebaskan pajak-pajak perbukuan dan penerbitan, maupuan kegiatan bedah buku.

Penutup

Buku dan media rekam lain berpengaruh terhadap perkembangan suatu bidang. Melalui media ini ilmu pengetahuan, bidang, maupun profesi akan terrekam lebih awet, dan berkembang menembus dimensi geografis, waktu, generasi, dan batas-batas aliran politik.

Tinggi rendahnya penerbitan buku dan publikasi lain merupakan salah satu indikator kemajuan keilmuan suatu masyarakat. Oleh karena itu tinggi rendahnya penerbitan buku kepustakawanan menunjukkan tinggi rendahnya kualitas keilmuan bidang kepustakawanan.

Banyak cara untuk meningkatkan penulisan & penerbitan buku antara lain menumbuhkan motivasi pada para pustakawan, pemberian bantuan penerbitan buku, memberikan stimulan, peninjauan angka kredit jabatan fungsional pustakawan, penyelenggaraan lomba penulisan buku, melakukan penerjemahan, maupun peningkatan bedah buku kualitas dan kuantitasnya.

Daftar Pustaka

  • Andrianto, Tuhana Taufiq. 2003. Buku dan Persatuan Bangsa. Jogja Book    Fair 4 ? 12 Oktober 2003 di Mandala Bhakti Wanitatama.
  • Dhakidae, Daniel. 1997. Ekonomi Politik Industri Buku di Indonesia. Buku Membangun Kualitas Bangsa. Yogyakarta: Kanisius.
  • Hardjoprakoso, Mastini. 1997. Buku dan Perpustakaan. Buku  Membangun Kualitas Bangsa. Yogyakarta: Kanisius.
  • Hernandono. Meretas Kebuntuan Kepustakawanan Indonesia Dilihat Dari Sisi Sumber Daya Tenaga Perpustakaan. Pidato Pengukuhan Pustakawan Utama tanggal 16 November 2005 di Perpustakaan Nasional RI
  • Laksmi. 2007. Tinjauan Kultural Terhadap Kepustakawanan. Jakarta: Sagung Seto.
  • Lasa Hs. 2006. Menulis itu Segampang Ngomong. Yogyakarta: Pinus
  • Profesi Pustakawan: Tantangan dan Harapan. Pidato Pengukuhan Pustakawan Utama tanggal 6 September 2006 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
  • 2009. Kamus Kepustakawanan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
  • Marzuki, Rusli. 2002. Buku Ajar Bidang Ilmu Perpustakaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Memajukan Jasa Informasi.
  • Perpustakaan Nasional RI. 2008. Pengukuhan Pustakawan Utama 1995 ? 2007; Kumpulan Naskah Orasi Ilmiah. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI
  • Rais, Amien. 2003. Bersatu dan Bekerja Keras (17 Langkah Membangun Indonesia. Buku & Persatuan Bangsa. Buku Panduan Jogja Book Fair 4 ? 12 Oktober 2003 di Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta.
Penulis: Lasa Hs [Sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 12 No. 2 - Agustus 2010]

Labels: