<data:blog.pageTitle/>

This Page

has moved to a new address:

http://duniaperpustakaan.com

Sorry for the inconvenience…

Redirection provided by Blogger to WordPress Migration Service
Dunia Perpustakaan | Informasi Lengkap Seputar Dunia Perpustakaan: December 2007

Sunday, December 9, 2007

Peningkatan Daya Saing Bangsa Lewat Program Literasi Informasi - Sebuah Peran Perpustakaan Nasional di Era Informasi

Dunia Perpustakaan | Ada sebuah tulisan yang menarik, dan cukup ideal untuk menggambarkan pentingnya peran Perpustakaan Nasional.

Tulisan berjudul "Peningkatan Daya Saing Bangsa Lewat Program Literasi Informasi - Sebuah Peran Perpustakaan Nasional di Era Informasi" ini ditulis oleh Salmubi dan sudah pernah dimuat di Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 9 No. 3 – Desember 2007.

Berikut tulisan selengkapnya,


ilustrasi



Abstrak

Perkembangan bidang teknologi informasi dan komunikasi atau Information and Communication Technologies (ICTs) berdampak luas terhadap penyelenggaraan perpustakaan, yaitu berupa peningkatan jumlah dan jenis sumber-sumber informasi yang didukung dengan adanya peningkatan kepemilikan personal computer (PC) dan tersedianya sofware yang memberi kemudahan menghasilkan informasi. Program literasi informasi dibutuhkan agar setiap orang (pengguna informasi) mampu mengetahui kapan informasi diperlukan, mampu menemukannya, mengevaluasinya, dan menggunakan secara efektif.


A. Pendahuluan

Dunia perpustakaan Indonesia sebenarnya telah lama mengenal dan melakukan aktivitas yang berkenaan dengan literasi informasi, meskipun dengan istilah yang berbeda  pendidikan pemakai. Literasi informasi dikembangkan di Amerika Serikat sejak akhir 1980-an, yang memberikan penekanan kembali pada kegiatan "bibliographic instruction" yang diselenggarakan di perpustakaan-perpustakaan akademik.

Di Inggris istilah "bibliographic instruction" ekuivalen dengan "user education". Sekarang, penggunaan istilah literasi informasi menjadi lebih populer dibanding dengan  user education, karena telah terjadi perubahan agenda dalam dunia pendidikan dan juga karena dari perkembangan hybrid library yang kemudian dikenal dengan digital library.

Tidak hanya sampai pada konsep pengembangan digital library, sesungguhnya perkembangan pesat yang terjadi di dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi atau Information and Communication Technologies (ICTs) berdampak luas terhadap penyelenggaraan perpustakaan.

Dampak itu, terutama berupa peningkatan jumlah dan jenis sumber-sumber informasi atau dikenal dengan istilah "banjir informasi". Banjir informasi adalah suatu keadaan di mana informasi yang tersedia sangat banyak jumlahnya, baik sumber maupun formatnya.

Banjir informasi terjadi karena setiap orang dimungkinkan menghasilkan informasi dengan lebih mudah dan dalam berbagai format tanpa harus melibatkan banyak orang atau institusi lain.

Keadaan tersebut didukung pula oleh adanya peningkatan kepemilikan personal computer (PC). Harga komputer relatif lebih murah dan terjangkau oleh kebanyakan orang di seluruh dunia.

Sementara, software yang tersedia semakin memudahkan pemakai bekerja dengan komputer untuk berbagai macam keperluan, termasuk kemudahan menghasilkan informasi. Sehingga, kemudian muncul prediksi bahwa produksi dan akses informasi dari rumah, tempat kerja, dan perpustakaan serta dari pusat-pusat informasi akan terus meningkat seiring perjalanan kita pada abad 21 ini.

Hal ini sangat sejalan dengan dikemukan oleh Deegan dan Tanner (2002) dalam bukunya "Digital Futures: Strategies for the Information Age". Mereka memberikan perkiraan bahwa produksi informasi dunia sekitar 1,5 juta milyar informasi per tahun. Jumlah tersebut kira-kira sama dengan 250 MB atau ekuivalen dengan 250 buku yang dihasilkan setiap orang di planet bumi ini.

Selanjutnya, keuntungan lain yang diperoleh dari perkembangan  dan keberadaan ICTs sekarang ini, adalah memungkinkan informasi disimpan, diakses, dan disebarkan dengan lebih mudah dan cepat. Hal ini pun menyebabkan informasi yang tersedia melimpah ruah sehingga pemakai informasi mengalami kesulitan untuk menemukan informasi yang lebih spesifik untuk memenuhi kebutuhan  pribadi dan atau pekerjaannya.

Kondisi ini menjadi salah satu alasan kuat mengapa program literasi informasi semakin dibutuhkan dalam era informasi ini. Pada hakikatnya, tujuan penyelenggaraan program literasi informasi  adalah agar setiap orang (pengguna informasi) mampu mengetahui kapan informasi diperlukan, mampu menemukannya, mengevaluasinya, dan menggunakannya secara efektif.

Di Indonesia, selama ini, program literasi informasi belum diposisikan sebagai agenda utama dunia perpustakaan. Namun, usaha-usaha ke arah pemasyarakatan dan implementasi program tersebut telah dimulai. Bahkan, ada sejumlah perpustakaan perguruan tinggi, seperti Perpustakaan Universitas Indonesia (UI) telah mendisain program kurikulum literasi informasi dan mengajarkan kepada pemakai perpustakaannya. Sementara, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sekitar 2 tahun lalu juga telah memperkenalkan program information skills kepada sejumlah pustakawan perguruan tinggi di tanah air.

Masih di tingkat nasional, Kongres Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) di Bali tahun 2006 juga bertemakan literasi informasi. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan hal positif guna memperkenalkan program literasi informasi kepada pustakawan sebagai salah satu ‘lokomotif’ utama di dalam mensukseskan implementasi program itu. Tentu saja, usaha-usaha yang telah kita lakukan belum sebanding dengan apa yang telah dikerjakan oleh negara lain seperti Australia, Amerika Serikat, atau bahkan negara tetangga seperti Singapura.


B. Latar Belakang

Dunia pendidikan menjadi tumpuan dan harapan negara-bangsa Indonesia untuk dapat duduk sejajar dengan negara-bangsa lain. Sebab, kemajuan suatu negara-bangsa tidak bisa dicapai tanpa didukung oleh sistem pendidikan bermutu.

Sistem pendidikan bermutu akan berkontribusi besar terhadap lahirnya SDM bermutu yang dapat meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa lewat penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan peradaban. Sistem pendidikan dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada pendidikan formal saja, tetapi juga pendidikan informal, seperti lewat berbagai layanan yang diberikan oleh perpustakaan.

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, disebutkan bahwa salah satu arah, tahapan, dan prioritas pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025 adalah mewujudkan bangsa yang berdaya saing, karena hal ini menjadi kunci bagi tercapainya kemajuan dan kemakmuran bangsa.

Untuk memperkuat daya saing bangsa, pembangunan nasional jangka panjang diarahkan pada beberapa hal, dua di antaranya adalah mengedepankan pembangunan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing dan meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan penciptaan pengetahuan. Sementara, di dalam KPPTJP IV atau HELTS, visi pengembangan pendidikan tinggi diarahkan untuk memberikan kontribusi terhadap peningkatan daya saing bangsa (nation competitiveness).

Perkembangan ICTs yang berlangsung cepat dan pesat atau biasa diistilahkan dengan nama "revolusi teknologi" mendorong dunia pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan tinggi melakukan pendekatan baru terhadap sejumlah isu penting, salah satu di antaranya adalah tentang lifelong learning.

Sehingga, revolusi teknologi harus dimaknai dengan sikap positive thinking, karena teknologi itu merupakan salah satu usaha untuk memberdayakan orang (empowerment process) agar dapat memanfaatkan informasi yang diperolehnya  dengan lebih efektif lewat penggunaan teknologi yang tersedia dan proses lifelong learning.

Informasi adalah fondasi untuk memberdayakan masyarakat. Informasi digunakan untuk melakukan kontrol terhadap kehidupan pribadi seseorang dan atau untuk memainkan peran lebih aktif dan positif di dalam pembangunan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Informasi memberikan kontribusi terhadap pembangunan demokrasi, pemberdayaan ekonomi, peningkatan nilai-nilai professional, dan lain-lain. Di sinilah sesungguhnya tanggung jawab sosial pustakawan yang dapat dilakukan lewat berbagai layanan (service) dan ketersediaan sumber-sumber informasi perpustakaan dalam berbagai ragam, format, dan konteks.

Selain pemanfaatan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan pada era global ini juga sangat identik dengan adanya kompetisi dan kerjasama (competition and cooperation). Kompetisi  ketat seperti yang terjadi sekarang ini, mengharuskan kita bekerja lebih keras guna mempersiapkan SDM yang sanggup dan mampu bersaing secara global. Implikasinya, sistem pendidikan kita (termasuk juga perpustakaan) sekarang harus segera dibenahi, sehingga lebih representatif untuk  mendukung pembangunan SDM yang berkualitas.

Dengan kata lain, institusi pendidikan kita harus dikembangkan berdasarkan trend global yang berstandar internasional. Tujuannya, agar institusi pendidikan dan juga produknya (alumni) mampu dan sanggup bersaing secara global. Secara sederhana, perpustakaan sebagai komponen utama dalam proses pembelajaran harus segera diberdayakan guna memberikan kontribusi optimal terhadap pengembangan SDM yang berkualitas.

Sangat tepat, kalau dari sekarang kita menempatkan pengembangan SDM sebagai prioritas utama dalam pembangunan di negara ini. Sebab, SDM yang berkualitas dan berdaya saing yang akan menjadi penggerak utama pembangunan dalam berbagai sektor kehidupan. Hal ini sangat realistis. Kita memiliki potensi kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Tetapi, tidak didukung dengan ketersediaan SDM yang berkualitas dalam jumlah yang memadai.

Sementara, SDA akan habis karena tidak terbaharukan. Karenanya, kita harus melahirkan SDM yang berkualitas, trampil, dan profesioanal yang akan mengelola dan memberikan nilai tambah (value-added) dari kekayaan SDA yang kita miliki. Kondisi ini akan mengurangi ketergantungan kita terhadap negara lain, di samping akan mengurangi penyakit-penyakit sosial yang ada, seperti kemiskinan, pengangguran, dan kriminilitas.

Di dalam buku "Centred on Learning" dijelaskan bahwa perubahan terjadi sangat berpengaruh kebutuhan SDM di dunia usaha. Kondisi ini menimbulkan ekspektasi tinggi dari dunia usaha untuk mempekerjakan SDM yang berkualitas tinggi dan sejumlah syarat ketat lainnya agar dapat memasuki dunia kerja. Implikasi dari ekspektasi semacam itu terhadap institusi pendidikan adalah peserta didik harus dibekali dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan baru yang diperlukan di dalam tatanan  ekonomi global, sehingga mereka harus memiliki sejumlah keunggulan untuk dapat bersaing, survive, dan berhasil.

Selanjutnya, Harvey dan Mason (1996) menyatakan bahwa ada lima hal penting yang harus dimiliki oleh setiap SDM di dalam persaingan global ini, yakni (1) pengetahuan, (2) kemampuan intelektual, (3) kemampuan bekerja dalam organisasi modern, (4) interpersonal skills, dan (5) ketrampilan komunikasi. Persyaratan-persyaratan seperti itu, sebenarnya merupakan hasil dari perkembangan teknologi yang sangat kompleks dan kemudian membawa kita kepada intraksi global yang semakin meningkat dan berdampak pada adanya "keharusan" setiap peserta didik memiliki sejumlah keunggulan sehingga menjadi SDM yang produktif di dunia kerja.

Berangkat dari isu pengembangan SDM Indonesia itu, maka literasi informasi harus segera dimasyarakatkan (disosialisasikan), kemudian diterapkan di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Tujuannya, agar kita dapat meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa lewat penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan peradaban yang memungkinkan kita dapat hidup setara dan sejajar dengan negara-bangsa lain.


C. Literasi Informasi dan Lifelong Learning

Paradigma dunia pendidikan pada abad 21 tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan perkembangan ICTs. Dunia virtual telah membuka sejumlah peluang baru bagi pustakawan untuk memberikan kontribusi lebih optimal terhadap proses pendidikan yang ada. Dalam hal ini, pustakawan menyandang predikat sebagai information professional yang berkewajiban membuka akses seluas-luasnya terhadap sumber-sumber informasi kepada seluruh pemakai perpustakaan.

Informasi sangat diperlukan untuk membangun learning society sebagai sasaran yang akan dicapai dari pelaksanaan literasi informasi  dan proses pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning). Karenanya, isu tentang literasi informasi dan lifelong learning menjadi isu yang sangat penting tidak hanya bagi perpustakaan, tetapi juga dunia pendidikan pada  era informasi ini.


1. Literasi Informasi

Konsep literasi informasi dan peranan pentingnya dalam pembelajaran formal telah menjadi kajian utama, terutama di negera-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Australia. Concern mereka terhadap hal tersebut disebabkan adanya ledakan informasi (information explosion) di samping kemampuan ICTs dalam menyimpan dan menyebarkan informasi.

Akibatnya, informasi yang tersedia begitu banyak, baik sumbernya maupun formatnya. Keadaan ini akan mempersulit pengguna informasi – bila ia tidak memiliki skill yang cukup sebagaimana orang yang information literate miliki. Skill itu akan membantu pengguna informasi untuk memilih informasi yang lebih spesifik dan pas dengan kebutuhannya. Di samping itu, dibutuhkan pula kemampuan untuk melakukan evaluasi akan keotentikan, kesahihan (validitas), dan realibilitas dari informasi yang didapatkan.

Kondisi tersebut mendorong sejumlah kalangan memberikan komentar terhadap pentingnya seseorang memahami hakikat dan tujuan literasi informasi di dalam kehidupan setiap individu.

Literasi informasi dianggap sebagai ketrampilan penting dan utama dalam menyelesaikan berbagai masalah atau dikenal dengan istilah "problem solving and decision making skills". Kemampuan ini teramat sangat diperlukan dan menjadi salah satu kebutuhan dasar agar dapat tetap survive di era informasi seperti sekarang ini. Untuk itu, kita harus meredefinisi peran informasi yang sesungguhnya di dalam kehidupan kita – di rumah, di tempat kerja, dan di dalam kehidupan masyarakat.

Literasi informasi menurut Association of College and Reseach Libraries (ACRL) adalah "a set of abilities to recognize when information is needed and have the abilitiy to locate, evaluate, and use needed information effectively". Seseorang yang trampil dalam literasi informasi tidak hanya akan memiliki kemampuan untuk mengenal kapan ia membutuhkan informasi, tetapi ia juga memiliki kemampuan untuk menemukan informasi, dan mengevaluasinya, serta  mampu mengeksploitasi informasi untuk mengambil berbagai keputusan yang tepat sasaran.

Individu yang information literate, akan memiliki rasa percaya diri, kemandirian, penuh inisiatif, dan memiliki motivasi tinggi dalam melakukan berbagai aktivitas. Di samping itu, ia adalah individu yang tahu bagaimana cara belajar dan terus melakukan upaya untuk melakukan lifelong learning yang menjadi misi utama dari penyelenggaraan pendidikan. Literasi informasi, pada hakikatnya merupakan prasyarat, inti (core), dan dasar atau fondasi dari lifelong learning. Sehingga, kedua konsep ini tidak dapat dipisahkan, satu dengan lainnya.

Di dalam buku "Australian and New Zealand Information Framework" dinyatakan bahwa orang yang information literate adalah mereka yang dapat:

  • Recognize a need for information
  • Determine the extend of information needed
  • Access information efficiently
  • Critically evaluate information and its sources
  • Classify, store, manipulate and redraft information collected or generated
  • Incorporate selected information into their knowledge base
  • Use information effectively to learn, create new knowledge, solve problems and make decisions
  • Understand economic, legal, social, political and cultural issues in the use of information
  • Access and use information ethically and legally
  • Use information and knowledge for participative citizenship and social responsibility
  • Experience information literacy as part of independent learning and lifelong learning

Dari sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang yang information literate, maka hal itu bermakna bahwa literasi informasi adalah suatu proses pemberdayaan seseorang di dalam setiap tahap perjalanan hidupnya guna mencari, mengevaluasi, menggunakan, dan menciptakan informasi secara efektif untuk mencapai tujuan pribadi, sosial, pekerjaan, tujuan pendidikan, dan tujuan-tujuan lainnya. Dengan demikian, literasi informasi merupakan hak asasi manusia di dalam era informasi ini.

Peran signifikan literasi informasi semakin penting bila kita mencermati dan menelaah apa yang dinyatakan dalam dokumen "The Alexandria Proclamation on Information Literacy and Lifelong Learner". Di situ ada statement yang menyatakan bahwa:

"Information literacy is crucial to the competitive advantage of individuals, enterprises (especially small and medium enterprises), region and nations (and) provides the key to effective access, use and creation of content to support economic development, education, health and human services, and all other aspects of contemporary societies."

Dari kutipan itu jelas sekali bahwa setiap aspek kehidupan manusia tercakup dalam konsep literasi informasi. Namun, untuk sampai pada tahap implementasi  diperlukan rumusan yang intergral dan komprehensif yang melibatkan berbagai komponen di dalam sistem pendidikan dan perpustakaan serta komponen masyarakat lainnya yang memiliki perhatian terhadap kemajuan dunia pendidikan dan juga pengembangan SDM Indonesia.


2. Lifelong Learning

Sebagai salah satu bagian terpenting dari paradigma dunia pendidikan abad 21 (era informasi), lifelong learning harus menjadi salah satu concern perpustakaan guna memberikan kontribusi optimal di dalam proses pendidikan. Lifelong learning telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan  di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat. Sehingga, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa konsep lifelong learning telah menjadi embrio lahirnya budaya belajar (termasuk budaya baca) yang kuat di dalam kehidupan masyarakatnya.

Memang, lifelong learning merupakan fondasi dasar untuk membangun masyarakat pembelajar (learner society) yang juga menjadi harapan dan cita-cita negara – bangsa Indonesia. Menurut hemat penulis, agenda ini sesungguhnya  telah lama menjadi agenda dunia perpustakaan Indonesia – yang salah satunya lewat kegiatan ‘kampanye gemar membaca’ dengan tujuan utama adalah untuk membangun budaya belajar masyarakat.

Menurut Brophy, Fisher, dan Craven (1998), lifelong learning diartikan sebagai: "a deliberate progression throughout the life of an individual, where the initial acquisition of knowledge and skills is reviewed and upgraded continuously, to meet challenges set by an ever-changing society"

Konsep pembelajaran sepanjang hayat yang disampaikan oleh Brophy, Fisher, dan Craven itu mengindikasikan adanya proses yang berlangsung dinamis dan terus menerus, kemudian melahirkan pembaharuan di dalam diri lifelong learner – yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Dan, tentu saja secara kualitatif, lifelong learning berbeda dengan konsep pembelajaran konvensional (tradisional) yang lebih terstruktur sebagaimana yang ada di dalam sistem sekolah dan atau pendidikan tinggi.

Sejumlah karakteristik dari proses lifelong learning, seperti: aktivitas pembelajaran yang berlangsung terus menerus, berintikan pada pengembangan skill, berlangsung informal, tidak terpusat, dapat berlangsung kapan dan di mana saja, modul pembelajaran yang tidak terstruktur, mandiri (independent), pembelajaran kelompok sebagai kegiatan sosial, dan tidak bersifat eksklusif. Dengan kata lain, kunci lifelong learning ini adalah kemampuan untuk mengembangkan proses belajar melampaui batas ruang kelas, menciptakan kesempatan belajar sendiri dan mandiri, menyediakan sarana praktek dan bertanggung jawab secara profesional dalam berbagai bidang kehidupan.

Karakteristik lifelong learning di atas sangat sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Cropley (Wooliscroft, 1997) bahwa lifelong learning meliputi "the conviction that all individual ought to have organized and systematic opportunities for instruction, study and learning at any times throughout their lives"

Konsep lifelong learning ini juga sangat relevan dengan keberadaan perpustakaan sebagai institusi pendidikan informal. Sebab, perpustakaan dalam era informasi ini akan menjadi agen yang memungkinkan setiap orang pada berbagai tingkat usia, pendidikan, dan status sosial untuk dapat memperoleh keberhasilan.

Perpustakaan membantu masyarakat pemakainya mendapatkan skill yang diperlukan untuk dunia kerja. Pemakai perpustakaan dapat menggunakan informasi secara kreatif sehingga  meningkatkan kualitas hidup mereka. Artinya, perpustakaan memainkan peran yang utama guna mendukung pengembangan diri pemakai perpustakaan  yang merupakan bagian inti dari konsep lifelong learning.

Bila konsep lifelong learning dapat diperankan dan dilaksanakan dengan baik oleh perpustakaan (melalui pelaksanaan program literasi informasi), maka pengembangan SDM Indonesia dalam rangka peningkatan daya saing negara-bangsa dapat diwujudkan. Hal ini sangat sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Candy, Crebert dan O’Leary (Wooliscroft, 1997) "Access to, and critical use of information and of information technology is absolutely vital to lifelong learning, and accordingly no graduate – can be judged educated unless he or she is information literate".

Mereka secara tegas menyatakan bahwa seorang tidak dapat dinyatakan lulus, bilamana ia belum menyandang status sebagai information literate person. Artinya, untuk melakukan hal yang demikian, lembaga pendidikan tinggi harus menetapkan literasi informasi sebagai sebuah standar kompetensi (sebagai syarat) yang wajib dimiliki oleh setiap peserta didik sebelum meninggalkan universitas.


D. Perpustakaan Nasional dan Literasi Informasi

Mencermati perkembangan ICTs dan pembangunan SDM Indonesia yang pada era globalisasi ini, maka program literasi informasi harus mendapatkan perhatian serius. Program ini perlu dijadikan sebagai salah satu agenda nasional yang harus dilaksanakan segera. Karena, literasi informasi sesungguhnya bukan sekedar isu perpustakaan atau pendidikan saja, akan tetapi literasi informasi adalah isu penting dalam pengembangan ekonomi, kesehatan, kemasyarakatan, dan peningkatan kualitas hidup manusia. Sehingga, literasi informasi itu dapat dikatakan sebagai ketrampilan yang harus dimiliki dan dipraktekkan secara nasional.

Literasi informasi sebagai "a key skill nationally" makin mengukuhkan peran perpustakaan Nasional Republik Indonesia untuk mengambil porsi yang lebih besar dalam pemasyarakatkan dan penerapkan literasi informasi secara nasional. Perpustakaan Nasional dan juga jenis perpustakaan lainnya sebagai bagian dari sistem nasional perpustakaan memiliki kedudukan sebagai infrastruktur pendidikan dan kebudayaan.

Untuk itu, perpustakaan harus dipertahankan agar tetap menjadi pusat informasi di tengah perkembangan dan tantangan ICTs. Sebab, ketersediaan dan akses sumber-sumber informasi elektronik (internet) yang dapat diakses dengan lebih mudah, cepat, dan menarik dapat berakibat pada berkurangnya jumlah kunjungan pemakai (secara fisik) dan penurunan akses  sumber-sumber informasi tercetak/terekam di perpustakaan. Sehingga, dari keadaan ini menuntut peran perpustakaan untuk memberdayakan pemakainya memanfaatkan informasi secara efektif dan efisien lewat program literasi informasi.

Di samping, dasar-dasar pemikiran seperti tersebut di atas, literasi informasi sangat layak untuk diangkat sebagai salah satu agenda nasional. Sebab, pengembangan dan penerapannya sangat relevan dengan sasaran pendidikan nasional yang bertujuan meningkatkan daya saing (national competitiveness). Sasaran ini hanya akan dicapai bilamana SDM yang dilahirkan institusi pendidikan kita, adalah orang-orang yang information literate dan menjadi lifelong learner.

Untuk mengimplementasikan literasi informasi di Indonesia, maka kita perlu belajar dari pengalaman negara lain yang berhasil mengembangkan literasi informasi. Di Amerika Serikat, ada Association of College and Reseach Libraries (ACRL) yang disponsori oleh American Library Association (ALA). Organisasi tersebut telah memberikan kontribusi berharga di dalam menetapkan landasan teoritis, rumusan, standar, dan hal lain yang berkenaan dengan pelaksanaan literasi informasi di Amerika Serikat.

Sementara, di Australia dan Selandia Baru melakukan pengembangan literasinya dengan membentuk gugus tugas (taskforce) yang dinamakan Australian and New Zealand Institute for Information Literacy. Gugus tugas ini telah menetapkan model dan framework literasi informasi. Lain halnya dengan yang dilakukan oleh United Kingdom (UK), di mana perumusan literasi informasi lewat Society of College, National, and University Libraries (SCONUL).

Untuk pengembangan literasi informasi di Indonesia, paling realistis kalau hal ini kembali dilakoni oleh Perpustakaan Nasional sebagai pemain utama untuk pengembangannya di tingkat nasional. Tentu, kita tidak dapat mengabaikan peran organisasi semacam Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi (FPPTI), seperti halnya ACRL di Amerika Serikat, yang telah melakukan pengembangan literasi informasi hingga menetapkan sejumlah standar.

Tetapi, untuk saat sekarang, sepertinya FPPTI dan juga Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) belum siap karena sejumlah agenda mendesak, seperti konsolidasi internal organisasi agar kedudukannya lebih kokoh di tingkat nasional (Salmubi, 2006). Hal ini tidak berarti bahwa SDM yang ada di dua organisasi tersebut tidak dapat terlibat atau dinihilkan perannya untuk menyusun pengembangan literasi informasi di Indonesia.

Idealnya, pengembangan literasi informasi secara nasional melibatkan berbagai komponen bangsa dan komponen masyarakat serta public figure. Sebab, literasi informasi bukan terbatas pada isu perpustakaan dan pendidikan saja, tetapi program ini menyangkut berbagai aspek kehidupan mulai dari pembangunan ekonomi sampai kepada persoalan kesehatan.

Pokoknya, sangat luas cakupannya. Untuk itu, kita harus melibatkan unsur-unsur, seperti dari Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Pendidikan, kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemerintah, Pustakawan, dosen, guru (sebagai praktisi), Perpustakaan Umum (termasuk Perpustakaan Daerah Provinsi), Perpustakaan Nasional, pelaku bisnis, LSM, dan pihak-pihak lain yang memiliki concern terhadap dunia pendidikan dan pengembangan SDM di Indonesia.

Tentu saja, untuk sampai pada pelaksanaan yang ideal dari program literasi informasi membutuhkan kerja keras. Bukan hanya pada aspek yang menyangkut hal-hal yang bersifat strategis, tetapi juga meliputi aspek-aspek yang bersifat teknis dan operasional. Meskipun ada sejumlah pengembangan literasi informasi yang dapat kita contoh dan adopsi dari negara lain, tetapi kita harus tetap melakukan sejumlah penyesuaian. Karena, ada berbagai kondisi ril (kondisi lapangan) yang sangat berbeda dengan keadaan kita, seperti keadaan perpustakaan, pustakawan, dan kualifikasi tenaga pengajar (guru atau dosen).

Untuk tahap awal dari pengembangan literasi informasi tingkat nasional, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sebaiknya membentuk taskforce yang tugas utamanya adalah akan melibatkan organisasi kepustakawanan Indonesia (IPI dan FPPTI), para pemerhati dunia pendidikan, baik yang berasal dari kalangan pemerintahan, legislatif, Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM), dan komponen masyarakat lainnya untuk terlibat dalam rencana awal pengembangan literasi informasi.

Pada saat yang bersamaan taskforce yang terbentuk dapat merumuskan langkah-langkah strategis yang diperlukan untuk memulai inisiatif pengembangan literasi informasi. Bagi Perpustakaan Nasional adalah penting untuk meneliti, mengkaji, dan menelaah sejumlah dokumen tentang literasi informasi yang khas Indonesia plus dokumen dari negara lain yang telah mengembangkan program tersebut sehingga menjadi acuan untuk dilaksanakan di Indonesia. Di samping itu, dokumen-dokumen dari sejumlah perpustakaan perguruan tinggi di tanah air yang telah mengimplementasikan literasi informasi dapat menjadi bahan berharga untuk memperkaya konsep-konsep pengembangan literasi informasi yang sedang dikembangkan.

Dalam tataran yang lebih praktis, Perpustakaan Nasional perlu memikirkan dan mempersiapkan sejumlah langka antisipasi terhadap berbagai kendala yang akan muncul dalam penerapan literasi informasi di perpustakaan. Bukan hanya karena kita minim pengalaman dalam melaksanakan program itu, tetapi kompetensi kita dalam literasi informasi masih harus ditingkatkan. Jangankan di Indonesia, di negara-negara yang sudah lama mengimplementasikan literasi informasi, juga mengalami sejumlah kendala sebagaimana yang dinyatakan oleh Godwin (Martin dan Rader, 2003).

Ia mencatat sejumlah kendala yang berkaitan dengan pelaksanaan literasi informasi, yakni (1) kurangnya apresiasi yang ditunjukkan oleh staf pengajar, (2) kurangnya pengetahuan staf pengajar (3) kurangnya komitmen institusi untuk mengintegrasikan literasi informasi dengan kurikulum dan alokasi waktu pelaksanaan literasi informasi (4) ada persepsi yang salah dari staf pengajar dan mahasiswa yang beranggapan bahwa information skills (literasi informasi) sama saja dengan information technology skills.

Selanjutnya, Perpustakaan Nasional perlu menyusun sejumlah program kerja tentang pemasyarakatan (sosialisasi) literasi informasi kepada semua jenis perpustakaan dan institusi pendidikan secara bertahap dan membatasi dulu pada wilayah tertentu sebagai semacam proyek percontohan. Di samping itu, program penting untuk segera dilakukan adalah sosialisasi dan pelatihan bagi pustakawan dan tenaga pengajar (guru dan dosen) tentang literasi informasi. Kedua kelompok ini merupakan ‘lokomotif’ utama dalam melaksanakan program literasi informasi.

Keberhasilan program ini, salah satunya ditentukan oleh kemampuan kita menjalin kolaborasi dan kemitraan antara pihak perpustakaan dengan para guru dan dosen agar program literasi informasi dapat diintegrasikan di dalam kurikulum dan ditetapkan alokasi waktu pengajaran. Bahkan, bila perlu literasi informasi dijadikan sebagai salah satu komponen penentuan kelulusan dari suatu sistem lembaga pendidikan. Wujud kolaborasi dan kemitraan antara pustakawan dan tenaga pengajar dapat tercermin dari keterlibatan pihak-pihak tersebut dalam proses mendisain kurikulum, pengajaran, evaluasi, dan assessment terhadap pelaksanaan literasi informasi.


Kesimpulan

Keberadaan kita pada era informasi ini membawa kita ke dalam suatu paradigma baru yang mengharuskan melakukan pendekatan-pendekatan baru di dalam merespon sejumlah isu penting yang berhubungan dengan penyelenggaraan perpustakaan sebagai bagian penting dari sistem pendidikan di Indonesia.  Perkembangan ICTs telah menciptakan sejumlah peluang dan tantangan bagi perpustakaan. Implementasi ICTs di perpustakaan telah membuka kesempatan besar bagi perpustakaan untuk ikut serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan SDM yang berkualitas lewat berbagai layanan dan program pendidikan yang diselenggarakan di perpustakaan.

Literasi informasi dan konsep lifelong learning (pembelajaran sepanjang hayat) sebagai bagian dari paradigama baru dunia pendidikan sepatutnya diangkat sebagai salah satu agenda nasional. Karena itu, seluruh sistem nasional perpustakaan harus mengambil peran penting untuk mengimplementasikan kedua konsep tersebut di dalam penyelenggaraan perpustakaan secara khusus dan pendidikan pada umumnya.

Literasi informasi dan lifelong learning bukan hanya sebagai isu perpustakaan dan pendidikan saja, tetapi keduanya memiliki keterkaitan dengan isu-isu pembangunan ekonomi, kesehatan, layanan publik, dan aspek-aspek lainnya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itulah, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sebagai bagian utama dari sistem nasional perpustakaan diharapkan mengambil peran yang lebih besar dalam berbagai upaya memasyarakatkan dan mengimplementasikan literasi inforamasi di dalam kehidupan masyarakat secara luas.

Peran Perpustakaan Nasional lewat pengembangan literasi informasi di Indonesia diharapkan dapat memberikan kontribusi optimal terhadap  berbagai upaya peningkatan daya saing bangsa sebagai salah satu arah dan sasaran pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025. Karena itu, saatnya sekarang mengubah slogan "Information for All" menjadi "Information Literasi for All".


Labels:

Menciptakan Generasi Literat Melalui Perpustakaan

Menciptakan Generasi Literat Melalui Perpustakaan.


Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 9 No. 3 - Desember 2007

Abstrak


Literasi informasi merupakan kompetensi mutlak yang harus dimiliki oleh setiap anggota masyarakat di era informasi. Perkembangan teknologi informasi  dan komunikasi yang begitu pesat, menjadikan pustakawan berperan dalam pengajaran literasi informasi melalui pendidikan pemakai perpustakaan untuk menciptakan generasi literat. Literasi informasi adalah tanggungjawab setiap warganegara, dan perpustakaan hanyalah salah satu media atau lingkungan yang dapat mendukung pencapaian literasi tersebut.

A. Pengantar


Pada pertandingan final Piala Dunia 2006 lalu, para penikmat olah raga sepak bola di Indonesia dan seluruh pemirsa televisi di dunia menyaksikan sebuah  insiden di mana Zinadine Zidane melakukan pelanggaran keras dengan menanduk dada Materazzi. Insiden tersebut mengakibatkan Zidane harus keluar dari lapangan dan tim nasional Perancis akhirnya kalah dari tim nasional Italia.

Besok paginya, banyak media cetak dan media elektronik di negeri ini menjadikan kejadian tersebut sebagai headline dengan berbagai sudut pandang. Sebagian besar membela Zidane dengan asumsi bahwa Materazzi pastilah telah mengatakan sesuatu yang sangat menyinggung perasaan Zidane. Salah satu "tuduhan" media adalah bahwa Materazzi telah mengatai Zidane sebagai teroris.

Di luar media, kasus ini menjadi perbincangan hangat. Bahkan di beberapa milis terjadi perang opini, makian dan sumpah serapah untuk Materazzi karena telah menyebut Zidane sebagai "teroris". Ironisnya, saat itu  Zidane sendiri belum mengatakan apa-apa tentang insiden yang menimpa dirinya. Dan ketika akhirnya Zidane mengadakan konperensi pers bahwa Materazzi tidak menyebutnya "teroris" masyarakat seolah-olah tetap percaya bahwa Materazzi pastilah telah menyebut Zidane "teroris".

Di tempat lain, seorang konsumen membeli telepon genggam model terbaru. Seperti biasa, konsumen tersebut langsung mengaktifkan telepon genggamnya dan mengutak-atik semua menu yang ada. Di tengah keasikan mengutak-atik itu, tiba-tiba layar monitor telepon genggam tersebut mati.

Si konsumen panik dan membolak-balik teleponnya, sebelum akhirnya membuka kotak pembungkus  telepon dan mencari-cari buku petunjuk penggunaan telepon genggam tersebut. Idealnya, konsumen harus membaca terlebih dahulu petunjuk penggunaan buku telepon tersebut sebelum menggunakannya.

Kejadian di atas tentu tak ada hubungannya dengan perpustakaan, tapi erat kaitaannya dengan literasi.  Pada kasus seperti yang menimpa Zidane, masyarakat lebih percaya pada yang diyakininya daripada kenyataan. Keyakinan tersebut umumnya dilatarbelakangi oleh faktor-faktor subjektif, seperti kesukaan pada Zidane sebagai pemain sepak bola berprestasi atau karena mengidolakan Zidane.

Masyarakat tidak begitu perduli pada sumber informasi yang dibacanya, tapi lebih peduli pada perasaannya. Bahkan seringkali dalam kasus seperti ini pembaca sengaja mencari informasi yang sesuai dengan apa yang diyakininya. Misalnya, kalau koran "A" lebih membela Zidane, pembaca akan percaya pada Koran "A". Begitu pula sebaliknya.

Jadi bukan pada kenyataan apakah Zidane yang bersalah atau Materazzi. Seharusnya masyarakat atau media menunggu konfirmasi dari Zidane sebagai sumber utama tentang apa yang sebenarnya terjadi, barulah bereaksi dan bersikap siapa yang layak dibela.   Sedangkan pada kasus ke dua, si konsumen terbiasa melakukan hal seperti itu : tidak perduli dengan informasi di buku petunjuk produk apapun.

Padahal semestinya konsumen harus membaca petunjuk penggunaan sebuah produk sebelum menggunakannya. Walau berbeda kasus, kedua kejadian di atas mengakibatkan dua hal : kesalahan persepsi dan bertindakl! Keduanya diakibatkan oleh rendahnya daya berpikir kritis dan analisis terhadap informasi yang diterima.

Ke dua contoh di atas hanyalah sebagian kecil kasus-kasus yang kerap terjadi di tengah-tengah masyarakat kita yang berdampak pada kesalahan dalam menginterpretasi sesuatu dan mengambil keputusan. Tak jarang pula kesalahan tersebut mengakibatkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan oleh siapapun. Salah satu faktor penyebab adalah persoalan literasi masyarakat, khususnya literasi informasi.

Mengingat informasi merupakan rana perpustakaan, maka tulisan ini hanya akan membahas bagaimana kaitan antara literasi informasi dengan masyarakat berpikir kritis dan apa yang dapat dilakukan perpustakaan, khususnya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia untuk menciptakan generasi literat.

B. Masyarakat Informasi


Banyak kalangan termasuk para ahli komunikasi meyakini bahwa peradaban masa depan adalah masyarakat informasi (information society) yaitu peradaban di mana informasi sudah menjadi komoditas utama dan interaksi antar manusia sudah berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Dengan teknologi saat ini informasi dapat diperoleh dan dipublikasikan dengan mudah. Di sisi lain, kemudahan ini membuat masyarakat mengalami kebingungan dalam memilih informasi mana yang dapat dipercaya, atau siapa sumber yang layak dikutip.

Masyarakat informasi juga memunculkan adanya kekuatiran akan pemanfaatan informasi itu sendiri. Kita tentu masih ingat peristiwa seorang anak di luar negeri yang setiap harinya berkutat dengan buku dan internet di kamarnya. Ibunya begitu bangga dan bahagia melihat anaknya mendapat julukan "si kutu buku". Sampai akhirnya di satu pagi, anak itu meledakkan sebuah bom di sekolahnya. Ternyata, selama ini "si kutu buku" telah membaca buku dan mengakses informasi dari internet mengenai cara merakit bom!

Informasi bukan lagi sebatas kata-kata atau kalimat. Informasi bagaikan pisau bermata tajam di mana jika sampai ke pembaca yang salah dapat berakibat fatal. Tak dapat dipungkiri informasi apapun, kini dengan mudah dapat diakses oleh siapa saja dan dengan mudah pula dipergunakan untuk tujuan apa saja.  Teknologi informasi yang berkembang demikian pesat telah menjadikan masyarakat sebagai konsumen yang rakus informasi.

Dapat dipastikan bahwa sebagian besar warga masyarakat di dunia ini telah tersentuh oleh yang namanya teknologi informasi. Entah itu dalam bentuk elektronik, multimedia, atau virtual. Radio, telepon, faksimili, televisi, internet merupakan media yang jamak sekali ditemukan di tengah-tengah masyarakat desa maupun kota. Masalahnya adalah sulit sekali membendung arus informasi. Yang dapat dan harus dilakukan adalah meningkatkan literasi masyarakat dengan mendidik berpikir kritis terhadap informasi yang diterima.

C. Budaya Literasi


Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun sekarang ini literasi memiliki arti luas, sehingga keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multi literacies).

Ada bermacam-macam keberaksaraan atau literasi, misalnya literasi komputer (computer literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), literasi ekonomi (economy literacy), literasi  informasi (information literacy), bahkan ada literasi moral (moral literacy).

Jadi, keberaksaraan atau literasi dapat diartikan melek teknologi, melek informasi, berpikir kritis, peka terhadap lingkungan, bahkan juga peka terhadap politik. Seorang dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut.

Kepekaan atau literasi pada seseorang tentu tidak muncul begitu saja. Tidak ada manusia yang sudah literat sejak lahir. Menciptakan generasi literat membutuhkan proses panjang dan sarana yang kondusif. Proses ini dimulai dari kecil dan dari lingkungan keluarga, lalu didukung atau dikembangkan di sekolah, lingkungan pergaulan, dan lingkungan pekerjaan. Budaya literasi juga sangat terkait dengan pola pemelajaran di sekolah dan ketersediaan bahan bacaan di perpustakaan.

Tapi kita juga menyadari bahwa literasi tidak harus diperoleh dari bangku sekolah atau pendidikan yang tinggi. Kemampuan akademis yang tinggi tidak menjamin seseorang akan literat. Pada dasarnya kepekaan dan daya kritis akan lingkungan sekitar lebih diutamakan sebagai jembatan menuju generasi literat, yakni generasi yang memiliki ketrampilan berpikir kritis terhadap segala informasi untuk mencegah reaksi yang bersifat emosional.

Budaya inilah yang nampaknya belum dimiliki sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang bersumber pada kesalahan komunikasi, salah pengertian,  dan ledakan emosi sesaat.  Masyarakat kita tergolong mudah diadu domba, cepat bertindak tanpa berusaha mencari tahu duduk persoalan suatu masalah, cepat menghakimi tanpa mengetahui apa penyebab dan akibatnya.

Berbagai faktor  ditengarai sebagai penyebab rendahnya budaya literasi, namun kebiasaan membaca dianggap sebagai faktor utama dan mendasar.  Padahal, salah satu upaya peningkatan mutu sumber daya manusia agar cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan global yang meliputi berbagai aspek kehidupan manusia adalah dengan menumbuhkan masyarakat yang gemar membaca (reading society). Kenyataannya masyarakat masih menganggap aktifitas membaca untuk menghabiskan waktu (to kill time), bukan mengisi waktu (to full time) dengan sengaja. Artinya aktifitas membaca belum menjadi kebiasaan (habit) tapi lebih kepada kegiatan "iseng".

Menurut Kimbey (1975, 662) kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya unsur paksaan. Kebiasaan bukanlah sesuatu yang alamiah dalam diri manusia tetapi merupakan hasil proses belajar dan pengaruh pengalaman dan keadaan lingkungan sekitar.

Karena itu kebiasaan dapat dibina dan  ditumbuhkembangkan.  Sedangkan membaca (Wijono 1981, 44 dan Nurhadi 1978, 24) merupakan suatu proses komunikasi ide antara pengarang dengan pembaca, di mana dalam proses ini pembaca berusaha menginterpretasikan makna dari lambang-lambang atau bahasa pengarang untuk menangkap dan memahami ide pengarang.

Maka kebiasaan membaca adalah kegiatan membaca yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa ada unsur paksaan. Kebiasaan membaca mencakup waktu untuk membaca, jenis bahan bacaan, cara mendapatkan bahan bacaan, dan banyaknya buku/bahan bacaan yang dibaca.

Kemampuan membaca merupakan dasar bagi terciptanya kebiasaan membaca. Namun demikian kemampuan membaca pada diri seseorang bukan jaminan bagi terciptanya kebiasaaan membaca karena kebiasaan membaca juga dipengaruhi oleh faktor lainnya (Winoto, 1994 : 151), seperti ketersediaan bahan bacaan.

Perkembangan kebiasaan melakukan kegiatan merupakan proses belajar yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Gould (1991, 27) menyatakan bahwa dalam setiap proses belajar, kemampuan mendapatkan ketrampilan-ketrampilan baru tergantung dari dua faktor, yaitu faktor internal dalam hal ini kematangan individu dan ekternal seperti stimulasi dari lingkungan.

Faktor eksternal yang seringkali disorot berpengaruh terhadap perkembangan minat dan kebiasaan membaca seseorang adalah lingkungan keluarga dan lingkungan pendidikan, dalam hal ini guru dan perpustakaan. Perpustakaan menjadi fokus sentral dalam hal akses ke bahan bacaan karena masyarakat menaruh harapan besar pada lembaga ini untuk menyediakan informasi yang mereka butuhkan.

D. Literasi Informasi


Literasi informasi (information literacy) telah menjadi fokus perhatian utama dunia pendidikan, khususnya perpustakaan Amerika sejak era delapan puluhan. Menurut American Library Association (ALA), information literacy merupakan salah satu komponen penting yang harus dimiliki setiap warga dan berkontribusi dalam mencapai pemelajaran seumur hidup.

Kompetensi dalam information literacy bukan hanya sekedar pengetahuan di  kelas formal, tetapi juga  praktek  langsung pada diri sendiri dalam lingkungan masyarakatnya. Literasi informasi juga sangat diperlukan dalam setiap aspek kehidupan manusia, dan itu berlangsung seumur hidup. Literasi informasi menambah kompetensi masyarakat dengan mengevaluasi, mengorganisir dan menggunakan informasi.

Di negara maju, seperti Amerika, beberapa disiplin ilmu mempertimbangkan literasi informasi  sebagai hasil utama  siswa di perguruan tinggi (American Library Association, 2000 : 4) sebab membangun pemelajar seumur hidup merupakan misi pendidikan tinggi. Literasi informasi memastikan setiap individu memiliki kemampuan intelektual untuk berpikir kritis dan berargumentasi, serta belajar bagaimana cara belajar.

Itu sebabnya literasi informasi selalu dikaitkan dengan pemelajaran seumur hidup (life long learning). Menurut Chan Yuen Chin (2001 : 1) :

  • a. Literasi informasi sangat penting untuk kesuksesan belajar seumur hidup.

  • b. Literasi informasi merupakan kompetensi utama dalam era informasi.

  • c. Literasi informasi memberi kontribusi pada perkembangan pengajaran dan pembelajaran.


Zurkowski, orang pertama yang menggunakan konsep literasi informasi menyatakan bahwa orang yang terlatih untuk menggunakan sumber-sumber  informasi dalam menyelesaikan tugas mereka disebut orang yang melek informasi (information literate). Mereka telah mempelajari teknik dan kemampuan menggunakan alat-alat dan sumber utama informasi dalam pemecahan masalah mereka (Behrens, 1994 : 310).

Konsep ini didukung oleh Burchinal dengan mengatakan :  "Untuk menjadi orang yang melek informasi, dibutuhkan serangkaian keahlian, antara lain bagaimana cara mencari dan menggunakan informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan secara efektif dan efisien" (Burchinal dalam Diane Lee, 2002 : 1).

Di pertengahan 1980an pemanfaatan teknologi informasi (TI) mulai berdampak pada kebutuhan penanganan informasi. Sebagaimana dikatakan Demo dalam Behrens (1994 : 312) bahwa literasi informasi merupakan awal dari proses pemelajaran seumur hidup.

Kuhlthau (1987 : 2) memberikan sudut pandang yang tidak jauh berbeda, yaitu bahwa literasi informasi lebih mengarah  ke functional literacy, yang mencakup kemampuan membaca dan menggunakan  informasi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk mengetahui suatu informasi yang diperlukan dan menelusuri informasi untuk mengambil keputusan yang tepat.

Sedangkan Jan Olsen dan Coons dalam Behrens (1994 : 313) memandang literasi informasi dengan cakupan yang lebih luas. Mereka mendefinisikan lietrasi informasi  sebagai pemahaman peran dan kekuatan informasi, yakni :

memiliki kemampuan untuk menemukan, memanggil ulang informasi; mempergunakannya dalam pengambilan keputusan; serta memiliki kemampuan untuk menghasilkan serta memanipulasi informasi dengan menggunakan proses elektronik.

Pandangan dan pemahaman terhadap literasi informasi terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Para peneliti dan komunitas ilmiah  memandang literasi informasi   dengan berbagai cara. Beberapa dari cara tersebut merupakan hasil  penelitian dan  yang lainnya didapatkan dari pengalaman ilmiah yang mereka alami.

Misalnya literasi informasi dapat dilihat sebagai suatu proses; sebagai kombinasi antara keahlian, sikap dan pengetahuan; sebagai kemampuan belajar; atau sebagai cara yang kompleks dalam penggunaan informasi (Bruce, 1997 : 1-5). Deskripsi yang paling luas diterima adalah pandangan bahwa literasi informasi adalah suatu kombinasi antara keahlian, sikap dan pengetahuan.

Di awal tahun 1990an, pengertian literasi informasi yang diusulkan oleh ALA, secara umum, diterima. Menurut ALA (1989 : 10) : "information literacy is a set of abilities requiring individuals to recognize when information is needed and have the ability to locate, evaluate, and use effective needed information".

Artinya, literasi informasi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi informasi yang dibutuhkannya, mengakses dan menemukan informasi, mengevaluasi informasi, dan menggunakan informasi seara efektif dan etis.

Dari uraian di atas, literasi informasi sangat berkaitan erat dengan kemampuan berpikir kritis dan kepekaan terhadap semua aspek kehidupan. Literasi informasi menuntut kemampuan menganalisis suatu informasi untuk digunakan secara tepat untuk memecahkan masalah. Literasi informasi tidak hanya berkaitan dengan mengakses informasi, namun lebih kepada proses pembentukan seseorang menjadi pemelajar seumur hidup.

E. Peran Perpustakaan dalam Pengajaran Literasi Informasi


Para ahli di bidang literasi informasi sepakat bahwa perpustakaan memiliki peran sangat penting dalam menciptakan masyarakat literat. Perpustakaan memiliki kontribusi besar untuk membentuk masyarakat informasi yang berpikir kritis dan menjadi pemelajar seumur hidup.

Paruh waktu dekade 80-an, pustakawan akademis melakukan tinjauan  terhadap program pendidikan pengguna dengan fokus pengembangan untuk  masa depan. Di akhir dekade tersebut, beberapa program pendidikan pengguna digantikan oleh program-program yang bertujuan mencapai lieterasi informasi  (Behrens, 1994 : 313).

Pada saat yang sama perpustakaan di Amerika juga memberi perhatian  khusus pada peran mereka terhadap proses pembelajaran. Tindakan ini merupakan rekomendasi dari beberapa laporan mengenai pentingnya reformasi pendidikan di negara tersebut, seperti yang tertuang dalam A Nation at Risk and College. Pustakawan mulai memperhatikan hubungan antara pendidikan pengguna, literasi informasi, dan pembelajaran seumur hidup.

Pemikiran lebih lanjut adalah bahwa pustakawan harus mengajarkan pengguna mengelola informasi  (bekerja sama dengan aplikasi teknologi baru), dan untuk mencapai hasil optimal sebaiknya materi tersebut terintegrasi dengan kurikulum di sekolah atau di pendidikan tinggi.

Ada catatan penting di tahun 1980an dalam dua dokumen penting di Amerika, yang berisi penekanan pada peran perpustakaan dalam pengajaran lietrasi informasi yaitu sebuah buku karya Patricia Breivik dan E. Gordon Gee yang memfokuskan pada peran perpustakaan dalam mencapai kemajuan di tingkat pendidikan yang lebih tinggi; dan sebuah laporan dari American Library Association pada tahun 1989.

Kedua dokumen tersebut secara tegas menempatkan lietrasi informasi  sebagai kombinasi antara perpustakaan dan isu pendidikan (Breivik, 1989 : 227). Breivik dan Gee yakin sekali bahwa kualitas pendidikan harus membantu mahasiswa untuk menjadi pembelajar seumur hidup, dan syarat yang harus dipenuhi adalah mahasiswa harus menjadi konsumen informasi secara efektif, mampu  mendapatkan informasi secara tepat untuk segala kebutuhan dalam kehidupan pribadi maupun profesi mereka. Untuk itu mahasiswa harus melek informasi.

Filosofi Breivik dan Gee adalah bahwa dalam sebuah masyarakat informasi, pengukuran yang paling tepat dari lulusan pendidikan tinggi adalah apakah mahasiswa mampu mengarahkan diri menjadi pemelajar mandiri. Mereka yakin bahwa perpustakaan mempunyai peran penting dalam pendidikan. Menurut mereka, perpustakaan adalah tempat  pengetahuan dimana semua disiplin ilmu berhubungan.

Perpustakaan juga merupakan lingkungan informasi yang dibutuhkan oleh para lulusan dalam hidup mereka dan untuk bekerja. Bahkan perpustakaan dianggap sebagai lingkungan alami untuk pemecahan masalah Perpustakaan dan pustakawan dapat membantu mengajar kemampuan berpikir kritis mahasiswa.
Bagaimana dengan di Indonesia?

F. Pendidikan Pemakai Perpustakaan di Indonesia.


Harus diakui bahwa belum banyak perpustakaan di Indonesia yang telah mengembangkan program pendidikan pemakai ke arah pencapaian literasi informasi pengguna. Namun kepedulian pustakawan terhadap literasi informasi cukup tinggi.

Hal ini terbukti dari beberapa kegiatan yang dilakukan oleh perpustakaan tertentu atau lembaga-lembaga tertentu yang membahas tentang literasi informasi. Dari beberapa literatur yang penulis baca, bahkan lembaga lain juga sangat menaruh perhatian pada peningkatan literasi informasi masyarakat, antara lain Departemen Komunikasi dan Informasi.

Penelitian atau survei tentang literasi informasi juga tidak banyak yang terpublikasikan sehingga sulit sekali mengukur atau memperkirakan literasi masyarakat Indonesia. Namun secara kasat mata, dari kondisi masyarakat saat ini dapat dikatakan bahwa literasi informasi belum menjadi fokus perhatian pemerintah atau masyarakat itu sendiri.

Tentu banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Selain faktor ekonomi, di mana untuk membeli buku atau mengakses informasi melalui internet masih merupakan barang mahal bagi sebagian besar masyarakat, faktor keperdulian masyarakat  terhadap literasi mereka sendiri kurang. Hal lain yang tidak kalah penting adalah pola pemelajaran di sekolah atau di lembaga pendidikan yang masih berpola teacher centered, di mana yang aktif justru guru atau dosen, bukan siswanya.

Lalu persepsi mengenai lulusan sekolah juga masih mengutamakan prestasi akademis semata, padahal aspek paling penting dari literasi informasi adalah aspek non akademis, seperti kepekaan terhadap lingkungan, pemahaman dan empati terhadap sesuatu, serta kemauan untuk terus belajar dan menerima hal-hal baru dalam hidupnya.

Kembali ke masalah pendidikan pengguna di perpustakaan, pengelola perpustakaan dituntut lebih "berani" melakukan terobosan baru untuk membantu masyarakat meningkatkan literasinya. Integrasi dengan kurikulum bukanlah persoalan mudah karena menyangkut berbagai pihak, namun bukan alasan pula untuk mengabaikannya.

Sinergi antara berbagai jenis perpustakaan yang ada merupakan satu solusi efektif, mengingat pengguna perpustakaan juga memiliki perilaku berbeda. Dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) sebagai lembaga yang memiliki otoritas dapat mengambil posisi strategis dalam konteks ini.
Lalu apa yang dapat dilakukan?

G. Berbagai Alternatif Solusi bagi PNRI


Untuk konteks masyarakat Indonesia, perpustakaan perlu  mempunyai pemahaman bahwa tiap kelompok masyarakat memiliki budaya dan kebiasaan yang berbeda. Hal ini sangat penting untuk mengetahui bagaimana masyarakat mencari dan menggunakan informasi serta bagaimana mereka memaknai sebuah informasi. Satu hal yang sangat penting disadari adalah bahwa perpustakaan sendiri belum begitu populer di tengah-tengah masyarakat kita.

Kebutuhan orang ke perpustakaan tidak sama dengan kebutuhan orang akan informasi. Artinya, dalam mencari informasi, perpustakaan bukanlah satu-satunya tempat yang dituju masyarakat. Malah mungkin sebaliknya : perpustakaan merupakan pilihan terakhir jika sebuah informasi tidak berhasil ditemukan di tempat lain. Padahal, sebagaimana diuraikan di atas, salah satu penyebab ketidakliteratan masyarakat adalah rendahnya budaya membaca. Permasalahannya adalah dimanakah masyarakat mencari informasi selain di perpustakaan? Pertanyaan ini menjadi sangat penting sehingga perpustakaan dapat menciptakan kegiatan atau program yang relevan meningkatkan literasi informasi masyarakat.

Satu hal yang perlu dipahami juga adalah bahwa mustahil meliteratkan masyarakat dalam waktu singkat. Persoalan literasi adalah bagian dari proses kematangan dan kedewasaan seseorang atau individu. Proses ini merupakan proses kognitif yang tidak mungkin dapat diintervensi perpustakaan secara total.

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sebagai sebuah lembaga pemerintah non departemen  yang memiliki fungsi mengkaji dan menyusun kebijakan nasional dibidang perpustakaan dapat melakukan berbagai terobosan yang bertujuan meningkatkan literasi masyarakat.

Beberapa pemikiran dasar yang dapat dijadikan acuan adalah sebagai berikut :

































No.Kondisi ObjektifTindakan yang dapat dilakukan PNRI
1Karakter masyarakat (pengguna perpustakaan).

Masyarakat Indonesia memiliki ciri dan karakter yang khas dan beragam, antara lain : lebih suka berkumpul dalam komunitas tertentu. Ciri inilah yang menciptakan banyaknya perpustakaan komunitas dan taman bacaan dengan latar belakang khas. Umumnya komunitas ini bercirikan kedaerahan dan/atau keagamaan.

 
q       Berdayakan perpustakaan komunitas dan taman bacaan dengan memberikan dukungan dana dan sarana.

q       Tingkatkan kinerja pengelola perpustakaan komunitas dan taman bacaan dengan memberikan pelatihan yang relevan dengan literasi informasi.
2Gap terhadap akses informasi.

Tiap kelompok masyarakat memiliki   keterbatasan akses yang berbeda.   Perkembangan teknologi informasi  yang tidak merata di setiap daerah membuat gap ini semakin lebar. Di sisi lain, masyarakat yang memiliki akses terhadap internet, cenderung lebih mempercayai informasi yang ada di internet tanpa berupaya mengevaluasi dengan mencari sumber lain.

 
q       Berdayakan perpustakaan umum daerah dengan menyediakan koleksi terbaru dan bermutu.

q       Upayakan perpustakaan umum daerah melakukan kegiatan-kegiatan yang menyentuh langsung pada literasi masyarakat, misalnya dengan mengadakan program ¿buku minggu ini¿, di mana perpustakaan menentukan satu judul buku yang harus dibaca pengguna setiap minggu dan mengundang mereka untuk membahasnya di hari-hari tertentu.
3Kurikulum belum mendukung.

Pola pemelajaran yang ada belum ¿memaksa¿ siswa atau mahasiswa untuk berpikir kritis. Guru masih menjadi acuan utama, padahal kompetensi  guru sendiri masih perlu ditingkatkan.
q       Kerjasama dengan DIKNAS untuk mengembangkan kurikulum berbentuk ¿student centered¿ dengan model ¿active learning¿.

q       Kerjasama dengan perguruan tinggi karena perpustakaan perguruan tinggi memiliki potensi besar untuk melakukan pengembangan kurikulum lebih cepat.
4Skema pengembangan belum fokus.

PNRI masih terlihat ingin mengembangkan semua perpustakaan dalam waktu yang bersamaan dan dengan cara-cara yang sama.
q       Tentukan prioritas tiap tahun. Misalnya untuk tahun 2007, jadikan perpustakaan umum daerah di beberapa propinsi yang potensial sebagai target kegiatan peningkatan literasi masyarakat.
5Pendidikan dan Pelatihan untuk Pustakawan belum diarahkan ke pencapaian literasi informasi pengguna.q       Kembangkan kurikulum DIKLAT kepustakawanan yang diselenggarakan PNRI dan Perpumda dengan memasukkan materi literasi informasi.

q       Undang pakar dari perguruan tinggi dan praktisi dari masyarakat umum untuk memberikan materi literasi informasi.

q       Sediakan dukungan dana dan fasilitas bagi pustakawan yang menaruh perhatian pada penelitian mengenai kajian pemakai.

H. Penutup


Literasi informasi merupakan kompetensi mutlak yang harus dimiliki setiap anggota masyarakat di era informasi. Literasi informasi menuntut kemampuan berpikir kritis masyarakat dan kemauan untuk terus menjadi pemelajar seumur hidup. Proses ini tidak pernah berhenti pada suatu titik. Artinya, dibutuhkan kesadaran mendalam dari tiap warga masyarakat untuk perduli pada literasi mereka.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat tidak selalu membawa kemudahan bagi masyarakat. Membludaknya informasi yang dapat diakses melalui internet justru menimbulkan kebingungan tersendiri bagi pengguna.

Salah satu cara yang dapat dilakukan perpustakaan adalah dengan memberikan pendidikan pemakai dengan fokus pada pengembangan literasi informasi pengguna. Pustakawan dapat mengambil peran dalam pengajaran literasi informasi melalui pendidikan pemakai perpustakaan. Program pendidikan pemakai di perpustakaan harus diarahkan pada pencapaian literasi informasi penggunanya.

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dapat melakukan banyak hal yang bersifat mendasar, antara lain dalam bentuk dukungan dana, fasilitas, program dan kerjasama dengan berbagai pihak. Literasi informasi masyarakat tidak dapat dicapai hanya dengan jargon, iklan, promosi, seminar, atau kegiatan lain yang bersifat teori. PNRI juga harus melihat kenyataan bahwa tidak mungkin menjangkau seluruh masyarakat.

Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan memberdayakan lembaga-lembaga yang ada di komunitas atau kelompok masyarakat dengan berbagai upaya. Mengingat tugas dan tanggungjawab PNRI yang berskala nasional, maka sangat penting memiliki komitmen pengembangan program yang berkesinambungan.

Literasi apapun, termasuk literasi informasi pada hakikatnya adalah tanggungjawab setiap warganegara, dan perpustakaan hanyalah salah satu media atau lingkungan yang dapat mendukung pencapaian literasi tersebut.

Penulis: Kalarensi Naibaho [Sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 9 No. 3 - Desember 2007]

Labels:

Monday, December 3, 2007

Transportasi Literasi Informasi, Peran Sejati Perpustakaan Nasional RI

Transportasi Literasi Informasi, Peran Sejati Perpustakaan Nasional RI.


Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 9 No. 3 - Desember 2007

Abstrak


Literasi informasi merupakan upaya untuk mewujudkan kesadaran akan arti penting informasi bagi masyarakat. Masyarakat yang berliterasi adalah masyarakat yang memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi terhadap informasi. Kesadaran berliterasi akan mengantarkan sebuah peradaban pada kedudukan yang terhormat, bangsa yang literate adalah bangsa yang mampu menjawab tantang zaman.

Perpustakaan Nasional RI sebagai sarana tranportasi literasi dituntut untuk menumbuhkan, membudayakan, melayankan, mengembangkan, dan memelihara literasi informasi dalam kehidupan masyarakat, untuk meningkatkan kualitas pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial dan budayanya.

A.  Pendahuluan


Menurut Keputusan Menpan Nomor 132/KEP/M.PAN/2002, perpustakaan adalah unit kerja yang memiliki sumber daya manusia, ruangan khusus, dan koleksi bahan pustaka sekurang-kurangnya terdiri dari 1.000 judul dari berbagai disiplin ilmu yang sesuai dengan jenis perpustakaan yang bersangkutan dan dikelola menurut sistem tertentu.

International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA) mengartikan perpustakaan sebagai kumpulan materi tercetak dan media non cetak dan atau sumber informasi dalam komputer yang disusun secara sistematik untuk digunakan pemakai. Webster’s Third Edition International Dictionary, menyebutkan bahwa perpustakaan merupakan kumpulan buku, manuskrip, dan bahan pustaka lainnya yang digunakan untuk keperluan studi atau bacaan, kenyamanan atau kesenangan.

Dari berbagai definisi tentang perpustakaan di atas, ada satu benang merah yang dapat ditarik bahwa perpustakaan adalah tempat untuk melayankan informasi melalui koleksi bahan pustaka yang dimilikinya.  Keberadaan suatu perpustakaan adalah untuk memberdayakan masyarakat agar memiliki kesadaran informasi yang baik. Kesadaran akan arti penting informasi inilah yang lazim disebut dengan literasi informasi.

Literasi informasi merupakan jiwa sebuah perpustakaan. Perpustakaan Nasional RI melukiskan kemampuan informatif ini dalam logonya yang terdiri dari : buku terbuka;  nyala obor; dua tangan terkatup dengan lima jari menopang; lima dasar penunjang dan lima sinar memancar dengan latar belakang lingkaran warna biru.

Buku terbuka melambangkan sumber ilmu pengetahuan yang senantiasa berkembang. Nyala obor melambangkan pelita dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Dua tangan terkatup dengan lima jari menopang melambangkan ilmu pengetahuan baru dapat dicapai melalui pembinaan pendidikan seutuhnya dengan ditunjang oleh sarana pustaka yang lengkap. Lima dasar penunjang dan lima sinar memancar melambangkan dasar falsafah Pancasila dalam ilmu pengetahuan menghasilkan manusia Indonesia seutuhnya yang berguna bagi nusa dan bangsa.

Latar belakang lingkaran melambangkan kebulatan tekad dalam usaha mewujudkan pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan warna biru adalah warna yang memiliki sifat tenang dan memberikan kesan kedalaman. Jadi, pengertian warna biru pada logo Perpustakaan Nasional RI ialah ketenangan berpikir, dan kedalaman ilmu pengetahuan yang dimiliki merupakan landasan pengabdian kepada masyarakat, nusa dan bangsa.

B. Literasi Peradaban


Literasi informasi adalah seperangkat ketrampilan untuk mendapatkan jalan keluar dari suatu masalah yang ada. Ketrampilan ini mencakup ketrampilan mengidentifikasi masalah, mencari informasi, menyortir, menyusun, memanfaatkan, mengkomunikasikan dan mengevaluasi hasil jawaban dari pertanyaan atau masalah yang dihadapi.

Literasi sendiri secara sederhana diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, literasi mempunyai arti kemampuan memperoleh informasi dan menggunakannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Literasi memiliki fungsi penting dalam kehidupan. Kesadaran berliterasi akan mengantarkan sebuah peradaban pada kedudukan yang terhormat. Bangsa yang literate adalah bangsa yang mampu menjawab tantangan zaman. Sebaliknya, bangsa yang tidak literate akan menjelma menjadi sebuah bangsa lemah. Bangsa lemah ini tidak akan pernah mampu merespon tantangan dan rintangan di masa depan.

Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Arnold J Toynbee dalam buku A Study of History yang menyebutkan, bahwa kebangkrutan sebuah peradaban adalah diakibatkan oleh ketidakmampuan pelaku peradaban itu untuk merespon tantangan yang sedang berkembang. Ketika sebuah bangsa tidak mampu lagi memberikan jawaban terhadap tantangan-tantangan yang berkembang dan tenggelam dalam kejumudan, maka bisa dipastikan peradaban itu akan mengalami pembusukan. Ketidakmampuan memberi respon terhadap tantangan ini mengindikasikan adanya impotensi dalam peradaban tersebut.

Peradaban yang berliterasi selalu ditandai dengan kepedulian yang tinggi terhadap perpustakaan. Perpustakaan selalu menjadi transportasi literasi ketika suatu peradaban mencapai puncak keemasan.  Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sepanjang peradaban manusia tidak dapat lepas dari perpustakaan.

Peradaban Yunani kuno yang kaya akan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan perpustakaan yang prestisius pada zamannya. Pisistratus, tercatat sebagai orang yang pertama kali mendirikan perpustakaan di Yunani pada abad 6 SM. Pada periode selanjutnya orang-orang Athena sudah mulai memiliki koleksi buku-buku pribadi. Ketika tokoh filsafat Aristoteles hidup ( 384 – 322 SM) telah mendirikan sebuah perpustakaan yang ia maksudkan sebagai pusat penelitian dan pendidikan pengikut-pengikutnya.

Begitu pula dengan peradaban Islam abad pertengahan, perpustakaan kembali menjadi transportasi ilmu pengetahuan dan  teknologi. Terutama pada masa Dinasti Abasiyah (750 – 1258 M) yang pada saat itu Eropa sedang mengalami kegelapan. Zaman keemasan tersebut ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan perkembangan itu dipercepat dengan didirikannya perpustakaan-perpustakaan.

Salah satu yang terkenal dan terbesar ialah Baitul Hikmah. Tidak sembarang orang bisa bekerja sebagai pustakawan di sana. Hanya orang-orang kepercayaan khalifah dan para ilmuan sajalah yang boleh bekerja. Diantaranya adalah Al – kindi, Al – khawarizmi, seorang ilmuan matematika terkenal saat itu.

Mereka adalah para ilmuwan yang bekerja di perpustakaan Baitul Hikmah. Mereka adalah Ilmuwan-Pustakawan. Saat itu keberadaan perpustakaan dan buku sangat dihormati, bahkan jabatan pustakawan saat itu menjadi primadona. pustakawan memperoleh gaji yang sangat besar dari pemerintah Andy Alayyubi (2001).

Peradaban Eropa pasca renaissance juga ditandai dengan perkembangan perpustakaan yang mengiringi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Saat itu keberadaan buku-buku mampu meningkatkan status sosial masyarakat. Setelah penemuan kertas oleh bangsa Cina dan penemuan mesin cetak oleh  Johann Gutenberg dari Jerman, perkembangan buku, perpustakaan, dan IPTEK makin cerah.

Perpustakaan muncul hampir di semua daratan Eropa.Di Perancis dikenal Bibliotheque Nationale, yang koleksi awalnya berasal dari milik pribadi raja-raja Perancis. Di Inggris dikenal Perpustakaan Universitas Oxford dan Cambridge, dan juga British Museum yang kemudian menjadi perpustakaan nasional.

Di era milenium ini pun, keberadaan perpustakaan tetap menjadi ikon peradaban sebuah bangsa yang memiliki tradisi keilmuan yang kuat.  Amerika Serikat memiliki perpustakaan paling besar masa kini, yaitu The Library of Congress dengan jumlah koleksi sekitar 86 juta bahan pustaka dalam 470 bahasa, termasuk 22 juta buku  dan brosur. Yang menarik ada sejumlah 30.000 buku pelatihan dan pelajaran dalam huruf Braille, pertitur musik, dan media rekaman khusus untuk penyandang cacat. Sedangkan Inggris memiliki The British Museum Library dengan koleksi 11 juta buku.

C. Membudayakan Literasi


Menurut H.A.R Tilaar (1999), kemampuan informatif merupakan kemampuan seseorang untuk menganalisa dan mencari manfaat dari informasi yang diperoleh. Ada beda antara data dan informasi. Data yang telah diolah berubah menjadi informasi dan inilah yang mempunyai kegunaan di dalam perkembangan ilmu pengetahuan ataupun aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam kehidupan manusia.

Sebenarnya yang kita perlukan ialah penguasaan informasi hasil olahan kemampuan berpikir. Informasi yang diperoleh di dalam proses pembelajaran bukanlah informasi yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan informasi tersebut merupakan suatu rangkaian di dalam suatu pola jaringan sehingga memiliki arti. Informasi tersebut adalah hasil karya banyak pakar sehingga nanti akan menghasilkan sesuatu yang kreatif dan bermakna.

Membudayakan literasi informasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu keharusan. Proses pembangunan harus diartikan sebagai proses membangun literasi bangsa. Hal ini dapat ditempuh dengan membangun literasi dalam berbagai bidang kehidupan.

#1. Literasi Pendidikan

Data yang dilansir BPS pada 2003 menggambarkan, penduduk Indonesia usia di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11 %. Yang membaca majalah atau tabloid 29,22 %, buku cerita 44,28 %, dan buku pengetahuan lainnya 21,07 %. Dari tahun 1993, kecenderungan mendapatkan informasi lewat membaca hanya naik sekitar 0,2 %, jauh jika dikomparasikan dengan menonton televisi yang kenaikannya mencapai 21,1 %.

Data BPS tahun 2006 menunjukkan, penduduk Indonesia yang menjadikan membaca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5 %. Sedangkan yang menonton televisi 85,9 %, dan mendengarkan radio 40,3 %. Laporan Bank Dunia No. 16369-IND (Education in Indonesian from Crisis to Recovery), mengutip hasil Vincent Greannary  tahun 1998, menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI sekolah dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6); Thailand (65,1) dan Singapura (74,0).

Fakta di atas sungguh membuat hati kita khawatir. Ternyata, sistem pendidikan nasional telah gagal melahirkan generasi yang membaca. Pendidikan kita hanya sekedar menghasilkan generasi yang membaca agar disebut "sudah belajar". Generasi yang membaca hanya untuk menggapai kelulusan belaka. Bukan generasi yang terus membaca untuk mendapatkan kemanfaatan sepanjang hidupnya.

Literasi pendidikan menghendaki proses belajar mengajar yang berorientasi meningkatkan minat baca peserta didik. Salah satu metode pembelajaran yang sangat mendukung bagi peningkatan minat baca peserta didik adalah meaningful learning, yang mengajak peserta didik berpikir dan memahami materi pelajaran, bukan sekedar mendengar, menerima, dan mengingat-ingat. Setiap unsur materi pelajaran harus diolah dan diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga masuk akal. Sesuatu yang tidak masuk akal tidak akan menempel lama dalam pikiran.

Strategi ini menghendaki baik peserta didik maupun guru memiliki kedudukan sebagai subyek belajar. Sebagai subyek belajar keduanya dituntut aktif untuk mencari data-data, informasi, dan interpretasi dari materi pelajaran. Peserta didik dituntut untuk bersikap kritisisme terhadap materi pelajaran  bukan sekedar meniru, copy-paste, dan menghafal apa yang diberikan oleh guru. Dengan strategi ini peserta didik dan guru didorong untuk memiliki minat baca yang cukup tinggi dengan memanfaatkan perpustakaan sekolah.

#2. Literasi Teknologi 

Indonesia saat ini mengalami kesenjangan teknologi yang dapat membuat Indonesia tertinggal dalam segala bidang dari negara lain. Kesenjangan ini tampak jelas pada keterlambatan Indonesia dalam mengembangkan teknologi nano. Teknologi nano adalah sebuah rekayasa teknologi dengan memanfaatkan karakter suatu material pada ukuran nanometer (seper satu miliar meter). Teknologi ini dapat dimanfaatkan di berbagai bidang seperti kesehatan, bangunan, dan energi masa depan. Pemahaman tentang kesenjangan teknologi sendiri sudah mengalami distorsi.

Perusahaan multinasional sering membuat kita berpikir bahwa kesenjangan teknologi adalah perbedaan antara mereka yang dapat akses teknologi dan yang tidak. Padahal kesenjangan teknologi adalah gap antara mereka yang dapat mengambil manfaat dari teknologi dan yang tidak.

Mereka mempengaruhi kita agar lebih terfokus pada akses, bukan pada bagaimana meraih manfaat dari teknologi. Jika pemikiran ini terus berlaku, maka Indonesia hanya akan menjadi mangsa dari produk multinasional tanpa pernah bisa mandiri. Dengan mengejar kesenjangan teknologi, Indonesia dapat mengejar ketinggalan berbagai sektor seperti ekonomi, politik, dan budaya.

Memanfaatkan teknologi merupakan inti dari literasi teknologi. Selama ini Indonesia memang kenyang mengkonsumsi aneka produk teknologi. Indonesia menjadi sasaran pemasaran dari produk-produk teknologi negara maju. Mobil, sepeda motor, komputer, laptop, kamera digital, dan televisi  telah menjadi menu teknologi sehari-hari. Ironisnya, kita sebatas hanya pemakai teknologi, bukan penghasil teknologi.

Indonesia telah lama memiliki Institut Teknologi Bandung tetapi hingga kini belum mampu menghasilkan mobil dan sepeda motor produk dalam negeri. Bumi kita kaya akan sumber daya alam tetapi pemerintah telah mempercayakan eksplorasinya kepada pihak asing. Indonesia adalah negeri penghasil minyak bumi tetapi harga BBM dipersamakan dengan BBM di Singapura yang notabene bukan penghasil minyak bumi. Hal ini terjadi karena negeri ini belum mampu untuk mengolah minyak mentah menjadi BBM siap pakai.

#3. Literasi Ekonomi

Laporan UNESCO tahun 2005 berjudul Literacy for Life menyebutkan bahwa ada hubungan yang erat antara literasi dengan kemiskinan. Di banyak negara, di mana angka kemiskinan  tinggi, tingkat literasi cenderung rendah. Literasi menyebabkan tingkat penghasilan perkapita rendah. Seperti yang terjadi di  Banglades, Ethiopia, Ghana, India, Nepal, dan Mozambique. Lebih dari 78  persen penduduknya, penghasilan per hari di bawah 2 dollar AS.

Manusia yang memiliki kemampuan literasi ekonomi akan lebih mudah untuk mengakses informasi bisnis dan memberdayakannya menjadi sebuah usaha mandiri. Sebaliknya, lemahnya kemampuan literasi akan menghasilkan manusia tipe pekerja, buruh, dan karyawan. Manusia miskin literasi tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk membuka usaha mandiri.

Ironisnya, kemiskinan literasi ini menular kepada pemerintah. Pemerintah memberi ruang yang terlalu bebas bagi kaum kapitalis. Upah buruh yang murah dijadikan daya tarik untuk menarik perusahaan transnasional agar berinvestasi di Indonesia. Padahal buruh juga manusia yang memiliki keinginan untuk hidup layak. Kini, setelah kaum buruh menuntut kesejahteraan, perusahaan transnasional seperti  Nike mengancam akan hengkang dari Indonesia. Tanpa peduli dengan nasib ribuan buruh perusahaan yang menjadi supplier Nike.

Padahal dalam konteks kesejahteraan sosial, sebagaimana dikutip Faisal Basri (2007), Bung Karno menegaskan bahwa tidak boleh ada kemiskinan di bumi Indonesia merdeka, tidak boleh ada dominasi kaum kapitalis, dan kesejahteraan yang merata ke seluruh rakyatnya, bukan kesejahteraan orang seorang. Jelas kiranya, landasan ideologis kita bukanlah libertarian, melainkan demokrasi sosial.

Dalam kehidupan ekonomi, konstitusi kita sama sekali tak mengindikasikan spirit antisipatif, tetapi juga secara tegas tidak menyerahkan seluruh urusan ekonomi pada ekonomi pasar. Jadi tidaklah benar kesan bahwa seiring dengan tuntutan agar pasar lebih banyak berperan dalam memajukan perekonomian, peran negara harus dikurangi. Mengedepankan mekanisme pasar bukan berarti menabukan peran negara. Justru sebaliknya, semakin besar peran diberikan ke pasar, peran negara harus lebih diperkuat untuk mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan.

#4. Literasi Harga Diri

Dalam bukunya "Can Asians Think ?" , Kishore Mahbubani (2000) menyatakan bahwa orang Asia itu tidak dapat berpikir karena pengaruh kolonialisme. Pengaruh atau dampak yang amat menyakitkan bukanlah pengaruh fisik melainkan pengaruh mental dari kolonialisasi tersebut. Banyak negara di Asia, termasuk beberapa negara di kawasan Asia Tenggara yang menganggap bahwa orang Eropa lebih unggul daripada orang Asia. Inilah dampak yang sampai saat ini sangat melekat di hati orang Asia.

Analisa Kishore Mahbubani di atas sangat tepat jika pisau analisa di arahkan ke Indonesia. Bangsa Indonesia yang telah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang merupakan bangsa yang paling menderita lahir dan batin daripada bangsa Asia manapun. Penjajahan selama itu telah menyebabkan bangsa tercinta ini menderita penyakit rendah diri. Manusia Indonesia menjadi kehilangan kemampuan dan kemandiriannya dalam berpikir.

Kolonialisme telah menyebabkan tumbuhnya mentalitas yang menganggap eks bangsa penjajah adalah bangsa yang lebih superior. Tanpa disadari keberhasilan kolonialisme Belanda dalam memperdayai Pangeran Diponegoro memberikan kesan yang mendalam di alam psikologi manusia Indonesia bahwa kita tak mungkin bisa menang bersaing dengan manusia-manusia Eropa. Pada titik ekstrim, hal ini akan membawa dampak berupa lahirnya manusia Indonesia yang memandang rendah diri sendiri sekaligus memuja  setinggi langit bangsa asing.

Virus rendah diri ini begitu jelas terlihat dalam Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement – DCA) antara RI – Singapura satu paket dengan Perjanjian Ekstradisi pada tanggal 27 April 2007. Dalam perjanjian tersebut kedaulatan negara digadaikan. Indonesia mengijinkan Angkatan Bersenjata Singapura menggelar latihan militer di laut, darat, dan udara di wilayah Indonesia bersama pihak ketiga dengan menggunakan peluru tajam dan peluru kendali sebanyak empat kali dalam setahun.

#5. Literasi Karakter

Menurut Mochtar Lubis (1977) ada tujuh ciri manusia Indonesia, yaitu : hipokrit, senang berpura-pura; enggan bertanggung jawab; berjiwa feodalis; percaya pada takhayul; berjiwa artistik; berwatak lemah, suka meniru; dan kurang sabar, cepat cemburu dan dengki.

Bayangkan dari tujuh karakter tersebut, hanya satu yang merupakan karakter positif yaitu berjiwa artistik. Mochtar Lubis tidak sedang mengada-ada. Kecelakan transportasi darat, laut, dan udara yang datang silih berganti merupakan indikator bahwa bangsa ini kurang disiplin dalam berlalu lintas. Kecelakaan sering terjadi bukan karena para pelaku transportasi buta terhadap aturan melainkan karena mereka kurang peduli terhadap peraturan.

Menurut Wynne (1991) kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti "to mark"  (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.  Orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia.  Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang, dimana seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.

Literasi karakter  menekankan pentingya tiga komponen  karakter yang baik yaitu pengetahuan tentang moral, perasaan tentang moral dan perbuatan bermoral.  Moralitas ini meliputi cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya, kemandirian tanggung jawab dan kedisiplinan, kejujuran, amanah dan bijaksana, hormat dan santun, dermawan suka tolong-menolong dan gotong-royong, percaya diri, kreatif dan pekerja keras, kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati serta toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Foerster (2000) menjelaskan ada empat cara untuk mengubah karakter seseorang, pertama, keteraturan interior yang mengukur setiap tindakan berdasar hierarki nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Pemahaman norma agama, masyarakat, keluarga, maupun negara  merupakan "imunisasi jiwa" terbaik untuk menolak timbulnya karakter negatif.

Kedua, koherensi yang memberi keberanian membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko.

Ketiga, otonomi. Seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh desakan pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Keteguhan dan komitmen pada nilai-nilai moral merupakan tujuan utama dari pendidikan karakter.

Dengan demikian jurang pemisah antara cita-cita moral dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dapat terus dipersempit. Kematangan keempat karakter ini memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas.

D. Strategi Membangun Literasi


Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ungkapan ini sungguh sesuai dengan kondisi literasi bangsa ini yang masih memprihatinkan. Menilik literasi negara-negara lain di dunia, Indonesia berada pada urutan ke-95 dari 176 negara, dibawah Malaysia, Vietnam, Singapura dan Filipina. Perpustakaan Nasional harus bekerja sangat keras untuk membangun budaya literasi di tanah air.

Strategi yang dapat ditempuh Perpustakaan Nasional adalah [pertama], menjadikan Perpustakaan Nasional RI sebagai sarana transportasi literasi informasi. Hal ini dapat dimulai dengan menghadirkan situs perpustakaan yang lebih menarik. Ashadi Siregar sebagaimana dikutip Yusuf Fitri (2004) mengungkapkan, setidaknya ada tiga hal utama yang harus dipenuhi oleh sebuah media organisasi dalam membangun komunikasi yang baik dengan audience-nya.

Persoalan pertama, berkaitan dengan substansi informasi yang dimuat. Jika hanya bersinggungan dengan dengan satu pihak saja (baca organisasi) tanpa memperhatikan pihak lain, tentunya pihak lain tidak merasa perlu untuk merespon informasi tersebut. Komunikasi yang searah tentunya sulit diukur kemanfaatannya.

Persoalan kedua, berhubungan dengan bahasa maupun format penyampaian informasinya. Jika bahasa yang digunakan hanya dipahami oleh pihak organisasi saja, maka informasi yang disampaikan tidak akan dipahami oleh pihak lain. Contoh mudahnya, informasi lisan akan lebih tepat jika diterapkan pada orang yang tidak bisa baca tulis.

Persoalan ketiga, menyangkut ketepatan pemilihan waktu informasi disampaikan. Penyampaian yang terlalu lambat akan menjadikan komunikasi tidak jalan.

Selama ini situs resmi milik Perpustakaan Nasional RI masih berjalan stagnan. Belum membuat terobosan berarti bagi kepentingan pengguna internet untuk mencari informasi. Para pengguna internet masih lebih suka mencari informasi melalui mesin pencari google atau yahoo.

Perpustakaan Nasional mestinya berada dalam garda terdepan dalam membuat mesin pencari informasi "rasa Indonesia". Bukan sekedar menampilkan indeks artikel atau buku melainkan kliping digital yang dapat diakses masyarakat secara langsung.  Harapan ini tentu tak berlebihan dalam rangka membudayakan literasi di tanah air.

Di masa depan, situs resmi perpustakaan yang ideal adalah yang berfungsi sebagai pusat rujukan informasi masyarakat. Jadi, Perpustakaan Nasional RI dituntut  berfungsi sebagai  "kantor berita online". Perpustakaan dapat meniru langkah koran online yang menghimpun aneka informasi dari masyarakat dan melayankannya kepada masyarakat pula. Dalam hal ini masyarakat berfungsi sebagai pemberi sekaligus pemakai informasi.

[Kedua], menghadirkan perpustakaan seluler. Selama ini, layanan tambahan  operator seluler yang dijalin dengan mitra bisnisnya (content provider) cenderung membunuh literasi bangsa. Klenikisme dan hedonisme sangat mendominasi. Muatan klenik diwakili oleh ramalan bintang,primbon, feng shui, dan hong shui. Nuansa hedonisme diwakili oleh sms selebritis, humor, cinta, dan kencan.

Selain memberikan informasi yang tidak bermutu, layanan tambahan tersebut juga dijual dengan harga yang terlalu mahal. Akibatnya, banyak konsumen seluler yang pusing mendadak karena kehilangan pulsa. Ketika mereka sadar pun, sangat sulit untuk menghentikan. Mengapa? Karena pihak penyedia jasa layanan biasanya tidak mencantumkan cara berhenti berlangganan. Mereka hanya mencantumkan cara berlangganan.

Perpustakaan seluler merupakan langkah cerdas bagi Perpustakaan Nasional RI untuk memberi nuansa cerdas pada dunia seluler di tanah air. Apalagi di era teknologi 3 G, kehadiran perpustakaan seluler merupakan sesuatu yang ditunggu. Perpustakaan seluler memberikan informasi seputar informasi sains, teknologi, politik, ekonomi, dan informasi lain sesuai kebutuhan masyarakat.  Untuk mewujudkan ide ini, Perpustakaan Nasional RI dapat bekerja sama dengan PDII LIPI, Kementrian Riset dan Teknologi, dan Depdiknas.

Biaya untuk mengakses perpustakaan seluler ini harus dirangcang semurah mungkin karena diperuntukkan bagi misi mencerdaskan bangsa. Rp 400 – 500/ SMS merupakan tarif yang cukup terjangkau. Selain itu, perpustakaan seluler perlu dirancang dengan sistem sesuai permintaan pelanggan. Artinya,tanpa permintaan pelanggan tidak ada SMS yang masuk. Hal ini sangat penting untuk mencegah praktik layanan dari content provider hadir tanpa diundang yang terbukti merugikan masyarakat.

[Ketiga], membudayakan literasi melalui radio. Kalau untuk membudayakan musik dangdut saja sebuah stasiun televisi swasta rela mendirikan radio dangdut yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia, mengapa untuk membudayakan minat baca dan literasi tidak ditempuh cara yang sama.

Meskipun telah terjadi revolusi teknologi informasi, radio tetap memiliki pangsa pasar yang cukup besar. Perpustakaan Nasional dapat mendirikan Perpustakaan FM dengan memanfaatkan jaringan perpustakaan umum yang berdiri disetiap kabupaten/kota. Program acara dalam radio ini dirancang untuk membudayakan literasi di masyarakat. Acara bedah buku on air, info buku baru, info penulisan, info sains dan teknologi, jumpa penulis buku, serta info dunia sastra merupakan menu utama. Selain itu, menu harian seperti musik harus tetap ada sebagai pemanis acara dalam dosis tepat.

Membudayakan literasi melalui radio merupakan sebuah langkah terobosan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan arti penting informasi bagi kelangsungan hidupnya. Hal ini terutama ditujukan bagi masyarakat tipe X. Menurut Douglas Mc Gregor, Teori X yang merupakan teori tradisional dapat diasumsikan bahwa masyarakat umumnya tidak suka membaca. Mereka umumnya mau membaca jika ada momentum tertentu seperti musim ujian sekolah, membuat skripsi, ataupun lomba karya ilmiah. Membaca bagi mereka merupakan beban tersendiri dan belum menjadi kebutuhan pokok. Mereka lebih suka mendapatkan informasi dari media non baca seperti radio dan televisi.

[Keempat], mempelopori CSR (Corporate Social Responsibility) untuk perpustakaan. Dana yang merepresentasikan kewajiban sosial perusahaan ini akan lebih bermanfaat jika diinvestasikan di bidang perpustakaan.

Selama ini kesadaran perusahaan untuk mengalokasikan CSR memang masih rendah. CSR sekedar difungsikan sebagai sarana propaganda untuk mengangkat citra perusahaan. Untuk itu, Perpustakaan Nasional RI perlu mengusulkan kepada pemerintah agar membuat peraturan yang mewajibkan setiap perusahaan untuk mengalokasikan CSR bagi perpustakaan. Sehingga disamping mencari keuntungan dari masyarakat, perusahaan juga merupakan mitra masyarakat guna meningkatkan kesadaran literasi masyarakat.

CSR dari perusahaan dapat dimanfaatkan untuk membuka kran informasi di pulau-pulau terpencil yang selama ini miskin literasi. Hal ini dilakukan dengan cara mengadakan kapal buku keliling yang mampu menjangkau pulau-pulau terpencil. Konsep  perpustakaan keliling yang selama ini hanya memanfaatkan mobil, bus, dan sepeda motor untuk melayankan bahan pustaka sudah saatnya menggunakan alat transportasi yang lebih besar seperti kapal dan bahkan pesawat terbang.

Menurut Effnu Subiyanto (2007), untuk ukuran Indonesia, CSR memang relatif baru. Namun perusahaan multinasional di AS, seperti Intel bahkan sudah memelopori CSR pada era 80-an. Seratus eksekutif Intel setiap bulan terjun ke lingkungan terdekat untuk berbagi pengetahuan dan keterampilan guna memberi dukungan dan memperkuat fundamental community.

Dalam hal ini, Intel tentu saja tidak mengharapkan keuntungan, namun Intel mempunyai visi jauh ke depan yang bertujuan melibatkan masyarakat sebagai salah satu competitive advantage dari Intel. Perusahaan pesawat Boeing, bahkan kini sudah memulai menerapkan pengelolaan manusia yang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan. Definisi "profit" di negara-negara maju memang sudah mengalami reinkarnasi tidak semata-mata fokus menumpuk laba, tetapi lebih humanis dengan memasukkan unsur nilai (value).

[Kelima], serius dalam memberdayakan perpustakaan desa. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desa memiliki peranan yang sangat strategis untuk mengembangkan minat baca masyarakat. Mengapa? Karena desa merupakan unit pemerintahan terkecil bersinggungan langsung dengan rakyat. Selain itu, lebih dari 60 persen rakyat Indonesia tinggal di pedesaan.

Kedudukan desa yang cukup strategis ini merupakan lahan subur bagi Perpustakaan Nasional RI untuk membumikan budaya literasi di tanah air. Perpustakaan Desa yang selama ini terpinggirkan  dan sudah diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri  Nomor 28 Tahun 1984 dan diperbarui dengan  Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 3 Tahun 2001 harus diposisikan sebagai transportasi literasi informasi yang a di tingkat desa.

Pemberdayaan perpustakaan desa harus berorientasi pada peningkatan sumber daya manusia desa. Menurut Rogers dan Soemaker (1987), salah satu hambatan dalam upaya pemberdayaan sumber daya manusia desa adalah adanya mentalitas Lack thingking for the future. Artinya, kemampuan petani sangat terbatas untuk memikirkan masa depannya. Ini mengakibatkan para petani mengalami kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Sebagai transportasi literasi, peran perpustakaan desa adalah :


[Pertama], memberantas buta huruf. Data tahun 2006 menyebutkan bahwa penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas yang masih buta aksara tercatat 12,8 juta orang.  Dari 12,8 juta warga yang buta aksara ini 81,3 persen di antaranya tersebar di 10 provinsi yang bisa disebut sebagai kantung-kantung buta aksara, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua, Banten, Bali, dan Lampung.

Perpustakaan desa dapat mengadakan kegiatan keaksaraan fungsional dalam bentuk kelompok belajar membaca dan menulis. Kerala, salah satu negara bagian di India memberikan suatu bukti bahwa perpustakaan desa mampu memberantas buta huruf. Di Negara Bagian Kerala, setiap kabupaten memiliki 10 – 100 perpustakaan desa yang sangat berperan dalam memerangi buta aksara (Kompas, 5 Februari 2007).

Perang terhadap buta aksara dilaksanakan dengan program kursus dua bulan di perpustakaan-perpustakaan desa, terutama untuk massa petani. Slogan Read and Grow diganti dengan "untuk menghapus buta huruf dan memperkuat rakyat". Saat itulah dimulainya perang secara terorganisasi terhadap buta huruf. Tahun 1975, gerakan ini mendapat penghargaan dari Unesco atas sumbangan pentingnya penghapusan buta huruf dan pendidikan untuk orang dewasa.

[Kedua], meningkatkan kualitas kecapakan hidup masyarakat (life skill).  Menurut WHO (1997), kecakapan hidup (life skills) adalah berbagai ketrampilan/kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntuan dan tantangan dalan hidupnya sehari-hari secara efektif.

Untuk meningkatkan life skill, perpustakaan desa perlu didesain sebagai pusat pembelajaran dan ketrampilan masyarakat desa. Artinya, disamping aktivitas meminjamkan buku, perpustakaan juga merupakan balai latihan kerja untuk meningkatkan ketrampilan masyarakat desa. Jadi, di perpustakaan desa masyarakat dapat membaca buku tentang menjahit sekaligus mempraktikkannya di balai latihan kerja.

Perpustakaan desa juga daat dikembangkan sebagai pusat kebudayaan dan kesenian masyarakat desa. Aktivitas  sastra, teater, dan menari dapat dilakukan di perpustakaan desa. Dengan demikian kehadiran perpustakaan desa dapat "membuat hidup menjadi  lebih hidup".

[Ketiga], membudayakan literasi sejak dini. Perpustakaan dapat membuka layanan bagi anak usia dini dengan mendirikan Kelompok Bermain. Fokus layanan Kelompok Bermain (KB) ini adalah mengupayakan agar anak-anak usia dini memiliki minat baca yang tinggi meskipun mereka belum bisa membaca. Dengan kata lain mereka memiliki kecintaan, ketertarikan, dan "kegilaan" kepada buku.. Untuk mewujudkan ide ini, perpustakaan desa perlu melengkapi koleksinya dengan buku-buku anak usia dini.

Menumbuhkan minat membaca jauh lebih penting daripada megajarkan agar anak usia dini "bisa"  membaca. Mengapa? Karena betapa banyak anak-anak bangsa ini yang bisa membaca tetapi miskin minat baca. Ketika masih TK mereka begitu semangat dalam membaca, tetapi tatkala menginjak SD minat bacanya "surut".

Memberdayakan perpustakaan desa sebagai sarana transportasi literasi bukanlah utopia. Perpustakaan Nasional RI dapat membuat MOU (Memorandum Of Understanding) dengan pemerintah kabupaten/kota untuk memberdayakan perpustakaan desa. Dalam hal ini, Perpustakaan Nasional RI dapat memberikan dana block grant khusus untuk memberdayakan perpustakaan desa.

MOU ini merupakan syarat utama bagi pemerintah kabupaten/kota ketika mereka mengajukan aneka proposal permintaan block grant perpustakaan umum dan mobil perpustakaan keliling kepada Perpustakaan Nasional RI. Hal ini merupakan strategi untuk "menjewer" pemerintah kabupaten/kota agar lebih peduli dengan perpustakaan desa.

E. Kesimpulan


Literasi memiliki arti penting dalam kehidupan. Kesadaran berliterasi akan mengantarkan sebuah peradaban pada kedudukan yang terhormat. Bangsa yang literate adalah bangsa yang mampu menjawab tantangan zaman. Sebaliknya, bangsa yang tidak literate akan menjelma menjadi sebuah bangsa lemah. Bangsa lemah ini tidak akan pernah mampu merespon tantangan dan rintangan di masa depan.

Literasi informasi merupakan upaya untuk mewujudkan kesadaran akan arti penting informasi bagi masyarakat. Masyarakat yang berliterasi adalah masyarakat yang memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi terhadap informasi. Inilah yang disebut dengan masyarakat yang cerdas.

Sebagai sarana transportasi literasi, Perpustakaan Nasional RI dituntut untuk menumbuhkan, membudayakan, melayankan, mengembangkan, dan memelihara literasi informasi dalam kehidupan masyarakat. Artinya, perpustakaan berperan menghantarkan informasi cerdas yang diperlukan masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial, dan budayanya.

Penulis: Romi Febriyanto Saputro [Sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 9 No. 3 - Desember 2007 ]

Labels: