<data:blog.pageTitle/>

This Page

has moved to a new address:

http://duniaperpustakaan.com

Sorry for the inconvenience…

Redirection provided by Blogger to WordPress Migration Service
Dunia Perpustakaan | Informasi Lengkap Seputar Dunia Perpustakaan: December 2008

Wednesday, December 3, 2008

Kompetensi Pustakawan dan Teknologi Informasi untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan di Perpustakaan Nasional

Dunia Perpustakaan | Tahukah anda bahwa saat ini banyak para pustakawan ngomongin soal "Kompetensi Pustakawan", khususnya dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin cepat.

Namun sebenrnya, sejak datangnya teknologi informasi yang semakin cepat, maka kompetensi para pustakawan terkait dengan teknologi informasi sudah banyak dibahas sejak lama. Termasuk sebuah tulisan berjudul "Kompetensi Pustakawan dan Teknologi Informasi untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan di Perpustakaan Nasional" ini, yang ditulis oleh Sri Rumani, dan pernah dimuat di Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 10 No. 3 - Desember 2008.

Silahkan disimak, dan silahkan bisa dijadikan referensi para pustakawan maupun para mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan yang memang sedang mengkaji atau ingin lebih nambah referensi terkait dengan Kompetensi Pustakawan yang khususnya terkait dengan teknologi informasi.

ilustrasi: library.wsc.nsw.gov.au

Abstrak

Memperoleh informasi  adalah hak setiap orang, oleh karena itu sudah selayaknya kalau informasi itu mudah diakses dengan biaya yang murah. Kehadiran teknologi informasi di perpustakaan diakui memberikan dampak positif bagi pemustaka dan pustakawan, sehingga dapat meningkatkan kualitas layanan. Namun tidak jarang justru dengan teknologi dapat menghambat akses informasi, sehingga pemustaka merasa dirugikan.

Kondisi ini dapat terjadi karena pustakawan  sebagai motor penggeraknya belum siap dan tidak mempunyai kompetensi di bidang teknologi informasi. Dalam tulisan ini akan diuraikan bagaimana kompetensi pustakawan Indonesia dalam menghadapi teknologi infomasi yang berkembang sangat cepat. Berdasarkan pengamatan ternyata di Indonesia belum ada standar kompetisi pustakawan. Saat ini baru disiapkan oleh Perpustakaan Nasional sebagai pembina semua jenis perpustakaan di Indonesia.

Teknologi informasi diyakini dampak meningkatkan kualitas pelayan, sehingga idealism yang diharapkan harus mengindahkan kualitas SDM, ragam koleksi, sarana dan prasarana, manajemen pelayanan, dan sistem yang komprehensif.

I. Pendahuluan

Suatu ketika ada mahasiswa datang ke perpustakaan dengan wajah kecewa, sedih, dan putus asa, karena literatur yang dicari sudah tidak ada ditempatnya. Kenapa? Ternyata literatur yang berupa skripsi telah dialih mediakan dari cetak ke digital. Masalah timbul karena skripsi tersebut bentuk cetaknya sudah dihancurkan, tetapi bentuk digitalnya tidak bisa diakses karena sistemnya belum jalan.

Kalau sudah begini apakah sistemnya yang tidak beres, perangkat kerasnya, atau pustakawannya yang memutuskan dan mengendalikan  tidak kompeten? Kasus ini menjadi sangat ironis,ditengah hiruk pikuk perkembangan teknologi informasi yang diyakini dapat meningkatkan kualitas pelayanan, tetapi justru menghambat pelayanan. Jadi bagaimana sikap pustakawan ditengah gelombang teknologi informasi yang sangat cepat berubah ini?

Sikap pustakawan ada yang menolak dan menerima kehadiran teknologi informasi. Menolak, yang dilakukan oleh pustakawan "konvensional/generasi tua",  (tidak semuanya) karena ada yang susah payah belajar menyesuaikan, supaya tidak "gagap teknologi". Bagi pustakawan yang "alergi perubahan karena teknologi", secara alamiah terpinggirkan dari arena kompetisi di gelanggang perpustakaan.

Sekelumit kasus diatas membuktikan bahwa pustakawan belum kompeten dibidang teknologi informasi. Akibatnya pemustaka dirugikan karena sudah ada teknologi informasi (dengan alih media), tetapi bukannya dapat meningkatkan kualitas pelayanan, namun justru tidak bisa diakses. Kalaupun sudah kompeten, disinyalir ada "gap" antara pustakawan yang "melek teknologi" dengan "yang buta teknologi".

Perubahan didunia kepustakawanan saat ini semestinya menjadi momen yang menarik karena dapat mengubah "image" perpustakaan menjadi tempat berburu informasi para pemustaka. Perpustakaan dapat mengeluarkan aura energi positif yang semakin menarik. Terlebih dengan hadirnya perpustakaan digital ditengah perpustakaan konvensional.

Daya tariknya bagaikan "bunga yang sedang merekah", sehingga menarik kumbang-kumbang untuk selalu datang dan menyedot sari putiknya. Sungguh luar biasa, teknologi telah menjadikan perpustakaan sebagai "surga dunia", yang menyenangkan dan mengasyikkan bagi pustakawan dan pemustaka.

Dalam tulisan ini ada tiga pokok bahasan yang akan diuraikan yaitu kompetensi pustakawan, teknologi informasi dan kualitas pelayanan. Obyek perpustakaan dibatasi hanya di Perpustakaan Nasional RI, yang merupakan salah satu jenis perpustakaan di Indonesia dan berkedudukan di Ibukota Negara.

II. Kompetensi Pustakawan di Indonesia

Berbicara masalah kompetensi pustakawan di Indonesia sampai saat ini belum ada pedomannya yang dijadikan acuan. Jadi apa ukuran, bagaimana sistem, aturan main, siapa yang berhak melakukan uji kompetensi, tempat ujian dimana, apa materi ujian,dan lain-lain. Kompetensi diartikan sebagai tolok ukur guna mengetahui sejauh mana kemampuan seseorang menggunakan pengetahuan dan skill atau kemampuannya.

Ada dua jenis kompetensi yang diperlukan oleh pustakawan yaitu kompetensi profesional dan perorangan (Salmubi, 2005). Para pustakawan pemikir di Perpustakaan Nasional sedang bekerja keras untuk membuat standar kompetensi, mengingat Perpustakaan Nasional sebagai pembina untuk semua pustakawan dan perpustakaan di Indonesia. Selain standar pustakawan, harus ada standar koleksi, sarana dan prasarana, pelayanan, penyelenggaraan dan pengelolaan.

Tugas berat tetapi mulia yang telah diamatkan oleh Undang-undang No.43/2007, bahwa pustakawan harus memenuhi kualifikasi sesuai dengan standar nasional (pasal 11). Kalau profesi dosen dan guru sudah atau sedang dilakukan sertifikasi, dengan melakukan pemberkasan. Setelah minimum mengumpulkan angka 800, maka akan mendapatkan sertifikat sebagai bukti formal pengakuan menjadi tenaga profesional.

Konsekuensinya para guru dan dosen yang sudah lolos sertifikasi mendapatkan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokoknya. Bagaimana dengan pustakawan yang juga sebagai tenaga kependidikan dan jumlahnya di seluruh Indonesia hanya 2.867 orang (data tahun 2005)?.

