<data:blog.pageTitle/>

This Page

has moved to a new address:

http://duniaperpustakaan.com

Sorry for the inconvenience…

Redirection provided by Blogger to WordPress Migration Service
Dunia Perpustakaan | Informasi Lengkap Seputar Dunia Perpustakaan: April 2013

Thursday, April 4, 2013

Mengenang Kematian Aaron Swartz dan Nasib Gerilya Open Access!

Dunia Perpustakaan | Open Access | Informasi adalah kekuasaan. Tapi seperti juga kekuasaan, ada orang yang ingin menyimpannya hanya untuk diri mereka sendiri. Begitu tulis Aaron Swartz dalam artikel “Manifesto”  pada tahun 2008 yang lalu.

"Dia dibunuh oleh pemerintah," gumam Robert Swartz tak henti-henti, di tengah kerumunan pelayat, dengan suara bergetar dan  tercekat. Buah hatinya sekaligus penulis "Manifesto", Aaron, terbujur tak bernyawa di peti mati. Penemu RSS dan mengggiat open source dan  open access, serta salah satu pendiri situs Reddit ini tewas gantung diri di apartemennya, [13/1/2013].

Swartz, seorang aktivis internet, dirudung depresi terkait kasus hukum yang membelitnya. Ia sebelumnya meretas server institut teknologi ternama, Massachusetts Institute of Technology, dan mencuri jutaan artikel serta jurnal yang semestinya hanya bisa diakses dengan membayar. Atas nama akses terbuka terhadap  informasi yang diperlukan publik, ia menggansir data berbayar.

Pecandu internet sejak usia belia ini bukan anak bawang di jagat maya. Ia mendapat banyak pujian sebagai pencipta format web feed RSS 1.0, yang dia kerjakan saat berusia 14 tahun. RSS, kependekan dari Rich Site Summary, adalah format berbagi pengiriman kepada pengguna isi dari laman yang berubah terus, seperti blog dan laman berita.

(Baca juga:  Pesan Terakhir Aaron Swartz untuk Pustakawan)

Bertahun-tahun setelahnya, dia menjadi buah bibir karena membantu menyediakan segunung informasi maya secara gratis bagi masyarakat umum, termasuk 19 juta halaman dokumen pengadilan federal yang selama ini hanya bias diakses dengan membayar.

“Seluruh warisan budaya dan ilmu pengetahuan dunia yang disiarkan selama berabad-abad di dalam buku dan jurnal, makin sering didigitalkan dan dikunci oleh segelintir perusahaan swasta. Cuma mereka yang dibutakan oleh kerakusan yang menolak membolehkan orang lain untuk menyalinnya.” bunyi pernyataan Aaron yang juga tertuang di Manifesto

Keyakinan bahwa informasi wajib  dibagi dan tersedia bagi semua orang memicunya mendirikan kelompok nirlaba DemandProgress yang kemudian berhasil melancarkan aksi menghalangi golnya rancangan undang-undang Stop Online Piracy Act (SOPA) pada tahun 2011 oleh Parlemen AS.

Rancangan yang ditarik di tengah tekanan masyarakat itu semestinya mengizinkan pengadilan memerintahkan pencegahan akses ke jejaring tertentu yang dipandang melibatkan kegiatan berbagi hak intelektual secara tidak sah. Meski tak langsung disebut, jelas orang-orang seperti Swartz dan para penggiat keterbukaan informasi maya adalah  sasaran tembak utama UU ini.

Bagian Kedua

Mati di usia muda, kepergian Swartz diratapi banyak orang. Kehidupan singkat Aaron Swartz dianggap sebagai sebuah perjalanan besar, penuh inspirasi, namun berakhir tragis. Dia sejak awal meyakini idealismenya sendiri, bahwa informasi seharusnya gratis

Ketika aktivis berusia 26 tahun ini meninggal, ia menghadapi tuduhan serius di pengadilan federal, situasi yang menuntun pada simpulan mengapa ia memutuskan untuk bunuh diri. Anak muda yang dianggap "jenius" oleh sebagian orang ini berkontribusi dalam proyek-proyek teknologi, termasuk menjadi bagian dari penemuan RSS, yang kini digunakan oleh jutaan website.

Persinggungannya dengan hukum dimulai dengan insiden PACER pada tahun 2008. Public Access to Court Electronic Records adalah sebuah sistem yang mengumpulkan semua dokumen pengadilan federal AS, dan bisa diakses hanya dengan membayar.

Karena berada dalam domain publik, Aaron berpendapat informasi di situs itu semestinya tersedia secara gratis.

Benar, dia kemudian membeli akses untuk bisa masuk. Namun ibarat bertamu, dia tak hanya duduk manis di ruang tamu. Swartz menyusup secara maya hingga ke lorong-lorongnya dan menggondol 20 persen dari seluruh database, atau sekitar 18 juta dokumen, dan menyodorkannya pada pengakses Internet secara gratis.

Sudah ditebak, mereka yang ada di balik PACER meradang. Investigasi FBI dilancarkan, tapi setelah dua bulan, kasusnya ditutup. Ia dianggap tidak pernah melanggar hukum apapun. Tak ada yang dirugikan dengan menggratiskan informasi ini.

Sempat diinterogasi FBI tak membuatnya jera. Diam-diam ia mengakses database JSTOR, yang menyediakan jurnal penelitian berbayar. Lagi-lagi di situs ini, dia mengunduh 4 juta dokumen dari server MIT, dan menyimpannya pada hard drive-nya. Bukan untuk dirinya sendiri; ia mempublikasikannya secara gratis.

Kali ini, tak ada ampun baginya. Ia menghadapi ancaman hingga 35 tahun penjara. Meskipun setelah kematiannya, ada kesepakatan untuk memperpendek hukuman hanya 6 bulan ditambah masa percobaan.

Sebetulnya, apa yang menyeretnya ke penjara juga masih sumir. Masalah utamanya sebenarnya tak lebih hanyalah pelanggaran kebijakan  layanan situs web. Setiap website utama memiliki link di bagian bawah halaman yang mengantarkan pembacanya pada aturan ToS, term of service, yang menentukan apa yang Anda bisa dan tidak bisa lakukan di situs tersebut.

Umumnya pengakses situs, kemungkinan Anda juga, tidak pernah meperhatikannya. ToS juga bukan aturan hukum, sehingga dan tak ada konsekuensi hukum bagi pelanggarnya. Itu sebabnya pelanggaran ToS jarang bermuara ke pengadilan.

Namun Kejaksaan AS tampaknya tak ingin pemuda 26 tahun ini kembali membuat ulah. Mereka memilih memperkarakannya.

Bahkan setelah JSTOR menolak mengajukan tuntutan, jaksa bukannya menghentikan kasusnya, namun melanjutkan dengan tudingan lain, yaitu menyembunyikan identitasnya dan karenanya dibawa pada pasal kejahatan cyber. Konsekuensi hukumannya, tentu saja, tidak main-main dan jauh lebih berat.

Bagian Ketiga

Berkacamata kuda, begitu aktivis maya menyebut hukum yang diberlakukan terhadap kasus Aaron Swartz. Semua berangkat dari premis bahwa laptop yang digunakan Swartz menggunakan identitas palsu.

Ini yang mendasari penilaian bahwa dari awal dia memang sudah beritikad tidak baik. Di mata hukum semua titik sampai di sini.

Walau sebenarnya, bagi para pecandu Internet, apa yang dilakukannya adalah hal yang biasa dan tak istimewa. Bagi sebagaian orang, mengubah alamat MAC atau IP adalah hal sepele.

Banyak adapter yang menawarkan pilihan untuk itu, dan di layar Windows, Anda hanya perlu mengklik beberapa tombol untuk memuluskan tujuan. Masalahnya di sini adalah memodifikasi alamat MAC  bukan masalah keamanan.

Jika Anda mengambil kursus jaringan, seperti sertifikat Cisco atau CompTIA, salah satu hal pertama yang Anda pelajari dalam modul keamanan adalah penyaringan alamat MAC merupakan proposisi yang sama sekali tidak berguna.

Hal yang sama berlaku untuk alamat IP. Apakah menggunakan server DHCP atau mengatur alamat Anda sendiri dengan cara yang statis, siapa pun dapat mengkonfigurasi adaptor untuk menggunakan alamat yang mereka inginkan, dan selama router menerimanya, maka tak akan ketahuan siapa yang menggunakannya.

Jadi intinya adalah: apa yang didakwakan jaksa pada Swartz sudah terlalu jauh. Fakta bahwa mengubah sesuatu seperti alamat MAC untuk menyembunyikan keberadaan sebuah laptop adalah kejahatan, harus dikaji ulang dengan hati-hati.

Dari informasi yang beredar luas, pada kondisi ini tidak pernah ada sistem dalam JSTOR yang meminta Swartz untuk mengidentifikasi dirinya, dan memblokir akses berdasarkan alamat MAC.

Bahkan MIT, untuk kasus pertama, juga demikian. Misalnya, jika Anda pergi di kampus itu, Anda dapat melihat dua hotspot  wi-fi "0:21: d8: 49:98:61" dan "0:21: d8: 49:98:62" yang  dipilah menjadi untuk "Warga MIT" dan "Tamu MIT". Namun, kedua alamat sebenarnya bermuara pada adaptor yang sama.

Inilah sebabnya mengapa kasusnya menjadi sangat penting, dan mengapa hal itu tidak seharusnya dibiarkan berlarut-larut.

Teknologi dapat menjadi rumit, terutama untuk orang non-teknis. Untuk orang awam, spoofing--istilah teknis internet untuk mengubah atau mengkamuflase identitas--alamat MAC mungkin tampak seperti kasus penipuan, sebelum Anda menyadari bahwa sebenarnya teknologi itu tidak pernah dirancang seperti itu.

Tak berlebihan jika serangan hukum terhadap Swartz sebenarnya adalah wujud dendam kesumat pada sejumlah orang yang seide dengannya, yang telah membocorkan informasi penting ke ranah publik. Singkat kata, pemerintah AS seolah ingin membuat terapi kejut bagi mereka, dengan cara mem--'bully' Swartz.

Siapa saja mereka? Sederet nama pasti Anda ingat. Yang paling terkenal barangkali adalah Bradley Manning, serdadu dalam Perang Irak yang dituduh membocorkan informasi militer rahasia pada situs WikiLeaks.

Dokumen kebijakan luar negeri AS yang bersifat terbatas, berjumlah lebih dari 92 juta item, diobralnya pada situs itu. Ia kini meringkuk di tahanan militer, menunggu kasusnya berkekuatan hukum tetap.

Lalu ada Jeremy Hammond, pemuda 28 tahun, yang pada tahun pertamanya di Universitas Illinois meretas home page Departemen Ilmu Komputer. Meski  kemudian ia mengatakan kepada mereka bagaimana mereka bisa memperbaiki masalah tersebut.

Dia dikeluarkan dari universitas itu dan sekarang meringkuk di penjara federal menghadapi tiga puluh sembilan tahun penjara. "Dosa" terbesarnya justru bukan pada meretas situs di kampusnya, melainkan membocorkan 5 juta email internal Stratfor, sebuah perusahaan keamanan swasta yang disewa oleh perusahaan.

Khusus bagi Swartz, ia bak memborong semua dakwaan. Setidaknya ada 13 dakwaan yang ditudingkan padanya, mulai dari penipuan hingga kejahatan cyber.
Jika dijumlahkan, dia harus menghabiskan 35 tahun hidupnya di penjara, dan membayar denda 1 juta dolar AS. Hukuman yang terlalu mahal “hanya” untuk kesalahan peretasan dan tak ada pihak yang dirugikan.

Bagian Empat

Datang dari seluruh penjuru Silicon Valley, mereka memenuhi bangku gereja tua untuk memberikan penghormatan kepada Aaron Swartz, di hari jazadnya diantar ke pemakaman. Mereka yang tak mendapat tempat duduk, rela berdiri bahkan hingga di pelataran gereja.

"Kami datang bukan untuk berkabung. Kami datang untuk meneruskan perjuangannya," ujar salah seorang dari mereka.

Di gereja yang telah dialihfungsikan sebagai markas Internet Archive, sebuah kelompok nirlaba yang didirikan para penggiat internet AS, suasana tampak lebih seperti "rapat umum" aktivis maya ketimbang perkabungan dalam suasana duka.

"Dia bukanlah penjahat. Dia adalah seorang warga negara dan seorang prajurit pemberani dalam perang yang terus berlangsung sampai sekarang, perang di mana para pencatut dan koruptor informasi mencoba untuk mencuri dan menimbun sementara yang lain dahaga dan kelaparan hanya demi untuk keuntungan pribadi mereka sendiri," kata Carl Malamud, teknolog dan advokat vokal untuk akses terbuka terhadap informasi.

Yang tak bisa hadir, mengirimkan kawat duka melalui surat elektronik. "Kematian Aaron Swartz adalah kerugian bagi seluruh umat manusia," tulis Jacob Applebaum, seorang hacker terkenal, melalui pesan email.

Dia adalah seorang "jenius Web," tulis Lawrence Lessig, profesor hukum di Harvard Law School dan direktur Edmond J. Safra Center for Ethics di Harvard University. “Dunia kehilangan dia.”

Akademisi yang mendukung gerakannya, aktif memposting penelitian mereka secara online dan membebaskan siapa saja untuk melihat dan bahkan mengunduhnya. Beberapa perguruan tinggi ternama di AS juga mulai membuka akses gratis bagi penelitian mereka.

"Saya pikir banyak orang yang akan terinspirasi oleh Aaron untuk bertindak," kata Peter Eckersley, ditektur Electronic Frontier Foundation yang juga mantan teman sekamar Swartz.

Perang perebutan akses terbuka telah berkecamuk selama bertahun-tahun, dan kematian Swartz alih-alih memberangus, malah bak menyiram bensin dalam bara.

Pertempuran bahkan akan lebih panas, seorang aktivis mengatakan. "Kematian Aaron justru akan meradikalkan gerakan kami," kata Taren Stinebrickner-Kauffman, programer yang juga kekasih Swartz, seolah bersumpah. Slogan Swartz bahwa informasi harus dibebaskan dari cengkeraman para pemikir korup yang haus uang, menggema sepanjang acara. ** | sumber: republika.co.id

Labels:

Monday, April 1, 2013

Selintas Peran Restorator Dalam Konservasi Koleksi Perpustakaan

Selintas Peran Restorator Dalam Konservasi Koleksi Perpustakaan.


Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 15 No. 1 - April 2013

Abstrak

Konservasi merupakan bagian dari program kegiatan Preservasi dimana  salah satu tugasnya adalah memperlambat laju kerusakan bahan perpustakaan. Tetapi dibalik itu semua ada peran seorang restorator yang bertugas secara spesifik dengan dibantu oleh seorang penjilid buku (book binder), karena tanpa mereka bahan perpustakaan tidak akan bisa dikembalikan pada bentuk semula setelah koleksi  dilepas dari  jilidan  karena  kertasnya harus ditambal, disambung atau dilaminasi per halamannya.

Selama ini peran restorator dalam  melestarikan bahan perpustakaan di perpustakaan kurang mendapat apresiasi mungkin keberadaannya dibelakang layar semata dan masih kurang memahami tentang  Jabatan konservator yang notabene belum maksimal keberadaannya di Negara Indonesia khususnya di perpustakaan  belum direalisasikan.Mungkin inilah yang  menjadi  salah satu kendalanya.

Untuk mendapatkan  jabatan konservator dan melakukan pekerjaan bidang konservasi setidaknya harus punya pendidikan formal  dengan satu gelar /ijazah kemudian mengikuti pendidikan tambahan  dan latihan  diluar negeri yang mana untuk mendapatkan kelulusan bidang  preservasi,

merupakan sebuah tantangan tersendiri karena pada faktanya kurikulum dalam masalah preservasi sangat tebatas, dan memang hanya sedikit tempat dimana  seseorang bisa mendapatkan pendidikan khusus mengenai preservasi. Ada  kode etik tertentu  yang harus ditaati didalam menangani pekerjaan sebagai konservator dan restorator.

Pendahuluan

Konservator merupakan SDM yang melaksanakan salah satu tugas pokok di Instansi Pemerintah seperti Arsip, Perpustakaan, Museum, Sejarah dan Purbakala maupun pusat-pusat informasi lainnya. Predikat konservator diraih melalui suatu pendidikan formal maupun non formal, sehingga memiliki kualifikasi, tingkatan dan mempunyai kode etik serta uraian tugas yang jelas.

Konservator diperpustakaan  yang  profesional sangat dibutuhkan dalam mengemban tugas melestarikan  bahan  pustaka koleksi sebuah perpustakaan. Hal  ini berkaitan dengan  peran  perpustakaan  dalam  mensirkulasikan bahan    perpustakaan agar bisa  tetap lestari dan didayagunakan secara  terus-menerus.

Tugas-tugas yang menjadi beban para konservator  meliputi  tugas konservasi preventif  maupun konservasi kuratif.  Salah satu aspek penting didalam melaksanakan tugas konservasi di  Perpustakaan adalah  bagaimana memberdayakan koleksi agar  mampu menunjang  layanan Perpustakaan secara maksimal walaupun sebatas   berperan dibelakang layar semata .

Di dalam tugas sebagai konservator tersebut ada peranan seorang restorator yang mana didalamnya sebagian bertugas sebagai penjilid bahan perpustakaan (book binder). Sebagai gambaran umum tugas dan fungsi seorang restorator dan penjilid bahan perpustakaan (book binder) dalam kegiatan konservasi adalah seperti bagan dibawah ini :

Pengertian Konservator

Kata Konservator  dalam  Wikipedia  adalah pekerja profesional yang melakukan konservasi terhadap  satu  obyek  atau  benda  tertentu. Dengan semakin meningkatnya teknik konservasi modern, konservator menggunakan beberapa spesifikasi dalam jenis obyek yang ditangani, seperti  misalnya untuk lukisan, kertas , tekstil, furniture , buku langka ,photographi, arkeologi atau ethnografi.

Konservator lebih cenderung bekerja secara pribadi untuk museum, perpustakaan  atau  institusi. Profesi Konservator kertas/buku khususnya untuk perpustakaan masih sangat langka, padahal  sangat dibutuhkan dalam mengemban tugas melestarikan  bahan pustaka koleksi sebuah perpustakaan.

Hal  ini berkaitan dengan  peran perpustakaan  dalam  mensirkulasikan  bahan  perpustakaan agar bisa  didayagunakan secara  terus-menerus. Bagi bangsa Indonesia perhatian pemerintah akan pelestarian  diwujudkan dengan terbitnya Undang-undang No.07 Tahun 1971 tentang Ketentuan Pokok Kearsipan, Undang- undang Nomor 50 Tahun 1992 Tentang Cagar Budaya.

Bahan Perpustakaan  yang terlalu sering digunakan tentu  saja berdampak  pada  kerapuhan dan kerusakan yang akhirnya perlu untuk segera ditangani dengan cara konservasi yang mana ini adalah salah satu aspek dalam konsep pelestarian atau preservasi bahan pustaka.

Konservasi di Perpustakaan

Di Indonesia kegiatan konservasi belum banyak mendapat pengakuan , berbeda dengan   negara-negara barat seperti Amerika Serikat, Kanada, Negara Eropa dan Australi, tenaga konservator  sudah diakui lama dan berfungsi dan dibagi dalam beberapa kelompok konservator yaitu kelompok konservator kertas/buku, konservator lukisan, konservator tekstil, konservator etnografi, konservator kayu, konservator batu dan konservator arsitektur yang dibagi lagi dalam beberapa kelompok sesuai dengan tingkat keahlian masing-masing.

Secara harafiah Pengertian Konservasi itu sendiri adalah sama dengan “Preservasi” yang berarti Pelestarian  dan preservasi  bila dikaitkan dengan ilmu perpustakaan adalah : “in library science, preservation is treated as an active and intentional process, as opposed to the passive sense of preservation that might be applied to paleontological or archaeological finds…  Wikipedia (2012)

Tetapi tujuannya sama yaitu  melestarikan bahan Perpustakaan dari kandungan informasi ilmiah yang direkam dan dialih mediakan dan melestarikan bentuk fisik asli bahan perpustakaan dan arsip sehingga dapat digunakan dalam bentu seutuh mungkin  ( Dureau dan Clements, 1990).

Konservator adalah orang yang melakukan kegiatan perawatan terhadap benda atau koleksi perpustakaan agar dapat digunakan dengan layak.

Diantara pakar konservasi yang punya peran besar dalam bidang konservasi adalah  William Barrow seorang ahli kimia dan konservasi kertas dari Amerika ( 1904-1967) dan seorang pakar dalam bidang konservasi perpustakaan dan Arsip ,  pada tahun 1933 telah memperkenalkan konservasi tentang deasidifikasi (deacidification) kertas melalui alkalisasi (alkalization) .

Kegiatan konservasi di perpustakaan ada bermacam–macam tetapi dalam kelompok besarnya dibagi tiga yaitu konservasi preventif dan kurativf dan restorasi .

Konservasi  preventif yaitu tindakan pencegahan terhadap kerusakan bahan perpustakaan dari berbagai macam faktor perusak, apakah itu manusia, serangga ataupun alam. Selain itu tindakan pengontrolan lingkungan dibutuhkan secara berkala khususnya untuk koleksi yang tergolong koleksi langka dan koleksi khusus.

Kunci dari factor lingkunganyang harus diperhatikan adalah meliputi temperatur, serangga, maupun polusi dan pencahayaan yang berlebihan.

Konservasi Kuratif meliputi tindakan berbagai penanganan dan treatment dengan metode dan teknik penanganan yang sudah ditentukan. Restorasi adalah tindakan perbaikan bahan perpustakaan yang mengalami rusak parah agar kembali pada kondisi semula.

Hal ini sesuai dengan draft naskah  jabatan konservator di perpustakaan yang salah satu tugasnya adalah memperbaiki atau merestorasi bahan perpustakaan yang mengalami  rusak parah.

Perbaikan bahan perpustakaan tersebut harus dilakukan oleh seorang restorator dengan cara membongkar jilidan buku, kemudian melakukan treatment penanganan seperti menghilangkan noda kertas, menambal, menyambung, melakukan pemutihan kertas (bleaching), ataupun perlakuan tertentu yang berkaitan dengan masalah konservasi.

Didalam pekerjaan restorasi tersebut ada peranan seorang  penjilid buku (book binder) yang melakukan tugas menjilid kembali bahan perpustakaan yang telah dibongkar , kemudian dijilid ulang guna mengembalikan bentuk fisik aslinya. Biasanya koleksi yang direstorasi adalah bahan peprustakaan yang mempunyai nilai informasi yang tinggi seperti buku antik, naskah atau buku yang punya nilai seajarah.

Selain bahan perpustakaaan yang berbentuk buku, restorasi juga dilakukan terhadap koleksi perpustakaan yang lain seperti photo, gambar, lukisan , peta atau microfilm dan a , sayangnya di Indonesia masih sangat langka kegiatan ini dilakukan karena kurangnya Sumber Daya Manusia dalam kegiatan preservasi secara menyeluruh.

Secara sepintas tugas seorang restorator mirip dengan penjilid buku (book binder) tetapi dalam masalah ini ada sedikit pertanyaan yang mengusik tentang perbedaan menjilid buku dengan memperbaiki buku (merestorasi buku) apakah sama?

Restorator mampu melakukan kegiatan memperbaiki buku dan punya keahlian dalam bidangnya, tujuannya adalah menjadikan buku yang hancur /rusak parah bisa digunakan kembali dan mengembalikan kondisi hampir mendekati bentuk aslinya. Hal ini seperti telah dikemukan oleh Bernard C. Middleton dalam buku

“The Restorations of Leather Binding” (1972) : The purpose of the book restorer , as I understand , is to make worn or damage books usable again, and to restore them as nearly as he can to their  life as much as possible.

Pengalaman, kecerdasan dan imajinasi yang kuat harus dikombinasikan apabila ingin pekerjaan restorasi berhasil dengan sukses. Sementara penjilid buku (book binder) hanya melakukan penjilidan ulang atas buku yang sudah dibongkar dan diperbaiki kertasnaya halaman per halaman.

Dalam draft  rincian tugas jabatan Konservator Perpustakaan  (Razak, 2012 ) dijelaskan bahwa tugas-tugas seorang konservator  meliputi tugas preventif  dan  kuratif .   Penjabaran dari tugas-tugas tersebut diantaranya adalah meliputi tugas – tugas :

• Membuatkan dokumentasi koleksi yang berupa catatan tertulis, foto sebelum,sedang dan sesudah konservasi, termasuk catatan kondisi koleksi, proposal treatment, laporan pelaksanaan dan rekomendasi untuk digunakan dalam penataan koleksi.

• Melaksanakan konservasi preventif ( pemeliharaan) pada koleksi, yaitu Konservator harus berusaha mencegah kerusakan koleksi bahan perpustakaan dengan cara mengendalikan lingkungannya, tempat penyimpanan, penggunaan dan penanganan. Konservator harus mampu merawat, memperbaiki koleksi perpustakaan dengan tingkat keahlian masing – masing   dengan standart yang tinggi.

• Melaksanakan restorasi (perbaikan ) pada koleksi yang rusak ( Pecah, patah, retak, robek, berlubang, bagian yang hilang dll.) dengan memodifikaasi bahan dan struktur koleksi agar mendekati keadaan semula . Hal ini dilakukan guna melestarikan nilai estetika dan nilai sejarah dari koleksi tersebut.Dalam tuga-tugas melaksanakan restorasi diantaranya meliputi kegiatan perbaikan koleksi dengan menjilid kembali koleksi buku yang rusak agar bisa didayagunakan.

Restoratorasi  Koleksi Perpustakaaan akibat Bencana

Bencana adalah merupakan suatu hal yang tidak bisa diduga sebelumnya oleh manusia, dan itu bisa terjadi dimana saja tidak terkecuali didalam lingkungan perpustakaan,  tetapi bencana dapat kita cegah dengan cara selalu tanggap akan hal-hal yang mengarah pada kerusakan yang yang lebih parah.

Koleksi yang mengalami kerusakan akibat dari bencana atau karena faktor usia sehingga keadaannya tidak memungkinkan untuk dilayankan pada pemustaka perlu segera ditangani dengan cara restorasi yang dilakukan oleh ahlinya dibidang konservasi atau yang lazim disebut konservator dalam hal ini adalah para restorator yang khusus menangani perbaikan dan pemulihan kondisi bahan perpustakaan yang telah mengalami kerusakan parah.

Sebagai  contoh gambaran konkritnya kegiatan restorasi , Perpustakaan Nasional Florence Italy pada tahun 1966 karena banjir Sungai Arno telah merusak dan  merendam koleksi buku-buku langka yang dimiliki oleh mereka setinggi 15 kaki sehingga merusak ratusan ribu koleksinya seorang restorator bernama Peter Water telah memimpin untuk pengembangan laboratorium  restorasi  dan methode baru dalam bidang konservasi, sehingga  mendapat julukan malaikat lumpur (“mud angels”)  karena merestorasi ribuan buku dan kertas.

Keadaan seperti ini pernah  terjadi pula  di Indonesia sewaktu bencana Tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004  konservator dari Perpustakaan Nasioanal RI telah ikut berperan didalam penyelamatan dokumen yang hancur dan rusak parah terendam oleh lumpur dan air bah. Mr.Sakamoto dari Jepang  bersama team dari Pusat  Preservasi  Perpustakaan Nasional RI  ikut terjun langsung menangani masalah penanganan restorasi bahan perpustakaan yang rusak dan  porak poranda.

Restorasi   dan  Perbaikan Bahan Perpustakaan

Staf diperpustakaan sehari-harinya berhubungan langsung dengan koleksi yang diolah kemudian dilayankan  pada para pemustaka. Secara berkala bagian teknis di Pusat preservasi akan menemukan kondisi koleksi yang perlu ditangani karena rusak dalam artian kertas yang rapuh maupun jilidan seperti lepas jahitan, hilang sampulnya  dan seterusnya.

Semua jenis kerusakan yang terjadi adalah merupakan dampak dari adanya  konsekwensi koleksi dalam pelaksanaan layanan bahan perpustakaan. Kenyataan dilapangan koleksi bahan perpustakaan  yang mengalami kerusakan akan bertambah parah apabila tidak segera ditangani, karena koleksi yang ada di perpustakaan  pasti   mengalami  berbagai kasus kerusakan atau kerapuhan yang diakibatkan oleh beberapa faktor yang  sangat berpengaruh terhadap kondisi koleksi.

Selain itu perlakuan  manusia terhadap bahan perpustakaan seperti  shelving atau penempatan   bahan perpustakaan di rak sangat berpengaruh juga. Dalam “Principles for The Preservation and Conservation of Library Material” yang dihasilkan oleh The International Revew Team for Conservation and Preservation (1989), dikemukakan bahwa tujuan preservasi dan  konservasi adalah melestarikan kandungan informasi dan melestarikan bentuk fisik asli sehingga dapat digunakan.

Persepsi orang selama ini yang menganggap apabila buku/koleksi rusak  bisa  beli lagi karena masih dijual di toko buku mengapa harus  memikirkan dikonservasi? Bagi koleksi yang masih banyak beredar di pasaran  mungkin tidaklah  penting untuk diperhatikan masalah konservasi atau restorasi ,

tetapi bagaimana bila koleksi  sudah tidak dijual di pasaran karena tidak dicetak ulang oleh penerbitnya karena berbagai faktor misalnya sudah  uncurrent atau tidak  up to date lagi alias dikategorikan sebagai bahan perpustakaan  langka atau buku antik.

Dari hasil pengujian Preservasi mempunyai kebijakan sebagai berikut : (dalam http;/www.library.cornell.edu./preservation/operation/brittlebooks.)
  1. Apabila buku diterbitkan pada periode 1850 , harus menjadi perhatian bagi para staf dalam pengertian masuk dalam kategori buku langka atau buku antik.
  2. Apabila kertas dari koleksi tersebut sudah rapuh, hendaknya diberikan pada bagian koordinator  dan difotocopy untuk kemudian  dicatat dalam administrasi  Preservasi sebagi data buku yang masuk skala prioritas preservasi.
  3. Hasil photocopy kemudian dijilid, sementara buku aslinya dikembalikan pada koordinator ( penanggung jawab /layanan koleksi)
  4. Setelah  photocopy selesai dijilid diserahkan kepada koordinator untuk dichek kemudian dibikinkan  katalog  pengganti
Kegiatan  penjilidan  dalam restorasi  termasuk dalam kegiatan konservasi  yang meliputi perbaikan bahan perpustakaan yang rusak dengan penjilidan kembali   agar kondisinya bisa seperti aslinya. Untuk itu diperlukan pengetahuan teknis  cara menjilid agar mutu jilidan sesuai dengan maksud dan tujuannya serta bentuk jilidannya bisa diwujudkan secara maksimal .

Kebijakan untuk menjilid bahan  perpustakaan secara  ideal  harus dengan  melalui prosedur  dan tata cara sebagaimana alur kerja yang seharusnya dilakukan antara pihak perpustakaan  dan penjilid (book binder) agar dicapai  hasil yang maksimal.

Bisa dibayangkan apabila kondisi koleksi diperpustakaan  banyak yang rusak dan tidak tertangani dengan benar  tentunya hal ini akan mengganggu pemustaka dalam membaca  serta  layanan perpustakaan itu sendiri. Salah satu contoh  buku yang memerlukan penanganan seorang restorator dan perbaikan penjilidan  adalah seperti gambar dibawah ini.

Kualifikasi Sumber Daya Manusia Konservator

Kegiatan konservasi masih tumpang tindih dengan para teknisi, tukang atau seniman sehingga sering dipandang  rendah dan kadang-kadang pekerjaan seorang konservator ada didalam  kendali seorang kurator, pustakawan dan arsiparis.

Yang menjadi kendala mungkin di perpustakaan belum mempunyai Sumber Daya Manusia yang bisa diandalkan seperti kegiatan konservasi yang dilakukan oleh para saintis, antropolog dan seniman yang bekerja di  Instansi-instansi pemerintah yang sudah mendapat pendidikan dan latihan tambahan baik didalam maupun diluar negeri.

Padahal dengan adanya jabatan konservator diperpustakaan  akan memperkaya jabatan fungsional yang sudah ada sebelumnya  seperti pustakawan, arsiparis , perencanaan, dsb.

Untuk mendapatkan  jabatan konservator dan melakukan pekerjaan bidang konservasi setidaknya harus punya pendidikan formal  dengan satu gelar /ijazah kemudian mengikuti pendidikan tambahan  dan latihan  kedinasan  baik didalam maupun diluar negeri dengan mendapatkan tanda kelulusan.

Adalah sebuah tantangan besar dibidang preservasi karena sampai sekarang ini  secara fakta  masalah preservasi masih sangat terbatas di sebagian besar kurikulum Pendidikan  Ilmu Perpustakaan, karena memang masih sangat sedikit tempat atau lembaga yang  melaksanakan pendidikan khusus  tentang pendidikan preservasi.

Contoh lembaga pendidikan preservasi bisa didapat pada  American Institue for the  Conservation  of Historic and Artistic Work  (http;//aic.standford.edu/) ; International Centre for the study of  Preservervation  and Restoration of Cultural Property (ICCROM) (http;//www.iccrom.org.)

Tetapi masih ada satu lembaga pengembangan sumberdaya  preservasi yaitu The Northeast Document Conservation Center ( NEDCC) yang berdiri tahun 1973 atas dasar reaksinya terhadap  masalah kerapuhan kertas di wilayah  Inggris .

Lembaga ini menanggung institusi atau organisasi seperti  pustakawan, konservator , dan professional bidang permuseuman dengan membantu dalam mempelajari tentang perawatan dan prosedur preservasi koleksinya.

Lembaga ini juga menawarkan bantuan dalam hal perencanaan pencegahan bencana, dengan mengadakan training, workshop dan konferensi secara online. Sementara itu  didalam ”Rancang Naskah Akademis Tentang Jabatan Fungsional Konservator” untuk pengembangan profesi dari jabatan konservator yang bisa dilakukan  diantaranya adalah :
  1. Membuat karya tulis ilmiah baik dalam bentuk buku,majalah, maupun makalah
  2. Membuat terjemahan atau saduran
  3. Membuat buku pedoman teknis tentang konservasi koleksi
  4. Mengembangkan teknik baru dalam pelaksanaan konservasi
  5. Membimbing konservator yang lebih yunior.

Kode Etik dalam Konservasi

Setiap profesi atau jabatan apapun itu namanya dipastikan mempunyai suatu kode etik tertentu yang harus diperhatikan oleh para pemegang jabatan atau penyandang profesi yang bersangkutan. Dalam Wikipedia disebutkan bahwa Kode  etik profesi merupakan suatu tatanan  etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat  tertentu.

Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum. Sangat penting bagi tujuan kode etik, agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya.

Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Masalah kode etik ini telah dikeluarkan oleh  lembaga yang bernama The AIC Code of Ethics and Guidelines for Practice dengan mengeluarkan  statement: “ The conservation professional should be cognizant of law and regulation that may have a bearing on professional activity.

Among these laws and regulation are those concerning the right of artist and their estates, occupational health and safety, sacred and  religious material, excavated obyect, endangered species , human remain,and stolen property“.

Untuk itu konservator perlu memahami  beberapa macam kode etik didalam menangani pekerjaannya diantaranya adalah , harus memilki tanggung jawab moral tinggi, sehingga dalam melaksankan tugas akan  senantiasa berhati-hati dan tidak melanggar aturan atau kode etik didalamnya.

Seorang konservator mempunyai kewajiban khusus dalam melestarikan benda warisan budaya  yaitu mempertahankan keaslian benda/koleksi yang umumnya unik, mempunyai nilai sejarah, nilai estetika, religius, social ekonomi.

Nilai-nilai tersebut ditentukan oleh cara pembuatan, bukti dokumen sejarah, kegunaan dsb, dan harus menerapkan standar kerja yang tepat dan mengikuti prosedur tertentu pada tiap-tiap benda warisan budaya yang akan ditangani agar benda warisan tersebut tidak rusak.

Oleh karena itu sebelum melakukan pekerjaan seorang  konservator  diwajibkan  mendokumentasikan  pekerjaannya dengan cara mencatat  semua rinci darisebuah karya budaya, catatan- catatan tentang pengujian dan perbaikan secara intristik .

Catatan ini harus disimpan dan dirawat sepermanen dan mudah diakses kembali.Selain tu seorang konservator harus bertanggung jawab terhadap Instansi Tempat Bekerja yakni memelihara dan memperbaiki  benda budaya atau koleksi dengan bekerja sebaik-baiknya agar benda budaya atau koleksi  warisan yang sedang ditangani lestari.

Setelah  itu membuat laporan  hasil penelitian kondisi koleksi yang akan dipakai untuk keperluan dokumentasi sebagai dasar dalam menyusun  rencana kegiatan  pelestarian dan untuk evaluasi hasil pekerjaan pada masa yang akan datang .

Kode etik lainnya  yang dimiliki oleh konservator juga meliputi  kode etik dalam hubungan antar staf, pelaksanaan dalam konservasi yang menjelaskan bagaimana aturan –aturan dalam melaksanakan konservasi secara teknis.

Penutup

Konservasi merupakan satu bagian dari rangkaian alur kerja masalah pelestarian bahan pustaka . Konservasi dalam rangka melestarikan kandungan informasi dan bentuk fisik bahan perpustakaan. Didalam kegiatan konservasi bahan perpustakaan ada peran yang cukup besar dari seorang restorator dengan dibantu oleh penjilid bahan peprustakaan (book binder).

Dari uraian tentang konservasi dan restorasi bahan perpustakaan dengan segala aspek-aspeknya perpustakaan  perlu meningkatkan sumberdaya manusia yang ada didalamnya guna mendapatkan tambahan ilmu dan wawasan dalam  melestarikan koleksi yang ada guna menunjang fungsi layanan perpustakaan  dengan  senantiasa  menyediakan koleksi yang siap pakai dalam keadaan layak dan utuh.

Tidak menutup kemungkinan bahwa kita juga perlu mengkaji lebih mendalam akan segala bentuk pengembangan inovasi baru dalam bidang konservasi bahan perpustakaan apakah itu konservasi buku, gambar, photo, lukisan ataupun bahan audio visual dan microfilm agar tidak hanya terfokus  pada satu macam teknis dan methode  yang  terbatas .

Ekspansi perlu dilakukan secara berkesinambungan  agar  sistem yang sekiranya tidak patut lagi  dipakai sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan kerja baik itu sarana maupun prasarananya perlu dievaluasi dan ditinjau kembali.

Predikat konservator yang diraih melalui suatu pendidikan formal maupun non formal, kualifikasi , tingkatan dan kode etik diperlukan sebagai standar uraian tugas yang jelas seperti jabatan fungsional lainnya seperti pustakawan, arsiparis dsb.


DAFTAR PUSTAKA

  • Clement, David.1985.  Preservation of library collection. Paris: UNESCO. Conservation and preservation at the National Library of Indonesia: A report by the International Revew Team for conservation and preservation. 1989. Jakarta : Perpustakaan Nasional RI.
  • Greenfield, Jane. 1984. Books : their care and repair. London: Library of Conggress.
  • Johnson, Arthur  W. 1981. Manual of Binding. London: Thames and Hudson. Pengetahuan Kejuruan Dasar Penjilidan Buku. 1983. Jakarta: Pusat Grafika Indonesia.
  • Profesional Archive, Book binding, conservation and Restoration supplies.http;// www.talas online.com. (diakses 05/06/2008).
  • Razak, Muhammadin..2012. Rancangan Naskah Akademis tentang Jabatan Fungsional Konservator . Jakarta: Perpustakaan Nasional RI
  • Conservator-restoration.2005 http;//en Wikipedia.org/ wiki/conservator_(museum) diakses  04/12/013
  • Middleton, Bernard C.1972. The Restoration of Leather Bindings. Chicago:American Library Association.


Penulis: Indah Purwani [sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 15 No. 1 - April 2013]

Labels:

Pengaruh Aksesibilitas dan Ketersediaan Jurnal Elektronik Terhadap Kepuasaan Pengguna Perpustakaan

Pengaruh Aksesibilitas dan Ketersediaan Jurnal Elektronik Terhadap Kepuasaan Pengguna Perpustakaan.


Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 15 No. 1 - April 2013

Abstrak


Pesatnya  perkembangan jurnal elektronik dan beberapa  pertimbangan lain yang lebih menguntungkan menjadi alasan utama penyediaan pangkalan data jurnal elektronik di beberapa perpustakaan perguruan tinggi. Ketersediaan jurnal elektronik yang memadai dengan prosedur perolehan yang lebih mudah akan memberikan rasa puas kepada pemustaka.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aksesibilitas dan ketersediaan koleksi jurnal elektronik terhadap kepuasan pemustaka di Perpustakaan Universitas Gadjah Mada. Populasi penelitian berjumlah 180 pemustaka di lingkungan Universitas Gadjah Mada yang pernah menggunakan atau menelusur jurnal elektronik yang disediakan oleh Perpustakaan Universitas Gadjah Mada.

Penentuan sampel menggunakan teknik konvenien. Pengumpulan data menggunakan kuesioner, empat butir pertanyaan mewakili variabel kepuasan (α = 0,785), enam butir pertanyaan mewakili variabel aksesibilitas (α = 0,720), dan lima butir pertanyaan mewakili variabel ketersediaan (α = 0,893).

Analisis data menggunakan metode statistik dengan teknik analisis regresi ganda. Hasil analisis data diperoleh nilai  koefisien determinasi sebesar 0,416. Hal ini menunjukkan bahwa aksesibilitas dan ketersediaan koleksi secara bersama-sama memberikan pengaruh sebesar 41,6% terhadap kepuasan, sedangkan 58% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar variabel penelitian ini.

Secara independen, ketersediaan berpengaruh terhadap kepuasan. Secara deskriptif skor aksesibilitas, ketersediaan dan kepuasan pemustaka terhadap jurnal elektronik tergolong dalam kategori sedang. Hal ini mengandung arti bahwa penyediaan jurnal elektronik di perpustakaan Universitas Gadjah Mada memperoleh penilaian yang berkategori sedang dari responden dalam penelitian ini.

A. PENDAHULUAN


Sumber infomasi elektronik telah memasuki dunia perpustakaan pada era teknologi informasi yang telah berlangsung sejak beberapa waktu yang lalu. Koleksi jurnal elektronik sebagai media komunikasi ilmiah antar peneliti,  memiliki kelebihan daripada jurnal tercetak, karena pengguna lebih cepat dan mudah memperolehnya. Modal utama untuk memperoleh kemudahan tersebut adalah komputer yang tersambung internet.

Sebagian perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia telah memfasilitasi koleksi  jurnal elektronik untuk mendukung proses pembelajaran dan penelitian bagi sivitas akademika terutama para mahasiswa, dosen, dan peneliti.

Dalam rangka merealisasikan visi universitas menjadi perguruan tinggi penelitian bertaraf internasional, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada telah menyediakan data base jurnal elektronik  yang dapat diakses secara online oleh seluruh sivitas akademika.

Beberapa jurnal elektronik dilanggan dari beberapa penyedia pangkalan data jurnal di dalam maupun di luar negeri. Ada kurang lebih 20 pangkalan data jurnal  yang dilanggan, diantaranya Ebsco, Proquest, JStor, Science Direct, Springer Link, IEEE Computer Society, Asce Research Library, Project MUSE, Oxford Islamic Studies Online, dan lain-lain.

Sosialisasi dan pelatihan penelusuran jurnal elektronik yang dilanggan telah dilakukan dan ditujukan bagi sivitas akademika di lingkungan UGM terutama para mahasiswa dan dosen.

Sosialisasi ini dapat dikatakan berhasil, ketika Abbas sebagai Direktur Manager dari Corporate and Medical Database Ebscohost (http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=3371) mengemukakan bahwa peng- aksesan jurnal elektronik di Universitas Gadjah Mada meningkat pada tahun 2010.

Pengakses jurnal elektronik dari database Ebsco di Universitas Gadjah Mada mencapai 84,8% dari seluruh pengakses database Ebsco di Indonesia.

Prosedur perolehan informasi atau aksesibilitas infomasi yang lebih mudah dalam jurnal elektronik, menjadikan pemustaka cenderung untuk selalu menelusur informasi pada jurnal elektronik yang tersedia.

Meskipun demikian tidak sepenuhnya kemudahan akses sebagai satu-satunya faktor bagi pemustaka untuk mengakses dan  memanfaatkan jurnal elektronik yang tersedia.  Salah satunya adalah tersedianya informasi jurnal elektronik yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Lebih dari itu bahkan informasi yang lebih mutakhir dan dapat dipertanggungjawabkan isinya (Kusmayadi, 2008; Prawati, 2003).

Pemustaka yang memperoleh informasi lebih dari apa yang diharapkan, dapat merasakan kepuasan dan selanjutnya mereka akan selalu mengakses informasi yang tersedia di perpustakaan (Kotler, 2000; Achmad, 2011).

Bertitik tolak dari uraian tersebut dapat dijabarkan rumusan masalah:  Bagaimana pengaruh aksesibilitas dan ketersediaan koleksi jurnal elektronik terhadap kepuasan pemustaka di Perpustakaan Universitas Gadjah Mada?

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui:  pengaruh aksesibilitas dan ketersediaan koleksi jurnal elektronik terhadap kepuasan pemustaka di Perpustakaan Universitas Gadjah Mada.

Hasilnya diharapkan bermanfaat sebagai bahan evaluasi  Perpustakaan Universitas Gadjah Mada dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan pengadaan dan aksesibilitas koleksi jurnal elektronik.

B. TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI


Beberapa studi mengenai  aksesibilitas dan ketersediaan jurnal elektronik pernah dilakukan di luar negeri maupun di dalam negeri. Sepengetahuan penulis studi tentang pengaruh  aksesiblitas dan ketersediaan jurnal elektronik terhadap kepuasan pemustaka di lingkungan Perpustakaan Universitas Gadjah Mada belum pernah dilakukan.

Penelitian ini lebih menekankan  pada penelusuran jurnal elektronik yang tersedia di WEB Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, yang  dapat dilakukan melalui internet. Dengan demikian  penelusuran dapat dilakukan di dalam maupun di luar lingkungan perpustakaan Universitas Gadjah Mada.

1. Jurnal elektronik

Publikasi jurnal dalam bentuk elektronik semakin meningkat dibandingkan jurnal konvensional (Harter dan Kim, dalam Andriaty, 2005).

Jurnal elektronik merupakan jurnal berbasis internet dimana proses persiapan, penerbitan, dan publikasinya dilakukan secara elektronik. Dalam pengertian ini jurnal elektronik tidak ada bentuk tercetaknya (Quinn, 1999; Prythrech, 2000; dalam  Andriaty, 2005).

Jurnal elektronik berkembang karena beberapa pertimbangan efisiensi penggunaan kertas, proses publikasi, waktu akses nonstop (24 jam),  dapat diakses oleh lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, tidak pernah kehabisan cetakan (Kusmayadi, E., 2008).

Kelebihan yang lain dari jurnal elektronik antara lain: mutakhir, cepat diterima, menghemat tempat, lebih aman, mudah ditelusur, dan relatif lebih murah (Lasa, 2009). Penelusuran yang lebih mudah dan penyimpanan yang lebih fleksibel dalam flash disk dan komputer seperti folder, e-mail, dan jaringan yang lain (Thanuskodi, 2011).

2. Ketersediaan dan aksesibilitas jurnal elektronik

Pengertian ketersediaan jurnal elektronik di perpustakaan perguruan tinggi adalah  mengadakan atau menyediakan jurnal elektronik di perpustakaan  untuk segera dapat digunakan oleh pemustaka.

Penyediaan atau pengadaan  tidak sebatas tersedia di perpustakaan, tetapi harus mempertimbangkan beberapa aspek antara lain: kemutakhiran informasi, relevansi informasi, kelengkapan, dan muatan informasinya dapat dipertanggungjawabkan (Prawati, 2003; Langlois, dalam Okiki, 2011)

Aksesibilitas jurnal elektronik adalah aktivitas pengguna dalam memperoleh informasi melalui prosedur yang terdapat pada setiap basis data atau pangkalan data jurnal elektronik. Pangkalan data dapat didefinisikan pula sebagai suatu koleksi data yang terorganisir, disimpan dan saling berhubungan sedemikian rupa sehingga dapat diakses dengan mudah oleh lebih dari seorang pengguna (Chowdurry, dalam Kusmayadi, 2008).

Aksesibilitas jurnal elektronik dipengaruhi oleh penyediaan fasilitas pendukung yang memadai untuk penelusuran antara lain lalu lintas jalur internet, kemampuan (tinggi rendahnya)  bandwith, dan prosedur penelusuran (Andriaty, 2005; Desmita & Suryantini, 2005; Setiarso, 2006)

Ada dua dua aspek dalam aksesibilitas jurnal elektronik, yaitu aspek internal dan eksternal. Aspek internal berasal dari diri pemustaka, antara lain: kemampuan komputasi, kemampuan bahasa pengantar komputer dalam hal ini  bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, dan tersedianya waktu yang berbeda di antara pemustaka.

Seperti dikemukakan oleh Borgmann, 1996; Tompsitt dan Alsop, 1997; Macias-Chapula, 1995 (dalam Ibrahim, 2004), Selanjutnya aspek eksternal yang berasal dari luar pemustaka antara lain fasilitas pendukung akses, seperti komputer tersambung internet dengan kapasitas bandwidth yang memadai, sosialisasi dapat berupa leaflet, brosur, dan lain sebagainya, serta pelatihan penelusuran informasi jurnal elektronik.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Wulandari (2007), bahwa perpustakaan dapat menyelenggarakan  pelatihan-pelatihan seperti penggunaan katalog online dan database online.

3. Kepuasan pengguna jurnal elektronik

Kepuasan merupakan suatu respon afeksi seseorang  terhadap sesuatu. Respon afeksi  menunjukkan pada perasaan suka atau tidak suka. Kepuasan didefinisikan sebagai  tingkat perasaan dimana  seseorang menyatakan hasil perbandingan atas produk atau jasa yang diterima dan yang diharapkan (Kotler, 2000; Achmad, 2011).

Kepuasan pemustaka terhadap jurnal elektronik adalah penilaian yang diberikan oleh pemustaka setelah menggunakan fasilitas pangkalan data jurnal elektronik yang dilanggan Perpustakaan Universitas Gadjah Mada. Kepuasan pemustaka terhadap jurnal elektronik yang dilanggan oleh Perpustakaan, indikatornya adalah akses  jurnal elektronik secara berulang, prosedur akses mudah dan murah, di samping itu  informasi yang dibutuhkan terpenuhi tersedia secara lengkap dan relevan dengan kebutuhan mereka.

4. Hubungan antara aksesibilitas dan ketersediaan jurnal elektronik dengan kepuasan pemustaka

Kualitas dan kemudahan akses merupakan sebagian dari faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap kepuasan pengguna produk atau jasa (Irawan, 2004; Rangkuti, 2002).

Ketersediaan informasi di perpustakaan perguruan tinggi akan memberikan kepuasan kepada pemustaka, apabila informasi yang dibutuhkan sesuai atau relevan dengan kebutuhannya. Kepuasan seseorang terhadap informasi yang diperoleh tidak terbatas pada relevansinya saja, tetapi lebih dari itu bahwa informasi tersebut lebih mutakhir  dan lebih lengkap (Bunyamin, 2003).

Di samping ketersediaan yang memadai di atas, kepuasan pemustaka menjadi lebih lengkap apabila fasilitas akses memadai, prosedur  tidak rumit, dan waktunya akses lebih singkat  (Andriaty, 2005; Desmita & Suryantini, 2005; Setiarso, 2006).

Berdasarkan uraian di atas hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:  “Ada pengaruh aksesibilitas dan ketersediaan jurnal elektronik terhadap kepuasan pemustaka di Perpustakaan Universitas Gadjah Mada”

C. METODE PENELITIAN


Dalam  penelitian ini ada dua variabel, yaitu variabel terikat berupa kepuasan, dan variabel bebas meliputi:  aksesibilitas dan  ketersediaan. Populasi penelitian adalah mahasiswa yang datang ke perpustakaan di lingkungan Universitas Gadjah Mada dan pernah mengakses jurnal elektronik yang disediakan oleh Perpustakaan Universitas Gadjah Mada.

Pelaksanaan pengambilan sampel dilakukan pada bulan Juli dan Agustus 2012. Penentuan sampel  dilakukan dengan teknik convenience sampling atau available sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kemudahan data yang dimiliki populasi dan mudah diperoleh (Kriyantoro, 2007).

Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner. Kuesioner terbagi manjadi tiga bagian, yaitu bagian identitas meliputi nama, jenis kelamin, dan asal fakultas. Bagian kedua berisi pernyataan yang mewakili indikator dari variabel penelitian, dan bagian ketiga berupa isian untuk saran atau kritik. Bagian ketiga ini dimaksudkan untuk memberi keleluasaan kepada responden untuk mengisi apa saja yang dipandang perlu untuk disampaikan (Arikunto, 2006).

Sebelum kuesioner dikirimkan kepada responden yang sesungguhnya, terlebih dahulu dilakukan try-out preliminer (Hadi, 1977). Uji instrumen juga  dilakukan terhadap 20 pemustaka,  kemudian dilakukan analisis uji coba dengan mengkorelasikan skor setiap butir dengan skor totalnya dengan menggunakan  batasan reliabiitas butir (rbt) ≥ 0,250 (Azwar, 2008).

Reliabilitas alpha untuk butir variabel kepuasan sebesar 0,785, butir variabel aksesibilitas dengan koefisien  reliabilitas alpha sebesar  0,729, dan reliabilitas alpha untuk butir variabel ketersediaan sebesar 0,893. Dengan demikian dapat disumpulkan bahwa instrumen layak digunakan dalam penelitian ini.

Metode analisis data menggunakan metode statistk dengan teknik analisis regresi ganda, yaitu teknik analisis untuk menguji satu variabel terikat (kriterium) dengan dua atau lebih variabel bebas sebagai variabel prediktor (Hadi, 2004).

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada bagian hasil penelitian ini akan disajikan  deskripsi data penelitian  dan hasil pengujian hipotesis. Deskripsi data penelitian adalah gambaran skor subjek ke dalam tendensi sentralnya. Selanjutnya pengujian hipotesis dilakukan berdasarkan statistik inferensial, yaitu pengujian secara statistik dengan lebih mendalam untuk memperoleh kesimpulan.

1. Hasil Penelitian


a. Deskripsi data penelitian

Gambaran deskripsi statistik mengenai tendensi sentral skor subjek pada kepuasan pemustaka, aksesibilitas jurnal elektronik, dan ketersediaan jurnal elektronik  menunjukkan bahwa skor aksesibilitas yang diperoleh subjek berkisar antara 11 dan 24 dengan rerata empirik 16,91.

Kemudian skor ketersediaan berkisar antara 10 dan 20 dengan rerata empirik sebesar 13,93. Skor kepuasan yang diperoleh subjek berkisar antara 4 sampai 16 dengan rerata empirik sebesar 10,59.

Berdasarkan rumusan kategori subjek  maka dapat dirumuskan kategori untuk skor aksesibilitas, ketersediaan dan skor kepuasan.
b. Uji hipotesis

Berdasarkan hasil perhitungan  analisis regresi berganda,  diperoleh harga F = 63,020 dengan p = 0,000 (< 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel aksesibilitas dan variabel  ketersediaan  berpengaruh terhadap kepuasan. Dengan demikian hipotesis yang menyebutkan “ada pengaruh aksesibiitas dan ketersediaan jurnal elektronik terhadap kepuasan pemustaka” diterima.

Besarnya sumbangan efektif kedua variabel bebas tercermin dalam koefisien determinasi R2 sebesar 0,416. Artinya, kedua variabel bebas yaitu aksesibilitas dan ketersediaan jurnal elektronik secara bersama-sama memberikan sumbangan efektif terhadap variabel kepuasan pemustaka sebesar 41,6% sedangkan 58,4% lainnya berasal dari variabel lain di luar variabel yang diteliti dalam penelitian ini.

2. Pembahasan


Secara bersama-sama aksesibilitas dan ketersediaan koleksi jurnal berpengaruh terhadap kepuasan pemustaka. Besanya pengaruh sebesar 41,6% menunjukkan bahwa 58,4% kepuasan pemustaka dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini. Uji regresi secara parsial mengindikasikan bahwa variabel ketersediaan berpengaruh terhadap kepuasan pemustaka, dibandingkan variabel aksesibilitas yang tidak memberi pengaruh terhadap kepuasan pemustaka.

Hasil penelitian ini mendukung penelitian Maksum (2008), bahwa ketersediaan dan keakuratan sumber daya informasi yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan pemustaka merupakan faktor utama penentu kepuasan. Berbeda dengan hasil penelitian Ugah (2008), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa layanan perpustakaan tidak sepenuhnya menjamin kepuasan pemustaka, namun yang lebih diutamakan adalah ketersediaan dan aksesibilitas informasi.

Menurut Borgmann, 1996; Tompsitt dan Alsop, 1997; Macias-Chapula, 1995 (dalam Ibrahim, 2004), bahwa keterampilan komputer merupakan faktor penting dalam penggunaan sumber informasi elektronik.

Di samping itu kendala bahasa dan waktu yang dimiliki berbeda di antara pemustaka, diperkuat oleh  penelitian  Ibrahim (2004) dan Tenopir (dalam Jamali dkk, 2005), sebagai aspek internal yang mempengaruhi aksesibiitas. Dengan demikian aksesibilitas informasi elektronik tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh aspek eksternal seperti infra struktur dan sebagainya, tetapi aspek internal pemustaka juga berperan.

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa  skor aksesibilitas, ketersediaan dan kepuasan pemustaka terhadap jurnal elektronik tergolong sedang. Hal ini mengandung arti bahwa penyediaan jurnal elektronik di perpustakaan Universitas Gadjah Mada memperoleh penilaian yang berkategori sedang dari responden dalam penelitian ini. Kecenderungan mereka memberikan skor yang sedang,  karena beberapa alasan tertentu.

Beberapa saran dan masukan yang dituangkan dalam kuesioner, lebih banyak berkaitan dengan  penyediaan jurnal elektronik yang lebioh lengkap dan memenuhi kebutuhan mereka. Di samping itu juga  mengenai sosialisasi keberadaan jurnal elektronik sekaligus pelatihan pemanfaataanya atau cara mengaksesnya. Diasumsikan  usul dan saran tersebut merupakan sebagian kecil alasan mengapa skor terhadap aksesibilitas, ketersediaan dan kepuasan masih berkategori sedang.

E. KESIMPULAN DAN SARAN


1. Kesimpulan


Ada pengaruh aksesibilitas dan ketersediaan jurnal elektronik terhadap kepuasan pemustaka terhadap jurnal elektronik yang disediakan oleh Perpustakaan Universitas Gadjah Mada.

Kedua variabel tersebut berpengaruh secara bersama-sama sebesar 41,6% terhadap kepuasan pemustaka, sedangkan 58,4% lainnya berasal dari variabel lain di luar variabel yang diteliti dalam penelitian ini. Secara parsial, variabel ketersediaan berpengaruh terhadap kepuasan pemustaka, dibandingkan variabel aksesibilitas yang tidak berpengaruh secara independen.

Secara deskriptif penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum skor aksesibilitas, ketersediaan dan kepuasan pemustaka terhadap jurnal elektronik tergolong dalam kategori sedang. Hal ini mengandung arti bahwa penyediaan jurnal elektronik di perpustakaan Universitas Gadjah Mada memperoleh penilaian yang berkategori sedang dari responden dalam penelitian ini.

2. Saran


Tersedianya jurnal elektronik yang dapat memenuhi kebutuhan cenderung lebih memuaskan pemustaka, tanpa memperhatikan  bagaimana prosedur dan cara untuk  memperolehnya. Berdasarkan kesimpulan tersebut, beberapa masukan yang perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait dalam hal ini Perpustakaan Universitas Gadjah Mada dan Universitas Gadjah Mada sebagai  instansi induk adalah:

a. Penyediaan jurnal elektronik diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pemustaka sesuai disiplin ilmu yang ada di Universitas Gadjah Mada, tanpa mengabaikan kemutakhiran, dan dapat diperoleh secara gratis.

b. Program sosialisasi dan pelatihan penelusuran jurnal elektronik perlu ditingkatkan frekuensinya. Kepada pihak-pihak yang  berkait langsung dengan bidang pendidikan diharapkan ada kebijakan yang mewajibkan perpustakaan di lingkungan Universitas Gadjah Mada untuk menyelenggarakan sosialisasi dan pelatihan penelusuran jurnal elektronik yang dilanggan oleh Perpustakaan Universitas Gadjah Mada.

Penulis: Pergola Irianti dan Titik Hermini [sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 15 No. 1 - April 2013]

Labels:

Pustakawan Tunggal (One-Person Librarian): Belajar dari Perpustakaan ELSAM

Dunia Perpustakaan | Apakah anda bekerja sebagai seorang pustakawan secara sendirian, baik di perpustakaan sekolah, perpustakaan instansi, perpustakaan khusus dan lainya?

Jika iya, maka tulisan yang sedang anda baca ini sangat cocok, karena tulisan yang ditulis oleh Hendro Wicaksono ini membahas tentang hal tersebut. Tulisan ini sebelumnya sudah pernah dimuat di Majalah Visi Pustaka Edisi : Vol. 15 No. 1 - April 2013.

ilustrasi: canberratimes.com.au

Abstrak

One-person librarian diakui sebagai salah satu jenis kepustakawanan yang secara entitas makin meningkat jumlahnya. Dibanyak negara seperti Australia, Jerman dan Amerika Serikat, solo librarianship mempunyai organisasi profesi tersendiri karena jumlahnya yang signifikan. Ini masuk akal karena di negara maju biaya untuk membayar SDM memang mahal.

Di Indonesia tren ini juga sudah lama marak. Hanya saja masih jarang diekspos dan tidak ada organisasi profesi khusus. Organisasi profesi pustakawan yang ada di Indonesia pun masih belum punya perhatian terhadap solo librarian. Artikel ini mencoba membahasone-person librariandaribest practiceyang sudah lama dilakukan perpustakaan ELSAM.

Perpustakaan ELSAM diambil sebagai contoh karena sudah melakukan one-person librarian sejak lama (lebih dari 10 tahun) dan beberapa kali menjadi tempat penelitian skripsi bagi dua skripsi di Universitas Indonesia yang membahas terkait one-person librarian.

Diharapkan artikel ini bisa menjadi sumber inspirasi bagi one-person librarian untuk terus menjadi lebih baik dalam mengelola perpustakaannya.

Pendahuluan

Di berbagai instansi swasta maupun pemerintah, salah satu jenis perpustakaan yang banyak dibangun adalah perpustakaan berskala kecil atau small librarianship. Khusus lembaga swasta biasanya lebih ketat dalam penggunaan dana.

Dikelola hanya oleh satu orang pustakawan, biasa disebut one-man-show librarian atau yang lebih populer dan resmi seperti solo librarian atau one-person librarian (One-person librarian). Dalam hal ini tantangannya jelas banyak dan hampir sama; manajemen waktu, kemampuan bekerja multitasking, sulitnya menghadiri kegiatan profesi diluar waktu kerja dan lain-lain.

Diluar semua keterbatasan yang ada itulah One-person librarian mempunyai tantangan khas tersendiri. Karena One-person librarian dituntut lebih mandiri, berani berinovasi, fast learning skill, cakap berkomunikasi dan bekerja diluar pakem-pakem pengelolaan perpustakaan yang konvensional. Dalam banyak kasus One-person librarian yang potensial seringkali mampu meraih capaian karir yang lebih baik.

Tulisan ini coba membahas lebih dalam tentang one-person librarian di Perpustakiaan ELSAM serta melihat studi kasusnya. Metode yang dilakukan adalah melakukan studi literatur dan mewawancarai pustakawan di sana.

Pustakawan Tunggal (One-person Librarian)

Istilah one-person librarian diperkenalkan pertama kali oleh Guy St. Clair –yang juga pendiri newsletter One-Person Librarian– pada tahun 1972, pada konferensi Special Libraries Association di Boston. Istilah one-person librarian sekarang lebih dikenal dengan solo librarianship (Wilson, 2003).

Sekilas solo librarian dapat diartikan seseorang atau individu yang melakukan semua pekerjaan. One-person library juga biasa didefinisikan sebagai: dimana semua pekerjaan dilakukan oleh satu pustakawan. Definisi yang lebih spesifik oleh Special Libraries Association (SLA): “the isolated librarian or information provider who has no professional peers within the immediate organization”.

Bisa diartikan sebagai seorang pustakawan yang berada di suatu lembaga informasi atau perpustakaan yang tidak memiliki staf profesional atau asisten dalam mengelola perpustakaan. One-person librarian bisa saja merupakan tenaga perpustakaan profesional ataupun non-profesional. Apabila dia merupakan tenaga non- profesional, maka dia merupakan satu-satunya tenaga perpustakaan.

One-person librarian bisa saja memiliki asisten. Bisa disebut tenaga sukarela atau tenaga paruh waktu. Kendati one-person librarian itu sendiri merupakan satu-satunya tenaga perpustakaan profesional yang ada di perpustakaan tersebut. (Yamini, 2007).

Sebuah perpustakaan dikelola oleh one-person librarian karena berbagai alasan.

Pertama, organisasi  induknya yang baru saja didirikan dan belum mengetahui dengan pasti berapa  jumlah staf yang dibutuhkan untuk mengelola perpustakaannya.

Kedua, kondisi keuangan organisasi induk yang buruk atau kurangnya dukungan manajemen perpustakaan, yang memungkinkan adanya pengurangan jumlah tenaga perpustakaan hingga hanya ada seorang pustakawan dalam perpustakaannya.

Ketiga, kebijakan perpustakaan itu sendiri yang hanya membutuhkan seorang pustakawan yang terlatih untuk melayani kebutuhan informasi dari organisasi induknya dengan lebih efisien. One-person librarian memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dari pustakawan biasa yang memiki rekan kerja dalam mengelola perpustakaan.

Beberapa karakteristik dari one-person librarian yang membedakannya dari pustakawan biasa menurut Judith A. Siess adalah:
  1. One-person librarian biasanya mengelola perpustakaan khusus yang tidak memiliki koleksi dan sumber informasi yang terlalu luas. Beberapa juga terdapat di perpustakaan sekolah, rumah sakit, lembaga hukum dan lain-lain.
  2. One-person librarian melakukan semua tugas pustakawan dalam mengelola perpustakaannya. One-person librarian bisa jadi memiliki asisten paruh waktu atau asisten bersih-bersih, tetapi hanya one-person librarian yang merupakan pustakawan dalam perpustakaan tersebut.
  3. One-person librarian tidak memiliki rekan kerja. Dia memiliki tugas dan pekerjaan yang sama seperti dapat dimintai bantuan, saran, atau bercerita.
  4. One-person librarian biasanya bekerja atau berada di bawah pengawasan seorang atasan yang bukan pustakawan atau tidak memiliki latar belakang ilmu perpustakaan dan tidak banyak mengetahui mengenai pekerjaan one-person librarian.
  5. Keadaan keuangan organisasi yang tidak baik atau memang kebutuhan perpustakaan itu sendiri sesuai kebijakan organisasi merupakan penyebab munculnya one-person librarian yang paling sering dijumpai.
Menurut St. Clair dan Williamson, hal yang paling menonjol dari one-person librarian adalah kemandiriannya dalam mengerjakan seluruh tugasnya. Kemandirian ini bisa menjadi hal yang positif bagi one-person librarian dan dapat menjadi hal yang negatif.

Siess (2006) menyatakan bahwa untuk menjadi one-person librarian diperlukan sifat dan kemampuan antara lain fleksibel dan kreatif, inisiatif, mau mencoba hal yang baru dan tidak takut untuk mengambil resiko, percaya diri pada kemampuan sendiri, mau membagi informasi kepada pemakai dan kolega, mampu beradaptasi dalam berkerja seorang diri, mampu berkomunikasi dengan baik secara lisan maupun melalui tulisan, mampu berpikir analitis, memiliki wawasan yang luas, mampu mengatur waktunya sendiri, memiliki selera humor dan kesabaran.

Di akhir tahun 1980-an One-Man Group dibentuk sebagai bagian dari ASLIB (Association of Special Libraries and Information Bureaux). Dan pada tahun 1991 The Solo Librarians Caucus menjadi divisi penuh dari SLA dan Judith Siess sebagai ketuanya yang pertama.

Peresmian divisi baru pada tubuh organisasi SLA ini memacu One-person librarian lain di seluruh dunia untuk bergabung pada organisasi pustakawan di negaranya masing-masing, seperti di Australia dan Jerman.

Tahun 1995 di Australia, One-Person Australian Librarians (OPAL) menjadi bagian dari the Australian Library and Information Association (ALIA). Tahun 1997 di Jerman, One-person librarian Kommission resmi menjadi bagian dari Verein der Diplom-Bibliothekare (Yamini, 2007).

Pasca krisis ekonomi one-person librarian makin sering ditemukan dengan alasan untuk merampingkan organisasi dan menghemat anggaran. Dapat ditemukan di perpustakaan khusus – utamanya di korporat (swasta), perpustakaan sekolah dan perpustakaan perguruan tinggi (biasanya perpustakaan jurusan).

Perpustakaan ELSAM

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk perkumpulan. ELSAM berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta.

Tujuan didirikannya ELSAM untuk turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya – sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil lewat advokasi dan promosi hak asasi manusia (HAM).

Perpustakaan ELSAM adalah perpustakaan yang mengoleksi literatur yang berkaitan dengan wacana hak asasi manusia kontemporer, hak sipil politik (sipol) dan hak ekonomi sosial budaya (ekosob), hukum pidana, keadilan di masa transisi (transitional justice), serta konflik dan kekerasan struktural.

Koleksi berupa buku tercetak dan downloadable e-book, prosiding, laporan, jurnal, rekaman suara dan gambar, peraturan perundang-undangan, dan dokumen persidangan terkait dengan Pengadilan HAM. Sampai saat ini koleksi yang terdata sekitar 5.000 judul dan telah digunakan oleh peneliti, akademisi, mahasiswa semua strata, dan siswa sekolah menengah.

Misi utama perpustakaan Elsam adalah “menjadi pusat pengetahuan yang menyediakan data komprehensif mengenai hak asasi manusia dalam berbagai bentuk bahan pustaka”. Perpustakaan Elsam adalah perpustakaan khusus, dalam arti mempunyai kekhususan dalam koleksi dan pengguna.

Kekhususan ini berimplikasi pada kebijakan akuisisi dan kegiatan sirkulasi bahan pustaka. Untuk kepentingan sosialisasi gagasan dan membangun kesiagaan (awareness) terhadap penegakan hak asasi manusia, perpustakaan juga mengkoleksi film-film dokumenter yang didalamnya mengandung nilai-nilai bermuatan isu hak asasi manusia.

Pustakawan di perpustakaan ELSAM bernama Triana Dyah, S.S. (biasa dipanggil Ana) yang secara resmi merupakan Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi. Ana bertanggung jawab atas perencanaan dan implementasi semua program yang berkaitan dengan pengelolaan informasi dan dokumentasi ELSAM. Meraih gelar sarjana di bidang Ilmu Perpustakaan dari Universitas Indonesia, pada tahun 2001.

Selain aktif mengikuti seminar-seminar mengenai pengembangan perpustakaan, Ana juga berpartisipasi dalam Kursus HAM untuk Pengacara yang diselenggarakan oleh ELSAM untuk memperdalam pemahaman tentang HAM dan program-program ELSAM. Pernah mengikuti International Human Rights Training Programme di Montreal Kanada danHuman Rights Training for Indonesian Agencies di New Zealand.

One-person Librarian di Perpustakaan ELSAM

Wawancara ke Perpustakaan ELSAM dilakukan tanggal 8 Oktober 2012. Dengan kunjungan dan wawancara sekitar 90 menit.

Ketika ditanyakan apa yang menjadi tanggungjawab pekerjaannya sekarang, Ana menjawab bahwa dia melakukan banyak hal. Ana sangat mencintai profesinya sebagai pustakawan. Passion-nya pada dunia tersebut diwujudkan dengan aktifnya Ana di pengembangan perpustakaan, khususnya di dunia nirlaba.

Bersama beberapa pustakawan lembaga swadaya masyarakat, Ana membentuk ‘Ruang Pustaka’ wadah berbagi pengetahuan dan keterampilan kepustakawanan yang  aktif memberi pelatihan-pelatihan pengelolaan perpustakaan sederhana.

Selain itu Ana juga dipercaya dalam berbagai kegiatan ditempatnya bekerja, baik sebagai pimpinan proyek atau support. Ana menambahkan secara administratif kerja di ELSAM tidak terlalu ketat karena sistem kerja berdasarkan program yang dibuat sehingga mengerjakan dua pekerjaan dengan jobdesk yang berbeda sangat dimungkinkan dengan pertimbangan bahwa jabat rangkap ini tidak terlalu menyita waktu dan tidak ada pekerjaan yang dikesampingkan.

Latar belakang Ana menjabat sebagai sekretaris redaksi awalnya pada setiap rapat program diharapkan ada satu orang internal yang bertugas untuk mencatat hasil rapat atau yang biasa disebut notulen, dan berhubung pada saat itu tidak ada orang lain dan Ana termasuk staf yang paling muda, maka ia yang ditugaskan menjadi notulis.

Makin lama, setiap ada rapat program Ana ditugaskan menyiapkan dan mengatur rapat, pencatatan hasil rapat dan kemudian mendistribusikan hasil notulen itu ke setiap staf ELSAM, Ana juga mulai mengurusi surat-menyurat internal untuk program. Sejak itulah jabatannya bertambah menjadi sekretaris redaksi ELSAM.

Yang dibutuhkan dari Ana bukan hanya kemampuan untuk mengolah koleksi yang dimiliki oleh ELSAM tapi juga Ana dituntut untuk bisa mengerti tentang konten hak asasi manusia dan segala aspek yang berkaitan dengannya.

Ana mengatakan bahwa one-person librarian di ELSAM merupakan kebijakan dan kultur organisasi. Pihak manajemen merasa perpustakaan bisa dikelola oleh satu orang pustakawan.

Ana juga menambahkan bahwa kondisi keuangan LSM yang relatif terbatas dan pengeluaran ekstra hati-hati karena tergantung lembaga donor. Perpustakaan di ELSAM juga relatif masih berusia muda dibanding unit kerja yang lain dengan jumlah koleksi yang relatif lebih terbatas. Karenanya penambahan staf harus sangat diperhitungkan.

Selain mengelola perpustakaan, Ana saat ini juga diberi tanggungjawab sebagai sekretaris redaksi bulletin ASASI yang diterbitkan oleh ELSAM. Ana mengatakan, karena kurangnya SDM yang ada di ELSAM, kadang Ana bertugas menjadi sekretaris program-program ELSAM yang sedang berjalan.

Pekerjaan pustakawan yang relatif terbatas di ELSAM, tuntutan organisasi, membuat Ana mendapatkan tanggungjawab tambahan seperti: menjadi sekretaris program, ikut terlibat aktif dalam program dan kegiatan yang dijalankan oleh ELSAM, penanggung jawab bidang acara untuk kegiatan seminar yang dijalankan ELSAM .

Ana mengatakan bahwa saat ini praktis pekerjaan sebagai pustakawan hanya dilakukan sekitar 20% dari waktu kerjanya. Tuntutan yang ada di organisasi menuntutnya agar mampu bekerja multitasking.

Pengelolaan perpustakaan pun masih dilakukan meski tidak lagi menghabiskan sebagian besar waktunya. Pekerjaan seperti: pengadaan, pengkatalogan, deskripsi bibliografi, pencarian informasi secara online, sirkulasi, layanan referens, menentukan kebijakan dan anggaran, sampai membersihkan perpustakaan jika diperlukan.

Biasanya pagi hari Ana ada di perpustakaan untuk merapikan perpustakaan seperti shelving, mengolah koleksi, dan tugas administrasi lainnya. Biasanya menjelang siang hari Ana sudah mulai disibukkan dengan ragam tugas diluar perpustakaan.

Karenanya untuk layanan sirkulasi Ana menyerahkan sepenuhnya kepada kejujuran pengguna. Siapapun staf ELSAM yang ingin meminjam koleksi diharapkan kejujurannya untuk mengisi buku catatan peminjaman dan mengembalikannya ketika sudah selesai menggunakannya.

Untuk memudahkan pekerjaan administrasi diperpustakaan, Ana memutuskan untuk menggunakan aplikasi SliMS/Senayan. SLiMS digunakan mayoritas untuk kebutuhan pengolahan koleksi seperti: pengatalogan, cetak barcode dan label. Sedangkan modul keanggotaan dan sirkulasi tidak digunakan karena layanan sirkulasi dilakukan secara mandiri dengan mencatat pada buku peminjaman.

Perpustakaan ELSAM juga terbagi menjadi 2 ruangan, yaitu: ruangan pustakawan yang relatif kecil dan ruangan pemakai. Terdapat meja yang bisa digunakan dengan duduk lesehan, jadi tanpa kursi. Tidak ada komputer untuk OPAC dan pengguna relatif tidak terlalu kesulitan mencari koleksi karena jumlahnya yang relatif sedikit. Untuk meningkatkan wawasannya tentang kepustakawanan, Ana mendapatkan dari banyak hal.

Jaringan dengan pustakawan di berbagai LSM serta metode diskusi secara online di mailing list, media sosial seperti Facebook dan Twitter, serta chatting. Diakuinya dulu dia sulit meninggalkan kantor karena layanan perpustakaan akan terganggu jika dia tidak ada.

Tetapi sejak diterapkannya sistem peminjaman mandiri, Ana bisa lebih mudah meninggalkan perpustakaan untuk mengikuti berbagai macam kegiatan diluar baik yang terkait dengan peningkatan kompetensi ataupun pekerjaan kantor lainnya diluar urusan perpustakaan.

Praktis untuk layanan di perpustakaan ELSAM masih relatif tradisional seperti: sirkulasi dan fotokopi. Model seperti current awareness service relatif lebih jarang karena biasanya by-project, tidak setiap hari ada. Ana menambahkan bahwa saat ini sulit bagi dia mengembangkan layanan lain karena:
  1. Organisasi tidak keberatan dengan layanan perpustakaan yang ada.
  2. Tugas non-perpustakaan yang sekarang mendominasi waktunya (80%).
  3. Tidak ada kebutuhan secara eksplisit untuk menambahkan jenis layanan baru di perpustakaan apalagi jika itu tidak menjadi prioritas organisasi.
Ada banyak tantangan yang dihadapi Ana sekarang. Misal: makin menumpuknya buku baru yang harus diolah. Buku baru terus datang sedangkan alokasi waktunya dirasa sangat sedikit sekali.

Salah satu strategi untuk itu, setiap buku yang datang diinput dulu ke SLiMS, diberikan nomor barcode dan label (nomor panggil). Kemudian jika ada waktu baru dilakukan klasifikasi lebih detail. Itupun seringkali sulit dilakukan karena (lagi-lagi) waktu.

Mungkin masalah minimnya waktu untuk mengelola perpustakaan menjadi kendala umum di perpustakaan dengan model one-person librarian. Karena biasanya pustakawan tidak hanya melakukan (hampir) semuanya mandiri tetapi sebagian juga dituntut bisa melakukan pekerjaan diluar urusan perpustakaan dalam waktu yang bersamaan (multitasking).

Di ELSAM bahkan lumayan ekstrim, waktu pustakawannya untuk mengelola hanya tinggal 20%. Sesuatu yang luar biasa yang hanya bisa dicapai dengan sistem yang sudah relatif tertata baik, dukungan manajemen dan pengguna/pemustaka yang mau belajar dan bisa diajak kerjasama.

Ana sudah bekerja di ELSAM 10 tahun lebih sejak 2001. Sampai sekarang Ana mengatakan masih betah bekerja disana karena beberapa alasan.

Pertama, waktu kerja yang relatif fleksibel, tidak dikungkungi dengan kewajiban presensi yang kaku. Sehingga memudahkannya ketika ada urusan keluarga yang mendesak.

Kedua, lingkungan dan kultur kerja yang saling menghargai dan memberikan peluang mengembangkan potensi diri diluar urusan perpustakaan. Ana mengaku urusan perpustakaan saja bisa membosankan dan dia butuh tantangan baru. Apalagi Ana mengaku dia suka belajar dan suka dengan bidang yang digeluti oleh LSM tempat dia bekerja.

Penutup

Menurut St Clair dan Williamson (1992), beberapa sebab adanya One-Person Librarian adalah karena:
  1. Kebutuhan inkorporasi (Incorporated Need). Di beberapa jenis institusi dan organisasi, dibutuhkan perpustakaan atau pusat informasi yang dibangun dari awal untuk menyediakan layanan informasi dan riset bagi mereka yang bekerja di institusi tersebut. Contoh: sekelompok dokter yang akan mendirikan rumah sakit, agar mampu bekerja dengan baik dengan tantangan kerja yang beragam, menambahkan layanan perpustakaan dan informasi dirumah sakit tersebut.
  2. Kebutuhan yang ditemukan (Discovered need). Contoh: sebuah organisasi yang memiliki banyak cabang, biasanya ketika akumulasi dan kebutuhan informasi sudah semakin membesar, akan menyadari perlunya layanan perpustakaan dan informasi.
  3. Kebutuhan negatif (Negative need). Situasi dimana sebuah organisasi, disebabkan kondisi (bisnis) yang tidak menguntungkan, kemudian memutuskan operasional one-person library disebabkan ketidakmampuan untuk membiayai pustakawan lebih dari satu orang dan harus melepas (PHK) pustakawan lainnya.
  4. Kebutuhan minimal (Minimal need). Beberapa organisasi hanya membutuhkan layanan perpustakaan minimal. Biasanya organisasi dengan perpustakaan berskala kecil. Contoh: perpustakaan di kantor hukum dengan dua atau tiga partners dan seorang sekretaris.
Menjadi one-person librarian tidaklah mudah meski sebagian orang mungkin memandangnya berbeda. Sering kali membutuhkan usaha lebih karena dituntut mampu memecahkan banyak permasalahan secara mandiri. Ada beberapa karakteristik yang sebaiknya dipelajari.

Rasa percaya diri. Dalam bidang apapun, rasa percaya diri terhadap kemampuan diri dan kekuatan profesional merupakan kunci kesuksesan. John Nathan, seorang pembuat film dan pelaku bisnis, mengatakan:

Saya sudah pernah bertemu dengan beragam orang dengan pemikiran hebat dan orisinal. Apa yang saya lihat, orang-orang seperti itu seperti tersekat dengan kekurangan kepercayaan akan diri sendiri, padahal itu merupakan sumber kekuatan buat orang menguasai dunianya.

Rasa percaya diri membuat orang bisa mengartikulasikan visinya, menjadi energi untuk merealisasikan semua detail. Termasuk membujuk dan melakukan tindakan persuasif. Rasa percaya diri merupakan sumber energi luar biasa.

Ada beberapa karakteristik dasar terkait kemampuan mandiri sebagai seorang one-person librarian:
  • Kemampuan untuk melakukan penilaian secara jujur dan obyektif.
  • Teliti.
  • Mampu memotivasi diri sendiri.
  • Mampu bekerja sendiri atau dalam tim.
  • Punya pemahaman tentang bisnis dan pengetahuan dari badan induknya.
  • Standar pencapaian yang berkualitas tinggi.
  • Skill sosial yang memadai.
  • Skill Kemas Ulang Informasi.
Ada banyak hal positif yang bisa dipelajari dari sepak terjang Ana sebagai one-person librarian di ELSAM. 

Pertama, Ana punya ambisi yang kuat untuk mengembangkan potensi diri. Mau belajar dengan hal-hal baru dan berjejaring dengan kolega dari berbagai unit kerja dan LSM.

Kedua, Ana membangun layanan sirkulasi mandiri dimana pengguna meminjam dan mengembalikan koleksi perpustakaan tanpa dibantu dan diawasi oleh pustakawan. Tentu untuk membangun kultur ini Ana harus melakukan edukasi pemakai yang cukup.

Keuntungan dari layanan sirkulasi mandiri adalah tanpa adanya keberadaan fisik Ana di perpustakaan, layanan minimal perpustakaan bisa berjalan. Ana juga bisa melakukan pengembangan diri yang terkadang harus dilakukan diluar kantor.

Labels: , ,