<data:blog.pageTitle/>

This Page

has moved to a new address:

http://duniaperpustakaan.com

Sorry for the inconvenience…

Redirection provided by Blogger to WordPress Migration Service
Dunia Perpustakaan | Informasi Lengkap Seputar Dunia Perpustakaan: December 2012

Monday, December 3, 2012

Menggagas Kualitas Perpustakaan Perguruan Tinggi

Dunia Perpustakaan | Perpustakaan Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenis perpustakaan di Indonesia yang jumlahnya terus bertambah.

Salah satu hal yang sangat perlu diperhatikan dalam perpustakaan perguruan tinggi, salah satunya adalah terkait dengan pengelolaan yang berkwalitas.

Di Indonesia, jumlah perpustakaan perguruan tinggi, belum semuanya memiliki kwalitas yang baik dan merata.

Ada banyak hal menyebabkan sebuah perpustakaan perguruan tinggi bisa dikatakan memiliki kwalitas yang baik atau kurang baik.

Berikut ini merupakan sebuah Makalah yang membahas terkait dengan "Menggagas Kualitas Perpustakaan Perguruan Tinggi".

Ilustrasi | archdaily.com

Abstrak

Sesuatu dapat dikatakan berkualitas jika memenuhi persyaratan-persyaratan kualitas yang telah ditentukan. Kualitas dapat diukur berdasarkan sebuah standar (acuan) yang diikutinya. Kualitas sebuah perpustakaan perguruan tinggi dapat diukur berdasarkan suatu standar pengelolaan perpustakaan yang diimplementasikan oleh perpustakaan tersebut.

Acuan standar yang dapat diiimplementasikan oleh perpustakaan perguruan tinggi dalam mencapai kualitas yaitu Standar Nasional Perguruan Tinggi SNI 7330:2009 atau Standar Nasional Perpustakaan SNP 010:2011. Acuan standar lainnya yang dapat diiimplementasikan oleh perpustakaan perguruan tinggi yakni ISO 11620:2008.

Selain acuan standar tersebut per-pustakaan perguruan tinggi juga dapat mengimplementasikan sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 sebagai standar sistem manajemen mutu yang diakui secara internasional.

Suatu acuan standar yang diimplementasikan oleh perpustakaan perguruan tinggi akan sangat berdaya guna jika dalam implementasinya diikuti dengan akreditasi yang dilakukan oleh lembaga independen.

Pengantar

Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-4 tahun 2008 mengartikan ‘kualitas’ sebagai tingkat baik buruknya sesuatu. Secara tersurat, arti ‘kualitas’ yang dinyatakan oleh KBBI ter-sebut menggambarkan suatu tingkatan baik atau buruk yang mestinya didasarkan kepada suatu acuan yang digunakan.

Sesuatu dapat dinilai baik jika ada ukuran atau acuan peni-laiannya. Acuan penilaian pada umumnya berupa aturan standar yang telah ditetapkan dan disepakati untuk dilaksanakan, misalnya Standar Nasional Indonesia (SNI) Perpustakaan Perguruan Tinggi (SNI 7330:2009).

Acuan penilaian akan bermakna dan memiliki kekuatan jika pelaksanaannya diawasi (dimonitor) oleh lembaga penilai yang bersifat independen.

Sebagai contoh, di kalangan perguruan tinggi dan  sekolah-sekolah di Indonesia  telah berlangsung penilaian terhadap penyelenggaraan pendidikan yang dikenal dengan akreditasi.

Di dalam akreditasi sekolah atau perguruan tinggi tersebut tentu saja pihak yang diakreditasi adalah pihak yang harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang  telah ditentukan.

Akreditasi di bidang pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah penilaian tingkat kualitas penyelenggaraan pendidikan oleh sebuah lembaga pendidikan tertentu.

Penilaian terhadap pelaksanaan suatu standar oleh lembaga independen akan menjadi cara pengukuran untuk menentukan kualitas suatu institusi atau kualitas seseorang dalam profesi tertentu.

Perpustakaan perguruan tinggi, sebagai sebuah institusi, agar kualitasnya terukur, maka perlu dilakukan penilaian (akreditasi) terhadap penyelenggaraannya. Suatu penilaian perpustakaan perguruan tinggi oleh lembaga independen yang didasarkan pada suatu acuan penilaian yang bersifat objektif dan transparan kiranya akan menjawab tingkat kualitas perguruan tinggi.

Jalan Menuju Perpustakaan Berkualitas

Perpustakaan perguruan tinggi (PPT) sebagai sebuah institusi, tentunya memiliki tujuan untuk  berkembang ke arah yang lebih baik, terutama dalam hal memenuhi kebutuhan masyarakat akademik yang dilayaninya. Esensi dari sebuah penyelenggaraan PPT adalah terpenuhinya kebutuhan pustaka masyarakat akademik yang dilayaninya.

Jika dalam rangka penyelenggaraan PPT terdapat berbagai pedoman penyelenggaraan PPT yang perlu atau harus diikuti oleh sebuah PPT maka pedoman tersebut bersifat memandu agar PPT terselenggara secara lebih baik karena tentunya pedoman yang ditetapkan telah melalui suatu pengkajian dan pengujian oleh para pakar di bidang perpustakaan. Di sisi lain PPT diselenggarakan karena harus terpenuhinya persyaratan administratif penyelenggaraan perguruan tinggi.

Konsekuensi penyelenggaraan PPT adalah menghidupinya karena PPT yang diselenggarakan menjadi unit penyedia sumber informasi bagi para dosen dan mahasiswa dalam proses belajar, mengajar dan meneliti. Dihidupi berarti didukung oleh pimpinan perguruan tinggi dalam hal pemenuhan sumber daya finansial, kebutuhan pengembangan sumber daya manusia dan kebutuhan sumber daya lainnya.

Dihidupi juga dapat diartikan bahwa da-lam penyelenggaraan proses belajar mengajar dapat terjadi komunikasi ilmiah antara dosen dan mahasiswa melalui berbagai sumber ilmu pengetahuan yang disediakan oleh perusta-kaan.

Dalam rangka menghidupi perpustakaan, para pengajar dapat menjadikan perpustakaan sebagai ‘ruang publik’ antara mereka. ‘Ruang publik’ tersebut dapat dapat diartikan sebagai tempat berinteraksi antara dosen dan mahasiswa di luar kelas formal.

Dengan demikian jika hal-hal tersebut dapat berlangsung maka PPT bukan sekedar persyaratan administrasi suatu lembaga pendidikan tetapi merupakan pendukung yang sangat penting dalam proses belajar maupun menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Menjadi PPT berkualitas, yang bukan sekedar memenuhi persyaratan administratif perguruan tinggi, dapat dicapai oleh setiap PPT di Indonesia. Pedoman penyelenggaraan PPT telah ditetapkan oleh pemerintah. Pedoman yang telah ditetapkan oleh pemerintah ter-sebut tentunya dimaksudkan sebagai pedoman penyelenggaraan PPT yang berkualitas.

Standar Nasional Indonesia Perpustakaan Perguruan Tinggi (SNI 7330:2009) yang diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional pada tahun 2009 dapat menjadi acuan PPT di Indonesia untuk menjadi PPT yang berkualitas. Kualitas PPT yang digariskan oleh SNI 7330:2009 adalah kualitas PPT yang terukur karena SNI 7330:2009 adalah pedoman yang telah melalui pengkajian oleh para pakar.

Artinya PPT yang memenuhi persyaratan SNI adalah sebuah PPT yang berkualitas. Dapat dikatakan demikian karena persyaratan yang ditentukan di dalam SNI ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan standar kualitas tertentu dan juga memenuhi prinsip keadilan dalam pengembangan sebuah PPT.

Prinsip keadilan yang termuat di dalamnya, misalnya penyusunan rasio perbandingan jumlah eksemplar koleksi terhadap jumlah mahasiswa yang harus dilayani, jadi bukan jumlah mutlak tetapi sebuah perbandingan antara jumlah eksemplar koleksi yang harus disediakan dengan jumlah mahasiswa yang dilayani.

Selain ruang lingkup dan definisi-definisi, SNI 7330:2009, memuat 12 persyaratan pokok yang dapat dipenuhi oleh PPT agar menjadi PPT yang berkualitas. Dua belas persyaratan yang dimaksud adalah :

Misi, Tujuan,Koleksi,Pengorganisasian materi perpustakaan, Pelestarian materi perpustakaan, Sumber daya manusia, Layanan perpustakaan, Penyelenggaraan perpustakaan, Gedung, Anggaran, Teknologi informasi dan komunikasi, Kerjasama perpustakaan.

Jika PPT di Indonesia, dalam pengelolaannya berpedoman pada SNI 7330:2009  maka PPT yang bersangkutan dapat dikatakan sebagai PPT yang berkualitas. SNI 7330:2009, sebagai salah satu ukuran standar kualitas PPT, belum tentu mudah untuk dilaksanakan di perguruan tinggi di Indonesia.

Kebijakan internal perguruan tinggi dapat menjadi kendala untuk melaksanakan SNI 7330:2009. Kebijakan internal perguruan tinggi tentang sumber daya manusia, tata kelola, dan penganggaran dapat menjadi kendala untuk menerapkan SNI 7330:2009.

Sebagai contoh, persyaratan no. 10 SNI 7330:2009 tentang ‘penyelenggaraan perpustakaan’ butir c, menyatakan bahwa : Kepala perpustakaan menjadi anggota senat akademik perguruan tinggi.

Jika persyaratan tersebut akan dipenuhi oleh perguruan tinggi yang bersangkutan maka, barangkali, perguruan tinggi yang bersangkutan harus mengubah statuta perguruan tingginya karena selama ini di banyak perguruan tinggi di Indonesia, kepala perpustakaan perguruan tinggi bukan sebagai anggota senat.

Artinya jika PPT menerapkan SNI maka seharusnya ada konsekuensi bagi perguruan tinggi untuk meninjau kembali tata kelolanya.

Di beberapa perguruan tinggi ‘pustakawan’ masih dipandang sebelah mata sehingga dipandang kurang penting untuk dilibatkan di dalam pengambilan keputusan di tingkat universitas.

Di beberapa perguruan tinggi perpustakaan dipandang sebagai unit kerja yang kurang strategis sehingga pengembangannya kurang mendapatkan prioritas. Dengan demikian jika pimpinan perguruan tinggi masih menganggap PPT sebagai unit yang kurang strategis maka penerapan SNI pun akan sulit karena adanya kendala di dalam perguruan tingginya.

Masih banyak contoh lain di SNI 7330:2009, yang jika diterapkan oleh PPT di Indonesia akan menemui kendala internal perguruan tingginya. Keadaan tersebut akan diperparah jika sebuah pedoman standar pemberlakuannya hanya bersifat opsional, tidak ada yang mengawasi dan tidak ada sanksi bagi perpustakaan maupun lembaga induk-nya.

Selain SNI 7330:2009, di Indonesia mulai dikenalkan Standar Nasional Perpustakaan Perguruan Tinggi (SNP 010:2011), yang diuji-publikkan pertama kali pada tanggal 2 Oktober 2012 di Yogyakarta.

Terlepas dari akan disyahkan sebagai SNP atau masih akan direvisi lagi oleh Perpustakaan Nasional RI setelah uji publik, SNP akan menjadi acuan pokok penyelenggaraan PPT di Indonesia sehingga PPT di Indonesia perlu mencermatinya agar dapat melaksanakannya.

Di luar ruang lingkup, istilah dan definisi, SNP memberikan 7 (tujuh) acuan pokok pengelolaan PPT, yang masing-masing acuan dijabarkan ke dalam sub-sub acuan. Tujuh acuan pokok dan sub-acuan yang ada di dalam SNP 010:2011, adalah sebagai berkut :

1. Koleksi

a. Jenis dan jumlah koleksi
b. Penambahan koleksi
c. Koleksi khusus
d. Bahan perpustakaan referensi
e. Pengorganisasian bahan perpustakaan
f.  Cacah ulang
g. Penyiangan
h. Pelestarian bahan perpustakaan

2. Sarana dan Prasarana

a. Gedung/luasan gedung
b. Ruang
c. Sarana
d. Lokasi perpustakaan

3. Layanan

a. Jam buka perpustakaan
b. Jenis layanan perpustakaan
c. Laporan kegiatan

4. Tenaga

a. Jumlah tenaga
b. Kualifikasi kepala perpustakaan
c. Kualifikasi tenaga perpustakaan

5. Penyelenggaraan

a. Penyelenggaraan dan pendirian perpustakaan
b. Nomor Pokok Perpustakaan
c. Struktur organisasi
d. Program kerja

6. Pengelolaan

a. Visi perpustakaan
b. Misi perpustakaan
c. Tujuan perpustakaan
d. Kebijakan perpustakaan
e. Fungsi perpustakaan perguruan tinggi
f. Anggaran / Jumlah anggaran

7. Teknologi Informasi dan komunikasi

Bahan uji publik SNP, menurut hemat penulis, tidak akan jauh berbeda dengan SNP yang akan disyahkan kemudian. Jika SNP telah disyahkan maka PPT di Indonesia, jika ingin memperoleh predikat sebagai PPT yang berkualitas maka PPT dapat menerapkan SNP 010:2011 tersebut.

Acuan standar lainnya yang dapat digunakan oleh PPT adalah ISO 11620:2008 : Information and Documentation – Library Perfomance Indicators (sebelumnya ISO 11620:1998).

Di dalam ISO 11620:2008 terdapat indikator-indikator kinerja perpustakaan yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas perpustakaan, misalnya indikator jumlah koleksi yang siap dipinjamkan kepada pengguna, indikator jumlah koleksi yang harus disediakan oleh sebuah perpustakaan, dan indikator-indikator lainnya yang dapat diterapkan oleh semua jenis perpustakaan baik besar maupun kecil.

ISO 11620:2008 dapat dijadikan sebagai acuan  kinerja bagi perpustakaan-perpustakaan. Standar nasional maupun internasional perpustakaan yang ada dapat menjadi acuan pengukuran kualitas perpustakaan-perpustakaan.

Selain acuan-acuan standar yang ada, yang dapat diterapkan oleh PPT dalam meraih kualitas, hal yang tidak boleh dilupakan oleh setiap PPT adalah komitmen bersama para pengelola dan staf perpustakaan perguruan tinggi dalam membangun perpustakaan.

Komitmen bersama dalam mengembangkan perpustakaan dapat menjadi modal dasar dalam menyusun  visi, misi, maupun kebijakan pengembangan perpustakaan. Tanpa komitmen bersama, sebagus-bagusnya suatu standar yang diterapkan, perpustakaan tersebut sulit untuk mencapai kulaitas tinggi.

Dalam konteks PPT, selain komitmen bersama antara pengelola dan staf perpustakaan, sangat diperlukan dukungan penuh lembaga induk. Dukungan lembaga induk dapat berupa kebijakan tertulis yang dijabarkan secara transparan dan dipahami serta dapat diterapkan oleh semua unit kerja di perguruan tinggi yang bersangkutan.