Menurut Hernandono (2005:4) problem yang dihadapi oleh pustakawan madya dan utama adalah kurang menguasai bahasa asing dan kurang akrab dengan teknologi dan komunikasi informasi (ICT). Hal ini mengakibatkan pustakawan menjadi "kelompok marginal" dalam masyarakat informasi, karena komunikasi lebih sering memanfaatkan teknologi informasi.

Akibat selanjutnya pustakawan menjadi semakin tertinggal jauh bila tidak merespon dengan cepat perubahan yang terjadi disekelilingnya. Bagaikan katak  diatas tempurung yang diisi air panas, bila tidak segera meloncat keluar atau menyesuaikan suhu air pasti akan mati sia-sia.

Intinya dalam masyarakat informasi ini pustakawan harus dapat menyesuaikan diri dan cepat tanggap dengan perubahan yang terjadi disekitarnya. Pustakawan tinggal memilih bertahan dalam komunitasnya atau menyingkir dan menjadi "kutu loncat", pindah jalur dari fungsional ke struktural.

Adalah hak asasi seseorang ketika dalam komunitasnya sudah tidak nyaman kemudian meninggalkannya, walau telah mengantongi ijasah ilmu perpustakaan. Hidup adalah pilihan, namun secara moral patut disayangkan, karena siapa lagi yang akan peduli dengan perpustakaan ketika tidak menjanjikan "materi" kemudian ditinggalkan begitu saja.

Masalah kompetensi ini penulis mengusulkan agar setiap mahasiswa D3, S1, S2 yang telah lulus wajib mendaftarkan sebagai anggota Ikatan Pustakawan Indonesia di Pengurus Daerah berdasarkan domisili penduduk (KTP). Setelah terdaftar sebagai anggota dengan hak dan kewajibannya, sebagai prasyarat untuk mencari Surat Ijin Kerja (SIK) yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional.

SIK ini hanya dikeluarkan setelah lulus ujian kompetensi yang dilaksanakan oleh Perpusnas kerjasama dengan PD IPI. Secara periodik (misal setiap 5 tahun) yang telah lulus uji kompetensi diuji lagi, sehingga pustakawan tetap konsisten dan kompeten di jalur profesinya. Tidak ada maksud mempersulit pustakawan berprofesi, dan bukan berarti memperpanjang birokrasi, tetapi semata-mata agar profesi pustakawan terpantau dan terkoordinir, sehingga dapat diketahui "peta pustakawan di Indonesia".

Mestinya perlu dasar hukum yang berbentuk Peraturan Pemerintah (PP), sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat 3 yang berbunyi: Ketentuan lebih lanjut mengenai standar nasional perpustakaan (termasuk standar tenaga perpustakaan), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

III. Teknologi Informasi untuk Perpustakaan

Tak heran jika saat ini berbagai jenis perpustakaan berlomba-lomba memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanannya. Walau diakui untuk memanfaatkan teknologi di perpustakaan butuh dana yang relatif besar. Untuk itu pustakawan harus bisa melobi pimpinan agar yakin dan akhirnya menyetujui rencananya.

Masalahnya tidak semua pustakawan mempunyai kemampuan melobi dan melakukan koordinasi serta mengkomunikasikan permasalahan dan potensi yang ada di perpustakaan. Kalaupun ada kemampuan melobi, pimpinan masih "belum percaya" dengan kinerja pustakawan. Keahlian melobi, koordinasi dan komunikasi tidak secara khusus masuk materi kuliah di program studi atau jurusan ilmu perpustakaan dan informasi, tetapi hanya disisipkan dalam materi kuliah manajemen perpustakaan.

Menurut penulis keahlian melobi, koordinasi, dan komunikasi termasuk kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pustakawan di lapangan. Materi kuliah atau diklat lebih menonjolkan pengetahuan teknis yang didominasi hanya untuk kepentingan pustakawan bukan pemustaka.

Contohnya materi klasifikasi, analisis subyek, diskripsi bibliografi, yang intinya untuk memudahkan penelusuran hanya bermanfaat bagi pustakawan bukan pemustaka. Kenyataannya pemustaka tidak mau tahu koleksi itu diklasir nomor berapa ditaruh di rak mana, yang pasti pemustaka hanya ingin koleksi itu dapat ditemu kembalikan dengan cepat, tepat, akurat, mudah dan murah.

Intinya pemustaka ingin pelayanan yang benar-benar prima karena seiring dengan mobilitasnya yang tinggi, sehingga tidak mempunyai waktu luang untuk berlama-lama di perpustakaan.

Makna teknologi informasi itu sebagai teknologi yang dapat menyimpan, menghasilkan, mengolah, dan menyebarkan informasi (Sulistyo Basuki: 1991: 87). Berbicara tentang teknologi, ternyata tidak saja terbatas pada perangkat keras (alat), dan perangkat lunak (program), tetapi juga sumber daya manusia sebagai penentunya.

Ambisi menerapkan teknologi di perpustakaan tanpa diimbangi oleh kualitas sumber daya manusia yang kompeten dibidangnya, ternyata justru dapat merugikan pemustaka. Padahal teknologi informasi dapat menciptakan jejaring (networking) antar perpustakaan dan pustakawannya. Dan menjadi alat bantu yang telah tebukti dapat memperlancar dan mempercepat urusan administrasi, pengolahan, penelusuran dan pelayanan di perpustakaan.

Yang termasuk teknologi informasi menurut Sulistyo Basuki 1991:87-88) antara lain telekomunikasi, sistem komunikasi optik, sistem pita-video dan cakram video, komputer, mikrobentuk, jaringan kerja data, surat elektronik, videoteks dan teleteks. Jadi tidak hanya berupa komputer, Perpustakaan digital kedepan menjadi model untuk peningkatan pelayanan ditengah perpustakaan cetak.

Kolaborasi perpustakaan  yang secara bersama-sama (menyediakan koleksi cetak dan digital) disebut perpustakaan hibrida. Artinya perpustakaan dengan koleksi cetak masih dipertahankan, dan perpustakaan digital yang berbasis teknologi informasi harus disediakan oleh berbagai jenis perpustakaan di Indonesia termasuk Perpustakaan Nasional.

Perubahan itu bagaikan magnit yang dampaknya sangat dirasakan oleh pemustaka dan pustakawan. Pemustaka terasa dimanjakan dengan pelayanan yang berbasis TI, sedangkan pustakawan berkembang menjadi profesi yang patut dibanggakan. Bahkan bisa disebut  sebagai "agen perubahan" bagi lingkungannya. Benarkah?

Jawabnya ada pada diri pustakawan masing-masing dalam mensikapi "trend" yang sedang menjadi pusat perhatian berbagai pihak. Perpustakaan digital  dapat memberikan wacana baru, bagaikan "permainan" yang mengasyikan dan tidak membosankan.

Daya tariknya luar biasa, sehingga citra perpustakaan secara pasti mempunyai image positif dimata pemustaka dan pimpinan yang membawahi perpustakaan, yang nantinya berimbas pada masyarakat. Tidak heran bila Pimpinan mulai menaruh kepercayaan terhadap perpustakaan, dengan memberikan komitmen (dana dan pikiran) terhadap perubahan dan perkembangannya.

Buktinya pustakawan selalu dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan lembaga induk (pembuatan RKAT, Rapat Pimpinan (Rapim) dan Rapat Kerja Fakultas (RKF, kalau dilingkungan perpustakaan Perguruan Tinggi). Bahkan ada pimpinan yang sudah mulai mengalokasikan dana sebesar 5 persen dari anggataran instansi (sesuai dengan UU No.43/2007).

Perubahan di lingkungan perpustakaan ini merupakan fenomena yang menarik,  mengingat perpustakaan sebagai bagian penting dalam mencerdaskan kehidupan manusia. Terlebih dalam masyarakat informasi seperti saat ini, diakui atau tidak perpustakaan sebagai institusi yang ideal untuk belajar sepanjang hayat (life long learning).

Disamping itu perpustakaan juga sebagai wahana ideal untuk memenuhi "hak informasi" bagi setiap warga negara di Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 28 huruf f UUD 1945 Amandeman.

Teknologi informasi untuk perpustakaan bukan "monster" yang perlu ditakuti dan dijauhi dan bukan "dewa" yang harus diagung-agungkan dan dipuja-puja. Pemanfaatan teknologi informasi mulak diperlukan, untuk mengimbangi kebutuhan pemustaka yang semakin beragam dan kompleks. Namun yang harus  diingat, secanggih apapun teknologi itu, tetap dioperasikan oleh manusia sebagai brain ware nya.

Kehadiran teknologi informasi  perlu disikapi dengan arif bijaksana mengingat dampak yang ditimbulkan sering kali justru dapat menghambat pelayanan. Disamping itu teknologi informasi termasuk investasi  mahal dan jangka panjang.  Ini adalah tantangan bagi para pustakawan menghadapi tuntutan pemustaka yang beragam dan pimpinan yang sering kurang "perhatian" dengan perpustakaan.

IV. Idealisme Kualitas Pelayanan di Perpustakaan Nasional

Masih ingat dalam benak penulis ketika menjadi anggota di Perpustakaan Nasional tahun 1989-1991, saat itu lebih sering kecewa dengan pelayanan yang diberikan. Kualitas pelayanan yang masih jauh dari ideal, karena tergantung pada selera pustakawan.

Sistem peminjaman tertutup, sehingga katalog manual menjadi andalan untuk penelusuran, ditambah sikap pustakawan yang jauh dari simpatik dan berjiwa penolong, harus menunggu dalam hitungan jam. Kenapa?

Karena bagian sirkulasi ada di lantai 4, sementara koleksinya ada di lantai 3, lebih kecewanya setelah menunggu lama ternyata buku yang dimaksud tidak ditemukan (karena dipinjam atau salah letak), akhirnya pulang tidak membawa hasil padahal sudah datang jauh-jauh dari Depok ke Salemba Raya 28, dan untuk acuan tugas yang harus segera diselesaikan.

Akhirnya mencari ke perpustakaan Yayasan Mas Agung (perpustakaan pribadi H. Mas Agung pemilk Toko Gunung Agung), ternyata ada dan mendapat pelayanan yang cepat, ramah, dan menyenangkan. Tugas kuliah pun bisa diselesaikan tepat waktu.

Dari pengalaman pribadi itu menjadi catatan penting bahwa untuk meningkatkan kualitas pelayanan di Perpustakaan Nasional perlu ada hal-hal yang harus diperhatikan:

1. Kualitas SDM

SDM menjadi ujung tombak dan motor penggerak perpustakaan. SDM disini meliputi pustakawan dan non pustakawan. Secanggih apapun teknologi informasi yang dimanfaatkan oleh perpustakaan, maka tidak ada artinya manakala SDM yang merencanakan, mengoperasikan tidak berkompeten.

Berdasarkan data tahun 2005, Perpustakaan Nasional mempunyai 700 orang pegawai, pustakawannya ada 178 orang atau 25 % nya, (Hernandono,  2005:5). Dari jumlah 178 orang itu sepertiganya adalah tenaga pustakawan yang diangkat berdasarkan inpassing/penyesuaian. Dapat dibayangkan sebagai perpustakaan pembina dengan tugas yang sangat berat, dukungan SDM nya masih belum memadai dari segi kualitas dan kuantitas.

Padahal sebagai instansi pemerintah selalu mempertahankan "zero growth/pertumbuhan nol", artinya baru mengangkat pegawai kalau ada formasi karena pensiun. Untuk mengatasi SDM, bisa melakukan "out sourcing", merekrut tenaga yang mempunyai latar belakang teknologi informasi dengan sistem kontrak, atau tenaga paruh waktu.

2. Ragam Koleksi

Perpustakaan Nasional sebagai perpustakaan deposit berdasarkan amanah UU No.4/1990, plus memiliki koleksi unggulan berupa koleksi khusus (naskah kuno, koleksi langka, koleksi peta dan lukisan, serta audio visual). Apalagi koleksi Negara Kertagama mendapat penghargaan dari UNESCO, yang patut dibanggakan Koleksi unggulan ini menjadi acuan bagi para peneliti baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dan para mahasiswa untuk menyelesaikan tugasnya.

Jumlah koleksi monograf berdasarkan data tahun 2007 ada 86.814 judul (155.421 eksemplar). Naskah kuno (2008) ada 9.942 eksemplar, audio visual 3.683 judul (6.258 eksemplar), koleksi peta dan lukisan 20.302 judul (27.676 eksemplar), dan buku langka 80.000 judul (188.940 eksemplar). Koleksi buku langka tertua adalah kisah perjalanan para kapten Italia yang melewati Indonesia, terbitan tahun 1556. Koleksi audiovisual terdiri dari microfilm, mikrofish, CD-ROM, DC, VCD/DVD, kaset rekaman suara dan album foto.

Koleksi naskah kuno dan audio visual agar informasinya tetap bisa dimanfaatkan maka perlu ada perawatan khusus yang dilakukan oleh ahlinya. Khususnya koleksi naskah kuno yang merupakan "harta karun", supaya informasinya dimengerti oleh anak cucu perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Untuk menghindari "kehilangan informasi" dari naskah kuno perlu dialih mediakan ke bentuk digital.

Sedang yang masih tersimpan di luar negeri segera diambil alih kepemilikannya. Untuk itu dalam dalam menyusun RKAT (Rencana Kegiatan Anggaran Tahunan) perlu dimasukkan anggaran untuk memburu naskah kuno di luar negeri.

3. Sarana dan Prasarana

Pemanfaatan teknologi informasi mutlak untuk mengimbangi permintaan pemustaka yang beragam dan mengubah image perpustakaan agar sebagai graha informasi yang nyaman, dan menyenangkan. Caranya, ruangan kosong, kantin, mushola, loby, ruangan teater, selasar, parkiran, ruang tunggu, dll dari gedung Perpustakaan Nasional baik yang ada di Jl. Salemba Raya 28 maupun Medan Merdeka Selatan sebagai area Wifi, yang dilengkapi fasilitas stop kontak listrik.

Dengan demikian pemustaka yang datang dengan lap top dapat leluasa untuk memanfaatkan fasilitas internet tanpa harus masuk ruangan khusus internet. Semuanya digratiskan (sesuai dengan sifat perpustakaan sebagai penyedia jasa yang nir laba). Namun untuk setiap pemilik lap top yang akan akses internet harus didaftarkan terlebih dahulu.

Alasan arena Wifi, mengingat internet telah menjadi fasilitas utama, sebagai alat bantu penelusuran informasi yang cepat, komplit, mudah, akurat, dan relatif murah. Saat ini juga telah banyak digunakan web 2.0 sebagai suatu media untuk berkomunikasi dan berbagai pengalaman dan cerita, berbagi gambar, berbagai audio (Dave Pattern dalam Ida Fajar Priyanto:2008:3).

Dengan basis web 2.0 katalog yang dulu hanya deskripsi biblografi dan deskripsi isi/subyek, saat ini katalog dilengkapi dengan daftar isi, review, dan komentar pembaca buku.

4. Manajemen Pelayanan

Manajemen pelayanan sebagai proses atau aktivitas yang dilakukan oleh pustakawan kepada pemustaka yang sifatnya tidak dapat diraba (kasat mata), tetapi dapat dirasakan. Pelayanan yang baik bisa diwujudkan bila posisi tawar pemustaka lebih tinggi daripada pustakawan, sehingga menempatkan pemustaka sebagai "raja yang harus dilayani".

Jadi pustakawan adalah "pelayan profesional" dari pemustaka, namun tidak boleh berjiwa "pelayan/menghamba", artinya pemustaka tidak bisa seenaknya memerintah diluar diskripsi kerjanya. Pustakawan harus tegas tetapi sopan bila diperintah oleh pemustaka di luar keprofesiannya.

Agar perpustakaan tetap eksis dalam masyarakat informasi dan tidak terjebak pada slogan non profit, maka kepuasan pemustaka harus diutamakan. Orientasinya bukan lagi untuk kepentingan pustakawan tetapi untuk "pure customer", sehingga perlu ada "customer service".

Pemustaka harus mendapatkan rasa aman, nyaman, senang, berkesan, sehingga begitu masuk dan keluar perpustakaan selalu mendapatkan senyum manis, keramahan pustakawan. Pelayanan yang cepat, akurat, mudah, dan murah serta siap pakai (ready for use), pasti akan mendapatkan respon positif dari pemustaka.

Pustakawan di era informasi ini dituntut memberikan pelayanan prima, yang berasas sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar, dan terjangkau. Menurut Keputusan MENPAN No.81/1993 yuncto Keputusan MENPAN No.63/2003 sendi-sendi pelayanan prima adalah sederhana, jelas dan pasti (dalam prosedur, persyaratan), aman, terbuka, efisien, ekonomis, adil, tepat waktu, akurat, tanggung jawab, lengkap, mudah diakses, disiplin, sopan, ramah, ikhlas dan nyaman.

5. Sistem Komprehensif

Maksud sistem disini adalah sistem (perangkat lunak) yang dipakai oleh perpustakaan. Komprehensif artinya menyeluruh, jadi dalam sistem itu sudah terakomodir semua kepentingan dan kegiatan yang ada di perpustakaan. Pengolahan dengan data entri, mencetak barcode, nomor panggil. Pelayanan, mulai identitas anggota, cetak kartu anggota, bebas pustaka.

Presensi kehadiran, jam berapa, asal anggota (dalam atau luar lembaga). Menelusur (OPAC), melihat jumlah koleksi, masih tersedia berapa, kalau dipinjam siapa yang pinjam, kapan kembali, dimana alamatnya. Kemudian sudah mempunyai pinjaman buku berapa, apa saja, kena  denda berapa. Jenis koleksi termasuk referensi, teks, audio visual, dan lain-lain.

V. Penutup

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan kompetensi dibidang teknologi informasi mutlak dimilki oleh setiap pustakawan. Oleh karena itu Perpustakaan Nasional sebagai pembina semua jenis perpustakaan perlu segera memberikan masukan kepada Presiden (dalam menetapkan Peraturan Pemerintah).

PP ini sebagai payung hukum untuk standar-standar sebagaimana diamanatkan dalam pasal 11 (1) UU No.43/2007. Perpusnas dapat menjalin kerja sama dengan para pustakawan dari jenis-jenis perpustakaan yang ada di Indonesia.

Labels:

Memanfaatkan Teknologi Informasi Perpustakaan Nasional Menjalankan Amanat Undang-undang Perpustakaan

Memanfaatkan Teknologi Informasi Perpustakaan Nasional Menjalankan Amanat Undang-undang Perpustakaan.


Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 10 No. 3 - Desember 2008

Abstrak


Dengan disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan merupakan langkah maju dunia kepustakawanan Indonesia. Namun untuk dapat menikmati kemajuan itu dunia kepustakawanan Indonesia harus bekerja keras dan kompak dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi untuk dapat dilaksanakannya undang-undang secara konsekuen dan konsisten.

Perpustakaan Nasional sebagai pelaksana tugas pemerintahan dalam bidang perpustakaan, yang salah satu fungsinya sebagai perpustakaan pembina, dengan berpijak kepada Undang-undang tersebut dapat menjadi mesin penggerak kebangkitan dunia kepustakawanan Indonesia. Perpustakaan Nasional diharapkan membuatkan perangkat lunak untuk implementasi sistem otomasi perpustakaan, yang dapat digunakan oleh berbagai perpustakaan di Indonesia secara gratis.

Begitu juga dengan petunjuk dan pelatihan tentang pembangunan perpustakaan digital perlu diadakan oleh Perpustakaan Nasional. Perangkat lunak untuk mengupload perpustakaan digital juga sebaiknya dibangun oleh tim yang dibentuk oleh Perpustakaan Nasional. Kelambanan dalam memanfaatkan teknologi informasi di berbagai perpustakaan di Indonesia, selain persoalan dana, yang lebih utama adalah kurangnya sumber daya manusia yang dapat mengoperasikan teknologi informasi untuk perpustakaan.

Perpustakaan Nasional telah membuka akses yang lebih luas kepada rakyat Indonesia dengan telah dibangunnya perpustakaan digital. Koleksi manuskrip, foto-foto zaman dahulu terkait sejarah bangsa, dan gambar-gambar yang terkait dengan warisan budaya bangsa juga terus diproses untuk menjadi koleksi digital.

Namun, mengingat masih mahalnya internet bagi kebanyakan rakyat Indonesia, Perpustakaan Nasional disarankan untuk memiliki bandwidth khusus untuk perpustakaan, sehingga rakyat yang tidak mampu dapat memanfaatkan internet secara gratis. Keberadaan bandwidth untuk perpustakaan itu sebaiknya digunakan juga untuk menyebarkan informasi kepada petani di pedesaan.

Untuk menjalankan fungsi sebagai perpustakaan deposit, mengingat tidak semua penerbit mengirimkan publikasinya kepada Perpustakaan Nasional, sebaiknya Perpustakaan Nasional mengajukan anggaran untuk membeli semua buku terbitan Indonesia. Akan banyak manfaat dari keberadaan koleksi buku nasional di Perpustakaan Nasional.

Pendahuluan


Dunia kepustakawanan Indonesia mencapai kemajuan yang cukup signifikan pada tahun 2007 dengan disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Kemajuan itu baru terasa bila sebagian besar apa yang tertulis pada undang-undang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. S

emua itu banyak tergantung kepada pustakawan dan Perpustakaan Nasional RI sebagai lembaga yang mengemban tugas pemerintahan dalam bidang perpustakaan. Sejarah telah membuktikan bahwa sudah ada Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan sebagainya, tetapi tetap saja tidak ada perbaikan terhadap suatu masalah atau kondisi tertentu, bila produk hukum itu tidak dilaksanakan dengan baik.

Dunia kepustakawanan Indonesia harus ingat bahwa kemajuan itu jangan membuat pustakawan menjadi terlena. Masih banyak kendala yang dihadapi. Sebagai contoh, dari sekitar 240.000 sekolah dasar, baru 5% yang mempunyai perpustakaan. Begitu juga dengan jumlah sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang memiliki perpustakaan yang baik masih sangat rendah.

Begitu juga dengan perpustakaan umum, yang setelah era otonomi lebih banyak yang mengalami kemunduran dibandingkan dengan yang mengalami kemajuan. Perpustakaan perguruan tinggi yang sekarang ini sedang demam "world class university library", masih jauh perjalanannya untuk menjadi "world class university library".

Perpustakaan diberikan pujian hanya pada saat acara seremonial, tetapi begitu berbicara masalah anggaran, maka prioritas untuk perpustakaan berada di urutan bawah. Sumber daya manusia yang berada di perpustakaan masih banyak yang mempunyai kompetensi di bawah standar yang diharapkan.

Bahkan di sebagian perpustakaan terjadi bahwa bila ada sumber daya manusia yang mempunyai kinerja yang baik, terlebih mempunyai kemampuan mengoperasikan teknologi informasi, maka sumber daya manusia itu akan diambil oleh unit lain di organisasi induknya.

Sementara itu semua bangsa di dunia menghadapi semakin tingginya persaingan antar negara dalam kehidupan global. Dampaknya adalah semakin tinggi pula tuntutan yang dihadapi oleh seseorang untuk lebih berprestasi.

Hal itu juga berlaku kepada pustakawan, dimana seorang pustakawan selalu dituntut untuk lebih meningkatkan kompetensi dirinya, agar dapat memberikan layanan yang prima kepada pengguna perpustakaan. Di sisi lain, teknologi informasi sudah merambah berbagai kehidupan manusia, suka atau tidak manusia harus beradaptasi dengan keadaan itu.

Bila ia tidak mau beradaptasi dengan keadaan itu, ia akan menjadi pihak yang merugi. Atau keadaan akan memaksa ia untuk beradaptasi dengan adanya "serangan" teknologi informasi dalam aktivitas sehari-harinya.

Semua fakta yang kurang menyenangkan itu jangan dipandang sebagai sebuah penderitaan ataupun beban. Sebagai insan yang mempunyai kecintaan terhadap profesi, pustakawan harus memandangnya sebagai tantangan. Disahkannya Undang-undang Perpustakaan dapat dijadikan momentum kebangkitan dunia kepustakawanan Indonesia, agar dapat meraih penghargaan yang lebih baik atas prestasinya dari masyarakat Indonesia.

Perpustakaan Nasional sebagai pelaksana tugas pemerintahan dalam bidang perpustakaan, yang salah satu fungsinya sebagai perpustakaan pembina, dengan berpijak kepada Undang-undang tersebut dapat menjadi mesin penggerak kebangkitan dunia kepustakawanan Indonesia.

Dengan telah hadirnya teknologi informasi dalam kehidupan manusia masa kini, Perpustakaan Nasional bisa memanfaatkannya untuk mempermudah dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan.

Selanjutnya akan dibahas berbagai aktivitas atau program yang bisa dilaksanakan Perpustakaan Nasional untuk menggerakkan kebangkitan kembali dunia kepustakawanan Indonesia, beserta alasan mengapa aktivitas atau program itu harus dilaksanakan.

Penyediaan Perangkat Lunak Otomasi Perpustakaan


Pemanfaatan teknologi informasi, khususnya komputer, untuk implementasi sistem otomasi perpustakaan telah lama dibahas dan dikumandangkan di dunia kepustakawanan di Indonesia. Namun, sampai dimanakah implementasi sistem otomasi perpustakaan di Indonesia? Walaupun tidak didukung oleh data, masih cukup banyak perpustakaan yang belum menggunakan sistem otomasi untuk melaksanakan operasional perpustakaannya.

Dalam beberapa pertemuan pustakawan perguruan tinggi masih muncul permintaan untuk dibuatkan perangkat lunak sistem otomasi perpustakaan yang dapat digunakan secara gratis. Kalau pada perpustakaan perguruan tinggi saja masih muncul usul itu, padahal perpustakaan perguruan sering dianggap secara umum lebih maju dari perpustakaan jenis lain, bagaimana dengan perpustakaan sekolah, perpustakaan umum?

Masih banyak perpustakaan di Indonesia belum dapat menjangkau untuk membeli perangkat lunak dan perangkat keras sistem otomasi perpustakaan.

Seringkali perpustakaan tidak dapat membeli perangkat keras dan perangkat lunak untuk sistem otomasi perpustakaan disebabkan dana yang diperoleh dari organisasi induknya sangat rendah.

Menurut Hakim (2008), sebenarnya keterbatasan dana serta pimpinan yang tidak memiliki keberpihakan terhadap perpustakaan, dapat ditutupi jika perpustakaan memiliki sumber daya manusia yang paham memanfaatkan teknologi informasi serta senantiasa mengikuti perkembangan teknologi informasi di dunia perpustakaan.

Namun, ketersediaan sumber daya manusia yang menguasai teknologi informasi di perpustakaan juga sangat sedikit. Begitu juga dengan ahli teknologi informasi yang mendalami kebutuhan perpustakaan sangat sedikit, sehingga kadang-kadang terjadi sistem otomasi yang dibuatkan disamakan dengan sistem inventori untuk toko.

Effendi (2008) mengusulkan agar Perpustakaan Nasional RI merancang sistem otomasi perpustakaan yang dapat digunakan oleh seluruh perpustakaan di Indonesia. Sekaligus bertanggung jawab untuk memberikan pelatihan dan pembinaan pemanfaatan perangkat lunak tersebut.

Perpustakaan Nasional  juga berkewajiban untuk mengembangkan dan memperbaharui perangkat lunak tersebut secara terus menerus disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan teknologi. Adanya usul tersebut wajar, mengingat Perpustakaan Nasional dalam Undang-undang nomor 43 pasal 21, ayat (2) tertulis bahwa Perpustakaan Nasional bertugas antara lain, menetapkan kebijakan teknis pengelolaan perpustakaan dan melaksanakan pembinaan, serta pengembangan perpustakaan.

Dengan tugas itu, Perpustakaan Nasional bisa mengajukan anggaran untuk membuat sebuah sistem otomasi yang bisa digunakan oleh seluruh perpustakaan di Indonesia. Perpustakaan Nasional bisa membentuk tim yang terdiri dari para pakar dari berbagai bidang keahlian, seperti pakar katalogisasi yang menguasai teori dan praktek, pakar INDOMARC, pakar teknologi informasi, pustakawan yang mengerti teknologi informasi, dan lain sebagainya.

Seperti yang dikatakan oleh Smee, North dan Jones (dalam Santoso, 2004) bahwa dalam membangun dan mengembangkan sistem perpustakaan yang berbasis teknologi informasi dibutuhkan tiga komponen yang disebut sebagai segitiga informasi, yang terdiri dari pustakawan, profesional teknologi informasi, dan pengguna.

Dalam hal ini pengguna memang perlu didengar juga suaranya, karena merekalah yang akan dilayani kepentingannya dengan memanfaatkan teknologi informasi. Semua sistem perpustakaan yang dibangun haruslah users friendly.

Para pakar perlu memperdebatkan apakah standar format data yang akan digunakan INDOMARC, ataukah Dublin Core, atau ada format lain lagi yang lebih baik misalnya. Begitu juga dengan perangkat lunak itu akan dibangun menggunakan perangkat lunak database management system yang sudah ada, ataukah membangun sendiri menggunakan bahasa pemrograman yang banyak digunakan sekarang ini.

Tim itulah yang akan menentukan sistem otomasi yang akan dibangun, dengan tidak lupa melakukan sosialisasi dengan para calon pemakai sistem. Kalau perangkat lunak itu dibangun dengan memperhitungkan kepentingan dunia kepustakawanan Indonesia dalam jangka panjang, diharapkan perangkat lunak yang dihasilkan benar-benar bisa dipercaya dan dapat digunakan oleh banyak perpustakaan di Indonesia.

Perangkat lunak itu bisa disimpan pada web Perpustakaan Nasional, siapa saja yang membutuhkan bisa mendownload sistem. Begitu juga dengan pelatihan untuk menggunakan sistem perlu dianggarkan oleh Perpustakaan Nasional. Seiring dengan berjalannya waktu, bisa saja muncul pustakawan di berbagai daerah yang sudah menguasai sistem otomasi itu dan dapat membantu teman-temannya yang berada di daerah masing-masing untuk memecahkan masalah yang muncul dalam proses pemanfaatan sistem otomasi.

Diskusi pemecahan masalah bisa juga diberi ruang pada web Perpustakaan Nasional, sehingga semua pemakai sistem bisa berbagi pengalaman menggunakan sistem otomasi tersebut. Bila hal itu terjadi, ada saja kemungkinan akan mempunyai dampak positif pada meningkatnya penguasaan teknologi informasi oleh pustakawan di berbagai daerah.

Mudah-mudahan itulah yang terjadi, sehingga tidak ada lagi pustakawan yang ketika ditanya nama sistem otomasi yang digunakan di perpustakaannya, jawabannya adalah "OPAC".

Menurut Effendi (2008), bila sistem otomasi yang dibangun Perpustakaan Nasional banyak digunakan oleh perpustakaan di Indonesia, ada keuntungan yang juga bisa dipetik dari sistem otomasi bersama itu. Dengan adanya kesamaan struktur database dan sistem otomasi perpustakaan akan mempermudah bagi setiap perpustakaan untuk membina jaringan kerjasama.

Pembangunan Jaringan Perpustakaan Digital


Akhir-akhir ini isu yang sedang hangat melanda berbagai perpustakaan di dunia dan Indonesia adalah perpustakaan digital. Namun penulis belum mendapatkan data berapa banyak perpustakaan di Indonesia yang sudah melakukan proses mendigitalkan koleksi lokalnya.

Begitu juga belum ada data berapa banyak perpustakaan di Indonesia yang sudah beralih menjadi hybrid library (artinya sebagian koleksi perpustakaan sudah berbentuk digital). Menurut Krisdiyanto (2007), yang masih menjadi kendala pengembangan perpustakaan elektronik adalah ketersediaan koleksi dalam bentuk elektronik, jalur internet yang lambat, dan masih sedikitnya masyarakat yang memiliki komputer dan akses ke internet.

Berdasarkan komentar yang disampaikan oleh Krisdiyanto, dan berdasarkan pembicaraan dengan beberapa kolega pustakawan, proses menuju perpustakaan digital di Indonesia kemungkinan besar masih dilakukan oleh perpustakaan-perpustakaan yang besar saja. Kekurangan dana dan sumber daya manusia yang menguasai teknologi informasi merupakan salah satu kendala utama yang dialami oleh berbagai perpustakaan tersebut.

Kadang-kadang informasi yang tidak akurat bisa membuat orang yang akan melakukan proses digitalisasi menjadi takut. Ketika dilakukan pelatihan singkat digitalisasi arsip di kantor penulis, seorang peserta mengatakan bahwa scanner itu harganya di atas sepuluh juta rupiah.

Seorang kepala perpustakaan yang mempunyai dana terbatas pastilah ciut nyalinya bila mendengar informasi itu. Memang scanner yang mempunyai daya kerja yang sangat tinggi mungkin sekitar itu harganya, tetapi sebuah perpustakaan bisa juga membeli scanner yang mempunyai daya kerja yang sedang-sedang saja, dan harganya jauh di bawah lima juta rupiah.

Pada intinya, masih banyak pustakawan yang masih bingung dengan apa yang perlu mereka lakukan untuk menuju perpustakaan digital. Perpustakaan Nasional sebagai instansi pembina perpustakaan sebaiknya membuat panduan berbagai langkah menuju perpustakaan digital.

Pada saat ini berbagai perpustakaan yang terus mendigitalkan koleksi lokalnya berjalan sendiri-sendiri. Memang ada semacam kerjasama yang difasilitasi oleh sebuah kelompok ahli teknologi informasi dan pustakawan dari Institut Teknologi Bandung, yang telah membuatkan perangkat lunak untuk bergabungnya informasi digital dari berbagai pihak, baik perorangan maupun instansi, yang dikenal dengan Ganesha Digital Library Network.

Perpustakaan Nasional perlu mempunyai Tim Pengembangan Perpustakaan Digital Indonesia (orangnya bisa sama dengan tim yang dibentuk untuk membangun perangkat lunak sistem otomasi, agar ada kesinambungan sistem, tetapi bisa juga berbeda) yang akan merekomendasikan soal format data digital yang sebaiknya digunakan oleh berbagai perpustakaan di Indonesia, memberi petunjuk bagaimana sistem penamaan file dan organisasi file untuk koleksi lokal yang tentunya akan terus berkembang dari waktu ke waktu, apakah sebuah dokumen digital disimpan pada sebuah file ataukah harus dipecah menjadi beberapa file, dan lain sebagainya terkait teknis pembangunan perpustakaan digital.

Dengan anggaran yang dimiliki Perpustakaan Nasional bisa mengundang berbagai pakar terkait untuk memberi rekomendasi dan membuat petunjuk operasional. Petunjuk operasional itu disimpan pada website Perpustakaan Nasional, sehingga kapanpun orang membutuhkan petunjuk itu, ia bisa mengaksesnya.

Pelatihan bagi para calon pengelola perpustakaan digital sudah pasti dibutuhkan juga, agar mereka merasa lebih mantap dalam melaksanakan proses digitalisasi di perpustakaannya. Perlu dibuatkan juga forum diskusi untuk pembangunan perpustakaan digital, tempat para pustakawan bertanya atau membagi pengalamannya dalam membangun perpustakaan digital.

Bila ibu-ibu rumah tangga banyak yang sudah menulis pengalamannya dalam memasak, mendidik anak, dan lain sebagainya pada situs jejaring sosial di internet (seperti Friendster, Multiply, MySpace, Facebook, dan lain-lain), mengapa pustakawan tidak melakukan hal itu pada jaringan yang dibuat untuk pustakawan?

Selain berbagai petunjuk untuk membangun perpustakaan digital, tentunya untuk meng-upload semua dokumen digital itu, perpustakaan memerlukan perangkat lunak untuk jaringan perpustakaan digital tersebut. Tim yang dibentuk oleh Perpustakaan Nasional perlu mengkaji jaringan seperti apa yang sebaiknya dibangun oleh Perpustakaan Nasional untuk menampung semua perpustakaan digital yang memang mau bergabung.

Apakah mau menggunakan Ganesha Digital Library Network yang sudah eksis beberapa tahun, ataukah diperluas, tergantung rekomendasi dari Tim Pembangunan Perpustakaan Digital Indonesia.

Semua ini tepat sekali dilakukan oleh Perpustakaan Nasional, sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-undang nomor 43 tahun 2007 pasal 1 tentang fungsi Perpustakaan Nasional, yang salah satunya adalah sebagai pusat jejaring perpustakaan. Bila semua atribut itu sudah ada, maka jalan bagi banyak perpustakaan di Indonesia ke arah perpustakaan digital akan lebih lapang.

Menurut Hakim (2008), masih banyak perpustakaan di Tanah Air yang belum mampu mengimplementasikan otomasi perpustakaan atau pembangunan perpustakaan digital. Hal ini disebabkan banyak perpustakaan terbentur masalah keterbatasan dana sehingga tidak mampu membeli perangkat lunak otomasi atau perpustakaan digital sehingga tidak mampu mengimplementasikan otomasi perpustakaan atau pembangunan perpustakaan digital.

Berbicara masalah masih kurangnya ketersediaan komputer di berbagai perpustakaan di Indonesia, sebenarnya bukan semata-mata masalah ketiadaan dana. Harga komputer sekarang ini sudah semakin terjangkau oleh banyak pihak, terutama untuk instansi. Masalah itu lebih disebabkan oleh ketakutan dalam memanfaatkan komputer, dikarenakan kurangnya sumber daya manusia yang mempunyai keterampilan yang cukup dalam mengoperasikan komputer.

Oleh karena itu sungguh tepat bila Perpustakaan Nasional menyiapkan software dan brainware, sehingga semakin banyak perpustakaan di Indonesia yang bisa mengimplementasikan teknologi informasi dalam operasional perpustakaan.

Itu juga merupakan amanat dari Undang-undang nomor 43 tahun 2007 dimana semua jenis perpustakaan dituntut untuk mengembangkan layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi.

Perpustakaan Nasional Membuka Akses Rakyat Indonesia terhadap Informasi


Website Perpustakaan Nasional telah mengalami banyak kemajuan. Hal itu dibuktikan dengan terpilihnya website Perpustakaan Nasional sebagai juara II berdasarkan penilaian dari Warta Ekonomi pada tahun 2007, yang sebelumnya juara III hasil pilihan dari Warta Ekonomi juga.

Pada web itu juga sudah dihubungkan dengan koleksi digital yang dimiliki Perpustakaan Nasional. Menarik sekali pada koleksi digital masyarakat bisa melihat foto-foto zaman dahulu terkait sejarah bangsa Indonesia. Website Perpustakaan Nasional juga memuat koleksi gambar-gambar Johannes Rach, gambar-gambar yang ada hubungannya dengan warisan budaya bangsa, bekerja sama dengan Rijksmuseum, Amsterdam.

Usaha-usaha untuk mengumpulkan berbagai dokumen bersejarah dari instansi-instansi di luar negeri perlu terus dilakukan. Tugas tersebut juga diamanatkan oleh Undang-undang nomor 43 tahun 2007 pasal 21 ayat (3)d yang menyatakan bahwa Perpustakaan Nasional bertanggung jawab mengidentifikasi dan mengupayakan pengembalian naskah kuno yang berada di luar negeri.

Koleksi manuskrip Perpustakaan Nasional termasuk dalam koleksi yang sudah diproses digitalisasinya. Hanya pada saat ini baru data bibliografi dan deskripsi dari koleksi itu yang bisa diakses pengguna. Belum jelas apakah belum bisa diaksesnya teks lengkap koleksi itu disebabkan proses digitalisasinya belum selesai, ataukah memang teks lengkap dokumen itu tidak akan bisa diakses dari website?

Menurut penulis, sebaiknya teks lengkap koleksi manuskrip itu bisa diakses oleh rakyat Indonesia, agar rakyat Indonesia semakin mengetahui sejarah bangsanya. Pengetahuan yang akurat terhadap sejarah Indonesia diharapkan akan menumbuhkan nasionalisme dan pengenalan jati diri yang memperkuat kebanggaan sebagai bangsa Indonesia yang sangat kaya akan sumber daya alam dan ragam budayanya.

Bila ada keraguan dari Perpustakaan Nasional akan adanya penyalahgunaan koleksi itu, pembatasan akses bisa dilakukan dengan penggunaan password untuk dapat mengakses koleksi digital manuskrip tersebut.

Password itu diberikan kepada berbagai pustakawan yang berada di Badan Perpustakaan Provinsi dan Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten/ Kota, sehingga masyarakat tidak perlu datang ke Jakarta untuk dapat mengakses koleksi itu. Ia bisa mendatangi Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten/Kota yang terdekat, dan didata identitasnya ketika mengajukan untuk dapat melihat koleksi manuskrip.

Namun, bila melihat yang dilakukan oleh Library of Congress terhadap gambar-gambar terkait sejarah dan budaya Amerika Serikat yang akan tersedia untuk diakses melalui website American Memory, mereka bahkan menyiapkan gambar-gambar tersebut untuk dapat dikutip baik secara tercetak maupun online, dikaji, direproduksi untuk pengajaran dan penggunaan oleh individu, dan direproduksi untuk penerbitan (Arms, 1999).

Jadi mereka sangat terbuka dengan koleksi gambar-gambar tersebut. Mungkin mereka menggunakan asumsi-asumsi positif, bahwa kemudahan mengkases gambar-gambar tersebut akan memberi efek positif bagi bangsa dan negara Amerika Serikat. Kemudahan mengakses manuskrip, gambar dan foto bersejarah bisa jadi menghilangkan kemungkinan terjadinya penjualan dokumen di pasar gelap.

Effendi (2008) juga berpendapat bahwa internet masih menjadi sarana akses informasi yang mahal bagi kebanyakan rakyat Indonesia. Ini merupakan sesuatu yang ironis bagi rakyat Indonesia. Di satu sisi, salah satu tujuan dari lahirnya konsep digital library adalah untuk membuka akses sebanyak mungkin kepada seluruh manusia di bumi ini.

Namun yang terjadi di Indonesia sebaliknya, karena rendahnya kemampuan ekonomi kebanyakan Rakyat Indonesia, maka kesempatan mereka untuk mengakses perpustakaan digital menjadi sangat kurang.

Padahal, isu global yang berkembang saat ini mengenai information literacy for all, bahkan sebenarnya rakyat yang miskin itu harus disadarkan bahwa mereka perlu informasi untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Mereka perlu diberitahu informasi apa yang dibutuhkan, bagaimana menemukannya dan bagaimana memanfaatkan informasi tersebut (Effendi, 2008).

Effendi (2008) kembali menyarankan agar Perpustakaan Nasional bekerja sama dengan Badan Perpustakaan Provinsi dan Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten/Kota untuk pengadaan bandwith khusus untuk perpustakaan, sehingga pengguna sampai ditingkat kecamatan/kota dapat mengakses internet secara gratis.

Menurut penulis ini ide yang baik untuk dapat dilaksanakan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dari segi dana, Perpustakaan Nasional bisa mencari sponsor kepada badan-badan donor dari luar negeri yang mempunyai program-program pendidikan atau pengentasan kemiskinan.

Orang-orang di negara maju percaya bahwa akses terhadap informasi akan membawa manusia menjadi lebih maju dan sejahtera. Selain itu, Perpustakaan Nasional bisa berusaha untuk mendapatkan dana corporate social responsibility dari perusahaan-perusahaan besar di Indonesia.

Perpustakaan Nasional perlu meyakinkan kepada para pimpinan perusahaan-perusahaan besar bahwa akses internet sampai ke kabupaten/kota akan membawa banyak manfaat bagi masyarakat akar rumput.

Adanya bandwidth khusus untuk perpustakaan dapat dimanfaatkan juga untuk menyebarkan berbagai informasi kepada rakyat di pelosok Nusantara. Perpustakaan Nasional perlu membuat Memorandum of Understanding (MoU) dengan Departemen Pertanian untuk menyampaikan informasi pertanian kepada penyuluh pertanian dan masyarakat petani.

Pihak Departemen Pertanian yang membuat materi yang akan disampaikan kepada petani dan penyuluh pertanian, dan petani mengaksesnya melalui internet di Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten/Kota.  Akan lebih baik lagi bila perpustakaan-perpustakaan tersebut mempunyai unit perpustakaan keliling yang bisa menjangkau langsung para petani di desa-desa.

Bila layanan Pos Keliling sudah bisa melakukan transaksi pembayaran listrik dan telepon secara online, perpustakaan keliling juga seharusnya bisa menawarkan layanan internet kepada petani di desa-desa.

Perpustakaan Nasional juga perlu membuat MoU dengan Departemen Perdagangan, agar mereka menyiapkan data harga komoditas pertanian di pasaran dan pihak-pihak yang membutuhkan berbagai komoditas pertanian. Dengan demikian petani menjadi lebih melek informasi yang akan menuntun mereka untuk memutuskan komoditas pertanian yang akan ditanam.

Perpustakaan Nasional Sebagai Perpustakaan Deposit


Menurut Hakim (2008a), saat ini Perpustakaan Nasional belum dapat dikatakan sebagai perpustakaan deposit nasional, karena masih banyak publikasi di Tanah Air yang belum masuk dalam koleksi Perpustakaan Nasional.

Banyak penerbit yang masih kurang kesadarannya untuk menyerahkan publikasi yang diterbitkannya kepada Perpustakaan Nasional, sebagaimana yang diwajibkan oleh Undang-undang nomor 4 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah nomor 70 tahun 1991.

Hal itu juga yang menjadi dasar dari keputusan Perpustakaan Nasional untuk membuat pangkalan data deskripsi bibliografis bahan perpustakaan yang ada di koleksi Perpustakaan Nasional, bukan Pangkalan Data Bibliografis Nasional (Santoso, 2004).

Salah satu alasan dari keputusan itu adalah pengguna Perpustakaan Nasional akan kecewa bahwa ternyata data yang diperoleh dari pangkalan data tidak bisa diperoleh dari koleksi Perpustakaan Nasional.

Perpustakaan Nasional sebaiknya mengajukan anggaran untuk membeli semua buku yang terbit di Indonesia. Hal itu dilakukan dengan mengacu kepada Undang-undang nomor 43 pasal 1 tentang definisi Perpustakaan Nasional sebagai perpustakaan deposit, pasal 13 tentang Koleksi Perpustakaan yang berbunyi sebagai berikut:

"Koleksi nasional diinventarisasi, diterbitkan dalam bentuk katalog induk nasional (KIN), dan didistribusikan oleh Perpustakaan Nasional", dan pasal 21 ayat (3)a yang berbunyi: "Perpustakaan Nasional bertanggung jawab mengembangkan koleksi nasional yang memfasilitasi terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat".

Memang bila semua penerbit Indonesia mentaati Undang-undang nomor 4 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah nomor 70 tahun 1991, Perpustakaan Nasional tidak perlu melakukan pembelian buku-buku terbitan Indonesia.

Fakta yang terjadi tidak demikian, sehingga untuk menjalankan yang diamanatkan oleh Undang-undang Perpustakaan (untuk menjadi perpustakaan deposit, untuk bisa membuat KIN dan mendistribusikannya, untuk mengembangkan koleksi nasional), Perpustakaan Nasional perlu membeli koleksi nasional (terutama buku) yang tidak didepositkan oleh penerbitnya kepada Perpustakaan Nasional.

Masalah ini penting bila dipikirkan dalam jangka panjang. Bayangkan setelah puluhan tahun, dimana mungkin saja penerbit sebuah buku sudah tidak ada, tetapi buku itu dianggap sangat penting bagi bangsa Indonesia.

Akan kemanakah mencarinya buku itu? Kalau Perpustakaan Nasional mengkoleksi secara lengkap, tentunya orang akan mencarinya ke Perpustakaan Nasional. Jangan sampai terulang lagi bahwa orang Indonesia mencari tentang Indonesia harus pergi ke luar negeri.

Perlu diingat juga bahwa Library of Congress saja berusaha untuk membeli berbagai terbitan Indonesia. Bahkan mereka menyebarkan koleksi yang mereka beli dari berbagai negara tersebut di beberapa simpul perpustakaan di Amerika Serikat.

Ketika penulis kuliah di sebuah universitas di Amerika Serikat, perpustakaan pusatnya memiliki koleksi tentang rapat hansip di sebuah daerah. Mungkin perpustakaan di Indonesia saja tidak memiliki dokumen itu. Penulis juga pernah terkaget-kaget ketika mencoba mengetikkan nama penulis di search engine Google, muncul nama penulis pada website Perpustakaan Nasional Australia.

Setelah ditelusur lebih lanjut, nama itu muncul dari sebuah buku kumpulan tulisan pustakawan dimana penulis menjadi salah satu editornya. Buku itu tidak terlalu disebarkan secara komersial, tetapi bisa sampai di koleksi Perpustakaan Nasional Australia. Jadi, mengapa tidak Perpustakaan Nasional RI membeli buku-buku terbitan Indonesia?

Satu keuntungan lagi bila Perpustakaan Nasional memiliki semua buku terbitan Indonesia, yaitu Perpustakaan Nasional bisa memiliki katalog induk nasional untuk buku. Mungkin hal ini juga sudah pernah dibahas oleh beberapa penulis, bahwa pangkalan data ini bisa digunakan untuk copy cataloging bagi perpustakaan di Indonesia.

Sebuah perpustakaan yang membeli buku terbitan Indonesia tidak perlu melakukan katalogisasi lagi, cukup dengan mengambil data bibliografisnya dari pangkalan data KIN yang ada di Perpustakaan Nasional. Dengan demikian pustakawan bisa mengurangi waktunya untuk melakukan pengolahan buku, sehingga bisa lebih mencurahkan waktunya untuk dapat memberikan layanan prima kepada penggunanya.

Penutup


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan telah memberikan kepada dunia kepustakawanan Indonesia sebuah peluang untuk memperkuat diri dan lebih menyatakan eksistensi perpustakaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Peluang itu tidak bisa diraih dengan hanya berpangku tangan dan berleha-leha. Dibutuhkan kerja keras dan kekompakan untuk meraih cita-cita profesi, seperti juga yang telah dilakukan oleh profesi-profesi lain.

Perpustakaan Nasional sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang perpustakaan, dan salah satu fungsinya sebagai perpustakaan pembina diharapkan menjadi mesin penggerak bagi kebangkitan dunia kepustakawanan Indonesia untuk dapat meraih penghargaan atas prestasi yang telah dilakukan oleh pustakawan kepada masyarakat Indonesia.

Kehadiran teknologi informasi dalam kehidupan masyarakat masa kini akan sangat mempermudah Perpustakaan Nasional dan dunia kepustakawanan Indonesia untuk menjalankan tugas dan fungsinya seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Marilah kita berjuang untuk semua itu.

Penulis: Janti G. Sujana [sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 10 No. 3 - Desember 2008]

Labels: