<data:blog.pageTitle/>

This Page

has moved to a new address:

http://duniaperpustakaan.com

Sorry for the inconvenience…

Redirection provided by Blogger to WordPress Migration Service
Dunia Perpustakaan | Informasi Lengkap Seputar Dunia Perpustakaan: April 2015

Monday, April 6, 2015

Pola Pembinaan Pustakawan Swasta

Dunia Perpustakaan | Makalah ini merupakan tulisan Prof Sulistyo-Basuki yang kami kutip langsung dari blog pribadinya.

Makalah ini secara rinci membahas terkait dengan Pola Pembinaan Pustakawan Swasta dengan pembahasan yang rinci.

A. Pembinaan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed 3, 2012) pada entri bina, terdapat kata turunan membina diartikan sebagai mengusahakan supaya lebih baik (maju).

Pada UU no 43 tahun 2007 maupun Peraturan Pemerintah no 24 tahun 2014 tidak ditemukan arti kata pembinaan. Di segi lain, dalam sebuah pertemuan dengan Arsiparis disebutkan bahwa membina artinya membantu pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia (SDM), sistem, manajemen dll.

Bila membina yang diartikan Perpustakaan Nasional RI (selanjutnya disingkat Perpusnas) mirip dengan penafsiran Arsiparis tadi, maka Perpusnas bertugas meningkatkan dan memperbaiki SDM, sistem, manajemen, operasional perpustakaan, mengembangkan standar dll.

Karena sifatnya membina, maka yang dibina ialah perpustakaan pemerintah maupun perpustakaan swasta. Makalah ini mencoba memandang tugas pembinaan oleh Perpusnas terhadap perpustakaan swasta dalam konteks Indonesia.

Ilustrasi: uidaho.edu

B. Pustakawan Fungsional

Di kalangan Pustakawan yang PNS dikenal istilah Jabatan Fungsional Pustakawan (JFP) artinya Pustakawan yang mengikuti alur fungsional. Kenaikan pangkat, syarat, ketentuan masuk diatur.

JFP dikaitkan dengan tunjangan fungsional; besarnya tunjangan fungsional berbeda antara satu jabatan dengan jabatan lain. Misalnya tunjangan JFP berbeda misalnya dengan tunjangan fungsional Guru atau Peneliti atau Jagawana.

Adapun penerapan pada sektor swasta akan menghadapi kendala sbb:
  1. Dalam JFP yang PNS, dirinci tugas masing-masing jenjang Pustakawan. Misalnya Pustakawan tingkat penyelia tidak boleh melakukan tugas 1 jenjang di atas dan di bawahnya. Contoh tidak boleh mendeskripsi subjek. Hal ini sulit dilakukan untuk Pustakawan swasta karena perpustakaan swasta lazim merupakan Pustakawan perpustakaan tunggal (one person library). Dalam sistem Pustakawan perpustakaan tunggal, seorang Pustakawan mengerjakan segala-galanya, mulai dari pemilihan sampai ke pengerakan, membersihkan ruangan sampai dengan penelusuran informasi. Jelas konsep yang dikemukakan Perpusnas tidak berlaku.
  2. Perbedaan gaji yang semakin menipis antara Pustakawan swasta dengan pegawai negeri. Sejak tahun 2000an belum ada penelitian mengenai besaran gaji Pustakawan swasta, namun yang jelas rata-rata tidak ada yang di bawah UMR (untuk DKI Jakarta sekitar 2,2 juta rupiah per bulan). Di sektor swasta, dikenal tunjangan tahunan, tantiemen, tunjangan lain yang berbeda variasinya. Untuk Pustakawan PNS tunjangan yang diterima hanyalah gaji bulan ke 13, lazimnya dilakukan pada bulan Juni Juli untuk membantu menyekolahkan anak. Di sektor swasta, berbeda ada tunjangan tahunan yang bervariasi pula. Ada yang mulai dari tunjangan bukan ke 13 sampai dengan bulan ke 18.
  3. Menyangkut soal produktivitas ilmiah rasanya tidak ada perbedaan antara pustakawan PNS dengan yang swasta, dalam arti mereka jarang menulis.
  4. Angka kredit susah diterapkan karena yang untuk PNS saja masih dirasakan berbelit dan jumlah poinnya sedikit. Hal ini sudah lama dikiritik namun tetap saja swasta sering menafsirkan sendiri. Misalnya di perpustakaan Unika Atma Jaya Jakarta, jenjang kepegawaian dibagi tiga sesuai dengan golongan Dosen. Prestasi kenaikan pangkat didasarkan atas karya tulisan.
  5. Pola penerimaan Pustakawan baik negeri maupun swasta yang berbasis pelatihan seharunsya dibuang jauh-jauh. Entah mengapa, Perpusnas masih saja melakukan pendidikan dan pelatihan untuk menjadi Pustakawan, paling banyak 628 jam yang sama dengan 3 bulan. Mereka setara dalam JFP dengan Pustakawan yang lulus pendidikan formal seperti D3 atau Sarjana atau bahkan juga Magister.

C. Masalah Bertautan dengan Perpustakaan Swasta

UU No. 43 tahun 2007 beserta turunananya memungkinkan seseorang menjadi Pustakawan melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh Perpusnas c.q. Pusdiklat dan atau badan yang ditunjuk.

Hinga kini sudah ada pusdiklat yang diselenggarakan oleh badan peprustakaan tingkat provinsi. Pelatihan ini berlangsung selama 628 jam atau ±3 bulan.

Bagi perusahaan swasta, praktis tidak mengizinkan karyawannya mengikuti pelatihan selama 3 bulan dengan tetap menerima gaji; hal ini hanya dimungkinkan pada manajer puncak untuk pelatihan taraf nasional seperti Lemhanas.

Persyaratan D2 sebagai syarat minimum untuk menjadi Pustakawan bagi PNS tidak selalu berlaku bagi perpustakaan swasta. Ketika berbagai PT membuka program D2, sektor swasta tidak terlalu yakin akan kompetensi seorang lulusan D2 karena itu program D2 dihapus diubah menjadi D3. Sejak tahun 1998, Ditjen Pendidikan Tinggi melarang PT membuka program D2.

Adapun syarat minimum D2 untuk tenaga perpustakaan sekolah dikeluarkan karena ketika lembaga pendidikan tinggi diminta menyediakan lulusan D3 untuk berkarya di pepustakaan sekolah, dalam simulasi ternyata memerlukan puluhan tahun. Karena itu kompetensi diturunkan menjadi D2.

Hingga kini hanya ada 2 lembaga yang menyelenggarakan pendidikan D2 yaitu Universitas Terbuka dan STISIP Petta Baringeng di Sopeng (Sulistyo, 2013).

D. One Person Library

Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 9 tahun 2014 dibeda-bedakan tugas antara Pustakawan menurut Jabaran Fungsional Pustakawan (JFP), misalnya siapa yang berhak melakukan deskripsi tingkat 2 dan 3 (Pustakawan penyelia lalu Pustakawan tingkat ahli).

Hal itu merupakan tugas sederhana karena siapa saja dapat melakukannya dengan mengunduh data bibliografis dari WorldCat atau Library of Congress Online Catalogue; juga dari pangkalan data Perpusnas bila ada data bibliografisnya serta dapat diakses dari seluruh Indonesia.


Keadaan di atas bertentangan dengan kondisi perpustakaan swasta, karena perpustakaan swasta cenderung berupa One Person Library (OPL) semuanya dilakukan oleh Pustakawan tunggal. Jadi bila Peraturan Menteri diterapkan pada perpustakan swasta, maka para OPL melakukan kegiatan dari Pustakawan Pratama s.d. Pustakawan Utama.

E. Tunjangan Keuangan

Pustakawan menjadi JFP mengharapkan tunjangan pustakawan,yang terkini berlaku mulai April 2014. Bagi sektor swasta, ketentuan ini diterima mendua; di satu sisi ingin melaksanakan ketentuan itu namun di segi lain, perusahaan juga memperhatikan komponen keuangan. Gaji Pustakawan swasta bervariasi, sejak 1985 belum ada kajian gaji Pustakawan swasta.

F. Masa Usia Pensiun

Bagi Pustakawan sektor swasta, mereka lebih mengharapkan ketentuan pensiun yang identik dengan PNS. Yang diharapkan ialah perpanjangan usia pensiun, khusunya untuk perguruan tinggi swasta dan sekolah swasta.

G. Durasi di Jabatan

Dalam sebuah pertemuan informal dengan pejabat Perpusnas terlontar gagasan pengaturan oleh birokrasi, misalnya Pustakawan swasta yang mengikuti JFP harus bertahan 5 tahun di jabatan semula. Hal ini rasanya tidak masuk akal mengingat swasta punya pola sendiri menyangkut pembinaan karyawannya.

H. Ketidakberdayaan Perpustakaan Nasional sebagai Lembaga Pembina

Bila melihat kedudukan Perpusnas yang sangat kuat dalam hal pembinaan, maka sudah sepatutnya Perpusnas membina semua jenis perpustakaan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Dalam kenyataan, Perpusnas mengalami ketidakberdayaan menghadapi soal pembinaan lintas sektoral. Hal itu nampak pada hal berikut:
  1. Pengangkatan Pustakawan atau kepala perpustakaan Badan tingkat provinsi sepenuhnya didasarkan pertimbangan kepala daerah dengan alasan otonomi daerah. Dalam hal ini Perpusnas lemah karena membiarkan mereka yang memegang jabatan kepala perpustakaan hampir (tingkat provinsi) 95 atau bahkan 100% tidak punya latar belakang pendidikan pustakawan. Periksa misalnya Buku Agenda Perpustakaan Nasional 2014. Padahal UU No.43 Pasal 40 jelas-jelas menyatakan kualifikasi magister. Hebatnya lagi karena jabatan mereka sebagai kepala badan, langsung menjadi pembina untuk provinsi [sic]. Apa yang mau dibina kalau tidak punya latar belakang kepustakawanan (Keilmuan dalam ranah khusus Ilmu Perpustakaan)? Apa yang mereka tahu soal literasi informasi? Atau perpustakaan digital?
  2. Menyangkut tenaga perpustakaan sekolah. Semasa Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo mengeluarkan Peraturan Menteri yang menyatakan bahwa kepala perpustakaan sekolah dijabat oleh lulusan D2 Ilmu Perpustakaan. Peraturan Menteri itu diganti total oleh menteri pendidikan berikutnya; kini yang menjadi kepala perpustakaan sekolah ialah guru yang memiliki jam mengajar kurang dari 12 kredit per minggu. Untuk mengisi kekurangan kredit maka Guru diangkat menjadi kepala perpustakaan sekolah [sic]. Untuk membekali (calon) kepala perpustakaan sekolah mereka diberikan penataran selama 120 jam, dalam praktinya hanya 60 jam! ; padahal ada Pustakawan lulusan D2 sampai D4, mereka ini hanya dijadikan staf perpustakaan sekolah. Kalau ada penataran yang kira-kira menguntungkan (misalnya ada honor atau kompensasi lain) yang datang adalah kepala perpustakaan sekolah (baca guru), namun kalau ada pertemuan lain yang disuruh hadir adalah pustakawan sekolah.
  3. Di lingkungan Kementerian Agama ada Instruksi Menteri Agama yang menyatakan bahwa yang berhak menjadi kepala perpustakaan STAIN, IAIN dan atau UIN adalah Dosen, bukan Pustakawan. Dosen ini hampir semuanya tidak pernah memperoleh pendidikan Pustakawan (bandingkan dengan Pasal 40 UU No.43/2007). Di segi lain, Kementerian Agama mengirim banyak tenaga perpustakaan untuk mengikuti program magister, dengan harapan bahwa merekalah yang menjadi kepala perpustakaan STAIN, IAIN atau UIN (bandingkan dengan Pasal 40 UU No. 4 tahun 2007) ternyata mereka hanya menjadi staf perpustakaan saja.
Maka upaya pembinaan perpustakaan swasta seperti yang diterapkan pada Pustakawan PNS menghadapi berbagai kendala disebabkan sifat, kemampuan, kebijakan yang (sangat) berbeda antara sektor swasta dengan pemerintah.

Mungkin pembinaan yang dapat dilakukan oleh Perpusnas dibatasi pada tenaga perpustakaan sekolah swasta dan PTS, sedangkan untuk jenis perpustakaan lain kurang cocok.

Di segi lain, kalau dikatakan bahwa JFP yang PNS selama bertahun-tahun hanya berkisar sekitar 2,500 s.d. 3,500 Pustakawan fungsional akan menimbulkan pertanyaan mengapa jumlahnya sedikit dan ajeg selama bertahun-tahun?

Padahal jumlah lembaga pendidikan tinggi untuk Ilmu Perpustakaan tingkat sarjana berjumlah 18 lembaga, D3 sampai 25 lembaga (Sulistyo, 2013). Sehingga setiap tahun sekitar 400 lulusan Sarjana dan lebih dari 500 Diploma 3. Sebahagian ada yang bekerja sebagai PNS namun mengapa tidak mengikuti jalur fungsional?

Dalam sebuah penelitian sederhana tahun 2010, Pustakawan tidak mau mengikuti jalur fungsional karena angka kredit yang terlalu kecil (dari 0.003); prosedur yang dianggap terlalu birokratis; kenyataan bahwa banyak mantan pejabat yang seharusnya tidak dapat menjadi Pustakawan fungsional karena ketentuan peraturan justru lolos menjadi Pustakawan fungsional.

Hal terakhir ini menyebabkan Pustakawan utama diisi oleh mantan penjabat dengan (maaf) produktivitas ilmiah yang cenderung sangat kurang. Mungkin pengecualian dengan mantan Pustakawan Utama dari UGM (Bapak Purwono, M.Si dan Bapak Lasa HS, M.Si) yang produktif.

Jalur pelatihan yang menjadikan seseorang JFP sedikit banyak mengecewakan Pustakawan lulusan pendidikan formal. Berkali-kali Diklat pelatihan Pustakawan dikritik sebagai pendidikan satu arah, terlalu dipaksakan namun tetap berlangsung puluhan tahun. Alasan bahwa Indonesia kekurangan tenaga Pustakawan menunjukkan bahwa Perpusnas menafikan eksistensi lembaga pendidikan formal.

Bibliografi

  • Buku Agenda Perpustakaan Nasional 2014. Diedarkan oleh Perpustakaan Nasional.
  • Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, nonor 9 tahun 2014 tentang jabatan fungsional pustakawan dan angka kreditnya.
  • Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2014 tentang pelaksanaan Undang-Undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan.
  • Sulistyo-Basuki. 2013. LIS Education and Quality Assurance System in Asia Pacific : Indonesia. Paper for Call for Chapters, Quality Assurance System in Asia Pacific.

Labels: ,