Gambar 1 dapat diterangkan secara sederhana bahwa kualitas PPT dapat dicapai jika para pengelola dan staf perpustakaan memiliki komitmen untuk mengembangkan PPT yang berkualitas. Jalan mencapai kualitas telah tersedia, yakni acuan-acuan standar yang telah ditetapkan baik yang bertaraf nasional maupun internasional.

Sistem Manajemen Perpustakaan Berbasis Sistem Manajemen Mutu ISO

Frasa Sistem Manajemen Mutu (SMM) adalah terjemahan dari Quality Management System (QMS). Kiranya, QMS juga dapat diterjemahkan menjadi  Sistem Manajemen Kualitas (SMK).

Sebutan SMM dipakai karena kata quality diterjemahkan menjadi “mutu” (M), jika kata quality diterjemahkan menjadi “kualitas” maka sebutannya dapat menjadi SMK (Sistem Manajemen Kualitas).

Sistem manajemen mutu merupakan sistem manajemen yang distandarisasikan secara internasional dan yang saat ini berlaku  dikenal dengan nama ISO 9001:2008.

1. Sistem Manajemen Mutu ISO

SMM ISO adalah suatu sistem manajemen mutu berstandar internasional. Sebagai suatu sistem manajemen, SMM ISO dapat diterapkan di semua organisasi baik kecil maupun besar, termasuk di dalamnya perpustakaan.

Suatu sistem manajemen kualitas  merupakan sekumpulan prosedur terdokumentasi dan praktek-praktek standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian suatu proses dan produk terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu. Persyaratan ditentukan oleh  atau dispesifikasikan oleh pelanggan dan organisasi (Gaspersz: 2005).

Dapat dikatakan secara sederhana bahwa sistem manajemen mutu ISO ialah sistem manajemen yang bertujuan untuk mencapai sistem manajemen yang bermutu yang didasarkan pada acuan sistem manajemen mutu ISO.

Dengan demikian suatu organisasi dapat menyandang predikat organisasi yang memenuhi standar manajemen mutu  ISO jika organisasi tersebut mengimplementasikan persyaratan-persyaratan sistem manajemen mutu ISO (yang saat ini berlaku yaitu Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008).

Organisasi berpredikat SMM ISO 9001:2008 dapat disandang oleh sebuah organisasi yang mengimple-mentasikan SMM ISO 9001:2008 dan dalam implementasinya diaudit oleh lembaga registrar independen secara periodik menurut tata cara audit SMM ISO.

Perpustakaan sebagai sebuah organisasi, dapat menerapkan SMM ISO 9001:2008 dengan konsekuensi memenuhi semua persyaratan sistem manajemen kualitas ISO 9001:2008.

2. Persyaratan SMM ISO

SMM ISO bukan merupakan standar produk karena tidak menyatakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah produk baik barang maupun jasa. Sistem manajemen mutu ISO menyatakan syarat standar manajemen kualitas. Dengan demikian yang distandarkan adalah sistem manajemen kualitasnya bukan standar produk yang dihasilkannya.

Dalam hal pelaksanaan SMM ISO tidak ada pengujian terhadap kualitas produk tetapi yang ada adalah pengujian terhadap kualitas sistem manajemen.

Harapannya, tentu saja adalah bahwa produk yang dihasilkan oleh organisasi yang mengimplementasi SMM ISO adalah suatu produk yang berkualitas, meskipun tidak selalu. Namun secara nalar, suatu organisasi tentunya tidak akan membuat produk yang tidak berkualitas.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah organisasi yang menerapkan SMM ISO adalah pemenuhan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh SMM ISO 9001:2008, yang dinyatakan dalam klausul-klausul (clauses).

3. Implementasi Sistem Manajemen Mutu ISO di Perpustakaan Perguruan Tinggi

Organisasi yang menerapkan sistem manajemen mutu ISO harus menerapkan per-syaratan-persyaratan yang diperlukan dalam sistem manajemen mutu ISO.

Persyaratan-persyaratan yang harus diterapkan dikenal dengan sebutan klausul (clause). Organisasi yang menerapkan SMM ISO harus memiliki, mengimplementasi dan mendokumentasikan prosedur standar tertulis (prosedur kerja baku).

Secara khusus, organisasi harus memiliki, melaksanakan dan mendokumentasikan prosedur baku tertulis yang mencakup prosedur pengendalian dokumen (klausul 4.2.3), prosedur pengendalian catatan mutu (klausul 4.2.4), audit internal (klausul 8.2.2), pengendalian produk tidak sesuai (klausul 8.3), tindakan korektif (klausul 8.5.2), dan tindakan preventif (klausul 8.5.3).

PPT yang mengimplementasikan SMM ISO 9001:2008 harus mendokumentasikan prosedur tertulis yang dipersyaratkan oleh SMM ISO tersebut.

Selain itu, PPT yang mengimplementasikan SMM ISO perlu menyusun dokumen tertulis berupa Manual Kualitas (klausul 4.2.2), yakni dokumen tertulis mengenai berbagai hal yang akan dicapai dan dilakukan oleh organisasi dalam memenuhi klausul-klausul ISO sebagai persyaratan yang ditulis dan dilakukan oleh organisasi dalam mencapai kualitas tertentu yang ditetapkan.

Perpustakaan perguruan tinggi yang mengimplementasikan SMM ISO berarti menyepakati bahwa fungsi-fungsi dan aktivitas yang dilakukan oleh PPT tersebut dikendalikan oleh prosedur-prosedur.

Pengendalian fungsi-fungsi dan aktivitas organisasi melalui prosedur-prosedur yang telah ditetapkan memerlukan suatu komitmen bersama dalam pelaksanaannya karena suatu prosedur baku dapat dengan mudah menyimpang tanpa dilandasi oleh suatu komitmen dalam pelaksanannya. Pencapaian-pencapaian kualitas dapat diukur melalui sasaran-sasaran kualitas yang ditentukan oleh perpustakaan.

Perpustakaan yang menerapkan SMM ISO harus menciptakan kesadaran kualitas pada semua tingkatan di dalam perpustakaan. Kesadaran akan kualitas dapat dicapai melalui pelatihan-pelatihan tentang kualitas.

Kesadaran kualitas harus terus ditanamkan agar dalam pelaksanaan sistem manajemen mutu dilandasi oleh kesadaran bahwa fungsi-fungsi dan aktivitas yang dilaksa-nakannya adalah dalam rangka mencapai kualitas yang perlu terus ditingkatkan (continual improvement).

Kesadaran kualitas yang perlu terus  dibangun oleh organisasi yang mengimplementasikan SMM ISO, sangatlah penting karena kesadaran tersebut menjadi dasar bagi setiap orang dalam organisasi dalam berkomitmen mencapai kualitas.

Tata cara yang kemudian harus dipenuhi oleh PPT yang menjalankan SMM ISO telah terbangun melalui kesadaran akan kualitas yang diimplementasikan dalam berbagai pro-sedur yang terdokumentasi dan dijalankannya.

Jika pada akhirnya harus dilakukan pemeriksaan (audit) terhadap sistem yang dijalankannya semestinya adalah pemeriksaan mengenai kesesuaian terhadap sistem manajemen dan bukan suatu penilaian terhadap prestasi yang telah dicapai. Kesesuaian dalam menjalankan sistem dan proses-proses adalah wujud nyata prestasi yang diperoleh.

SMM ISO bukan ciri khas perpustakaan. SMM ISO berlaku untuk semua jenis organisasi baik besar maupun kecil. SMM ISO tidak menyediakan acuan terhadap urusan pokok (core business) organisasi.

SMM ISO menyediakan acuan manajemen organisasi. Jadi jika perpustakaan menerapkan SMM ISO maka perpustakaan mengelola urusan pokoknya berdasarkan sistem manajemen ISO. Dengan demikian urusan pokok perpustakaan tetap eksis karena SMM ISO akan menjiwai sistem manajemen perpustakaannya.

Jadi, jika core business perpustakaan, misalnya pengembangan koleksi, pengolahan koleksi,dan pelayanan sirkulasi maka core business tersebut dikelola berdasarkan sistem manajemen mutu ISO.

Jika perpustakaan menerapkan SMM ISO maka di dalam setiap urusan pokoknya tersebut harus dipenuhi prosedur bakunya secara tertulis, harus ada instruksi kerjanya secara tertulis, dan harus ada catatan pelaksanaannya yang disimpan.

Misalnya, di dalam pelayanan sirkulasi, perpustakaan harus memiliki prosedur tertulis tentang peminjaman dan pengembalian bahan pustaka, yang dikonkretkan di dalam instruksi kerja, dilaksanakan secara konsisten, dan bukti pelaksanaannya disimpan sebagai catatan kualitas.

SMM ISO menggambarkan pendekatan proses sebagai berikut :

Dua kata kunci SMM ISO, yakni customer satisfaction dan continual improvement. Kepua-san pelanggan diukur secara periodik menggunakan tata cara pengukuruan yang lazim, se-dangkan pengembangan secara terus menerus dapat dicapai dengan menerapkan siklus PDCA (Plan Do Check Action) dalam proses implementasi suatu program kerja.

Plan : merencanakan kegiatan.
Do : melaksanakan/mengimplementasikan.
Check : mengevaluasi pelaksanaan dan hasil yang diperoleh.
Action : menindaklanjuti hasil evaluasi.

Melalui penerapan siklus PDCA dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan maka semua aktivitas akan selalu diketahui kekurangan dan keberhasilannya.

D. Akreditasi Perpustakaan

Kualitas PPT dapat dicapai melalui implementasi berbagai standar yang telah ditetapkan baik standar nasional maupun internasional, baik standar khusus untuk perpustakaan maupun standar sistem manajemen mutu yang dapat diimplementasi oleh berbagai organisasi.  Dalam kenyataannya, berbagai standar yang telah ditetapkan tidak mudah dilaksanakan oleh perpustakaan-perpustakaan.

Dalam berbagai kasus,‘pemaksaan’ implementasi standar kadang-kadang harus dilakukan agar standar yang telah ditetapkan diimplementasi oleh institusi yang mestinya menjalankannya. Sebagai contoh, SNI 7330:2009, yang telah ditetapkan sejak 2009, sampai dimanakah gaung standar tersebut.

Sejauh pantauan penulis tidak banyak yang telah mengimplementasikannya. Standar sudah dibuat dan akhirnya hanya akan tinggal sebagai standar yang tidak memiliki daya guna karena tidak diimplementasikan secara tegas.

Akreditasi adalah salah satu cara memantau implementasi standar. Berbagai standar yang telah ditetapkan, yang tujuan utamanya adalah meningkatkan mutu PPT yang mengimplementasikannya, tidak akan memiliki makna jika tidak dibarengi dengan penilaian pelaksanaannya melalui akreditasi.

Tanpa adanya akreditasi terhadap pelaksanaan standar tidak akan dapat diketahui sejauh mana suatu standar telah dilaksanakan. Melalui akreditasi, secara transparan akan diperoleh bukti-bukti bahwa sebuah PPT  secara objektif dinilai oleh sebuah lembaga independen, dan dengan demikian klaim kualitas PPT bukan klaim sepihak.

Letak transparansi dan objektivitas dari akreditasi adalah pada standar kualitas yang dapat dipahami oleh siapapun, oleh berbagai jenis dan tingkatan perpustakaan di manapun. Maka suatu standar yang telah ditetapkan, baik berupa SNI, SNP maupun SMM ISO tidak akan berdaya guna tanpa diikuti oleh tindak anjut berupa  akreditasi atau audit.

Pertanyaan selanjutnya adalah, setelah sebuah PPT terakreditasi, kemudian manfaat apakah yang diperoleh oleh PPT tersebut? PPT adalah lembaga di bawah perguruan tinggi.

Salah satu reward yang dapat diberikan bagi PPT yang terakreditasi adalah reward kepada perguruan tingginya, misalnya dalam akreditasi perguruan tinggi, lembaga induknya memperoleh nilai tambahan tertentu.

Dengan demikian, jika diberikan reward khusus kepada perguruan tinggi yang perpustakaannya terakreditasi, maka sangat dimungkinkan, dorongan lembaga induk terhadap pengembangan PPT akan dilakukan sepenuh hati dan PPT tidak hanya akan dilihat sebagai persyaratan administratif semata.

E. SNI, SNP, SMM ISO dan AKREDITASI PERPUSTAKAAN

SNI dan SNP adalah acuan standar pengelolaan perpustakaan di Indonesia. SMM ISO 9001:2008  adalah acuan standar internasional sistem manajemen mutu yang terawasi secara jelas oleh lembaga independen.

Implementasi SNI atau SNP yang diintegrasikan ke dalam implementasi SMM ISO 9001:2008, menurut hemat penulis,  akan sangat memudahkan dan mendukung perpustakaan mencapai kualitas.

Pelaksanaan SNI atau SNP saja tanpa diintegrasikan dengan implementasi SMM ISO akan ada  kekurangan karena monitoring implementasi SNI atau SNP yang, misalnya,  dilaksanakan melalui akreditasi masih belum menjamin sistem manajemen mutu suatu perpustakaan.

Jika mengimplementasikan SMM ISO yang di dalamnya memasukkan SNI atau SNP maka secara tidak langsung akreditasi telah berlangsung pada saat audit SMM ISO yang pada umumnya dilakukan secara periodik dan terjadwal.

F. Kesimpulan

Mutu adalah ukuran baik buruk. Baik atau buruk selalu ada acuan standarnya. Acuan standar yang dapat dipakai oleh perpustakaan adalah SNI atau SNP. Acuan standar sistem manajemen mutu adalah ISO 9001:2008.

Jika perpustakaan mengimplementasikan SMM ISO dengan memasukkan ke dalamnya SNI  atau SNP maka dapat dipastikan bahwa jika pada suatu saat dilakukan akreditasi terhadapnya, perpustakaan tersebut akan memperoleh predikat kualitas yang pasti dapat dipertanggungjawabkan.

Penulis: Paulus Suparmo [sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 14 No. 3 - Desember 2012]

sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 14 No. 3 - Desember 2012

Labels:

Trend Terkait M-Library untuk Perpustakaan Masa Depan

Dunia Perpustakaan | Saat ini hal yang masih hangat untuk perlu terus digaungkan yaitu terkait dengan M-Library atau M-Libraries berasal dari kata “Mobile Devices” disingkat M yang artinya perangkat ponsel dan “Library/Libraries” yang artinya perpustakaan.

Pertumbuhan gadget, smartphone, tablet, menjadikan interaksid an aktivitas masyarakat yang sudah tak terpisahkan dengan teknologi tersebut.

Hal ini tentunya mengharuskan para pustakawan untuk mau dan terus belajar untuk mengikuti perkembangan teknologi yang super cepat ini, dengan cara membuat inovasi dan kreatifitas, termasuk dalam menggagas dan mengembangkan terkait dengan M-Library.

Sebuah makalah byang berjudul, "Trend Terkait M-Library untuk Perpustakaan Masa Depan", akan mengupas semua terkait dengan M-Library.
Ilustrasi | urbandigital.id

Abstrak

Pemanfaatan teknologi informasi dapat mendukung layanan perpustakaan agar menjadi efektif dan efisien. Tantangan pustakawan saat ini terutama terkait dengan jaringan internet dan pemanfaatan berbagai gadget teknologi baru. Teknologi mobile untuk perpustakaan perlu menjadi perhatian bagi para pustakawan. Fasilitas akses secara mobile menjadi tantangan bagi perpustakaan masa depan.

Informasi sekarang di ujung jari, artinya akses informasi bisa dilakukan dengan perangkat mobile. Jadi layanan standar mobile digital library seharusnya sudah menjadi tujuan pengembangan perpustakaan. Pustakawan harus memahami teknologi dan trend mobile serta mampu memprediksi dampak dari hadirnya teknologi mobile terhadap layanan perpustakaan.

Pendahuluan

Pergeseran perkembangan perpustakaan menjadi simbol berubahnya tingkat peradaban. Perubahan dari dari yang semula apapun konteksnya serba diawali huruf e-…(electronic…) di depannya, saat ini rupanya sudah mulai bergeser menjadi m-…(mobile…).

Komputer digunakan untuk mendukung layanan perpustakaan. Kaitannya dengan fasilitas alat bantu penelusuran, maka fenomena yang nampak saat ini bahwa katalog terpasang atau OPAC perpustakaan tidak lagi memikat pemustakanya.

Penelusuran informasi melalui OPAC di perpustakaan barangkali tidak lagi menjadi hal yang penting bagi pemustaka. Takheran pula kalau pemustaka saat ini mempunyai lebih dari satu gadget dalam kesehariannya.

Apabila keadaannya memang demikian lalu perlukah kiranya perpustakaan melakukan transformasi? Perubahan layanan perpustakaan saat ini nampak pada tingkat komunikasinya. Komunikasi yang dilakukan pemustaka era sekarang lebih banyak via web/internet melalui mesin pencari (search engine).

Hadirnya teknologi mobile memungkinkan terobosan baru dalam melayani kebutuhan pemustaka. Perubahan perilaku pemustaka dalam akses informasi memungkinkan bahwa mereka tidak harus datang ke ruang perpustakaan, tetapi bisa melalui: telephone/fax, text/SMS, IM chat, delivery services, maupun content information.

Saat ini dengan adanya sentuhan teknologi ketiga mengakibatkan perkembangan perangkat mobile sudah demikian pesat. Berbagai harga perangkat mobile dan biaya koneksi internet juga semakin mengalami penurunan dan bisa dijangkau oleh pemustaka dari semua kalangan.

Selain itu, layanan informasi bisa diakses dari perangkat mobile, baik dengan akses langsung maupun program aplikasi pada perangkat mobile. Permasalahannya adalah bagaimana perpustakaan merespons perilaku pemustaka yang berubah dengan hadirnya teknologi m-library tersebut?

Pembahasan

Pengertian M-Library

Pada awalnya yang sering kita dengar dahulu bahwa kalau mobile library itu adalah identik dengan perpustakaan keliling. Seiring dengan perkembangan TIK dan banyaknya pemustaka yang menggunakan mobile, maka istilah mobile bisa juga diartikan dengan telepon seluler (mobile).

Oleh karena berkembangnya fungsi ponsel yang begitu cepat yang tadinya hanya untuk telepon dan SMS, lalu berkembang dilengkapi dengan fasilitas kamera, kemudian dapat untuk akses internet dan lain sebagainya, maka kemudian pengertian mobile bisa merujuk untuk akses keperluan perpustakaan.

M-Library atau M-Libraries berasal dari kata “Mobile Devices” disingkat M yang artinya perangkat ponsel dan “Library/Libraries” yang artinya perpustakaan.

Dengan demikian, akses pemustaka melalui teknologi mobile dapat dilakukan kapanpun (anytime) dan dimanapun (anywhere). Nah, bagaimana perpustakaan bisa menyediakan layanan akses perpustakaan yang sekiranya bisa dijangkau oleh pemustaka yang menggunakan mobile inilah yang saat ini sepertinya lebih tepat dikenal dengan istilah m-library atau m-libraries.

Teknologi Mobile Perpustakaan

Hadirnya teknologi mobile perlu diperhatikan di perpustakaan. Sebenarnya arti kata mobile sendiri memiliki makna yang cukup banyak. Mobile artinya dapat bergerak atau dapat digerakkan dengan bebas dan mudah. Mobile dapat pula diartikan sebuah benda yang berteknologi tinggi dan dapat bergerak tanpa menggunakan kabel, seperti smartphone, PDA, tablet, dan bisa juga tweet.

Transformasi secara umum merupakan perubahan struktural, secara bertahap, total, dan tidak bisa kembali ke bentuk semula (irreversible). Transformasi bisa berkaitan dengan: pemustaka, layanan, fasilitas TIK, SDM/pustakawan, maupun fungsi & nilai tambah.

Kaitannya dengan m-library, maka kiranya menjadi suatu keharusan bagi perpustakaan untuk memperhatikan hadirnya teknologi mobile untuk meningkatkan layanan perpustakaan.

Hal ini disebabkan karena pemustaka lebih senang memanfaatkan internet untuk akses langsung melalui berbagai koneksi internet. Apalagi aplikasi pada perangkat mobile sudah semakin canggih dan banyak digemari pemustaka.

Perangkat gadget yang namanya seperti: BB, IPhone, dan android sudah menjadi kebutuhan pemustaka di era sekarang. Walaupun ada juga yang hanya sebagai gaya hidup (life style) agar tidak ketinggalan jaman ataupun motivasi lainnya agar diterima di lingkungannya.

Dengan demikian, aspek trend perilaku pemustaka yang berubah mengakibatkan suatu keharusan digunakannya mobile untuk mendukung layanan perpustakaan. Evolusi informasi juga nampak pada perubahan yang terjadi pada cara pemustaka mengkonsumsi informasi yang ternyata lebih menekankan adanya interaksi, baik itu manusia dengan manusia, manusia dengan komputer, maupun komputer dengan komputer.

Perubahan perpustakaan terjadi karena ada harapan dari generasi pemustaka yang baru. Perubahan juga terjadi karena adanya kemungkinan munculnya teknologi informasi yang baru. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan di era informasi digital menuju m-library adalah:

1. Pemustaka (users).

Generasi pemustaka sekarang muncul secara online dan bisa beradaptasi ke teknologi dengan sangat cepat. Sampai-sampai muncul istilah @ generation dan virtual generation menjadi sangat kental di kalangan anak-anak muda. Pergeseran generasi pemustaka yang menjadi digital experts sangat familiar dengan yang namanya social networking dan games.

2. Transformasi disain fisik perpustakaan (transformation of physical design).

Agar perpustakaan tetap menjadi tujuan pemustaka, maka perpustakaan harus berkembang. Kalau dahulu (past) perpustakaan hanya sebagai tempat (library as space), lalu sekarang dan sebelumnya (present and previously) perpustakaan merespon pemustaka untuk datang (library responds to invite users), maka ke depan (future) perpustakaanlah yang harus mengikuti pemustaka (library follows users).

3. Teknologi informasi komunikasi (information communication technology).

Era mobile menggiring pemustaka seolah-olah menganggap mobile seperti alat vital. Bisa dibayangkan sewaktu bepergian lalu HP ketinggalan, apa yang terjadi? Karena pentingnya untuk komunikasi maka sampai terkadang dibela-belain harus putar balik untuk mengambilnya bukan?. Inilah indikasi kalau TIK sudah merambah masuk dalam kehidupan kita dan interaksi yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan (second nature). Teknologi pasti berdampak negatif dan positif, tergantung bagaimana menyikapi dan tujuan menggunakannya untuk apa.

4. Koleksi dan layanan perpustakaan (library services and collection).

Suatu perpustakaan perlu berjejaring melakukan kolaborasi dengan perpustakaan lainnya dalam pemanfaatan koleksi digital. Bentuk kemasan sumber informasi yang digital dan online sudah seharusnya diprioritaskan oleh perpustakaan. Jadi walaupun secara fisik statistik kunjungan pemustaka turun namun diharapkan layanan secara virtual mengalami kenaikan yang signifikan.

5. Pustakawan, profesionalisme dan pendidikan (librarians and their education and professionalism).

Menjadi pustakawan yang kompeten, mempunyai daya inovasi, kreatif, dan berdedikasi yang tinggi untuk maju menjadi tuntutan di era menyongsong m-library.

Era mobile bisa dianalogikan bahwa informasi saat ini ada di dalam genggaman tangan dan bahkan ada di ‘ujung jari’ saja. Mengapa demikian? Ya melalui perangkat gadget, misalnya handphone, pemustaka bisa akses sumber informasi dengan mudah hanya dengan memainkan jari-jarinya dengan melalui ponselnya.

Dalam http://mlibraries.jiscinvolve.org/wp/ disebutkan mengenai survei untuk menunjukkan tingkat kepercayaan dalam menggunakan teknologi mobile. Tingkat kepercayaan tersebut diukur dari: Sangat Percaya Diri (Very confident), Percaya Diri (Confident), Tidak Percaya Diri (Not confident), dan Sangat Tidak Percaya Diri (Not at all confident) seperti pada Gambar 2 berikut:

Sudah saatnya pustakawan di era mobile mulai berfikir bagaimana supaya sumber informasi yang dipunyai di masing-masing perpustakaan bisa dibagi (share) ke perpustakaan lain.

Program aplikasi pada perangkat mobile bisa dilakukan dengan browser melalui akses langsung, sehingga layanan standar mobile digital library seharusnya sudah mulai direncanakan dengan tujuan untuk mengembangkan perpustakaan masa depan. Jadi berjejaring dan bersinergi membangun kerja sama untuk berbagi sumber informasi berbasis teknologi menjadi tantangan tersendiri bagi pustakawan.

Survei Kondisi Pemustaka

Langkah awal yang perlu dipertimbangkan oleh pustakawan untuk memulai mengimplementasikan mobile di perpustakaan adalah dengan perencanaan yang matang. Perencanaan bisa dilakukan dengan cara ‘survey’. Melalui kegiatan survei, pustakawan dapat mengetahui berbagai hal yang terkait yang dengan merk, tipe, spesifikasi, maupun provider komunikasi yang sekiranya bisa diterapkan di perpustakaan.

Pemustaka sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat usia maupun tingkat kebutuhannya. Hadirnya teknologi baru (new technology) sangat berkaitan dengan yang namanya budaya lama (old cultures). Permasalahannya adalah mampukah kultur lama yang didominasi generasi tua juga ikut dikembangkan dan diberdayakan?

Generasi baru sekarang tidak asing dan bahkan justru menjadi lebih ‘enjoy’ berinteraksi dengan teknologi dan pirantinya. Lalu bagaimana nasib pemustaka generasi tua? Bukankah mereka tidak semua welcome dengan teknologi? Bahkan ada yang alergi dengan sumber informasi yang berbau noncetak. Pemustaka yang ‘tua’ biasanya lebih senang sumber informasi yang tercetak.

Mungkin alasannya karena dari sisi kenyamanan mata. Saya rasa jawaban yang bijak bahwa adanya teknologi mobile bukan berarti membunuh dan memusnahkan layanan manual/hastawi. Jadi secara kebijakan perpustakaan tetap harus mengakomodir layanan hastawi/manual yang cocok untuk generasi tua, artinya jalan dua-duanya.

Selanjutnya dalam lima tahun terakhir (berkisar antara tahun 2005 s.d. 2010), penetrasi ponsel di Indonesia mengalami kenaikan drastis, sedangan jumlah sambungan telepon rumah menjadi menurun.

Menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh “The Nielsen Company” bahwa sebagian besar jumlah peningkatan didominasi oleh remaja, dengan lebih dari 70 % ternyata telah memiliki sambungan telepon selular.

Jumlah anak usia remaja yang berusia 10-14 tahun justru memiliki ponsel meningkat lebih dari lima kali selama periode lima tahun.

Selanjutnya berdasarkan penelitian dari Growth from Knowledge (GfK) Asia (dikutip dari Cellular-News.com), bahwa  Indonesia ternyata menjadi negara dengan pasar terbesar bagi produk smartphone di kawasan Asia Tenggara pada kuartal I tahun 2012 ini. Bahkan penetrasi smartphone di Indonesia telah mencapai 62% dengan penjualan lebih dari  US$ 1,4 miliar.

Hal tersebut sungguh mencengangkan, mengingat bahwa masyarakat Indonesia ternyata sudah demikian pesat animonya terhadap teknologi mobile. Jadi tunggu apalagi, bagaimana kiprah pustakawannya? Dengan demikian, pustakawan harus ‘bangun dari tidur’.

Maksudnya segera tanggap dan aktif melakukan survei ke pemustaka yang berkaitan dengan berbagai hal yang menjadi trend perpustakaan saat ini terutama berhubungan dengan akses informasi melalui ponsel.

Selain itu kajian dalam bentuk survei juga bisa berkaitan dengan yang lainnya, misalnya: layanan saat ini, keluhan pemustaka, device yang dimiliki, dan layanan yang diinginkan. Ada beberapa hal yang perlu disiapkan oleh pustakawan terkait dengan implementasi m-library, antara lain:
  1. Menyiapkan tenaga pengelola perpustakaan yang kompeten dalam memanfaatkan teknologi mobile untuk mendukung layanan perpustakaan.
  2. Melakukan survei minat dan kebutuhan pemustaka tentang layanan mobile.
  3. Melakukan penjajagan secara teknis terkait dengan perangkat mobile yang dimiliki pemustaka.
  4. Mengetahui pengembangan aplikasi mobile yang bisa diaplikasikan di perpustakaan.
  5. Memprediksi berbagai kemungkinan perubahan proses bisnis perpustakaan.
  6. Agar pemustaka tidak harus gonta ganti interface untuk menelusur informasi menggunakan mobile, maka wacana ke depan perlu dikembangkan dengan satu menu pencarian (single search) dengan Web Scale Discovery/Discovery.

Ilustrasi

Kalau beberapa tahun yang lalu komting mahasiswa memberikan informasi ke teman-temannya menggunakan jaringan komunikasi (jarkom) SMS, namun saat ini telah bergeser setelah hadirnya fasilitas yang lebih canggih yaitu melalui smartphone (misalnya Blackberry Messenger/BBM dan Twitter).

Kenyataan yang ada bahwa jumlah gadget elektronik ternyata sudah melampaui jumlah penduduk Indonesia. Contoh negara lain sebagai ilustrasi, kalau tahun 2012 jumlah pelanggan seluler di Amerika Serikat menembus +/- 327,6 juta, padahal jumlah penduduknya hanya +/- 315,5 juta saja.

Lalu dalam paruh pertama di tahun 2012, total pengguna ponsel di India dan Cina masing-masing diperkirakan malah mencapai 2 miliar. Selanjutnya di Inggris, 1 dari 10 penduduknya bahkan memiliki lebih dari 4 ponsel.

Jumlah ponsel 71 juta (dengan 45 juta pengguna dewasa). Jadi jumlah ponsel jelas menjadi lebih besar daripada jumlah penduduk yang hanya 62,3 juta.

Saat ini bisa terlihat bahwa satu orang pemustaka mempunyai lebih dari satu handphone, bahkan ada yang lebih dari tiga gadget. Fenomena apa ini? Hal ini menunjukkan semakin lebarnya tuntutan bisnis yang terkait dengan pekerjaan, kebutuhan, dan tentunya kenyamanan dalam memanfaatkan teknologi mobile.

Mengenai perkembangan jumlah dan persentase penetrasi dari penduduk Indonesia yang menggunakan internet, social networking. Pada bulan Oktober 2012, jumlah pengguna mobile di Indonesia telah mencapai sekitar 269 jutaan, padahal jumlah penduduk Indonesia hanya 240 jutaan.

Begitu juga hadirnya internet telah merubah pemustaka semakin mudah mencari informasi, walaupun kenyataannya ada pemustaka yang betul-betul mengakses informasi untuk memenuhi kebutuhan informasi atau hanya untuk iseng buka-buka internet saja.

Namun terlepas dari internet untuk apa, tapi sungguh hal ini menjadi fenomena menarik dan sekaligus menjadikan tantangan bagi perpustakaan sebagai penyedia sumber informasi untuk mengembangkan layanan perpustakaan dengan m-library.

Dunia sekitar perpustakaan sudah berubah, pemustaka juga sudah berubah perilaku cara akses informasinya. Perangkat mobile sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Jadi seharusnya perpustakaan tanggap dan segera mengakomodir perubahan ini.

Namun kenyataannya, sungguh jauh panggang dari api. Artinya bahwa layanan dengan teknologi m-library masih menjadi hal yang sulit untuk diwujudkan pada layanan perpustakaan.

Lingkup Perangkat Mobile

Lingkup perangkat mobile mempunyai sistem operasi dan penyimpan seperti komputer. Hal ini misalnya smartphone dengan kombinasi fungsi dari telepon selular dan komputer. Namun demikian, sekalipun perangkat mobile menjanjikan layanan dari perpustakaan menjadi lebih baik tetapi juga memiliki kekurangan tentunya.

Misalnya: layar ponsel yang kecil dengan resolusi terbatas, pemustaka kadang mengalami kesulitan dalam mengoperasikan, proses pengunduhan file menjadi tertunda karena perpindahan layar lebih lama dibanding lewat dial-up, maupun situs yang desainnya dalam mobile agak kurang tepat karena seharusnya untuk dekstop.

Apabila dilihat dari sisi pemustakanya, maka beberapa alasan yang membuat perpustakaan harus segera berbenah dan menyesuaikan trend pemustaka, antara lain:
  1. Sebagian besar pemustaka sudah mempunyai laptop dan ponsel maupun gadget lainnya.
  2. Semua pemustaka yang mempunyai handphone semakin banyak yang berkemampuan akses internet dan ada fasilitas kameranya.
  3. Pengguna smartdevice: iPhone, iPad, Galaxy, dan lainnya semakin luas dan murah.
  4. Konten digital (e-Book, videos/podcast) semakin diminati.
  5. Sebelumnya masyarakat lebih dulu tahu facebook ketimbang komputer.
  6. Generasi saat ini (anak-anak kecil) sudah akrab dengan perangkat mobile sebagai mainan pertama.
  7. Konten koleksi perpustakaan semakin bertambah, baik dari sisi judul dan jumlahnya.
  8. Mengurangi antrean pemustaka pada saat membutuhkan informasi.
  9. Mengurangi layanan rutin, sehingga pustakawan bisa melakukan layanan lain.

Teknologi Aplikasi M-Library

Perpustakaan dapat meningkatkan kualitas layanan dengan menerapkan teknologi mobile library. Banyak sekali teknologi aplikasi mobile yang bisa digunakan dan memungkinkan untuk diaplikasikan dan dikembangkan di perpustakaan.

Mau teknologi aplikasi seperti apa yang digunakan sangat tergantung pada kebijakan instansi yang menaungi perpustakaan dan ketersediaan anggaran.

Berbagai jenis aplikasinya, yaitu: Quick Response (QR) Code, koneksi WiFi/3G, sensor Global Positioning System (GPS), Camera, Accelerometer, Gyroscope, Augmented, Near Field Communication (NFC), E-book, Text Alerts/Notification, SMS Reference, Mobile OPAC, Mobile Content Delivery, Mobile Internet, Library Applications (Software) for Mobile Phones, Library Audio Tours, dan lain sebagainya.

Layanan sms referensi (text message reference), misalnya pustakawan menjawab pertanyaan pemustaka yang dikirim melalui pesan singkat (answer reference questions by SMS), SMS Reference (Text-a-Librarian by Mosio, LibraryH3lp Android SMS Gateway, Google SMS).

Koleksi elektronik (electronic collections), misalnya: mempromosikan koleksi perpustakaan (promote access to collections) dan mengakses koleksi digital (access digital collections) dengan menggunakan smartphones.

Layanan akses (access services) yang menjangkau pemustaka dimanapun mereka berada, misalnya: layanan SMS interaktif untuk aplikasi pada layanan sirkulasi. Selanjutnya jejaring sosial (social networking), bagaimana perpustakaan mengaplikasikan media seperti Facebook dan Twitter dalam membangun interaksi dengan pemustaka.

Lalu secara teknis bentuk aplikasi menggunakan handphone (mobile applications) dalam layanan perpustakaan contohnya seperti apa? Secara sederhana beberapa contoh layanan teknis perpustakaan yang bisa dikembangkan melalui mobile, misalnya:
  • tagihan keterlambatan pengembalian buku melalui SMS-alert dari perpustakaan laporan transaksi sirkulasi secara kronologis/historis ke pemustaka
  • usulan buku baru sesuai kebutuhan pemustaka
  • tanya jawab antara pemustaka dan pustakawan akses langsung ke perpustakaan melalui koneksi http/website
  • jasa rujukan dari petugas referensi melalui SMS ataupun chatting.
  • akses ke katalog melalui mobile katalog terpasang/OPAC baik hanya deskripsi bibliografis atau sampai dengan indeks dan abstrak
  • informasi umum tentang perpustakaan (library tour guide), misalnya profil perpustakaan yang mengenalkan tentang produk, jasa, layanan perpustakaan yang dapat diakses dari perangkat mobile.
  • literasi informasi melalui podcasts dan video digital
  • akses ke tool untuk citation
  • Ebook Lending Services, seperti yang sudah dilakukan di Amazon
  • mobile digital repository/Database
  • SMS notifikasi melalui pengiriman SMS ke HP pemustaka terkait jasa layanan, informasi pemesanan buku telah tiba, informasi koleksi baru, perpanjangan koleksi, dan lain sebagainya.

Aplikasi QR Code

Fasilitas Quick Response (QR) Code awalnya dikembangkan oleh Denso Wave (perusahaan Jepang Denso Corporation) pada tahun 1994. Selanjutnya di Indonesa, kode QR pertama kali diperkenalkan oleh KOMPAS. Saat itu users dapat mengakses berita melalui ponselnya.

Apabila menggunakan QR code memungkinkan users berinteraksi dengan media yang ditempeli QR code melalui ponsel secara efektif dan efisien.

Terobosan QR code ditujukan untuk pengguna telepon selular, sehingga digunakan pada ponsel yang telah memiliki aplikasi QR code dan memiliki koneksi internet atau WiFi untuk menghubungkan ponsel dengan situs yang dituju via QR code tersebut.

QR code merupakan bentuk evolusi dari kode batang (1 dimensi menjadi 2 dimensi) sehingga lebih banyak menyimpan informasi dan dapat merespon lebih cepat daripada kode batang. Berkapasitas tinggi dalam data pengkodean (data numerik, alphabetis, simbol, biner, dan lainnya), dan juga mampu menyimpan informasi secara horizontal dan vertikal.

Beberapa manfaat QR code untuk perpustakaan, antara lain:
  1. Promosi membaca. Perpustakaan menyediakan situs mengenai ulasan tentang sebuah buku, kemudian pemustaka bisa menambahkan komentar atau merekomendasikan buku-buku yang dibutuhkan mereka.
  2. Mengunduh dokumen. Perpustakaan bisa menambahkan QR code pada peta/denah mengenai lokasi dan penempatan rak buku.
  3. Menambah QR code di katalog. Caranya QR code ditanamkan pada katalog manual agar pemustaka dapat mengetahui informasi mengenai koleksi tersebut.
  4. Menghubungkan pemustaka ke versi mobile dari situs web perpustakaan. Dengan demikian pemustaka tidak perlu mengetikkan alamat URL situs dan menelusuri setiap menunya.
  5. Promosi bahan digital. Pemustaka bisa mendapatkan review mengenai buku, sehingga pemustaka bisa memutuskan buku mana yang menjadi prioritas untuk dipinjam.
  6. Promosi kegiatan perpustakaan. Caranya QR code ditanamkan pada poster, brosur, atau kalender agar pemustaka tahu lebih dalam mengenai kegiatan tersebut.
  7. Memberikan informasi lainnya kepada pemustaka. QR code ditanamkan pada rak-rak buku untuk menjelaskan mengenai subjek pada deretan rak tersebut atau diletakkan di meja pustakawan yang berisikan informasi/tutorial penelusuran informasi/koleksi di sebuah perpustakaan.

Trend Isu Terkait Implementasi M-Library

Pada penghujung tahun 2012 di berbagai kota besar di Indonesia, menunjukkan bahwa pemustaka yang akses internet melalui perangkat mobile sudah menjamur. Beberapa fakta menarik yang bisa diidentifikasi dari perkembangan teknologi di Indonesia antara lain:
  • a. Pengguna internet di Indonesia sangat tinggi, baik itu online yang melalui perangkat mobile maupun jaringan Wireless Fidelity (WiFi), serta pembuatan blog.
  • b. Media akses informasi melalui ponsel paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia dibandingkan media lainnya.
  • c. Kaitannya dengan penggunaan internet, maka masyarakat Indonesia cukup tinggi minatnya terhadap konten video (streaming atau download konten video online) maupun layanan situs sharing foto.
Selain itu, lebih banyak juga yang memilih menggunakan media sosial (misalnya facebook) sebagai media komunikasi dibanding media lainnya.

Rupanya saat ini juga muncul isu yang terkait implementasi m-library yaitu telah terjadi pergeseran dari traditional nomads menjadi modern nomads. Modern nomads merupakan orang-orang yang bergerak berpindah-pindah tetapi bisa belajar dan bekerja setiap waktu dan dimanapun. Jadi teknologi mobile jelas mempengaruhi pemustaka sehingga menjadi modern nomads.

Pengaruhnya pada sistem perpustakaan adalah bahwa dengan penggunaan gadget mobile seperti ponsel, tablet, PDA, iPhone 3G/4G, dan sebagainya dapat untuk memfasilitasi pemustaka dalam mengakses sumber-sumber belajar digital.

Wacana perpustakaan masa depan, idealnya perpustakaan harus bisa menjadi learning commons bagi pemustaka, sehingga koleksi bisa disimpan dalam bentuk: konten digital (e-book, videos/podcast). Elemen kunci dari learning commons, meliputi: konfigurasi, teknologi, furniture, elemen disain, dan tingkat fleksibilitas.

Jadi sepertinya tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa semua informasi ternyata bisa disimpan dalam komputasi awan (cloud computing). Melalui teknologi komputasi awan tersebut memungkinkan perpustakaan dapat memanfaatkan layanan internet dengan menggunakan pusat server yang bersifat virtual.

Selain itu, pustakawan juga perlu mempertimbangkan kebutuhan akan data center. Hal ini disebabkan karena jumlah koleksi yang makin banyak sementara tingkat eksistensi harus dijamin selamanya.

Strategi Terpadu Terkait Perangkat Mobile

Pustakawan sangat mempunyai potensi untuk berubah menjadi lebih maju. Pustakawan sebagai pengolah dan penyedia sumber informasi harus memiliki aspek kesadaran, baik itu kesadaran berbagi informasi, kesadaran untuk updated teknologi baru, maupun kesadaran akan kebutuhan generasi pemustaka yang selalu berubah dan terus menerus terjadi. Saat ini yang namanya IPods, IPhones dan IPads telah merubah bagaimana pemustaka membaca.

Sungguh fenomena unik tampak bahwa anak-anak menganggap ponsel dan peralatan teknologi yang lain sebagai sahabat terbaik mereka. Mereka lebih senang bersinggungan dengan dekstop komputer, laptop, tablet, MP3, tv, game console, dan mobile phone daripada ngobrol dengan orang tuanya.

Anak-anak justru menjadikan gadget sebagai sahabatnya, misalnya untuk nonton kartun. Inilah potret anak-anak yang lahir saat ini yang telah menjadi generasi digital native. Ada 3 poin penting yang menjadi kunci dalam mengintegrasikan sistem melalui mobile, yaitu:
  1. Mengintegrasikan konten dengan layanan (Integrating content with services).
  2. Mengembangkan aplikasi inovatif (Developing innovative applications).
  3. Memastikan bahwa perpustakaan merupakan bagian dari strategi mobile yang dimiliki lembaga (Ensuring that the library is part of the institution’s mobile strategy).
Pemustaka pasti menginginkan lingkungan mobile yang pribadi (personal), sosial (social), sederhana (simple), praktis (practical), maupun menyenangkan (fun). Jadi sungguh menjadi tantangan bagi para pustakawan terkait dengan perangkat mobile.

Strategi yang sekiranya bisa ditempuh oleh pustakawan, antara lain: bagaimana menyediakan konten yang dapat dikonfigurasi untuk perangkat mobile, membuat roadmap pengembangan m-library dengan bersinergi atau berjejaring dengan stakeholders yang terkait, menyediakan layanan bagi pemustaka yang menggunakan perangkat mobile, mempromosikan konten dan layanan sehingga pemustaka menjadi lebih sadar dan memahami pentingnya akses melalui mobile.

Penutup

Teknologi mobile tidak bisa dihentikan, sehingga perpustakaan harus bisa memanfaatkannya. Untuk menerapkan mobile di perpustakaan, maka pustakawan harus memahami dari awal, lalu membuat perencanaan yang matang, dan akhirnya harus mampu mengevaluasi. Melalui m-library diupayakan agar perpustakaan dapat memberikan layanan lebih baik.

QR code bisa diadopsi untuk mempercepat layanan perpustakaan. Implementasi data center dan cloud computing bisa dipertimbangkan untuk perpustakaan masa depan. Sekalipun aplikasi mobile di perpustakaan ada banyak, namun cara termudah akses secara mobile bisa diawali dengan model SMS notification, dan email service kepada pemustaka.

Penulis: Endang Fatmawati [sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 14 No. 3 - Desember 2012]

sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 14 No. 3 - Desember 2012

Labels: