<data:blog.pageTitle/>

This Page

has moved to a new address:

http://duniaperpustakaan.com

Sorry for the inconvenience…

Redirection provided by Blogger to WordPress Migration Service
Dunia Perpustakaan | Informasi Lengkap Seputar Dunia Perpustakaan: August 2008

Tuesday, August 12, 2008

Ketersediaan Online Journals di Perpustakaan Perguruan Tinggi

Dunia Perpustakaan | Tulisan Irman Siswadi berjudul "Ketersediaan Online Journals di Perpustakaan Perguruan Tinggi" ini sudah pernah dipublikasikan di Majalah Visi Pustaka Edisi : Vol. 10 No. 2 - Agustus 2008.

Namun sepertinya, isinya masih sesuai dengan keadaan sekarang ini, walaupun kita bersyukur, khusus di Indonesia, koleksi jurnal di perpustakaan perguruan tinggi semakin meningkat.

Namun sepertinya kalau untuk yang bahas bidang perpustakaan, sepertinya kata "prihatin" masih kita rasakan entah sampai kapan. Karena masih sulit sekali mendapatkan update tulisan jurnal ilmiah yang bahas bidang perpustakaan yang mengangkat isu-isu terkini.

Abstrak

Online journals merupakan publikasi elektronik dan versi digital dari jurnal tercetak. Saat ini online journals sudah menjadi salah satu jenis koleksi perpustakaan perguruan tinggi (PT). Beberapa perpustakaan PT menyediakan akses online journals.

Pengadaan online journals di perpustakaan PT memerlukan aspek pertimbangan seperti mempertimbangkan adanya kelebihan dan kekurangan online journals; unsur penilaian seperti kebutuhan pengguna, akses internet, fasilitas online journals, harga, sumber daya manusia.

Hal lainnya adalah tanggapan pustakawan dan pengguna pontensial (end-user) yang akan memanfaatkan online journals tersebut. Evaluasi akhir ini akan memutuskan apakah online journals tersebut layak untuk tersedia di perpustakaan atau tidak.

Setelah dianggap layak untuk diadakan, perpustakaan akan memilih salah satu online journals yang ditawarkan. Promosi adalah bagian akhir yang perlu dilakukan oleh perpustakaan. Berbagai cara promosi dapat dilaksanakan seperti menggunakan spanduk, website, brosur dan terakhir pelatihan information skills program.

Latar belakang

Saat ini sedang terjadi euphoria di kalangan pustakawan perguruan tinggi (PT). Pemicu dari situasi tersebut adalah  berkaitan dengan maraknya pengembangan konsep perpustakaan berbasis digital. Istilah perpustakaan digital, digitalisasi, layanan digital berbasis online, seperti layanan virtual, layanan online dan lainnya sering menjadi bahan perdebatan di antara pustakawan khususnya pustakawan PT.  Permasalahan tersebut sering menjadi tema sentral di berbagai seminar ataupun diskusi ilmiah  di kalangan pustakawan, bahkan di beberapa milis pustakawan.

Beberapa ahli di bidang perpustakaan membahas dan menuangkan ide-ide tentang perpustakaan berbasis digital. Ada dinamika perubahan di dalamnya, ada kehidupan lain yang berbeda dari citra perpustakan selama ini. Berbagai aspek pembahasan bergulir dengan cepatnya dan salah satu yang berkembang dan menjadi bahan diskusi adalah tersedianya koleksi dalam bentuk online seperti online journals.

Online journals merupakan fenomena tersendiri di antara pesatnya perkembangan perpustakaan PT saat ini. Perpustakaan PT yang dahulu terbiasa dengan jurnal tercetak mulai mengalihkan perhatiannya ke jurnal elektronik. Beberapa perpustakaan seperti berpacu berusaha untuk menyediakan  online journals sebagai salah satu jenis koleksi digital.

Sebagian lagi masih dalam tahap perencanaan untuk menyediakan online journals. Terkesan perpustakaan memaksakan untuk menyediakan online journals. Padahal tidak sedikit pemikiran dan biaya yang sudah dikeluarkan untuk itu.

Dibandingkan dengan jenis perpustakaan lainnya, perpustakaan PT tempat yang tepat untuk menyediakan online journals. Sudut pandang ini dapat dilihat dari kebutuhan informasi penggunanya. Pengguna perpustakaan PT dapat dikategorikan pengguna potensial online journals. Mereka adalah civa dan para peneliti di perguruan tinggi yang bersangkutan.

Selain itu dari segi kebutuhannya lebih jelas yaitu informasi terkini (current information) dalam bentuk hasil-hasil penelitian atau pendapat para ahli di bidangnya. Semuanya lebih banyak tersedia di jurnal-jurnal ilmiah. Cakupan online journals  berisi berbagai subjek dalam bentuk artikel hasil penelitian dan juga pandangan para ahli. Banyak diantaranya dituliskan kembali di  jurnal ilmiah yang kemudian artikelnya dialihbentukan menjadi artikel digital.

Artikel ini membahas  lebih jauh proses  mengadakan online journals ditinjau dari berbagai aspek. Selain itu apa yang harus dilakukan oleh perpustakaan  setelah journals tersedia. Pembahasan berkaitan dengan online journals diharapkan  dapat membantu pustakawan PT dalam memutuskan penyediaan  online journals.

Online Journal

Reitz (2007)  menggunakan istilah jurnal elektronik (electronic journals) untuk online journals. Dituliskannya bahwa  jurnal elektronik sebagai versi digital dari jurnal tercetak, atau jurnal seperti  dalam bentuk publikasi elektronik tanpa versi tercetaknya, tersedia melalui email, web atau akses internet.

Baik  online journals maupun jurnal tercetak merupakan jurnal dalam cakupan terbitan berseri. Perbedaannya terletak pada media aksesnya yang mana jurnal tercetak dalam bentuk tercetak berbahan baku kertas dan  dibaca langsung sedangkan online journals berupa jurnal dalam bentuk digital dan  untuk membacanya perlu mengakses internet terlebih dahulu. Keduanya memiliki sumber informasi yang sama yaitu jurnal.

Untuk memberikan pengertian yang sama mengenai jurnal, berikut pengertian jurnal secara umum. Arms (2007) dalam bukunya Digital Libraries mendefinisikan jurnal sebagai terbitan berseri yang ditulis oleh para akademisi atau lembaga asosiasi. Jurnal memuat artikel  penelitian asli yang  ditandatangani oleh penulis artikel dan terdapat bibliografi di dalamnya.

Jurnal biasanya lebih bersifat ilmiah daripada majalah yang dapat diperoleh di toko buku atau kios dan artikel jurnal sebelum diterbitkan melalui tahap resensi atau pengujian terlebih dahulu oleh para ahli di bidangnya. Dari segi kandungan isi baik dalam jurnal tercetak maupun online journals adalah sama.

Jurnal sendiri memiliki fungsi penting dalam perkembangan ilmu. Perpustakaan sebagai lembaga yang mempunyai fungsi informasi dan penelitian, secara langsung menjadi matarantai proses perkembangan ilmu tersebut.

Seorang ilmuwan akan  menyebarkan informasi atau ilmu yang dimilikinya kepada orang lain dengan artikel yang ditulis oleh ilmuwan tersebut. Dengan demikian ilmu yang selama terpendam dalam benak  seorang ilmuwan akan terus menyebar.

Proses penyebaran ilmu melaui artikel jurnal merupakan salah satu mata rantai perkembangan ilmu. Jurnal sebagai media dimana artikel ditulis memberikan peranan yang besar.

Tahapan di atas sesuai dengan  pendapat Rowland (2007) mengenai fungsi jurnal. Jurnal berfungsi sebagai sarana menyebarkan informasi (dissemination of information);  pengawasan kualitas  (quality control); arsip yang resmi sesuai peraturan (the canonical archive) dan mengenal penulisnya (recognition of authors).

Bahkan begitu dijaganya kualitas satu artikel, maka satu jurnal perlu melihat beberapa hal seperti kualitas yang tinggi melalui  peer review (high quality through peer review); penulis yang dikenal melalui identitas jurnal yang kuat (author recognition through strong journal identities) dan juga sumber arsip yang dalam hal ini karya ilmiah (archival sources) (Hitchcock et al.,1998).

Betapa besar peran jurnal, sehingga menjadikan jurnal sebagai salah satu rujukan yang secara ilmiah dapat diuji keakuratannya.

Jurnal ilmiah selalu berkaitan erat dengan satu penelitian. Seorang penulis akan merujuk ke satu artikel jurnal yang tidak perlu lagi diragukan keakuratan isinya. Pengawasan terhadap isi satu artikel dilakukan oleh peer review.

Fungsi peer review adalah menganalisa kelayakan satu  artikel untuk dapat dimuat dalan satu jurnal ilmiah. Emma mendefinikasi peer review sebagai suatu sistem yang berhubungan dengan suatu penelitian atau proposal penelitian yang diteliti oleh para ahli independen. Umumnya berkaitan dengan fungsi  teknis dan sujektif disiplin satu ilmu.

Pentingnya peer review diungkapkan oleh Wells berdasarkan  pendapat Brown yang menyatakan bahwa jurnal merupakan "alat pembuktian penelitian melalui peer review, menyediakan validasi melalui sistem rujukan". Semakin jelas bahwa satu artikel yang diterbitkan pada satu jurnal ilmiah telah melalui tahapan penyaringan dan tahapan itu membuktikan artikel tersebut ilmiah dan layak untuk dikutip.

Meskipun sama-sama sebagai jurnal, jurnal tercetak maupun online journals memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Keduanya dapat menjadi pertimbangan bagi perpustakaan apabila hendak menetapkan pengadaan kedua jenis jurnal. Brown sebagaimana dikuti oleh Wells, menuliskan beberapa kelebihan  jurnal tercetak, seperti;
  1. Permanen (permanent), memiliki sifat yang tetap dalam tampilan dan bentuk fisiknya.
  2. Menyebar (distributed), beberapa jurnal diletakkan di beberapa perpustakaan atau tempat.
  3. Kepercayaan para ilmuwan (scholars trust) dan memahami sistem penerbitan (understand the system)
  4. Jurnal memiliki pamor yang berkembang selama bertahun-tahun (journals have prestige built up over many years)
  5. Mudah dibawa-bawa (portable) dan mudah untuk membacanya  (easy to read)
Disamping kelebihan, jurnal tercetak memiliki beberapa kekurangan, yaitu
  1. Sistem rujukan tidak sempurna (the refereeing system is not perfect)
  2. Memerlukan biaya untuk membeli dan menyimpan (costly to purchase and store)
  3. Penundaan dalam pengumpulan untuk penerbitan (long time delays from submission to publication)
  4. Sulit untuk mengindeks dan rujukan silang (difficult to index and cross reference)
  5. Kesulitan untuk menelusur (difficult to search)
  6. Anggaran perpustakaan yang mengecil, sehingga hanya sedikit jurnal yang dapat dibeli (library budgets are shrinking, so fewer journals can be bought)
  7. Pertambahan artikel yang perlu diresensi dan diterbitkan (increasing numbers of papers needing to be reviewed and published).
Adapun kelebihan yang online journals  adalah sebagai berikut:
  1. Kecepatan (speed), artikel dapat segera diletakkan di web  tanpa menunggu waktu lama lagi.
  2. Penelusurannya mudah (easily searchable), merupakan keuntungan utama dalam format digital. Dengan demikian berpengaruh terhadap berkurangnya duplikasi penelitian karena lebih cepat mengetahui penelitian sebelumnya. Akibat lain bagi pengguna adalah banyaknya informasi dalam bentuk artikel yang terkumpul karena dibaca dan dirasakan terbaru isinya.
  3. Interaktif (interactive), kemudahan dalam mengakses artikel yang langsung dibaca dan juga dicetak (printed) jika dibutuhkan. Artikel dapat segera dikirim melalui emai.
  4. Aksesibilitas (accessible), akses melalui internet merupakan salah satu cara akses yang berbeda dengan jurnal tercetak. Cara tersebut memberikan kemudahan mengakses beberapa jurnal sehingga online journals dan  sebagai pemecah kendala dalam penelitian yang demokratis (breaking down the barriers to democratic research). Kelebihan lainnya beberapa pengguna dapat mengakses  online journals secara bersamaan.
  5. Links, merupakan kaitan antara satu artikel dengan artikel lainnya yang disitir (hypertext format). Fitus  links memungkinkan untuk mengetahui artikel yang mensitir artikel yang sedang dibaca tersebut. Selain itu satu judul artikel yang terdapat pada bibliografi satu artikel dapat dibuka kembali sebagai satu rujukan lain yang berbeda.
  6. Nilai tambah (added value), merupakan kelebihan lainnya dari online journals yaitu dapat menggunakan animasi, virtual reality dan diagram matematik interaktif (interactive mathematical charts). "Artikel hidup" tersebut menginformasikan juga eksperimen yang sedang berlangsung dan pembaruan yang sering dikerjakan.
  7. Murah (inexpensive), masalah ini selalu menjadi perdebatan. Menggunakan online journals telah mengurangi biaya sebanyak 70% dibandingkan apabila membeli jurnal tercetak. Banyaknya jurnal yang diakses menjadi salah satu unsur pemanfaatan online journals menjadi lebih murah daripada jurnal tercetak.
  8. Fleksibel (flexibility), dengan menggunakan online journals tidak tergantung dengan format, printer atau jaringan distribusi yang selalu melekat dengan jurnal tercetak.
Selain kelebihan di atas, pengguna perlu juga mengetahui beberapa kekurangannya.
  1. Kesulitan membaca layar komputer (difficulty reading computer screens). Kesulitan ini muncul karena pada saat mengakses online journals secara bersamaan pengguna membuka windows lainnya. Cara ini berpengaruh juga  pada proses download dari hasil akhir pencarian.
  2. Sering tidak memasukkan indeks dan abstrak (often not included in indexing and abstracting services). Pada umumnya artikel yang terdapat di online journals menyediakan keduanya, tetapi ada juga yang tidak melengkapi salah satunya.
  3. Pengarsipan (archiving), beberapa hal yang berkaitan dengan online journals adalah proses penyimpanan data digitalnya. Perpustakaan perlu menetapkan pilihan apakah akan disimpan sebagai koleksi tersendiri pada tempat  terpisah atau dibiarkan sesuai dengan kebutuhan pengguna karena bisa diakses kapan saja sepanjang masih dilanggan oleh perpustakaan.
  4. Sitasi yang mudah rusak (perishable citation), perubahan URL menjadikan akses ke online journals menjadi terganggu bahkan hilang semuanya.
  5. Keaslian  (authenticity), sumber dan otoritas material secara umum menjadi perhatian pada akses online journals. Kredibilitas pembacanya selalu harus diperhatikan oleh online journals.
  6. Mesin pencari mengabaikan file PDF (search engines ignore PDF files), perlu memperhatikan format dari artikel online journals. Format yang tersedia merupakan copy dari versi jurnal tercetaknya.

Penelitian online journals

Perpustakaan PT merupakan tempat yang sesuai bagi online journals,  hal ini sudah tidak perlu diragukan lagi. Pengguna potensial yang berada di perguruan tinggi, seperti civa dan peneliti, yang menjadikan perlunya perpustakaan  perlu menyediakan online journals.

Oleh karena itu  lingkungan perguruan tinggi akan memandang positif jika perpustakaan menyediakan online journals.  Penelitian yang dilakukan Chern dkk. (2007)  terhadap pengguna akhir (end user) mahasiswa Nanyang Technological  University, Singapore menunjukkan bahwa terdapat beberapa pandangan positif terhadap online journals.

Faktor (hyper) links, akses terhadap informasi tambahan menjadi faktor terbesar (86.7%.) dari aspek positif pengguna  terhadap online journals. Pengguna  menganggap bahwa online journals sangat menguntungkan dalam proses pencarian informasi karena dari satu artikel yang ada masih bisa mencari artikel atau informasi lainnya dengan menggunakan hiper (link) yang tersedia. Sebesar 9.6% menganggap faktor mudah memperkirakan panjangnya dokumen merupakan dan merupakan pilihan terkahir pengguna.

Dharma (2006) dalam penelitiannya di Miriam Budiardjo Resource Center (MBRC) FISIP UI  terhadap pemanfaatan Proquest menyatakan bahwa faktor manfaat yang dirasakan (perceived usefullness) merupakan factor yang paling kuat mempengaruhi keinginan pengguna untuk memanfaatkan jurnal elektronik Proquest.

Faktor kemudahan penggunaan (perceived ease of use) merupakan factor yang cukup kuat  mempengaruhi keinginan pengguna untuk memanfaatkan jurnal elektronik Proquest. Dituliskannya bahwa hal wajar bagi suatu sistem atau teknologi yang relatif baru diperkenalkan dan belum familiar di kalangan mahasiswa, sebab pada tingkat ini, orang cenderung ingin memanfaatkan suatu sistem yang mudah digunakan dan bermanfaat.

Factor kemudahan akses (accessibility) merupakan factor penting yang mempengaruhi keinginan pengguna untuk memanfaatkan jurnal elektronik Proquest. Sistem atau sumber informasi yang mudah diakses sudah pasti akan lebih mendorong pengguna potensial untuk memanfaatkannya dibanding jika sulit diakses.

Aspek-aspek pertimbangan dalam pengadaan online journals

Faktor kelebihan dan hasil penelitian di atas menggambarkan pengguna merasa perlu perpustakaan untuk menyediakan online journals. Tetapi selain factor di atas, perpustakaan sebagai unit yang mengadakan masih perlu mempertimbangkan aspek teknis dan non teknis lainnya. Salah satu faktor yang sering menjadi bahan pertimbangan adalah anggaran.

Keterbatasan dan mahalnya nilai jual online journals  sering menjadi masalah. Berdasarkan Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi edisi ketiga, dana yang harus dialokasikan untuk perpustakaan disarankan sebesar 5% dari seluruh anggaran perguruan tinggi (2004: 10). Pada kenyataannya hal tersebut sulit untuk dilaksanakan. Selain faktor di atas masih ada factor lainnya yang menjadi bahan pertimbangan.

1. Kebutuhan pengguna

Kebutuhan pengguna merupakan faktor utama yang menjadi pertimbangan untuk mengadakan online journals di perpustakaan. Chern (2007) mengatakan tugas perpustakaan untuk memperkenalkan online journals kepada penggunanya. Lebih lanjut dikatakannya pengguna perlu mendapat dukungan teknologi informasi dalam rangka memenuhi kebutuhannya yang terus berkembang.

Dalam hal pengguna tidak dibatasi hanya kepada pengguna perpustakaan saja tetapi bisa juga pustakawan yang juga  akan menggunakan online journals tersebut. Hal ini sangat penting bagi perguruan tinggi yang memiliki beberapa perpustakaan seperti perpustakaan pusat dan fakultas. Pustakawan dari Perpustakaan Pusat dan Fakultas dapat mengevaluasi online journals tersebut secara bersamaan.

Masukan pengguna untuk menyediakan online journals patut untuk dipertimbangkan oleh perpustakaan karena mereka adalah kelompok pengguna potensial perpustakaan. Hal yang tidak bijaksana apabila tersedianya online journal  hanya karena kehendak pustakawan semata. Apalagi hal itu dipicu  agar perpustakaan sudah dikategorikan sejajar dengan perpustakaan yang memang sudah termasuk kategori  perpustakaan digital.

2. Akses internet

Tanpa fasilitas akses internet, tidak mungkin untuk dapat  mengakses online journals. Online journals hanya dapat diakses melalui internet. De Groote (2003) mengatakan bahwa 98% dari responden yang diteliti merasa nyaman menggunakan komputer yang terkoneksi internet dan 532% menggunakan online journals MEDLINE sedikitnya seminggu sekali.

Meskipun dapat diakses di luar perpustakaan, tetapi perpustakaan  tetap perlu menyediakan fasilitas akses internet. Pengguna menjadi kecewa pada saat akan mengakses internet di perpustakaan, koneksinya mengalami gannguan atau bahkan tidak menyediakan fasilitas akses internet sama sekali. Dharma (2006) mengatakan faktor kurang maksimalnya fasilitas pendukung seperti komputer dan internet, kurang tersedianya artikel full text dan penggunaan password yang menyulitkan dan merupakan hambatan utama yang dirasakan pengguna pangkalan data jurnal elektronik.

Meskipun faktor penyebab kelancaran akses internet tidak saja disebabkan jaringan yang ada di perpustakaan, tetapi tetap saja hal itu menjadi tanggungjawab perpustakaan, seperti kesulitan untuk masuk (sign on) ke situs online journals. Kesulitan tersebut bisa diakibatkan oleh kurang tepatnya penulisan password atau memang situs penyedia online journals  sedang mengalami kendala teknis.

3. Fasilitas online journals

Pustakawan perlu mempelajari dengan seksama cakupan dan  fitur-fitur yang tersedia pada online journals tersebut. Chern (2007) mengatakan  akses merupakan hal utama untuk online journals, seperti link ke informasi tambahan dalam bentuk artikel lainnya, artikel yang terbaru dan fitur-fitur navigasi lainnya. Fitur-fitur yang tersedia akan memberikan kemudahan dan kepuasan kepada pengguna untuk memakainya.

Bagaimana hasil keluarannya? Adakah fasilitas lainnya yang membantu kemudahan mengakses, seperti mengirimkan artikel hasil penelusuran melalui email. Hal lainnya yang perlu diperhatikan berkaitan dengan fasilitas adalah hak akses pengguna seperti berapa jumlah jurnal yang tersedia, jurnal apa saja, apakah bisa diprint dan lain-lain.

Hak akses lainnya yang tidak kalah penting apakah terbatas hanya di dalam kampus atau bisa mengakses di luar kampus dengan menggunakan password. Terakhir adakah masa percobaan (trial) dan pelatihan bagaimana mengakses online journals tersebut.

4. Harga

Harga untuk berlangganan online journals selama setahun cukup tinggi jika dibandingkan dengan harga jurnal tercetak per tahunnya. Permasalahan harga merupakan sesuatu yang krusial untuk online journals di masa datang. Perlu ada kepastian apakah  harga menjadi tanggung jawab pelanggan  (perpustakaan) atau dibebankan ke pengguna (Hitchock, 1998). Menjadi tanggungjawab pengguna artinya pengguna memberikan kontribusi setiap akan menggunakan online journals.

Tetapi harga menjadi relatif jika melihat kepada  jumlah jurnal yang dapat diakses. Online journals menyediakan sampai lebih dari seribu judul jurnal. Apabila seluruh jurnal tersebut dikonversikan ke harga jurnal tercetak maka harga online journals menjadi murah. Selain itu dalam kurun waktu tertentu perpustakaan bisa mengoleksi judul jurnal yang cukup banyak meskipun dalam bentuk digital.

Akses ke seluruh jurnal tersebut dapat dilakukan secara bersamaan. Masalahnya muncul pada saat adanya kebutuhan untuk menyimpan. Online journals bisa disimpan dengan cara diunduh (download) digitalnya.

Sedangkan jurnal tercetak bisa dimiliki selamanya. Selain itu perpustakaan perlu menyediakan alat bantu akses dan printer apabila ingin mencetak. Perpustakaan mulai memikirkan dalam pengusulan anggaran tahunannya untuk memasukkan pengadaan online journals selain jurnal tercetak.

5. Sumber daya manusia

Pustakawan sebagai sumber daya manusia utama di perpustakaan bertanggungjawab sepenuhnya terhadap layanan online journals. Pustakawan harus mampu untuk mengoprasionalkan online journals dan menjadi orang yang pertama melek komputer (computer literate).

Bagaimana dapat menyediakan layanan online apabila perpustakaan tidak mampu menggunakannya?  Melek komputer memegang peranan penting dalam menggunakan sumber-sumber terpasang (online) (De Groote, 2003, 232).

Keberagaman kemampuan pengguna dalam mengakses mengharuskan pustakawan untuk kreatif bagaimana pengguna mau mengakses online journals yang sudah tersedia. Secara langsung keberadaan online journals mengkonsikan pustakawan untuk berubah dan lebih maju.

Aspek-aspek di atas dapat menjadi bahan pertimbangan apakah pustakawan akan mengadakan online journals atau tidak di perpustakaan. Tapi satu penting lainnya yang patut menjadi perhatian  adalah perpustakaan perlu faktor eksternal di luar aspek teknis seperti ketersediaan online journals disebabkan oleh dorongan agar perpustakaan dapat dikategorikan sebagai perpustakaan digital.

Dan menganggap perpustakaan sudah sejajar dengan perpustakaan lainnya yang sudah menyediakan online journals. Pustakawan perpustakaan PT harus lebih realistis dalam mengambil keputusan.

Promosi  Online Journals

Setelah perpustakaan memutuskan untuk mengadakan online journals di perpustakaan, saatnya pustakawan melakukan promosi pemanfaatannya. Aspek ini sangat penting karena akan mengajak para pengguna untuk memanfaatkan semaksimal mungkin online journals yang sudah tersedia tersebut.

Bagaimana pengguna memanfaatkan online journals jika mereka tidak mengetahui bahwa perpustakaan telah menyediakannya?  Jumlah mahasiswa S2 FISIP UI yang memanfaatkan jurnal elektronik belum maksimal. Hal ini disebabkan oleh kurang maksimalnya sosialisasi oleh orang yang tepat (Dharma, 2006, 94). Pemanfaatan yang kurang maksimal sering menjadi keluhan beberapa perpustakaan PT yang sudah menyediakan online journals.

Perpustakaan dapat melakukan beberapa cara promosi seperti membuat spanduk, meletakkan di website perpustakaan jika memiliki, brosur bahkan sampai dengan mengadakan pelatihan pencarian informasi (information skill programs). Beberapa cara tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Spanduk, memungkinkan setiap orang yang melintas di depan spanduk atau sedang memperhatikan keberadaan spanduk akan membaca tulisannya. Tulisan di spanduk harus membuat setiap orang yang melintas tertarik untuk membacanya. Sapnduk memungkinkan banyak orang yang membaca.

Kekurangannya adalah tulisan tidak dapat dibaca secara menyeluruh. Umumnya orang hanya membaca spanduk secara selintas, tidak menyediakan waktu yang khusus untuk membacanya. Lokasi dimana spanduk dipajang mempengaruhi banyaknya orang yang dapat membaca spanduk tersebut.

Website perpustakaan. Informasi dapat langsung dibaca oleh si pembaca website perpustakaan itu. Setiap orang yang membuka website akan mengetahui online journals yang sedang dilanggan oleh perpustakaan PT. Kelebihan lainnya yang besangkutan  dapat menggunakan secara langsung online journals tersebut.

Informasi tentang cakupan subjek dan pengguna online journals sebaiknya tersedianya di website tersebut, seperti pengguna online journals terbatas hanya dapat dimanfaatkann oleh civa perguruan tinggi  sendiri atau akses dapat dilakukan melalui intranet di lingkungan kampus. Kekurangannya tidak semua perpustakaan menyediakan atau memiliki website.

Selain itu tidak semua juga pengguna mempunyai waktu untuk sengaja membuka online journals. Penyebaran informasi terbatas bagi mereka yang mengakses internet sedangkan bagi yang tidak mengakses, tidak akan pernah mendapatkan informasinya.

Brosur. Brosur terdiri atas dua jenis yaitu brosur perpustakaan dan brosur khusus online journals. Brosur perpustakaan berisi seluruh informasi berkaitan dengan layanan di perpustakaan dan salah satunya adalah online journals. Sedangkan brosur khusus online journals berisi informasi khusus online journals.  Informasi di brosur akan terus diketahui oleh pengguna sepanjang yang bersangkutan menyimpan brosur tersebut.

Selain itu informasi tersebut dapat cepat sampai ke pengguna potensial. Kekuarangannya perpustakaan perlu menyediakan anggaran khusus untuk menyediakan brosur.  Pencetakan brosur memerlukan biaya yang tidak kecil. Selain itu brosur hanya akan dicetak dengan jumlah yang terbatas sehingga akan terbatas pula penyebarannya.

Information Skill Programs. Program ini merupakan salah satu program yang bersifat pengajaran langsung yang dilaksanakan oleh pustakawan perguruan tinggi. Karena bersifat langsung program ini sangat efektif untuk menyampaikan adanya online journals di perpustakaan. Pustakawan dapat membahas segala hal yang berkaitan dengan online journals di perpustakaan.

Bagaimana cara mengakses, menelusur dan hal-hal yang berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan suatu online journals? Strategi penelusuran dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Peserta dapat dalam bentuk kelompok-kelompok kecil dalam kelas dan dapat mempraktekkan online journals secara langsung. Kekurangannya tidak semua pengguna potensial dapat dilayani dengan baik.

Pustakawan harus mempersiapkan dengan baik pelatihan  tersebut. Ketersediaan ruangan lab komputer dengan kapasitas  sejumlah peserta menjadikan terbatasnya peserta yang mengikutinya.  Waktu pelatihan harus disesuaikan dengan kesiapan pengguna.

Karena peserta terdiri atas mahasiswa atau pengajar yang juga perlu membagi waktu dengan masa mengaja atau belajar mereka, maka mereka  perlu benar-benar meluangkan waktunya  untuk mengikuti pelatihan ini.

Kesimpulan

Saat ini beberapa perpustakaan PT sudah menyediakan online journals sebagai salah satu jenis koleksinya. Proses pengadaannya sampai dengan dilayankan membutuhkan beberapa beberapa aspek yang perlu menjadi bahan pertimbangan. merlukan beberapa memerlukan beberapa hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan.

Hal tersebut perlu diperhatikan sehingga perpustakaan PT menetapkan salah satu online journals berdasarkan keputusan yang tepat. Sehingga seluruh biaya yang sudah dikeluarkan tidak menjadi sia-sia.

Untuk menggambarkan secara jelas tentang proses ketersediaan online journals, berikut diagram alur mulai dari penilaian sampai dengan promosi ke penggunanya.

Dengan demikian semakin jelas bahwa ketersediaan online journals tidaklah mudah. Keterlibatan pustakawan dan juga pengguna yang akan memanfaatkan online sangat penting. Tanpa adanya partisipasi dari keduanya, online journals menjadi tidak memiliki manfaat baik bagi perpustakaan dan khususnya pengguna di perguruan tinggi tersebut.

Labels: ,

Sunday, August 10, 2008

Film : Aset Budaya Bangsa yang Harus Dilestarikan!

Film : Aset Budaya Bangsa yang Harus Dilestarikan!


Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 10 No. 2 - Agustus 2008

Abstrak


Film adalah sebuah proses sejarah atau proses budaya suatu masyarakat yang disajikan dalam bentuk gambar hidup. Film juga merupakan karya cipta manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan. Fungsi film diantaranya adalah sebagai media informasi dan merupakan media sosial karena melalui film masyarakat dapat melihat secara nyata apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tertentu pada masa tertentu.

Pelestarian film sebagai karya cipta manusia bernilai tinggi telah mendapatkan perhatian besar baik dalam skala nasional maupun internasional. Pelestarian film tidak hanya cukup dengan menyimpan dan memelihara, tetapi film seharusnya dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat luas untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran.

Sebuah film dikatakan lestari jika film tersebut tetap dapat diakses dan dimanfaatkan masyarakat sebagai acuan dalam mempelajari sejarah atau budaya bangsa. Lembaga yang bertanggung jawab terhadap pelestarian film tersebut misalnya Sinematek Indonesia dan Perpustakaan Nasional RI.

Pengantar


Di suatu pagi di sebuah perpustakaan, seorang siswa SMU sedang sibuk mencari literatur berupa buku atau bahan pustaka  mengenai Loetoeng Kasaroeng. Gurunya menyuruh membuat esai mengenai legenda dari Jawa Barat itu. Siswa tersebut pun larut dalam bacaan dan literatur yang diperolehnya di perpustakaan.

Beberapa buku dan majalah dilahapnya sampai memiliki bahan yang cukup banyak untuk membuat suatu esai. Namun dalam lubuk hatinya, siswa tersebut ingin sekali melengkapi informasi untuk esai itu dari film tentang Loetoeng Kasaroeng yang terkenal itu. Tapi, kemana harus mencarinya?

Di tempat lain, seorang mahasiswa sedang dilanda kebingungan. Pasalnya, mahasiswa sastra tersebut sedang  menyelesaikan skripsi  mengenai  dialek masyarakat Jakarta di era 60 sampai 70an. Beberapa literatur yang dibacanya tidak dapat memberikan gambaran jelas mengenai dialek yang ditulisnya.  Mahasiswa tersebut yakin bahwa jika seandainya ada koleksi audio visual seperti film  yang dapat dia akses dengan mudah, pastilah skripsinya akan lebih sempurna. Tapi, dimana dapat memperolehnya?

Di sebuah kampus, seorang dosen muda sedang getol-getolnya melakukan penelitian mengenai cara masyarakat berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari sejak era lima puluhan sampai dekade sembilan puluh. Literatur yang ada cukup banyak memberi informasi dan gambaran mengenai topik tersebut, tapi dosen tersebut merasa akan lebih lengkap jika dapat melihat sebuah naskah dalam bentuk audio visul. Film misalnya. Tapi, dimana mencarinya?

Tak perlu diperdebatkan lagi bahwa masyarakat cukup menyadari tentang keberadaan film  sebagai bukti eksistensi sebuah budaya. Sama seperti buku yang memiliki masa dan pembacanya, maka film pun memiliki jaman dan pemirsanya. Terlepas dari kualitas sebuah film, apapun jenis dan bentuknya, film tetaplah bagian dari budaya sebuah bangsa. Dan sebagai bagian dari khasanah budaya bangsa, seharusnya film juga mendapat perlakuan yang sama dengan koleksi lain. Film harus mudah diakses masyarakat luas.

Tulisan ini tidak bermaksud mengkaji persoalan kualitas atau mutu sebuah film, namun lebih fokus pada pelestarian dan akses ke film sebagai bagian dari informasi yang mencerminkan  perkembangan budaya bangsa Indonesia.

Mengapa film?


Ada beberapa pengertian tentang film. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka (1990 : 242), film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop).

Film juga diartikan sebagai lakon (cerita) gambar hidup. Dari definisi yang pertama, kita dapat membayangkan film sebagai sebuah benda yang sangat rapuh, ringkih, hanya sekeping compact disc (CD). Tapi di sisi lain, pengertian ke dua memberi gambaran yang lebih kompleks, sebagai perekam sejarah yang baik.

Pengertian lebih lengkap dan mendalam tercantum jelas dalam pasal 1 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman di mana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video.

Dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronika, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem mekanik, elektronik dan/atau lainnya.

Sedangkan film maksudnya adalah film yang secara keseluruhan diproduksi oleh lembaga pemerintah atau swasta atau pengusaha film di Indonesia, atau yang merupakan hasil kerja sama dengan pengusaha film asing.

Pengertian di atas jelas mengungkapkan bahwa film adalah sebuah proses sejarah atau proses budaya suatu masyarakat yang disajikan dalam bentuk gambar hidup. Sebagai sebuah proses, banyak aspek yang tercakup dalam sebuah film. Mulai dari pemain atau artisnya, produksi, bioskop, penonton, dan sebagainya. Film juga identik sebagai hasil karya seni kolektif yang melibatkan sejumlah orang, modal, dan manajemen.

Dalam proses pembuatannya, pada dasarnya film merupakan komoditi jasa kreatif untuk dinikmati masyarakat luas. Dinilai dari  sudut mana pun, film adalah acuan otentik tentang berbagai hal, termasuk perkembangan sejarah suatu bangsa. Film merupakan karya cipta manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan.

Fungsi lain tentang film adalah sebagai media informasi. Seperti halnya dengan buku atau karya cetak lainnya, fotografi, rekaman suara, lukisan atau karya seni lainnya, film merupakan media penghantar informasi kepada masyarakat. Informasi yang tersaji dalam sebuah film memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat.

Banyak aspek yang dapat disajikan dalam sebuah film, misalnya: alur cerita, karakter tokoh atau pemain, gaya bahasa, kostum, ilustrasi musik, dan setting. Apapun jenis atau temanya, film selalu meninggalkan pesan moral kepada masyarakat yang dapat diserap dengan mudah karena film menyajikan pesan tersebut secara nyata.

Gambar hidup yang ditampilkan di film memberi dampak yang berbeda dari untaian kata-kata dalam sebuah buku. Mencerna sebuah film dapat dikatakan lebih mudah daripada mencerna sebuah tulisan. Maka sebetulnya film sangat strategis dijadikan media komunikasi bagi masyarakat banyak.

Disamping sebagai media komunikasi, film juga merupakan dokumen sosial, karena melalui film masyarakat dapat melihat secara nyata apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat  tertentu pada masa tertentu. Melalui film kita tidak hanya dapat melihat gaya bahasa atau mode pakaian masyarakat, tapi juga dapat menyimak bagaimana pola pikir dan tatanan sosial masyarakat pada era tertentu.

Sesuatu yang sulit kita bayangkan jika membaca sebuah buku, dengan mudah dapat disajikan di film. Contohnya, di sebuah buku kita dapat mengetahui bahwa cara berpakaian anak muda tahun 70 an adalah gaya cutbrai dengan jambul ala Elvis Presley. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, kitra perlu memahami siapa itu Elvis Presley dan bagaimana gaya berpakaiannya.

Dalam film, gaya itu dengan mudah kita tahu dan kita lihat tanpa memerlukan intelijensi atau kemampuan verbal yang tinggi.  Karena itu film juga disebut sebagai media edutainment, di mana selain mendidik film juga harus menghibur.

Mohon dicatat, unsur pedagogi (pendidikan)lah yang seharusnya menjadi yang utama dalam sebuah film. Bukan hiburan. Melihat statusnya yang dihubungkan dengan tatanan ekonomi karena menyangkut produksi, distribusi, eksibisi dan masyarakat penonton, maka film akhirnya menjadi suatu produk perdagangan yang vital dan menjadi lapangan kerja yang potensial.

Hal lain yang menonjol dari film  adalah bahwa sebuah film tercipta atas kerjasama berbagai profesi. Walaupun mereka menyebutnya ‘pekerja seni’ tapi setiap pihak yang terlibat sesungguhnya memiliki kompetensi yang berlainan. Sutradara misalnya, disamping harus paham isi skenario dia juga harus mengerti teknik pengambilan gambar, musik yang pas untuk tema tertentu, ekspreasi yang tepat untuk lakon tertentu, dan sebagainya.

Lalu kameramen, disamping harus menguasai teknik-teknik pengambilan gambar, dia juga harus mengenal karakter pemain sehingga dapat mengambil sudut-sudut yang pas ketika si pemain (artis) berakting. Artis A mungkin harus disorot dari samping untuk memberi kesan tertentu, sedangkan artis B harus disorot dari depan.

Begitu juga dengan pihak lain, seperti artis, seksi kostum, penata musik, penata lampu, dan sebagainya. Bayangkan, betapa rumitnya memroduksi sebuah film karena harus melibatkan berbagai pihak. Karena itu seringkali orang mengatakan bahwa sebuah film yang bagus sama dengan sebuah kerjasama yang brillian.

Dari sisi lain, film juga merupakan koleksi local content (muatan lokal) yang sangat khas. Jika buku dapat diterjemahkan dengan persis ke dalam berbagai bahasa tanpa mengubah isi dan maknanya, maka film tidak mungkin melakukan itu. Sebuah film asing misalnya, jika disadur menjadi film lokal dan dimainkan oleh artis lokal, maka isi dan maknanya pasti berubah, sekalipun tidak ada teks yang diubah.

Hal ini dapat terjadi karena kesan dan pesan dari sebuah cerita dalam film akan sangat tergantung pada cara pemain memainkannya. Film ‘Ayat-ayat Cinta’ misalnya. Dengan cerita yang sama pasti akan memberikan makna yang berbeda jika dimainkan oleh artis Mesir dan syutingnya berlokasi di Arab Saudi. Ini menunjukkan betapa sebuah film tidak pernah terlepas dari masyarakatnya.

Inilah yang paling utama. Film selalu menjadi cerminan masyarakatnya. Ada ide-ide atau pesan-pesan tertentu yang selalu ingin disampaikan dalam sebuah film. Jika kita amati, film-film Hollywood selalu bertema : "kemenangan atau kehebatan Amerika".

Apapun jalan ceritanya, film Hollywood selalu berakhir dengan tema itu. Tak dapat dipungkiri bahwa Hollywood cukup berani dan terbuka mengangkat kasus-kasus sensitif ke layar lebar. Fakta-fakta yang ada dengan gamblang ditampilkan di layar, tapi ending nya selalu diakhiri ‘kemenangan’. Kalau dipikir-pikir, dalam kenyataannya, memang itulah Amerika. Selalu ingin menjadi nomor satu. Selalu ingin menjadi pemenang.

Dan tanpa kita sadari, setiap kali selesai menonton film Hollywood, rasa kagum kita semakin bertambah pada negara ini.  Betapa hebatnya teknologi mereka. Betapa canggihnya sistem intelijen mereka. Betapa mengagumkannya kemampuan militer mereka. Kekaguman yang tercipta hanya karena menonton sebuah film besutan mereka.

Secara mudah dapat dikatakan bahwa Hollywood berhasil membentuk opini masyarakat dunia mengenai Amerika melalui film. Bayangkan! Begitu juga dengan film-film Bollywood. Tema-tema yang diangkat identik dengan budaya dan persoalan-perssoalan khas masyarakat di negara tersebut. Maka, film memang sesuatu yang khas, unik, dan nyata.

Mengapa harus dilestarikan?


Mengacu pada alasan-alasan di atas, semestinya tidak perlu ada pertanyaan "mengapa film harus dilestarikan?" Sudah sangat jelas bahwa film adalah salah satu bukti sejarah yang dapat dicerna masyarakat dengan mudah. Pelestarian film sebagai karya cipta manusia bernilai tinggi telah mendapatkan perhatian besar baik dalam skala nasional maupun internasional.

Tak kurang dari UNESCO yang telah menerbitkan rekomendasi bagi negara-negara anggotanya untuk perlindungan dan pelestarian citra bergerak sebagai khazanah budaya bangsa, yang tertuang dalam Recommendation for the safeguarding and preservation of moving images (UNESCO, 1980). Rekomendasi ini menekankan bahwa pada prinsipnya semua citra bergerak produksi nasional harus dianggap oleh negara sebagai bagian integral dari khazanah citra bergerak (moving image heritage).

Indonesia sendiri sudah menerbitkan UU No. 4 Tahun 1990 sebagai landasan hukum pelaksanaan serah simpan karya cetak dan karya rekam. UU ini ditetapkan atas dasar pertimbangan bahwa karya cetak dan karya rekam merupakan salah satu hasil budaya bangsa yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional pada umumnya, khususnya pembangunan pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan penyebaran informasi, serta pelestarian kekayaan budaya bangsa berdasarkan Pancasila.

Disamping itu dalam rangka pemanfaatan hasil budaya bangsa tersebut, karya cetak dan karya rekam perlu dihimpun, disimpan, dipelihara, dan dilestarikan di suatu tempat tertentu sebagai koleksi nasional. Maka jelas sekali bahwa pelestarian film menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

Perlu ditekankan pula bahwa persoalan pelestarian memang bukan persoalan mutu. Dari segi kualitas, mungkin kebanyakan film kita hanya enak dilihat, namun tidak enak dinikmati.  Tapi soal mutu atau kualitas tak layak dijadikan asalan untuk tidak memperhatikan pelestariannya.

Hikmat Darmawan (redaktur rumahfilm.org) mengatakan betapa menariknya, misalnya,  jika kita dapat menjajarkan sejumlah film dengan setting Jakarta dari era 1950-an hingga era 1990-an? Pasti akan terkumpul  banyak informasi sosio-kultural yang kaya tentang proses Jakarta menjadi metropolitan, misalnya: dari masa jalanan lengang melompong hingga masa munculnya rimba beton; atau dari masa Jakarta penuh dengan sepeda dan becak, lalu masa oplet, motor trail hingga masa mobil sport; atau dari masa kaum lelaki bercelana jengki, lalu beralih ke model cutbrai, hingga masa jeans belel; atau dari masa potongan rambut wanita model punk rock, lalu model Lady Diana, kemudian booming model Demi Moore, sampai model shagy dan lyer.

Rekaman seperti itu bukan semata-mata untuk nostalgia, tapi terutama demi kesadaran akan sejarah. Melalui film generasi muda dapat melihat dan "merasakan" rangkaian sejarah masa lalu. Mestinya film juga bisa menghidupkan sejarah. Karakter mediumnya yang audio-visual, yang lebih mudah diserap oleh massa daripada  bacaan, akan membantu sejarah menemui publik yang luas.

Bagaimana melestarikannya?


Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa melestarikan berarti memelihara atau menyimpan baik-baik sesuatu agar tidak lenyap begitu saja. Namun pelestarian, apa pun, sesungguhnya tidak sesederhana itu. Pelestarian bertujuan untuk menjadikan sesuatu tetap ada seperti aslinya. Tidak rusak, tidak musnah. Demikian juga halnya dengan film.

Tidak cukup dengan menyimpan dan memelihara, film seharusnya dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat luas untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran. Jika hanya dengan menyimpan dan memelihara, sejujurnya semua film pastilah disimpan di tempat tertentu. Minimal produsernya pasti menyimpan arsip film tersebut.

Tapi bagaimana masyarakat tahu bahwa sebuah film disimpan di tempat tertentu. Terlebih lagi bagaimana jika masyarakat ingin mengakses film tersebut? Kemana harus mencarinya? Lembaga apa yang harus dihubungi? Maka fokus perhatian kita seharusnya pada persoalan akses dan pemanfaatan.

Sebuah film dikatakan lestari jika film tersebut tetap dapat diakses dan dimanfaatkan masyarakat sebagai acuan dalam mempelajari sejarah atau budaya bangsa. Dan untuk itu film tersebut harus berada dalam jangkauan masyarakat, di tempat yang dapat dengan mudah diakses. Film seharusnya diperlakukan sama dengan koleksi buku, yang dengan mudah dapat diperoleh di perpustakaan, menjadi milik publik karena film juga mengandung nilai sejarah.

Menurut Hikmat, hal pertama yang perlu disadari adalah bahwa pelestarian harus diawali dengan apresiasi.  Persoalannya adalah   kesadaran mayoritas masyarakat kita untuk memelihara sesuatu masih sangat minim, apalagi kalau menyangkut milik umum.

Hal ini dapat kita buktikan dari perilaku sehari-hari masyarakat yang kurang peduli kepada fasilitas umum, seperti telepon umum (banyak yang sengaja dirusak), halte (penuh dengan coretan dan pengrusakan), dan lain-lain. Indikasi ini juga terasa sampai ke hal-hal yang lebih serius, termasuk dalam hal pelestarian film.

Artinya, belum muncul iklim preservasi yang optimal. Keinginan  memelihara suatu produk budaya biasanya bersifat sporadis dan hanya dilakukan oleh kelompok tertentu yang menganggap produk tersebut penting bagi mereka.

Merujuk pada konsep pelestarian, penulis menganggap bahwa ada tiga hal pokok yang menjadi permasalahan utama dalam pelestarian film, yaitu : pengumpulan (akuisisi), pengolahan, dan akses.

Pengumpulan (akuisisi)


merupakan kegiatan awal yang menentukan sebuah film akan disimpan. Pemerintah atau lembaga terkait harus dapat meyakinkan bahwa setiap film yang dibuat harus memiliki arsip di tempat tertentu. Pengumpulan juga dapat menjadi gambaran tingkat kreatifitas pekerja seni dari segi kuantitas. Masyarakat dengan mudah dapat mengetahui berapa jumlah film yang dibuat dalam satu tahun. Akuisisi dapat melibatkan lembaga pendidikan, rumah produksi, pekerja seni, dan perpustakaan.

Pengolahan


berkaitan dengan pemeliharaan agar film tersebut tetap utuh seperti aslinya. Mengingat fisik film yang cenderung rapuh, maka diperlukan kebijakan pengolahan yang tepat, khususnya menyangkut fasilitas penyimpanan agar tidak cepat rusak. Pengolahan juga berkaitan dengan akses kepada masyarakat luas. Perkembangan teknologi dewasa ini sangat memungkinkan untuk melakukan pengolahan dengan mudah. Teknologi digital dan penyimpanan (storage) memungkinkan kita untuk mengolah koleksi film dan menjadikannya bagian dari bahan pustaka. Pengolahan dapat melibatkan Perpustakaan Nasional RI atau perpustakaan lainnya.

Akses


maksudnya adalah bagaimana masyarakat dapat mengakses koleksi film dengan mudah. Selama ini pemerintah dan pekerja seni lebih fokus pada pembuatan dan penyimpanan film, tapi jarang memikirkan persoalan akses.

Jika kita sepakat bahwa film adalah cerminan sejarah dan budaya bangsa, bukankah seharusnya film juga menjadi milik publik? Jika buku dengan mudah dapat dibeli di toko buku atau diakses di perpustakaan, bukankah film juga seharusnya "mudah" diakses? Penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa film harus tersedia di toko buku atau di perpustakaan dalam bentuk keping-keping CD, tapi minimal film harus memiliki jangka waktu "eksklusif".

Contohnya, satu tahun setelah peredarannya, sebuah film seharusnya menjadi milik publik, dapat diakses dengan mudah. Akses ini sangat penting karena sesungguhnya sesuatu yang secara fisik ada, tidaklah berarti kalau tidak dilihat dan diketahui orang lain. Film hanya dapat lestari jika masyarakat memang mengetahui isi film tersebut, dan untuk itu aksesnya harus dipermudah. Akses dapat dilakukan di perpustakaan-perpustakaan yang memang dekat dengan masyarakat luas.

Siapa yang harus melestarikan?


Indonesia sebetulnya merupakan negara yang cepat tanggap terhadap perlunya arsip film, khususnya di Asia Tenggara. Hal ini dibuktikan oleh riwayat Sinematek Indonesia (SI). SI pertama kali dirintis  Januari 1971 dalam lingkungan LPKJ (sekarang IKJ) dengan nama Pusat Dokumentasi Film.

Saat itu lembaga ini hanya menghimpun dokumen-dokumen untuk kepentingan penulisan sejarah film Indonesia untuk kepentingan kurikulum di LPKJ. Jadi, bukan melestarikan arsip film. Pada tahun 1973, setelah mendapatkan orientasi di Nederland dan Eropa, muncullah gagasan mendirikan arsip film.  Gagasan ini berjalan terseok-seok karena persoalan dana. Dana hanya didapat sedikit dari subsidi DKJ (Dewan Kesenian Jakarta.

Pada tanggal 20 Oktober 1975, bersamaan dengan berdirinya gedung/lembaga Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, berdirilah Sinematek Indonesia (SI) dengan SK Gubernur DKI. SI merupakan arsip film pertama di Asia tenggara. Tahun 1978 SI diterima bergabung dalam FIAF (Federation Internasionale des Archives du Film), dan merupakan arsip pertama di Asia yang tergabung dalam asosiasi internasional.

Biaya operasional disubsidi oleh Pemda DKI. Sejak tahun 1978 subsidi dicabut, karena Pemda DKI merasa tidak bertanggung jawab membina film. Selanjutnya SI mengalami persoalan berkaitan dengan dana. Namun terlepas dari persoalan di atas, yang jelas tujuan didirikannya  SI adalah sebagai:

  • 1) menjadi arsip-arsip film;

  • 2) menjadi pusat pengumpulan dan pengolahan data; sumber rujukan bagi studi dan penelitian mengenai film di Indonesia;

  • 3) menjadi pusat kegiatan penelitian kegiatan film;

  • 4) mendukung industri film dalam negeri dan Asia dengan ketersediaan bahan-bahan yang terdokumentasikan serta data yang otentik;

  • 5) meningkatkan pengetahuan orang secara non didaktif tentang film;

  • 6) memberikan layanan sebaik mungkin kepada masyarakat untuk menumbuhkan apresiasi masyarakat terhadap film;

  • 7) menjadi pusat hubungan-hubungan antara dunia perfilman dan dunia keilmuan.


Tujuan didirikannya SI jelas-jelas mendukung pelestarian film. Namun SI bukanlah satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab terhadap pelestarian tersebut. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) termasuk lembaga yang memiliki kewajiban menyimpan seluruh karya cetak dan karya rekam yang ada di negeri ini.

Berdasarkan Keppres No.50 Tahun 1998, Deputi Pengembangan Bahan Pustaka dan Layanan Informasi merupakan unit kerja yang terlibat secara langsung dalam upaya pemberlakuan UU No.4 Tahun 1990 untuk film cerita dan dokumenter. Lalu ada lembaga lain, yaitu Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang juga mempunyai tanggung jawab menyimpan arsip film.

Walaupun dengan proporsi yang berbeda, ke tiga lembaga di atas memiliki tanggung jawab nyata dalam pelestarian film, namun keterlibatan ini juga menimbulkan ketidakjelasan karena terjadinya duplikasi pekerjaan dan tanggung jawab. Karena itu pemerintah perlu mendukung dengan kebijakan yang tegas, relevan, serta menyediakan dana yang memadai.

Kebijakan yang dimaksud adalah menyangkut pembuatan peraturan sesuai dengan kebutuhan di lapangan dan melibatkan masyarakat seni menyusun kebijakan tersebut. Sedangkan mengenai dana, secara formal pemerintah harus dengan tegas menjadikan pelestarian film sebagai bagian integral dari kegiatan pelestarian sejarah dan budaya bangsa.

Disamping itu juga pemerintah perlu melibatkan perusahaan atau para pengusaha untuk memberi kontribusi dalam hal dana, misalnya dengan cara memberi kesempatan beriklan di film tersebut atau sebagai bagian dari kegiatan sosial perusahaan. Di sisi lain, pemerintah juga dapat  memberdayakan unsur pendidikan melalui sekolah untuk meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya pelestarian film sejak dini.

Kurikulum di sekolah dapat dirancang sedemikian rupa yang mengarah pada apresiasi para siswa terhadap film, misalnya dengan mengadakan acara menonton bersama atau membahas suatu film secara bersama-sama. Kegiatan yang lebih bermanfaat tentu dengan mengadakan kajian-kajian atau penelitian ilmiah tentang film.

Pekerja seni sejujurnya memiliki peran besar yang tanpa disadari amat berpengaruh terhadap apresiasi masyarakat akan film. Sebagaimana dikatakan Hikmat Darmawan, pelestarian harus dimulai dari apresiasi. Menurut penulis, apresiasi hanya dapat tercipta jika pekerja seni memahami apa yang dibutuhkan masyarakat.

Artinya, masyarakat akan memberikan apresiasi terhadap film jika film tersebut memang sesuai dengan keinginan mereka. Sekarang ini, pekerja seni, para pembuat film atau sinetron sering sekali mengumbar pernyataan bahwa masyarakat kita butuh mimpi, dan itulah yang diberikan oleh dunia sinema. Para sineas selalu berpatokan pada apa yang mereka sebut dengan "pasar".

Menurut mereka, apa yang sedang booming di masyarakat, itulah pasar. Kalau saat ini semua layar lebar dan layar kaca penuh dengan adegan "hantu", maka pasarnya memang demikian. Mungkin betul. Tapi kita lupa bahwa pasar itu sebetulnya dibuat dan ditentukan oleh para pembuat film itu sendiri. Penonton, sebagai konsumen tidak mempunyai kuasa untuk mengatakan bahwa mereka tidak menginginkan film atau sinetron seperti itu. Penonton sebetulnya hanya sebagai "korban".

Jika sampai saat ini bioskop masih tetap penuh, sebetulnya karena penonton memang tidak punya pilihan. Sementara mereka butuh hiburan. Maka, kalau ditelisik lebih mendalam, bukan masyarakat yang menentukan pasar, tapi pembuat film lah yang "memaksa" masyarakat membuat pasar itu. Itu sebabnya, masyarakat mudah sekali beralih jika ada pembanding, film asing misalnya.

Menurut penulis, sudah saatnya para pekerja seni khususnya pembuat film memiliki filosofi atau komitmen bahwa tujuan membuat film adalah untuk mendidik, tidak semata-mata menghibur. Para artis, sutradara, dan segenap komponen terkait harus terus mengevaluasi apa yang telah mereka lakukan selama ini.

Apakah akting yang mereka tampilkan di layar lebar atau layar kaca hanyalah dalam rangka melaksanakan pekerjaan sebagai artis? Ataukah hanya untuk popularitas dan kenyamanan finansial? Kalau dipikir-pikir, para pekerja seni tidak beda dengan pekerja di bidang pendidikan: guru, dosen, penulis, peneliti.

Masyarakat akan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap film, jika apa yang disajikan di layar lebar benar-benar memberikan sesuatu yang bersifat positif bagi mereka. Bukan mimpi. Bukan akting. Sebagaimana penulis uraikan di atas, film-film Hollywood dan Bollywood selalu mencerminkan siapa mereka. Bangsa-bangsa lain menjadikan film sebagai media mentransfer ideologi dan budaya mereka kepada masyarakat dunia, tanpa harus membuat penontonnya bermimpi. Kenapa kita tidak bisa melakukan itu?

Di pihak lain, masyarakat harus terus memberikan masukan positif dan terlibat aktif dalam pelestarian film. Banyak kalangan yang dapat berperan dalam hal ini, seperti masyarakat pencinta dan pengamat film, wartawan film, dan kalangan akademik. Masyarakat harus berani menentukan pilihan sehingga para pekerja seni terus meningkatkan kualitas profesional mereka. Penonton harus berani membentuk pasar yang memaksa pekerja seni terus belajar dan mengakaji peran strategis mereka dalam masyarakat.

Penutup


Bagaimanapun, film sebagai fenomena atau gejala kehidupan modern sudah merasuk jauh dan diterima sebagai poduk budaya yang memiliki berbagai dimensi kekaryaan dan ketrampilan. Artinya, film telah menempati posisi tertentu dalam masyarakat Indonesia. Film juga telah menjadi produk perdagangan yang sangat vital dan menjadi lapangan kerja berbagai profesi.

Film adalah sesuatu yang unik, nyata dan merupakan cerminan masyarakat. Berangkat dari konsep itulah, maka pelestarian film perlu mendapat perhatian atau keterlibatan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pekerja seni, pengusaha, penonton, dan pihak lain.  Undang-Undang yang sudah ada harus menjamin masyarakat dapat mengakses dan memanfaatkan film sebagai bahan pembelajaran. Untuk itu diperlukan komitmen yang jelas dari berbagai pihak.

Komitmen pemerintah, menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan dan pelestarian film,  mencakup kebijakan yang relevan dan luwes, serta dukungan dana. Komitmen ini juga mencakup keterlibatan lembaga-lembaga terkait seperti SI, Perpustakaan, lembaga pendidikan, dan perusahaan.

Mengingat Sinematek Indonesia sudah melakukan kegiatan pelestarian film selama ini, pemerintah perlu memberi dukungan penuh pada SI dalam hal akuisisi dan pengolahan dan  memberdayakan PNRI sebagai gerbang atau portal untuk akses ke masyarakat luas karena publik lebih mengenai perpustakaan sebagai tempat untuk mengakses informasi.

Komitmen pekerja seni untuk menjalankan profesinya dengan merujuk pada fungsi film sebagai media pendidikan bagi masyarakat. Penting sekali bagi pekerja seni untuk mengasah ketajaman mereka "mencium" selera pasar melalui kajian-kajian ilmiah.

Komitmen masyarakat dengan mengembangkan sikap-sikap kritis dan asertif dalam memberikan penilaian terhadap film, serta menjadikan film sebagai media pembelajaran.
Memelihara film adalah bagian dari memelihara sejarah. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang mengerti dan menghargai sejarah?

Penulis: Kalarensi Naibaho [sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 10 No. 2 - Agustus 2008]

Labels: