<data:blog.pageTitle/>

This Page

has moved to a new address:

http://duniaperpustakaan.com

Sorry for the inconvenience…

Redirection provided by Blogger to WordPress Migration Service
Dunia Perpustakaan | Informasi Lengkap Seputar Dunia Perpustakaan: August 2016

Monday, August 29, 2016

Komisi X DPR: Perpustakaan Kita Masih Tertinggal Jauh

Komisi X DPR: Perpustakaan Kita Masih Tertinggal Jauh.


Dunia Perpustakaan | Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Hanura, Dadang Rusdiana mengatakan banyak negara-negara maju menempatkan perpustakaan sebagai jantung peradaban, dimana perpustakaan menjadi basis peneliti sebagai pusat aktifitas seluruh ilmuwan sekaligus menjadi tempat yang menarik bagi masyarakat untuk menimba ilmu untuk berdiskusi dalam mendalami sebuah masalah.

Hal itu disampaikan Dadang Rusdiana kepada Parlementaria, usai meninjau fasilitas sarana prasarana Perpustakaan SMA Muhammadiyah I Yogjakarta, dalam rangka Kunjungan kerja spesifik Komisi X DPR ke Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat [0 8/16].

“ Jadi saya kira ini adalah pekerjaan rumah penting bagi perpustakaan, bagaimana menjadikan perpustakaan ini sebagai pusat ilmu dan kemudian mampu mendongkrak Indonesia yang selama ini dalam bidang literasi, kita masih tertinggal jauh dari negara-negara lain,” ujarnya.

DPR sendiri, kata Dadang Rusdiana dalam setiap Rapat Dengar Pendapat (RDP) terus mendorong bagaimana anggaran perpustakaan terus dinaikkan secara bertahap tiap tahunnya.

Dikutip dari edukasi.inikata.com, [29/08/16]. “ Jadi ketika kita memberikan anggaran dari DPR khususnya dari Komisi X DPR, kita tentunya melihat ini sebagai sebuah keseriusan sebagai peta jalan untuk membangun perpustakaan sebagai pusat peradaban dan pusat kebudayaan. Namun pemerintah juga harus jelas konsepnya,” katanya.

Untuk mendorong majunya perpustakaan nasional, setidaknya ada dua yang harus menjadi perhatian serius, yakni sarana prasarana dan ketersediaan sumber daya manusia perpustakaan itu sendiri. Menurut Dadang, ketika berbicara sumber daya manusia perpustakaan, tentunya diperlukan peningkatan kompetensi serta pengakuan atas kompetensi itu dalam bentuk sertifikasi.

Dadang melihat di seluruh Indonesia sedikit sekali perpustakaan-perpustakaan terkemuka di daerah maupun di sekolah yang dikelola oleh pustakawan yang benar-benar mendapatkan apresiasi dari pemerintah.

“ Nah ini adalah sebuah kekeliruan, kita menganggap perpustakaan itu sebagai pelengkap dari sebuah penyelenggaraan persekolahan padahal perpustakaan itu adalah pusat sumber belajar,” jelasnya.

Politisi Partai Hanura itu justru melihat pengelolaan perpustakaan yang di sekolah swasta malah dikelola secara profesional.

“ Makanya kemudian bagaimana kita lihat disini yang baik itu sekolah-sekolah swasta yang swadayanya dan semangat kemandiriannya tinggi. Tapi kemudian sekolah-sekolah negeri masih tertinggal jauh dibandingkam dengan sekolah swasta,” katanya.

Agenda kunjungan kerja spesifik Komisi X DPR ke Provinsi DIY, selain melakukan peninjauan ke sekolah SMA Muhammadiyah I Provinsi DIY, juga melakukan pertemuan dengan Pemprov DIY, pustakawan Badan Perpustakaan Kabupaten Gunung Kidul, Komunitas Baca Provinsi DIY.

Pemerhati Perpustakaan dan Minat Baca Provinsi DIY dan tokoh-tokoh masyarakat di bidang perpustakaan. Komisi X DPR juga melakukan peninjauan lapangan bidang perpustakaan daerah di Desa Hargo Mulyo, Kulon Progo, Provinsi DIY.

Adapun rombongan Komisi X DPR yang ikut dalam kunjungan kerja spesifik ke Provinsi DIY, antara lain; Wakil Ketua Komisi X DPR Sutan Adil Hendra (F-Partai Gerindra), My Esti Wijayati (F-PDIP), Sofyan Tan (F-PDIP), SB Wiryanti Sukamdani (F-PDIP), HA Mujib Rohmat (F-Partai Golkar), H Noor Achmad (F-Partai Golkar), HM Ridwan Hisjam (F-Partai Golkar), Jamal Mirdad (F-Partai Gerindra), H Nuroji (F-Partai Gerindra), Rinto Subekti (F-Partai Demokrat), Jefirston R Riwu Kore (F-Partai Demokrat), Laila Istiana DS (F-PAN), Yayuk Basuki (F-PAN), KH Surahman Hidayat (F-PKS), Mustafa Kamal (F-PKS), Dony Ahmad Munir (F-PPP), Yayuk Sri Rahayuningsih (F-Partai Nasdem).

Labels:

Minat Baca Anak dan Remaja di Desa Lebih Baik dari Kota?

Minat Baca Anak dan Remaja di Desa Lebih Baik dari Kota?


Dunia Perpustakaan | Pendiri Komunitas Ngejah di Garut, Jawa Barat, Nero Taopik Abdillah atau Opik ikut bersuara soal minat baca di Indonesia.

Untuk diketahui, komunitas membaca yang dirintis Opik yakni Komunitas Ngejah menjadi pemenang pertama dalam Gramedia Reading Community Competition 2016.

Selain itu, Komunitas Ngejah juga menyabet posisi juara favorit dan berhak mendapatkan beragam hadiah serta uang tunai untuk memajukan komunitasnya.

Warga asal Kampung Sukawangi RT ‎01 RW 01 Desa sukawangi, Kecamatan Singajaya, Kabupaten Garut ini mengatakan saat ini minat baca di tingkat anak-anak dan remaja sudah baik.

"‎Banyak yang berpendapat minat baca di Indonesia itu rendah. Kalau menurut saya, minat baca anak-anak dan remaja sudah baik," ungkap Opik saat ditemui Sabtu [8/16] di Perpustakaan Nasional Jakarta Pusat.

Diungkapkan ‎Opik, minat baca bagi anak-anak dan remaja khususnya di pedalaman sudah lebih baik. Berbeda dengan anak-anak di kota yang memang banyak kegiatan dan dipengaruhi gadget.

Dikutip dari tribunnews.com, [27/08/16]. "Kalau anak di kota kan sudah sibuk, banyak kegiatan, beda dengan di kampung. Intinya minat baca saat ini itu belum membudaya. Kalau mau membudaya, ya fasilitas baca diperbaiki dan diperbanyak," tuturnya.

Opik menambahkan apabila pemerintah mau menggalakkan minat baca, harus ada kerjasama dengan komunitas dan taman baca. ‎Karena selama ini, perpustakaan yang ada, khususnya di daerah masih sangat terbatas dan tidak bisa diakses bagi anak-anak pedalaman.

"Kalau mau tingkatkan minat baca, negara harus kerjasama dengan elemen masyarakat seperti komunitas dan taman baca. Apresiasi gerakan yang sudah ada, sentuh dan kerjasama. Yang sudah ada itu diperkuat," ucapnya.

Labels:

Komunitas Gembel Penajam Bentuk Perpustakaan Jalanan

Komunitas Gembel Penajam Bentuk Perpustakaan Jalanan.


Dunia Perpustakaan | Sekelompok anak muda Kabupupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, yang tergabung dalam Komunitas Gemar Belajar atau Gembel, membentuk perpustakaan jalanan guna menumbuhkan minat baca masyarakat.

"Kami sengaja membentuk perpustakaan Gembel dijalanan agar minat baca tumbuh di kalangan anak muda," kata salah satu pengagas Perpustakaan Gembel dijalanan, Gamaliel Abymanyu ketika ditemui di Penajam, Sabtu [27/16].

"Awalnya hanya dari obrolan dan diskusi bareng teman-teman, kemudian kami bentuk perpustakaan itu," ujarnya.

Menurut Gamaliel Abymanyu, di tengah perkembangan jaman saat ini banyak anak muda malas membaca buku.

Rasa prihatin akan minimnya minat sehingga melunturkan budaya membaca buku di kalangan anak muda lanjut dia, berdirilah Komunitas Gembel dengan leterasi jalanannya.

Koleksi buku yang ada di Perpustakaan Gembel merupakan hasil sumbangan dari berbagai pihak yang peduli akan adanya litersi jalan di Penajam Paser Utara.

"Kalau buku, semua rata-rata sumbangan dan dari kumpulan koleksi milik masing-masing anggota Komunitas Gembel," tambah Komunitas Gembel yang juga pengagas perpustakaan jalanan lainnya, Achmad Fitriady.

Dikutip dari rimanews.com. Pemilihan nama Gembel dimaksudkan bisa memaknai, dengan adanya perpustakaan jalanan tersebut tidak memandang golongan, yang artinya semua bisa membaca di Perpustakaan Gembel dijalanan itu.

"Gembel memiliki arti sama rata, tanpa memandang golongan semua bisa membaca di Perpustakaan Gembel dijalanan," jelas Achmad Fitiady.

Labels: ,

Tips Memilih Barcode Scanner yang Tepat untuk Perpustakaan

Dunia Perpustakaan | Barcode Scanner | Barcode Scanner kalau untuk kalangan umum dianggap mungkin hanya digunakan di toko-toko swalayan, super market ataupun mall-mall dan sejenisnya.

Namun dengan berbagai kemajuan teknologi dan adanya kebutuhan di masing-masing profesi, maka saat ini barcode scanner sudah menjadi kebutuhan di banyak bidang. Tidak ketinggalan dalam hal ini bidang perpustakaan.

Perpustakaan yang sudah menggunakan system informasi digital tentunya barcode scanner sangat membantu kinerja pustakawan.

Apalagi saat ini dengan adanya software SLiMS [Senayan Library Management System], berbagai perpustakaan di Indonesia sudah digital bahkan tidak sedikit yang sudah online hingga menggunakan aplikasi android.

Dengan adanya kemajuan teknologi tersebut, maka barcode scanner untuk perpustakaan menjadi kebutuhan yang sangat penting.

Salah satu peran penting barcode scanner untuk perpustakaan yang untuk mempercepat dan mempermudah transaksi peminjaman dan pengembalian di perpustakaan.

Jika sebelum ada barcode scanner pustakawan diribetkan dengan transaksi peminjaman dan pengembalian buku secara manual, dengan adanya barcode scanner tugas pustakawan menjadi lebih cepat dan ringan.

Hal tersebut tentunya juga berpengaruh terhadap pelayanan kepada para pengunjung perpustakaan sehingga menjadi lebih cepat.

Namun terkadang beberapa perpustakaan masih menganggap jika barcode scanner itu masuk kategori mahal dan sulit didapatkan. Kalaupun mudah didapatkan, terkadang beberapa pustakawan merasa tertipu karena barcode scannernya cepat rusak.

Agar anda tidak tertipu dan tidak sembarangan saat membeli produk barcode scanner, ada baiknya anda perhatikan beberapa tips berikut,

Tips Memilih Barcode Scanner yang Tepat untuk Perpustakaan


#1. Budget

Saat bicara soal pengadaan, yang namanya perpustakaan kebanyakan biasanya masalah utamanya ada pada anggaran. Apalagi untuk perpustakaan yang kepala perpustakaan/kepala sekolah/kampus/instansinya tidak terlalu pedulikan perpustakaan, biasanya barcode scanner dinomorsekiankan.

Jika anda mengalami yang demikian, maka kami sarankan anda harus rajin menabung. Biasanya bisa dengan menggunakan dana denda yang bisa ditabung dan jika sudah terkumpul bisa untuk beli barcode scanner.

Bagi anda yang punya dana yang cukup, bersyukurlah karena artinya anda tidak bernasib dengan mereka yang kesulitan dana.

#2. Bacode Scanner Sesuai Kebutuhan

Jika anda sudah memiliki dana untuk membeli barcode scanner, maka saat akan beli barcode scanner anda harus sesuaikan dengan kebutuhan perpustakaan anda.

Terkadang ada beberapa kasus yang mentang-mentang punya dana banyak, maka dalam membeli barcode scanner langsung beli yang harganya mahal. Padahal operasional penggunaan barcode scannernya tidak terlalu sering.

Logikanya begini, jika anda seorang arsitektur maupun ahli design, jika ingin beli komputer maka spesifikasinya tentunya harus tinggi. Namun jika anda ingin membelikan komputer/laptop untuk anak anda yang masih SMP/SMA yang kebutuhanya misal hanya untuk program yang ringan-ringan, maka tidak perlu beli spesifikasi yang terlalu tinggi.

#3. Beli Barcode Scanner BERGARANSI

Membeli barang elektronik itu salah satu produk yang rawan rusak jika kurang berhati-hati. Namun anda perlu bernafas lebih lega jika anda membeli barcode scanner yang memberikan GARANSI.

Jangan pernah mencoba-coba untuk beli barcode scanner yang tidak bergaransi hanya karena harga yang murah.

Karena jika hanya kejar murah tapi cepat rusak, itu justru lebih boros daripada beli yang bergaransi karena jika rusak bisa diperbaiki secara gratis bahkan diganti baru jika masih dalam waktu garansi.

Untuk GARANSI juga carilah toko yang berani memberikan Garansi 1 tahun untuk barcode scanner anda.

#4. Pastikan Barcode Scanner Compatible dengan Software Perpustakaan

Terkadang ini suka diabaikan, mentang-mentang perpustakaan sudah pakai system informasi digital dan punya dana besar, kemudian langsung beli Barcode scanner asal. Jangan anda lakukan membeli barcode scanner sebelum anda tahu jika barcode scanner yang anda beli itu sudah suport dan compatible [cocok] dengan system informasi perpustakaan anda.

Misalnya, perpustakaan anda menggunakan software SLiMS, maka anda harus fahami dan pastikan lebih dahulu jika barcode scanner anda bisa berjalan ketika digunakan untuk software SLiMS.

Namun sejauh ini hampir semua jenis barcode scanner itu compatible [cocok] dengan SLiMS.

#5. Tempat Beli Barcode Scanner

Jika anda ingin beli barcode scanner yang sesuai dengan kebutuhan perpustakaan anda, Maka anda harus memilih tempat berbelanja yang terpercaya.

Saat ini di Indonesia sudah ada Toko Online yang terpercaya dan siap melayani kebutuhan Barcode Scanner untuk perpustakaan anda. Dunia Perpustakaan STORE menyediakan berbagai jenis barcode Scanner yang akan memberikan barcode scanner sesuai dengan kebutuhan anda.

Dunia Perpustakaan STORE juga memberikan GARANSI 1 tahun untuk barcode scanner yang anda beli.

Silahkan anda bisa berkunjung ke toko online Dunia Perpustakaan STORE.

Apalagi Dunia Perpustakaan STORE juga memberikan kesempatan kepada Pustaakwan yang ingin punya tambahan penghasilan dengan menjadi reseller di Dunia Perpustakaan STORE dengan keuntungan yang menjanjikan.

Silahkan anda bisa kunjungi dan hubungi Dunia Perpustakaan STORE berikut ini,

Labels:

Saturday, August 27, 2016

Finlandia Negara Literasi Terbaik di Dunia, Ini 5 Hal yang Membuat Mereka Gemar Membaca

Dunia Perpustakaan | The World’s Most Literate Nations (WMLN) telah merilis daftar panjang negara-negara dengan peringkat literasi di dunia. Pastinya hal ini sudah terdengar jelas di dunia dan masyarak Indonesia.

Penelitian ini dilakukan oleh Jhon W. Miller, Presiden Central Connecticut State University, New Britain. Hasil dari penelitian ini menempatkan Finlandia sebagai negara paling literat atau terpelajar di dunia.

Sementara Indonesia mesti bersabar karena masih menduduki peringkat ke-61, satu kursi lebih tinggi dari Botswana. Walau begitu, kita masih bisa berbenah dan belajar banyak dari Finlandia, yang sistem pendidikannya ini memang diakui merupakan salah satu yang terbaik di dunia.

Dengan lingkungan yang mereka dapatkan sejak kecil hingga dewasa. Dikutip dari hipwee.com, inilah mengapa orang-orang Finlandia bisa segitunya gemar membaca.

5 Hal yang Membuat Finlandia jadi Negara Literasi Terbaik di Dunia

#1. Sekolah baru dimulai pada usia tujuh tahun. Budaya baca didorong turun-temurun

Sekolah di Finlandia menjadi tempat paling menyenangkan untuk anak-anak. Setiap anak merasa bahagia karena guru selalu memberikan apresiasi ke setiap anak dan menannamkan kepercayaan diri kepada anak bahwa setiap anak pasti punya kelebihan masing-masing. | gambar: uniarts.fi
Anak-anak baru mulai bersekolah ketika mereka berumur tujuh tahun atau setelahnya. Guru-guru sekolah adalah lulusan master dengan kompetensi yang sudah teruji.

Alih-alih berfokus pada tes dan nilai, sistem pendidikan di Finlandia lebih menekankan pembelajaran dengan metode bermain, berimajinasi, dan self-discovery.

Mereka lebih menekankan kolaborasi daripada kompetisi.

Setelah bersekolah, setiap anak diwajibkan belajar bahasa Inggris dan membaca satu buku setiap minggu.

Alih-alih menjadi beban pelajaran kelas semata, sistem pendidikan seperti ini membantu budaya baca tumbuh jadi kultur masyarakat Finlandia.

#2. Perpustakaan ada di mana-mana, tidak ada alasan untuk tidak sempat membaca

Setiasp sudut kota hingga di desa, sangat mudah menemukan perpustakaan yang nyaman dan fasilitas yang lengkap. | gambar: flickr
Boleh dibilang, perpustakaan adalah institusi budaya yang jadi kebanggaan orang-orang Finlandia. Setiap tahun, jumlah buku yang dipinjam dari perpustakaan umum selalu tinggi.

Finlandia menerbitkan lebih banyak buku anak-anak daripada negara lainnya, sehingga stok buku-buku baru yang sesuai dengan rentang usia selalu tersedia.

Petugas perpustakaan yang bertugas di sana merupakan lulusan terdidik yang dengan senang hati menjadi referensi tambahan bagi tamu yang ingin bertanya.

Selain ada perpustakaan keliling untuk daerah yang sulit dijangkau, Finlandia juga tak asing dengan perpustakaan yang menyatu dengan mall. Ibu-ibu yang sedang berbelanja bisa meninggalkan anaknya di perpustakaan untuk membaca.

#3. Ada maternity package yang diberikan kepada orang tua yang baru memiliki bayi. Termasuk di dalamnya buku-buku

Setiap orang tua yang baru punya bayi akan mendapatkan maternity package seperti ini, yang diantaranya disertai dengan buku. Keren banget bukan?! | gambar: www.foreigner.fi
Pemerintah Finlandia benar-benar mendukung pendidikan anak sejak dini. Keluarga jadi gerbang pendidikan awal untuk anak, terutama dalam tahap belajar dalam usia dini. Oleh karena itu, setiap keluarga yang baru memiliki bayi berhak mendapatkan bingkisan paket perkembangan anak. Isinya adalah berbagai keperluan bayi seperti pakaian bayi, mainan, juga buku bacaan untuk ibu, ayah, dan bayi itu sendiri.

#4. Dongeng sebelum tidur jadi tradisi penting dalam keluarga

Sebelum tidur, anak-anak dibacakan buku cerita oleh orang tuanya sehingga menanamkan sugesti dan tertanam dalam memory anak bahwa membaca buku sudah jadi tradisi, budaya, dan kebiasaan yang dilakukan setiap harinya. | gambar: mother.ly
Kultur bercerita sudah jadi tradisi orang-orang Finlandia dari masa ke masa. Dongeng folk dan mitologi Finlandia diceritakan untuk membentuk karakter anak, misalnya memperkenalkan dengan hal-hal yang baik dan buruk, menghormati orang tua, dan menghargai sesama.

Lewat tradisi bercerita ini, minat baca terpupuk sejak dini. Selain itu, keaktifan orang tua sebagai penunjang belajar anak pun dapat terus berjalan. Tradisi inilah yang membuat minat baca dalam keluarga menjadi berkembang.

#5. Program TV yang berasal dari luar tidak dialihsuarakan, hanya diberi teks terjemahan

Dengan adanya translate dalam setiap film asing, akan memaksa untuk membaca text. | gambar: YouTube
Dubbing atau alihsuara untuk program-program asing bagi kita mungkin sudah jadi hal biasa. Lain halnya di Finlandia. Mereka lebih memilih mencantumkan subtitles atau teks terjemahan di tayangan asing yang tampil di TV.

Tujuannya adalah meningkatkan kebiasaan membaca pada anak. Jika mereka ingin mengetahui kelanjutan kisah superhero favorit mereka, tentunya mereka harus bisa membaca dengan cepat.

Finlandia memang sudah membuktikan hasil dari revolusi pendidikannya. Generasi cerdas dan terpelajar yang lahir dari minat baca yang tinggi, memang patut diacungi jempol. Tentu saja ini adalah hasil dari proses yang sangat panjang, dengan keterlibatan banyak pihak yang saling berkolaborasi.

Kalau Indonesia saat ini masih di peringkat dua dari bawah, tidak perlu berkecil hati. Masih banyak hal yang bisa kita contoh serta kita terapkan sesuai dengan kesesuaian budaya kita. Semoga generasi kita dan seterusnya mulai tergerak untuk lebih giat membaca, belajar dari Finlandia.

VERSI VIDEO


Labels:

Literasi dan Kehidupan Masyarakat

Dunia Perpustakaan | Bicara literasi dan kehidupan masyarakat, khususnya di Indoensia ini cukup unik.

Unik dikarenakan masyarakat kita untuk urusan eksis di sosial media jadi juara satu, namun kalau untuk urusan budaya baca, masih berada di urutan bawah.

Ada ulasan menarik terkait dengan Literasi dan Kehidupan Masyarakat, sebagaimana tulisan yang kami kutip dari sekolahguruindonesia.net berikut ini;

ilustrasi
Negara Indonesia menempati urutan bawah dalam literasi dunia. Hal ini disebabkan karena budaya literasi masyarakatnya masih sangat rendah. Sejak 16 tahun silam, Indonesia telah ikut dalam proyek penelitian dunia untuk mengukur literasi membaca, matematika dan ilmu pengetahuan alam.

Dari proyek penelitian dunia tersebut, terbukti memang Indonesia merupakan negara yang kurang daya bacanya dalam literacy purpose. Kebanyakan orang Indonesia membaca atas dasar information purpose (Aulia, 2014). 

Literasi adalah kemampuan hidup (life skill). Oleh karena itu, literasi merupakan kebutuhan hidup masyarakat maju. Tentu saja rendahnya literasi seseorang menghambat kemajuan hidup suatu bangsa.

Berdasarkan konteks penggunaannya Baynham (1995) menyatakan bahwa literasi merupakan integrasi keterampilan menyimak, berbicara, menulis, membaca, dan berpikir kritis. Maka hal itu terkait dengan kemampuan bahasa seseorang. 

Bahasa itu sendiri sangat erat dan tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan budaya. Kehidupan yang bermutu tentulah hidup yang memiliki budaya literasi yang baik.

Tingginya tingkat literasi seseorang akan menjadikan orang tersebut mampu melakukan fungsi-fungsinya di dalam kehidupan. Hal itu terlihat dari kemampuan seseorang dalam berbicara, memahami sebuah informasi dengan baik sehingga pada akhirnya mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di dalam hidup. 

Dengan demikian berarti seseorang belajar mengembangkan potensi-potensi dalam dirinya untuk mencapai tujuan hidup.

Setiap orang adalah makhluk sosial. Makhluk sosial memerlukan keterampilan berbahasa dalam melakukan fungsinya di dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu, kemampuan literasi sangat penting menjadi bekal diterimanya seseorang di dalam wadah masyarakat itu sendiri. Tingginya tingkat literasi seseorang terlihat dari sejauh mana keluwesannya dalam berinteraksi dan bekerja sama di dalam lembaga-lembaga sosial yang ada di masyarakat.

Peran literasi di dunia pendidikan juga sangat besar. Semakin tinggi tingkat literasi pelajar maka akan semakin tinggi pula tingkat mutu pendidikannya. Hal ini terlihat dari perbedaan siswa yang di dalam kelasnya hanya mendapatkan pembelajaran lewat metode ceramah dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui metode problem solving, diskusi atau praktik langsung.

Misalnya, ketika guru hanya mengajarkan apa itu pidato, seperti apa susunan dan bagaimana teknik-teknik yang baik dalam berpidato melalui ceramah saja tentu akan berbeda jika guru mengajak siswa mengalami langsung seperti apa dan bagaimana berpidato di depan kelas. Literasi siswa yang dibimbing untuk praktik langsung jauh lebih baik dibandingkan dengan siswa yang hanya mendapatkan ilmu secara teoritis saja.

Siswa yang praktik langsung mengalami proses menyimak, membaca, menulis, berbicara dan berpikir kritis. Hal ini sejalan dengan ungkapan Magnessen (dalam Silberman, 1996) bahwa “Kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.”

Kemampuan literasi dalam hal ini dapat diartikan juga sebagai proses membaca. Membaca yang dimaksud adalah membaca dalam konteks yang sangat luas yaitu iqra’.

Membaca untuk memahami, membaca untuk menganalisis lingkungan dan masalah sekitar untuk kemudian dapat digunakan sebagai bahan untuk memecahkan sebuah masalah kehidupan. Hal ini juga dipertegas dengan sabda Rasulullah SAW : “Siapa saja yang menginginkan sukses di dunia, maka raihlah dengan ilmu.

Siapa saja yang menginginkan sukses di akhirat, maka raihlah dengan ilmu. Dan siapa saja yang menginginkan sukses di dunia dan akhirat, maka raihlah keduanya dengan ilmu.”

Melihat kenyataan yang ada bahwa masyarakat Indonesia memiliki tingkat literasi yang masih rendah maka diperlukan sebuah perubahan. Perubahan di sini dapat kita mulai dari dimensi pendidikan. Seperti dengan membangun budaya literasi di sekolah-sekolah yang ada di negeri ini. Misalnya dengan membiasakan anak-anak didik terampil membaca setiap harinya hingga memasukkan literasi karakter ke dalam kurikulum tersembunyi sebuah sekolah.

Labels:

Friday, August 26, 2016

Pustakawan Bukan Penjaga Buku

Dunia Perpustakaan | Ketika mendengar kata "pustakawan", Bayangan kita akan langsung tertuju pada seseorang yang duduk di dekat rak-rak buk

u di perpustakaan, mencatat peminjaman/pengembalian buku, dan merapikan koleksi buku di rak. Hanya itu kah pekerjaan seorang pustakawan?.

Wah jika hanya itu, asal bisa membaca dan menulis saja sudah bisa menjadi pustakawan, tak perlu sekolah tinggi, lulus SD pun bisa. Pekerjaan seorang pustakawan tak sesederhana itu dan tak semudah yang kita bayangkan. Banyak hal yang harus dikerjakan seorang pustakawan yang tak banyak diketahui oleh pemustaka atau masyarakat awam.


Buku-buku yang dipajang di rak itu, sebelumnya telah melalui proses pengolahan bahan pustaka. Secara lebih rinci, hal-hal yang harus dilakukan dan disiapkan seorang pustakawan, antara lain:

A. Pengelolaan Bahan Pustaka, yang terdiri dari:
  1. Penyortiran buku
  2. pengklasivikasian buku
  3. Pengkatalogan
  4. Penginventarisan buku
B. Menyiapkan kelengkapan administrasi, yang terdiri dari:
  1. Buku anggota
  2. Buku Tamu
  3. Buku peminjaman
  4. Buku pengembalian
  5. Buku inventaris
C. Perawatan

Seorang pustakawan bertanggung jawab atas semua koleksi. Buku-buku yang rusak harus diperbaiki. Seperti menjilid kembali buku yang rusak, atau lepas dari rekatannya. Sehingga seorang pustakawan harus memiliki keterampilan menjikid buku, dll.

D. Pelaporan

Segala aktivitas, seperti jumlah koleksi, jumlah pengunjung, jumlah pemnjam, dll. harus dilaporkan kepada atasan secara berkala.

Nah demikian kurang lebih, garis besar tugas seorang pustakawan. Jadi pustakawan itu bukan hanya sebagai penjaga buku. Jadi, jangan sepelekan seorang pustakawan.

Tanpa pustakawan andal, sulit berharap jendela ilmu pengetahuan terbuka lebar bagi bangsa ini.

Penulis: Jhon Frisna Yana [sumber: kompasiana.com]

Labels:

Perpustakaan Perlu Sebuah Gerakan dan Gebrakan Agar Dikenal Masyarakat

Dunia Perpustakaan | Hari Kamis (25/8) pagi, sekitar pukul 08.00 WIB, aula terbuka di kompleks kantor Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Kabupaten Sukoharjo  terlihat regeng dan gayeng.

Kursi-kursi tertata dengan rapi, dan sebagian sudah diduduki para siswa berseragam batik warna merah. Sementara itu beberapa petugas terlihat menyelesaikan pekerjaan dan sebagian lagi mencoba-coba suara sound system.

Suasana saat itu benar-benar terasa hidup. Maklum, saat itu tengah digelar seminar jurnalistik, sekaligus pengumuman pemenang lomba menulis cerpen dan lomba penulisan ilmiah populer.

Namun ada sesuatu yang terasa unik. Setelah semua peserta datang, acara diawali dengan melakukan aksi “unjuk rasa” di persimpangan tugu Adipura, tak jauh dari tempat itu.

Seluruh karyawan perpustakaan dan para siswa berjalan bersama-sama sembari meneriakkan yel-yel “ayo berkunjung ke Perpus”. Lalu saat lampu menyala merah, beberapa karyawan berdiri menghadap para pengguna jalan sembari memegangi spanduk berisi ajakan untuk ke perpustakaan.

Pada saat yang sama, para siswa membagi-bagikan pin ayo berkunjung ke perpustakaan kepada para pengguna sepeda motor atau mobil yang tengah berhenti.

Aksi yang berlangsung tak lebih dari 30-an menit tersebut sangat meriah dan menarik perhatian masyarakat sekitar.  Setelah pin habis dibagikan kepada pengguna jalan, rombongan pun berjalan kembali ke perpustakaan untuk mengikuti seminar.

Mengutip dari joglosemar.co, [26/08/16]. Seorang staf perpustakaan sempat bercerita, perpustakaan Sukoharjo sekarang ini memang sedang berbenah. Bukan sebatas  pembenahan  secara fisik yakni membangun aula terbuka yang bersifat multifungsi, namun juga mengubah paradigma dalam memandang sebuah perpustakaan.

Perpustakaan perlu melakukan semacam gerakan ektrem dan frontal agar dikenal oleh masyarakat. Bentuknya bisa macam-macam, salah satunya adalah yang mereka lakukan, yakni berupa  pembagian pin kepada masyarakat umum, mengajak unsur-unsur masyarakat untuk menggelar pameran atau kegiatan lainnya ke kompleks perpustakaan.

Untuk menghidupkan perpustakaan, tampaknya diperlukan sosok-sosok yang memiliki sikap peduli, yang sekaligus memiliki kemampuan untuk melakukan sebuah gerakan.  Dan Perpustakaan Sukoharjo telah memiliki beberapa syarat tersebut.

Kiranya, apa yang dilakukan oleh Perpustakaan di Sukoharjo tersebut dapat menjadi contoh dan inspirasi bagi perpustakaan daerah yang lain. Di zaman sekarang, di mana tantangan untuk meningkatkan minat baca semakin berat, Perpustakaan dituntut untuk semakin dinamis mengikuti perkembangan zaman.

Bukan saatnya lagi perpustakaan bersikap pasif dan menunggu pengunjung datang. Jika masih menggunakan paradigma lama dan pola konvensional seperti itu, cepat atau lambat perpustakaan bakal menjadi gedung kosong tanpa makna.

Kita tahu, salah satu tantangan berat perpustakaan adalah perkembangan teknologi informasi, baik berupa internet, gadget dan semacamnya. Ketika budaya baca di kalangan anak-anak belum terbangun, mereka telah dihadapkan dengan “kotak sakti”  yang kecil dan mudah dibawa ke mana-mana.

Budaya membaca buku telah beralih menjadi budaya baca status. Demikian pula, budaya menulis yang belum terbangun dengan baik,  telah berbelok  menjadi budaya menulis status di grup-grup media sosial (Medsos).

Karena itu, saatnya Perpustakaan bersikap aktif dan kreatif untuk menarik perhatian masyarakat, dan menjaring pengunjung-pengunjung baru. Ini bukan untuk siapa-siapa selain demi masyarakat sendiri.

Labels:

Thursday, August 25, 2016

Belajar dari Gus Dur dan Kekuatan "Membacanya"

Dunia Perpustakaan | Greg Barton penulis Gusdur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid dalam beberapa bagian bukunya menuliskan tentang kegandrungan Gus Dur membaca buku. Melalui catatan Barton kita dapat belajar betapa gemar dan cintanya Gus Dur terhadap buku.

Dikutip dari nu.or.id, [24/08/16], Kekuatan membaca Gus Dur seharusnya menginspirasi setiap santri di pesantren, para siswa secara umum yang sedang berjuang menggapai pengetahuan.

Gus Dur membaca buku jauh lebih banyak dibandingkan dengan sebayanya. Rumahnya penuh dengan buku. Apalagi Gus Dur berasal dari keluarga pencinta ilmu dan ahli ilmu. sebagai cucu dari KH Hasyim Asyari dan anak dari Kiai Wahid Hasyim tak mengherankan jika Gus Dur sudah sangat senang membaca di usianya yang sanga belia.

Gus Dur mungkin dianggaap oleh sebagian orang sebagai tokoh yang kontroversial. Namun satu yang tak mungkin kontroversi adalah kebiasaan baik Gus Dur yang dikenal sangat SUKA MEMBACA BUKU.
Ketika kuliah di Universitas Al Azhar salah satu tempat kegemarannya adalah perpustakaan. Ia terbiasa membaca di perpustakaan Universitas Amerika, Universitas Kairo, atau di perpustakaan Perancis.

Gus Dur terbiasa membaca di mana saja, apa saja, dan di mana saja, tanpa memilih tempat. Di rumah maupun di tempat menunggu bus ia membaca. Tak ada buku, potongan koranpun ia baca.

Bacaannya luas, tak sekedar kajian keagamaan. Ia membaca semua karya William Faulkner, novel-novel Ernest Hemingway, puisi Edgar Allan Poe dan John Done, Andre Gide, Kafka, Tolstoy, dan Pushkin. Ia juga membaca karya Marx dan Lenin.

Ia senang berdiskusi dengan mahasiswa dan kaum cendikiawan di kedai-kedai kopi Kota Kairo. Kedai-kedai kopi baginya merupakan sekolah untuk menyempurnakan pengetahuan Bahasa Arab juga debat-debat intelektualnya.

Ketika melanjutkan kuliahnya di Baghdad, kecintaannya terhadap buku semakin terakomodir. Apalagi di Universitas Baghdad mahasiswa diharapkan untuk berpikir kritis dan banyak membaca.

Semangat membaca Gus Dur memang luar biasa. Ia membaca bahkan sampai larut malam. Sehingga seringkali ia harus terkantuk-kantuk ketika kuliah. Di tengah padatnya aktivitas ia masih mengatur jadwal membacanya. Setiap sore ia sudah di perpustakaan universitas untuk membaca.

Selain pembaca yang tangguh, Gus Dur juga merupakan penulis yang sangat produktif. Sejak mahasiswa ia menulis esai untuk beragam majalah maupun surat kabar. Karya-karya tersebar luas dan dapat kita nikmati hingga saat ini.

Belajar dari Gus Dur

Kita tentu saja dapat banyak belajar dari seorang Gus Dur. Keteguhannya mencintai bangsa ini, membela mereka yang terpinggirkan tentu tak usah diragukan lagi. Aspek yang sering dilupakan adalah bagaimana kemampuan Gus Dur dalam membaca dan mengkaji beragam perspektif keilmuan. Membaca sebanyak-banyaknya buku yang tentu saja akan membuka kekayaan perspektif dalam memandang persoalan.

Keluwesan berpikirnya didukung oleh tradisi kuatnya membaca beragam buku. Ketika mahasiswa ia tak pernah memikirkan berapa uang yang yang ia miliki. Ia selalu memiliki uang yang cukup. Apalagi ia sudah menjadi salah satu kolumnis yang karyanya tersebar di berbagi media. Ia juga sudah aktif bekerja untuk kedutaan ataupun lembaga lainnya yang memanfaatkan kemampuan berbahasa arabnya yang sangat bagus.

Seperti yang dikisahkan oleh Barton, yang ada di benak Gus Dur adalah bagaimana ia memiliki uang untuk membeli buku dan menonton film. Lucunya, untuk mengelola keuangan ia serahkan kepada sahabat karibnya, Mahfudz Ridwan, mahasiswa asal Salatiga. Bahkan uang tersebut kadang digunakan Mahfudz untuk membantu mahasiwa lain yang kekurangan dana. Ia tak pernah memperdulikan uang, baginya yang penting ketika hendak membeli buku uang tersebut harus ada.

Gus Dur juga menunjukan kepada kita betapa ia memiliki pikiran terbuka dan ide-ide besar karena gemarnya ia melahap segala jenis bacaan. Seperti tokoh pendiri bangsa, Gus Dur sangat haus terhadap bahan bacaan.

Catatan menarik diungkap Najwa Shihab dalam tulisannya di Kompas (18/8), Menikam Kolonialisme dan Merdeka dengan Buku. Pada salah satu bagian ia menulis bahwa para tokoh bangsa merupakan orang-orang dengan pikiran terbuka dengan kepala penuh ide-ide besar yang membaca karya-karya besar dari berbagai belahan dunia.

Catatan ini patut direnungkan bersama. Apalagi saat ini kita cenderung malas untuk membaca. Sehingga mudah untuk menuduh dan menghakimi mereka yang berbeda ideologi, keyakinan keagamaan, madzhab, kelas sosial, bahkan beda jamaah pengajian. Malas membaca akut menjaringi beragam kalangan masyarakat.

Kita lebih gemar membaca status, cuitan, broadcast di media sosial dibanding membaca Al-Quran, kitab-kita karya ulama, maupun buku-buku karya penulis-penulis besar. Kita gemar menulis pesan-pesan penuh kebencian dibanding menuliskan kisah-kisah inspiratif penuh makna. Juga menyebarkan pesan-pesan penuh hasutan tanpa berpikir dan menakar serta mencari tahu kebenaraan akan pesan tersebut.

Kita malas mendiskusikan dan mendialogkan buku-buku tebal karena dianggap tak praktis dan membuang waktu saja. Mendiskusikan beragam hal dengan basis keyakinan diri semata bukan pada kematangan berpikir hasil membaca. Padahal ayat Al-Quran pertama yang turun memerintahkan kita untuk iqra, baca!

Tak heran jika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kemudian mendeklarasikan Gerakan Literasi Sekolah untuk membudayakan tradisi membaca dan menulis.  Dari data UNESCO tahun 2012 misalnya menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 yang berarti dari setiap 1.000 penduduk hanya satu orang yang berminat membaca. Data tersebut sungguh memprihatinkan

Melalui Gus Dur kita belajar agar tak selalu puas membaca dan belajar. Gus Dur mengajarkan kepada kita betapa pentingnya seseorang harus aktif membaca. Membaca beragam genre buku, beragam perspektif, dan belajar dari kehidupan. Tidak hanya terpaku pada ruang-ruang kelas yang formil. Gus Dur, seorang otodidak yang memberikan banyak pembelajaran bagi kita agar terus memperbahrui pemahaman atas beragam hal, tanpa pernah berhenti

Labels: ,

Di Era Digital, Risma Tetap Ajak Warganya Gemar Membaca Buku

Di Era Digital, Risma Tetap Ajak Warganya Gemar Membaca Buku.


Dunia Perpustakaan | Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tetap mendorong warganya untuk tidak meninggalkan budaya membaca buku di era teknologi digital ini.
Karena itu, dia mengaku selalu memerintahkan Badan Perpustakan dan Kearsipan untuk terus menggalakkan budaya membaca di masyarakat, khususnya kepada anak-anak.

"Sebab, literasi akan sangat penting dalam mendukung imajinasi dan kreativitas anak," kata Risma saat meluncurkan "Surabaya Akseliterasi", [8/16].

Yang terjadi saat ini, menurut dia, berbalik. Anak lebih kenal dengan teknologi daripada budaya membaca.

Dikutip dari kompas.com, [24/08/16]. "Harusnya anak-anak dikenalkan dengan budaya literasi lebih dahulu, baru kemudian bersentuhan dengan teknologi," jelasnya.

Menurut Risma, kebiasaan membaca memiliki beberapa pengaruh positif dalam membentuk karakter anak. Dengan membaca, anak-anak akan terlatih imajinasinya.

"Dengan membaca buku dan berimajinasi, anak-anak akan bisa berpikir kreatif. Ini yang penting. Sebab, kita harus membangun sumber daya manusia yang bisa survive di kondisi apapun,” jelasnya.

Untuk mendukung budaya literasi, sejak enam tahun terakhir, dibangun lebih 1.000 perpustakaan dan taman baca yang tersebar di perkampungan, sekolah, taman kota, pondok pesantren, hingga berbentuk mobil keliling.

Dalam program Surabaya Akseliterasi, digelar sejumlah kegiatan antara lain lomba kampung literasi, lomba orangtua peduli pendidikan anak, lomba pustakawan berprestasi dan fasilitator literasi.

Labels:

Wednesday, August 24, 2016

Tingkatkan Kualitas Pengelolaan Perpustakaan Sekolah

Tingkatkan Kualitas Pengelolaan Perpustakaan Sekolah.


Dunia Perpustakaan | Dalam pengembangan era digital, Dinas Pendidikan (Disdik) Berau terus berinovasi dengan melatih tenaga perpustakaan tingkat Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan. Untuk itu Disdik menggelar pendidikan dan pelatihan (diklat) pengelolaan perpustakaan sekolah.

Kegiatan yang diselenggarakan sejak Senin (22/8) hingga 27 Agustus di Kantor Disdik lantai dua, Jalan dr Murjani I, dilakukan demi mengembangkan mutu dan kualitas program pendidikan.

Kepala Disdik Berau, Susila Harjaka dalam sambutannya menerangkan, diklat ini diharapkan mampu mengubah sistem pengelolaan perpustakaan di sekolah. Pada kesempatan ini, Susila Harjaka juga meminta maaf karena masih banyak sekolah yang belum memiliki ruang perpustakaan. Sehingga memanfaatkan ruang lain seperti kelas maupun kantor guru dengan member sekat.

”Buat sekolah yang belum memiliki ruang perpustakaan sendiri dimohon dapat bersabar,” ujarnya kepada Berau Post, kemarin (23/8).

Walaupun tidak memiliki ruang perpustakaan, Harjaka-sapaan akrabnya- yakin buku-buku tersusun dengan rapi dan layak baca sehingga memunculkan minat baca yang tinggi bagi siswanya.

Dikutip dari prokal.co, [24/08/16]. ”Tujuannya nanti adalah perpustakaan itu tidak perlu tumpukan buku yang banyak, tetapi sudah dapat menggunakan sistem digital meskipun ruangnya sedikit tapi akses untuk perpustakaan akan lebih luas” jelasnya.

Tujuan dari diklat ini juga untuk memaksimalkan pengelolaan perpustakaan. Baik yang berukuran kecil maupun besar dan paling penting, ditata dengan baik. Sehingga dalam pelaksanaannya berjalan efisien dan efektif.

Selain itu, dia juga mengatakan perpustakaan sekolah seyogyanya menjadi pusat perhatian. Sehingga siswa pun tertarik dan memanfaatkannya sebagai tempat berkumpul dan belajar selain membaca. Ini dilakukan demi mewujudkan perpustakaan sebagai sumber belajar.

”Dari kegiatan ini diharapkan semua peserta mampu mengelola perpustakaan sesuai dengan standar dan bisa diimplementasikan di sekolah masing-masing. Selain itu, kegiatan ini mampu dimanfaatkan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman antar pengelola perpustakaan sekolah,” tandasnya.

Labels:

Ketika Gerakan Budaya Membaca Berhadapan dengan Tentara

Ketika Gerakan Budaya Membaca Berhadapan dengan Tentara.


Dunia Perpustakaan | Entah apa yang ada di kepala aparat Kodam Siliwangi Jawa Barat, Sabtu (8/16). Sejumlah anak-anak yang sedang berkumpul di perpustakaan jalanan yang ada di Taman Cikapayang Dago, Kota Bandung, tiba-tiba dibubarkan aparat berseragam loreng itu.

Komunitas perpustakaan jalanan itu menyebut pembubaran dilakukan sekitar pukul 23.00. Mereka memperkirakan saat itu terdapat kurang lebih 50 tentara. "Mereka membawa senjata api dan pentungan rotan. Turun dari kendaraan, mereka membubarkan kerumunan orang di Taman Cikapayang sambil berteriak dan membentak dengan kasar," tulis Indra, pegiat Perpustakaan Jalanan.

Pembubaran ini cukup mengejutkan. Sebab, gerakan gemar membaca ini baru saja diresmikan Walikota Bandung Ridwan Kamil, Kamis (8/16). Peresmian gerakan ini berawal dari keprihatinan Kang Emil demikian Pak Walikota Bandung itu biasa disapa akan rendahnya tingkat literasi/membaca orang Indonesia. `

Data yang dikeluarkan UNESCO pada 2012, seperti dikutip femina.co.id menyebut, indeks membaca orang Indonesia hanyalah 0,001. Artinya, dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang mau membaca buku dengan serius. Dengan rasio ini, berarti di antara 250 juta penduduk Indonesia, hanya 250.000 yang punya minat baca. Ini terbalik dengan jumlah pengguna internet di Indonesia yang mencapai 88,1 juta pada 2014.

Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia menempati urutan ketiga terbawah bersama Kamboja dan Laos. Penelitian UNESCO mengenai minat baca pada tahun 2014, menyebut anak-anak Indonesia membaca hanya 27 halaman buku dalam satu tahun.

Pemeringkatan terbaru, menurut data World's Most Literate Nations, yang disusun oleh Central Connecticut State University tahun 2016, peringkat literasi Indonesia berada di posisi kedua terbawah dari 61 negara yang diteliti.

Di peringkat itu, Indonesia hanya lebih baik dari Bostwana, negara di kawasan selatan Afrika. Fakta ini didasarkan pada studi deskriptif dengan menguji sejumlah aspek. Antara lain, mencakup lima kategori, yaitu, perpustakaan, koran, input sistem pendidikan, output sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer.

Fakta ini sesuai dengan survei tiga tahunan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai minat membaca dan menonton anak-anak Indonesia yang dilakukan pada 2012. Survei itu menyebut, hanya 17,66 persen anak-anak Indonesia yang memiliki minat baca. Sementara, yang memiliki minat menonton mencapai 91,67 persen.

Tak heran dengan peringkat buruk itu, membuat Kang Emil mengeluarkan peraturan wajib membaca, terutama bagi pelajar. "Bandung melakukan dua hal yang fundamental, kita punya Perda Literasi dan Perpustakaan, sehingga di mana-mana harus ada ruang membaca," ujar Kang Emil.

Ruang membaca itu, Ridwan mencontohkan, seperti gerobak dorong buku, mobil perpustakaan, satu taman satu perpustakaan, dan satu kelurahan satu perpustakaan.

"Jadi dengan objek yang sudah disediakan di beberapa tempat tersebut, kita wajibkan membaca 15 menit kepada seluruh anak-anak sekolah. Sehingga sebelum memulai pelajaran, mereka harus membaca buku-buku yang bukan pelajaran," katanya.
Ridwan berharap, semangat dari Bandung bisa ditularkan ke seluruh Indonesia. Namun kini harapan Ridwan tinggal harapan.

Malam itu, aparat berseragam militer dengan dalih keamanan, membubarkan aktivitas membaca yang dilakukan warga. Menurut Kepala Staf Komando Daerah Militer III/Siliwangi Brigjen TNI Wuryanto kegiatan Perpustakaan Jalanan yang beroperasi pada malam hari itu merupakan modus baru geng motor di Bandung. "Kemungkinan itu hanya sebagai modus. Dulu enggak ada Perpustakaan Jalanan. Sekarang dengan berbagai modus dan alasan, mereka (geng motor) mengatasnamakan macam-macam, termasuk perpustakaan jalanan," kata Wuryanto .

Screenshot_1

Menurut Wuryanto, jika kegiatan melapak buku gratis itu ditujukan untuk membantu masyarakat mengakses buku, seharusnya Perpustakaan Jalanan dilakukan pada siang hari.

Kapendam III Siliwangi Letkol Desi Ariyanto, menambahkan, pembubaran itu dilakukan karena pihaknya ingin menciptakan keamanan, ketertiban, dan kenyamanan masyarakat. Masyarakat, kata dia, khawatir dengan maraknya aksi kriminalitas yang dilakukan geng motor. Karenanya, pihaknya pun rajin melakukan patroli keliling. Ariyanto mengklaim, "Kodam III Siliwangi punya kemampuan untuk mencegah tindakan itu (kejahatan). Masyarakat saat ini senang serta berterima kasih.

Khusus Kota Bandung, kata Ariyanto, pihaknya menjalin kesepakatan dengan Pemda, dan Kepolisian tentang aturan batas waktu malam bagi komunitas motor. Mereka dibatasi waktu maksimal berkumpul hingga jam 22.00. "Bila ada yang melaksanakan kegiatan lebih dari jam tersebut (pukul 22.00), maka akan dibubarkan," ujar Ariyanto.

Tak hanya komunitas motor, komunitas atau kelompok lain yang kedapatan nongkrong larut malam juga tak akan luput jadi sasaran penertiban.

Anehnya, pernyataan aparat Kodam ini berbeda dengan Kepolisian Daerah Jawa Barat. Menurut Kepala Bidang Humas Polda Jabar Komisaris Besar Yusri Yunus, pihaknya tidak pernah melarang aktivitas warga Bandung di malam hari. "Kalau ada tindak pidana di situ, kami akan lakukan proses hukum. Tapi kalau orang kumpul saja, itu bukan kriminal, masa kami tindak," katanya.

Pembubaran aktivitas itu juga cukup mengejutkan Kang Emil dan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar.

Deddy menilai tindakan aparat Kodam Siliwangi itu tidak didasarkan pada alasan yang jelas. "Kenapa membaca malam hari enggak boleh? Kalau alasannya keamanan, bisa. Tapi perpustakaan yang mengajak orang membaca malam hari enggak boleh? Aneh kan," ujarnya.

Senada dengan Deddy, Kang Emil juga menyesalkan tindakan yang dilakukan aparat TNI itu. "Tidak menyalahkan siapa-siapa, hanya menyesalkan saja. Kami justru lagi giatkan budaya literasi, 15 menit membaca sebelum sekolah," ujar Emil.

Kini, pihaknya akan mencari solusi bagaimana komunitas-komunitas, khususnya Perpustakaan Jalanan, ini bisa leluasa menggelar atau menjalankan misinya untuk membudayakan membaca.

Sumber: beritagar.id

Labels:

Kumpulan Rak Buku Modern dan Elegant untuk Perpustakaan Pribadi di Rumah

Kumpulan Rak Buku Modern dan Elegant untuk Perpustakaan Pribadi di Rumah.


Dunia Perpustakaan | Rak Buku untuk Perpustakaan Pribadi di Rumah | Coba anda lihat orang-orang cerdas, pandai dan sukses di penjuru bumi, bisa dipastikan di dalam rumahnya pasti ada rak buku yang berfungsi untuk menyimpan buku-buku terbaik mereka.

Ya, buku oleh orang-orang sukses selalu dianggap sebagai penopang mereka untuk bisa menjadi sukses.

Bahkan tidak sedikit kisah orang-orang besar yang meraih sukses karena adanya peran buku yang mereka baca.

Namun buku-buku yang sebaik apapun, kalau tidak diletakan pada rak buku yang baik, maka dilihat tidak akan terlihat baik.

Buku dan rak memang tidak bisa dipisahkan, buku akan semakin indah dan menawan jika diletakan pada sebuah rak buku yang baik dan indah pula.

Tentunya fungsi rak buku tidak hanya untuk sebagai pemanis ruangan semata, yang terpenting dari itu tentunya dengan adanya rak buku, maka buku-buku terbaik kita bisa kita letakan pada tempat yang tepat.

Terkadang kami bermimpi, Jika Bill Gates pernah bermimpi di setiap rumah ada produk "Windowsnya", maka kami bermimpi seandainya di setiap rumah ada rak buku yang menyimpan buku-buku masyarakat Indonesia, tentunya itu sebuah kabar yang sangat baik.

Jika setiap rumah sudah sadar diri untuk menyediakan rak buku lengkap dengan buku-bukunya, maka itu artinya diharapkan kesadaran pentingnya membaca buku sudah menjadi budaya di setiap keluarga di Indonesia.

Untuk membantu anda agar bisa memiliki rak-rak buku modern yang elegant untuk dipasang di rumah/kamar anda, berikut ini kami memberikan referensi beberapa model rak buku untuk perpustakaan pribadi anda di rumah.

Jika anda tertarik, silahkan hubungi Dunia Perpustakaan STORE untuk mendapatkan harga murah dan berkwalitas.

Berikut ini merupakan daftar katalog rak buku untuk perpustakaan pribadi di rumah anda.

[gallery columns="2" link="none" size="medium" ids="2075,2077,2078,2079,2080,2081,2082,2083"]

Silahkan Kunjungi Dunia Perpustakaan STORE DISINI untuk menemukan banyak pilihan yang lainya.

Jika anda tertarik untuk membeli dan memiliki rak-rak buku tersebut diatas, silahkan hubungi kami di Dunia Perpustakaan STORE

Labels:

Tuesday, August 23, 2016

Taman Baca Linksos Kids, Tingkatkan Kepedulian Sosial Anak

Taman Baca Linksos Kids, Tingkatkan Kepedulian Sosial Anak.


Dunia Perpustakaan | Perkembangan teknologi modern yang semakin pesat tentunya  memberikan dampak kepada masyarakat akan ketergantungan dari kemajuan teknologi tersebut.

Khususnya untuk anak-anak, sekarang sudah dicandui dengan permainan gadget yang canggih. Kecanduan ini, dikhawatirkan generasi penerus di masa yang akan datang, rasa kepedulian sosialnya luntur.

Melihat problema seperti itu, sejumlah aktivis Lingkar Sosial mendirikan taman baca bagi anak-anak yang berlokasi di Jalan Pisang Kipas C5 No.22, Perumahan Bedali Indah, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang.

Pengiat ini, berbekal sejumlah buku bacaan anak-anak dan tikar. Mereka mengajak anak-anak untuk meninggalkan bermain gadget, mereka sejenak diberi wawasan dengan membaca.

“Kami sering melihat anak-anak sibuk (kecanduan) bermain gadget. Akibatnya nanti mereka akan mengabaikan lingkungannya, kurang bersosialisasi sesama anak-anak,” ungkap Ketua Linksos Kids, Kertaning Tyas.

Dikutip dari jatimtimes.com, [22/08/16]. Dia menjelaskan, taman baca anak Linksos Kids merupakan salah satu wadah kegiatan Linksos untuk meningkatkan minat baca khususnya bagi anak-anak.

''Keberadaan taman baca ini, dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pudarnya dunia anak yang terenggut oleh kemajuan teknologi,'' jelasnya.

Pendirian taman baca ini, bermaksud mencoba mengalihkan perhatian para anak-anak melalui buku-buku bacaan anak. Dan respon mereka, ternyata luar biasa. Anak-anak ternyata senang membaca, bahkan mereka mengajak teman-teman lainnya

“Kebutuhan membaca anak itu perlu digiatkan, terutama bacaan-bacaan cerita, komik, fabel yang mengkisahkan dunia bermain anak, lingkungan hidup, satwa dan lainnya yang mengandung pengetahuan dan pesan-pesan budi pekerti,” katanya.

Diterangkan dia, sejak Desember 2015 lalu, taman baca anak Linksos Kids didirikan, peningkatan minat anak-anak bertambah.

Meski begitu, diakui, bahwa aktivitas taman baca ini belum banyak meningkat. Ini disebabkan ketersediaan buku masih terbatas. Buku-buku habis dibaca terutama oleh anak-anak yang sudah pintar membaca.

''Kini yang aktif tinggal anak-anak yang belum bisa atau masih belajar membaca. Sesekali, aktivitas anak-anak ini juga diselingi dengan menggambar dan mewarnai, serta bermain dengan sesama anak-anak,'' tuturnya.

Untuk itu, peran masyarakat dalam mendukung tumbuhnya minat baca bagi anak-anak sekitar sangat dibutuhkan.

“Karena mereka sangat antusias. Bagi yang sering membaca disini, banyak sekali yang meminta judul buku baru untuk mereka baca lagi. Semoga ke depan, persediaan buku, terutama buku anak-anak, terus bertambah. Itu menjadi target jangka pendek kami,” tegasnya.

Untuk target jangka menengah, Taman Baca Linksos Kids ingin mengampanyekan baca buku di tempat-tempat publik, seperti tempat wisata dan taman kota.

“Jangka panjangnya dari kampanye yang terus menerus dan berkelanjutan, masyarakat akan sadar buku sehingga tidak tertutup kemungkinan setiap rumah akan punya perpustakaan bagi keluarganya,” ujarnya.

Labels:

Monday, August 22, 2016

Rangsang Kreatifitas Anak dengan Membaca

Dunia Perpustakaan | Semua orangtua, tentunya mengaharapkan anak dapat tumbuh cerdas dan kreatif. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan membudayakan membaca pada anak. Karena menurut saya sendiri, membaca merupakan senjata perang untuk melawan kebodohan.


Di era digital dan modernisasi seperti sekarang ini, semua dapat dimudahkan dengan adanya teknologi. Perkembangan teknologi tersebut dapat dikatakan semakin menenggelamkan budaya membaca pada anak-anak.

Dengan membaca, tingkat kecerdasan, kreatif, dan daya imajinasi anak-anak akan semakin terasah. Dengan demikian, orang tua yang menginginkan sang buah hati tumbuh pintar dan kreatif, biasakanlah budaya membaca pada anak sejak dini.


Kebiasaan tersebut dapat Anda mulai sejak anak masih bayi. Dilansir dari berbagai sumber [22/8/16], membacakan buku kepada bayi dapat membangun koneksi sel otak yang berharga dan terus bertahan di sepanjang hidupnya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan di University of Chicago.

Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa anak-anak usia balita yang sering mendengar orangtua membacakan buku menjelang tidur, tumbuh dengan kemampuan baca yang baik saat mulai usia sekolah.

Mendengarkan orangtua membacakan buku cerita akan merangsang imajinasi kreatif anak mengenai tokoh-tokoh dalam dongeng, mengembangkan jalan cerita, dan menggambar. Dari hal itu, akan tercipta gagasan pada pemikiran anak bahwa buku merupakan sumber informasi.

Berikut beberapa ide untuk orangtua dalam mengembangkan minat baca dan daya kreativitas anak sedari kecil:
  1. Sering membaca buku depan anak agar mereka mencontoh kebiasaan baik ini hingga usia dewasa.
  2. Isi lemari buku anak dengan banyak bacaan bermutu.
  3. Kunjungi perpustakaan ataupun toko buku dengan anak di akhir pekan.
  4. Ciptakan sudut atau ruang membaca untuk anak agar mereka merasa nyaman sewaktu menikmati buku favorit.
  5. Biasakan sesi diskusi setelah membaca buku untuk membahas jalan cerita dan apa yang menjadi kesimpulan anak.

Labels:

Kompetensi Petugas Perpustakaan Sekolah Perlu Ditingkatkan

ilustrasi

Dunia Perpustakaan | Kompetensi petugas perpustakaan di setiap sekolah perlu terus ditingkatkan.  Banyak hal yang bisa dilakukan dalam meningkatkan kompetensi tersebut, apalagi bila didukung dengan adanya pengalokasian anggaran.
Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas, Edy Rahardjo, mengatakan sekolah diperbolehkan untuk menggunakan sebagian dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diterima masing-masing sekolah untuk meningkatkan kapasitas kemampuan tenaga perpustakaan.

Dengan adanya kebijakan itu diharapkan pengelolaan perpustakaan sekolah menjadi lebih baik dan maju. Adapun salah satu upaya yang dapat dilakukan, di antaranya dengan mengikutkan mereka ke dalam berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan (diklat) tentang pengelolaan perpustakaan.

Mereka juga dapat melakukan studi banding ke sekolah lain yang memiliki sistem pengelolaan perpustakaan yang cukup baik. Ketika sistem pengelolaan perpustakaan sudah berjalan dengan baik, maka tidak tertutup kemungkinan akan menjadi daya tarik bagi peserta didik untuk berkunjung ke perpustakaan.

Apalagi bila hal itu didukung dengan ketersediaan koleksi buku bacaan yang memadai. Bahkan untuk pengadaan buku bacaan perpustakaan sekolah, lanjut dia, sekolah juga diperbolehkan menggunakan dana BOS setelah pengadaan buku teks pelajaran penunjang kurikulum 2013 terpenuhi.

Dikutip dari suaramerdeka.com, [22/08/16]. ”Ketika buku teks pelajaran sudah terpenuhi, maka sekolah dapat mengalokasikan dana BOS untuk pengayaan dan menambah referensi buku-buku bacaan perpustakaan,” terang dia.

Terpisah Kasi Pengendalian Mutu Dikdas Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas, Taufik Widjatmoko, menambahkan saat ini sekolah-sekolah di Banyumas sudah banyak yang memiliki perpustakaan.  Namun diakui untuk gedung perpustakaan masih ada beberapa sekolah yang belum memiliki.

”Kalau perpustakaan, sebagian besar sekolah sudah memiliki.  Tetapi untuk gedungnya memang ada sebagian yang belum mempunyai, sehingga mereka biasanya menggunakan ruang kelas atau gedung kosong di sekolah yang tidak digunakan untuk dijadikan sebagai kantor perpustakaan,” jelas dia.

Labels:

Literasi Informasi dan Literasi Digital

Dunia Perpustakaan | Saat ini terkadang diantara kita masih bingung tentang apa itu sebenarnya Literasi Informasi dan Literasi Digital?

Bagi anda yang masih belum faham terkait dengan Literasi Informasi dan Literasi Digital, berikut ini merupakan sebuah tulisan Makalah Prof. Sulistyo Basuki terkait dengan Literasi Informasi dan Literasi Digital yang dikupas secara lengkap dan mudah difahami.


Pendahuluan

Literasi informasi  yang digunakan di sini merupakan terjemahan kata information literacy. Sebelum ini istilah yang digunakan dalam Bahasa Indonesia adalah melek huruf, kemelekan huruf (Glosarium, 2007) namun istilah yang diterima di kalangan pustakawan adalah literasi walaupun hal tersebut menimbulkan kesulitan  manakala ingin menerjemahkan  kata literate. Kata literacy itu sendiri mengalami kesulitan manakala diterjemahkan ke bahasa lain sepertti bahasa Prancis, Jerman, Italia, Turki, dll.

Definisi

Walau istilah literasi informasi mulai di AS sekitar dasawarsa 1970an, pengertian serta landasan dasarLI tidak sepenuhnya memenuhi kesepakatan di kalangan ilmuwan informasi.

Seperti dikatakan Shapiro dan Hughes (1996) literasi informasi merupakan  konsep yang sering digunakan namun memiliki sifat ketaksaan (ambiguitas) yang berbahaya. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Snavely dan Cooper (1997) yang mengatakan untuk dapat diterima oleh pemakai non pustakaswan dan akademisi, pustaka iswan perlu menjelaskan definisi LI serta membedakannya dari instruksi bibliografis serta perbedaannya dari pendidikan dan pembelajaran pada umumnya.

Sungguhpun demikian Owusu-Ansah (2003,2005) mengatakan bahwa adanya banyak definisi dan konsep LI tidak mencerminkan perbedaan atau ketidaksepakatan yang besar.

Istilah “information literacy” pertama kali dikemukakan oleh Paul Zurkowski yang mengatakan orang yang literat informasi adalah orang-orang yang terlatih dalam aplikasi sumberdaya dalam pekerjaanna (Behrens,1994).

Setelah itu keluar definisi LI oleh ANZIL (Australian and New Kesepakatan definisi  LI baru tercapai tahun 2005 tatkala IFLA, UNESCO dan National Forum for Information Literacy (NFIL) menaja pertemuan tingkat tinggi di Bibliotheca Alexandriana di Alexandria, Mesir. Sebagai hasil pertemuan muncullah definisi LI sebagai berikut :
Information literacy encompasses knowledge of one’s information concerns and needs, and the ability to identify, locate, evaluate, organize, and effectively create, use and communicate information to address issues or problems at hand; it is a prerequisite for  participating effectively in the Information Society,and is part of the basic human right of  life – long  learning.

Definisi tersebut yang akan digunakan dalam makalah ini sebagai landasan ke literasi informasi digital.

Model Literasi Informasi

Keberadaan model memungkinkan untuk mengidentifikasi berbagai komponen serta menunjukkan hubungan antarkomponen. Juga model dapat digunakan untuk menjelaskan apa yang di maksud dengan literasi informasi. Dari situ kita dapat memusatkan pada bagian tertentu ataupun keseluruhan model.

Model literasi informasi ada 4 yang terkenal yaitu The Big 6, Seven Pillars, dan Empowering 8 serta satu lagi The Seven Faces of Information Literacy  sebagaimana diusulkan oleh Bruce.

A. The Big 6

The Big 6 dikembangkan di AS oleh dua pustakawan, Mike Eisdenberg dengan  Bob Berkowitz. The Big 6 menggunakan pendekatan pemecahan masalah untuk mengajar informasi dan ketrampilan informasi serta teknologi. Model The Big 6 terdiri dari 6 tahap pemecahan masalah, pada masing-masing tahap dikelompokkan dua sublangkah atau komponen.

1. Definisi tugas
  • Definisikan masalah informasdi yang dihadapi
  • Identifikasi informasi yang diperlukan
2. Strategi mencari informasi
  • Menentukan semua sumber yang mungkin
  • Memilih sumber terbaik
3. Lokasi dan akses
  • Tentukan lokasi sumber secara intelektual maupun fisik
  • Menemukan informasi dalam sumber
4. Menggunakan informasi
  • Hadapi, misalnya membaca, mendengar, menyentuh, mengalamati
  • Ekstrak informasi yang relevan
5. Sintesis
  • Mengorganisasikan dari banyak sumber
  • Sajikan informasi
6. Evaluasi
  • Nilai produk yang dihasilkan dari segi efektivitas
  • Nilai proses, apakah efisien
Model The Big 6 memiliki kekurangan yaitu mayoritas sumber dan contoh berdasarkan sekolah dan kegiatan kelas di AS. Kedua The Big 6 merupakan produk komersial yang mensyaratkan hak cipta dan perlindungan merek dagang sehingga tidak dapat digunakan begitu saja. Sungguhpun demikian, pembuat The Big 6 masih mengizinkan penggunaannya untyuk kepertluan pendidikan asal memberitahu mereka.

B. The Seven Pillars of Information Literacy

SCONUL (Standing Conference of National and University Libraries) di Inggris mengembangkan model konsdeptual yang disebut Seven Pillars of Information Literacy. Bila di gambar nampak sebagai berikut :


Model Tujuh Pilar hendaknya dilihat dari segi peningkatan mulai dari ketrampilan kemelekan  informasi dasar melalui  cara lebih canggih memahami serta menggunakan informasi, katakanlah dari novis menuju pakar.

Model 7 Pilar terdiri dari 2 himpunan ketrampilan yaitu :


  • (a)    Mengetahui bagaimana menentukan lokasi informasi serrta mengaksesnya
  • (b)   Mengetahui bagaimana memahami serta menggunakan informasi.
Ad a. Mengetahui bagaimana menentukan lokasi informasi serta mengaksesnya

Empat pilar pertama terdiri atas ketrampilan dasar yang disyaratkan untuk menentukan lokasi serta akses informasi terdiri :
  • (Pilar 1) Merekognisi  kebutuhan informasi, mengetahui apa yang telah diketahui, mengetahui apa yang tidak diketahui dan mengidentifikasi kesenjangan antara yang diketahui dengan yang tidak diketahui
  • (Pilar 2) Membedakan cara mengatasi kesenjangan, mengetahui sumber informasi mana yang paling besar peluangnya memuaskan kebutuhan
  • (Pilar 3) Membangun strategi untuk menentukan lokasi informasi. Contoh bagaimana mengembangkan  dan memperbaiki strategi penelusuran yang efektif
  • (Pilar 4) Menentukan lokasi dan akses informasi, mengetahui bagaimana mengakses sumbert infotmasi dan memeriksa alat untuk akses dan temu balik informasi.


Ad b . Mengetahui bagaimana memahami serta menggunakan informasi.

Pilar ke lima sampai ke tujuh merupakan ketrampilan tingkat lanjut yang diperlukan untuk memahami serta menggunakan informasi secara efektif.  Adapun ke tiga pilar tersebut ialah
  • (Pilar 5) Membandingkan dan mengevaluasi, mengetahui bagaimana mengases relevansi dan kualitas informasi yang ditemukan
  • (Pilar 6) Mengorganisasi, menerapkan dan mengkomunikasikan, mengetahui bagaimana merangkaikan informasi baru dengan informasi lama, mengambil tindakan atau membuat keputusan dan akhirnya bagaimana berbagi hasil temuan informasi tersebut dengan orang lain
  • (Pilar 7) Sintesis dan menciptakan, mengetahui bagaimana  mengasimilasikan informasi dari berbagai jenis sumber untuk keperluan menciptakan pengetahuan baru. Bila di gambar hasilnya sebagai berikut

Ketrampilan dasar literasi informasi (pilar 1 sampai 4) merupakan dasar bagi semua isu dan topik, dapat diajarkan pada semua tingkat pendidikan. Ketrampilan tersebut juga diperkuat dan diperkaya melalui penggunaan berkala serta pembelajaran sepanjang hayat, umumnya melalui program dan sumber yang disediakan oleh perpustakaan. Untuk mencapai pilar 5 sampai 7, tantangan yang dihadapi lebih besar karena keanekaragaman orang.

C. Empowering Eight (E8)

International Workshop on Information Skill for learning International Workshop on Information Skills fort Learning  di Colombo, Srilangka tahun 2004 ini dihadiri oleh 10 negara, yaitu Bangladesh, India, Indonesia, Maldiva, Malaysia, Nepal, Pakistan, Singapore, Sri Lanka, Muangthai, dan Vietnam, sedangkan workshop kedua diselenggarakan di Patiala India) november 2005. Tujuannya ialah mengembangkan model literasi informasi yang akan digunakan untuk negara-negara Asia Tenggara dan Selatan. Model  yang dikembangkan disebut Empowering Eight atau E8 karena mencakup 8 komponen menemukan dan menggunakan informasi. Empowering 8

Empowering 8 menggunakan pendekatan pemecahan masalah untuk resource-based learning. Menurut model ini, literasi informasi terdiri dari kemampuan untuk :
  1. Identifikasi topik/subyek, sasaran audiens, format yang relevan, jenis-jenis sumber
  2. Eksplorasi sumber dan informasi yang sesuai dengan topik
  3. Seleksi dan merekam informasi yang relevan, dan mengumpulkan kutipan-kutipan yang sesuai
  4. Organisasi, evaluasi dan menyusun informasi menurut susunan yang logis, membedakan antara fakta dan pendapat, dan menggunakan alat bantu visual untuk membandingkan dan mengkontraskan informasi
  5. Penciptaan informasi dengan menggunakan kata-kata sendiri, edit, dan pembuatan daftar pustaka
  6. Presentasi, penyebaran atau display informasi yang dihasilkan
  7. Penilaian output, berdasarkan masukan dari orang lain
  8. Penerapan masukan, penilaian, pengalaman yang diperoleh untuk kegiatan yang akan datang; dan penggunaan pengetahuan baru yang diperoleh untuk pelbagai situasi.


Kalau dijabarkan dalam langkah nampak sebagai berikut :

LangkahKomponenHasil pembelajaran yang didemonstrasikan
1Mengidentifikasi-Mendefinisikan topik/subjek-Menentukan dan memahami sasaran penyajian-Memilih format yang relevan untuk produk akhir-Mengidentifikasi kata kunci

-merencanakan strategi penelusuran

-Mengidentifikasi berbagai jenis sumber informasi, di mana dapat ditemukan
2Eksplorasi-Menentukan lokasi sumber yang sesuai dengan topik-Menemukan informasi yang sesuai dengan topik-Melakukan wawancara, kunjungan lapangan atau penelitian di luar lainnya
4Memilih-Memilih informasi yang relevan-Menentukan sumber mana saja yang terlalu mudah, terlalu sukar atau sesuai-Mencatat informasi yang relevan dengan cara membuat catatan atau membuat pengorganisasian visual seperti cart, grafik, bagan, ringkasan dll.-Mengidentifikasi  tahap-tahap dalam proses

-Mengumpulkan sitiran yang sesuai
4Mengorganisasi-Memilah informasi-Membedakan antara fakta, pendapat dan khayalan

-Mengecek ada tidaknya bias dalam sumber

-Mengatur informasi yang diperoleh dalam urutan yang logis

-Menggunakan pengorganisasi visual untuk membandingkan atau membuat kontras informasi yang diperoleh
5Menciptakan-Menyusun informasi sesuai dengan pendapat dalam cara  yang bermakna-Merevisi dan menyunting, sendiri atau bersama-sama pembimbing-Finalisasi format bibliografis
6Menyajikan-Mempraktekkan aktivitas penyajian-Berbagi informasi dengan orang atau pihak yang sesuai-Memaparkan informasi dalam format yang tepat sesuai dengan hadirin-Menyusun dan menggunakan peralatan yang sesuai
7Mengakses-Menerima masukan dari siswa lain-Swa ases kinerja kita sebagai tanggapan atas asesmen karya dari pihak guru

-Merefleksi seberapa jauh keberhasilan yang telah mereka lakukan

-Menentukan apakah masih diperlukan ketrampilan baru

-Pertimbangkan apa yang dapat dilakukan lebih baik pada kesempatan berikut
8Menerapkan-Meninjau masukan serta asesmen yang masuk-Menggunakan masukan serta asesmen untuk keperluan pembelajaran/aktivitas berikutnya-Mendorong menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari berbagai situasi-Menentukan ketrampilan sekarang dapat diterapkan pada subjek

-Tambahkan produk pada portofolio produksi

Pertemuan di Colombo ini  diikuti oleh seorang  pejabat tinggi Perpustakaan Nasional RI serta seorang pejabat Departemen Pendidikan  Nasional yang akan menjalani tahap pensiun., yang dikirim ke pertemuan internasional sebagai balas jasanya karena belum pernah keluar negeri. Maka sudah dapat diperkirakan tidak ada pemencaran kegiatan literasi informasi sebagai oleh-oleh dari pertemuan internasional dari  Perpustakaan Nasional karena pejabat  yang menghadiri pertemuan tersebut sudah pensiun!

D. Bruce’s Seven faces of information literacy

Bruce menggunakan pendekatan informasi terhadap literasi informasi. Ada tiga strategi yang diusulkannya yaitu :
  • (a)  Ancangan perilaku (behaviourist approach), menyatakan untuk dapat digambarkan sebagai melek informasi, seseorang harus menunjukkan karakteristik tertentu serta mendemonstrasikan ketrampilan tertentu yang dapat diukur. Pendekatan semacam itu dianut oleh ACRL dalam standarnya.
  • (b)  Ancangan konstrukvis (constructivist approach), tekanan pada pembelajar dalam mengkonstruksi gambaran domainnya, misalnya melalui pembelajaran berbasis persoalan,
  • (c)  Ancangan relasional, dimulai dengan menggambarkan fenomena dalam bahasa dari yang telah dialami seseorang.
Adapun 7 wajah literasi informasi digambarkkan dalam tabel sebagai berikut :

Seven faces of information literacy

Kategori satu:Konsepsi teknologi informasiLiterasi informasi dilihat sebagai penggunaan teknologi informasi untuk keperluan temubalik informasi serta komunikasi
Kategori dua:Konsepsi sumber ke informasiLiterasi informasi dilihat sebagai menemukan informasi yang berada di sumber informasi
Kategori tiga:Konsepsi proses informasiLiterasi informasi dilihat sebagai melaksanakan sebuah proses
Kategori empat:Konsepsi pengendalian informasiLiterasi informasi dilihat sebagai pengendalian informasi
Kategori lima:Konsepsi konstruksi pengetahuanLiterasi informasi dilihat sebagai pembuatan basis pengetahuan pribadi pada bidang baru yang diminatinya
Kategori enam:Konsepsi perluasan pengetahuanLiterasi informasi dilihat sebagai berkarya dengan pengetahuan dan perspektif pribadi yang dipakai sedemikian rupa sehingga mencapai wawasan baru
Kategori tujuh:Konsepsi kearifanLiterasi informasi dilihat sebagai menggunakan informasi secara bijak bagi kemudaratan orang lain


E. McKinsey Model

Mahasiswa pascasarjana bisnis (graduate business students) memerlukan 10 ketrampilan untuk melakukan penelitian pada abad informasi ini (Donaldson, 2004).  Adapun kesepuluh ketrampilan itu ialah :
  • (a)    Fokus pada topik (persempit topik/perluas ruang lingkup)
  • (b)   Bekerja dalam urutan kronologis terbalik, pertama kali menelusur informasi terbaru
  • (c)    Memahami signifikansi terminologi dan tentukan tajuk subjek yang benar
  • (d)   Menganekaragamkan sumber (gunakan buku, majalah, situs internet, dll)
  • (e)    Gunakan strategi Boole (AND,OR,NOT) pada penelusuran komputer
  • (f)    Gandakan sumber sampai tiga kali (identifikasi sebanyak tiga kali rujukan dari yang diperlukan)
  • (g)   Evaluasi secara kritis materi yang ditemubalik; harus memiliki kecurigaan pada sumber yang berasal dari Web;
  • (h)   Asimilasikan informasi; jangan plagiat, masukkan gagasan sendiri ke dalam topik penelitian
  • (i)     Sitir semua sumber

Sebenarnya model McKinsey merupakan pengembangan lebih  lanjut dari model literasi informasi yang telah ada sebelumnya.  Dimulai dari kebtuhan bisnis, namun karena diadaptasikan untuk literasi informasi, maka dimulai dengan kebutuhan informasi. Kebutuhan ini muncul dari masalah bisnis atau masalah penelitian, studi kasus ataupun tugas kuliah.

Setelah masalah diidentifikasi, langkah selanjutnya ialah analisis masalah Oleh McKinsey disebut perangkaan masalah atau mendefinisikan batas masalah kemudian memecahnya menjadi unsur komponen untuk sampai ke hipotesis awal sebagai pemecahan. Langkah berikutnya disain analisis, kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan data, terutama dengan fact finding serta wawancara, Berikutnya menafsirkan hasil, analisis serta evaluasi untuk menguji hipotesis. Langkah paling akhir dalam model McKinesy ialah penyajian akhir.

Jenis literasi informasi

Literasi informasi terdiri dari berbagai literasi sebagai berikut :

A. Literasi  visual

Yang pertama ialah literasi  visual artinya kemampuan untuk memahami dan menggunakan citra, termasuk kemampuan untuk berpikir, belajar, dan mengungkapkan diri sendiri dalam konteks citra. Literasi visual adalah kemampuan untuk memahami serta menggunakan citra visual dalam pekerjaan dan kehidupan harian.

Literasi visual mencakup integrasi pengalaman visual dengan pengalaman yang diperoleh dari indera lain seperti apa yang didengar, apa yang dibau, apa yang dikecap, apa yang disentuh serta apa yang dirasakan. Kompetensi literasi  visual memungkinkan seseorang untuk memilah serta menafsirkan berbagai tindakan visual, objek dan atau simbol. Dari situ, seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain, membuat pamflet, tengara, membuat halaman Web.

B. Literasi  media

Literasi media ialah kemampuan seseorang untuk menggunakan berbagai media guna mengakses, analisis serta menghasilkan informasi untuk berbagai keperluan Dalam kehidupan sehari-hari seseorang akan dipengaruhi oleh media yang ada di sekitar kita berupa televisi, film, radio, musik terekam, surat kabar dan majalah. Dari media itu masih ditambah dengan internet bahkan kini pun melalui telepon seluler dapat diakses.

Definisi literasi media menggunakan pendekatan trikotomi yang mencakup 3 bidang yaitu literasi media bermakna memiliki akses ke media, memahami media dan menciptakan/mengekspresikan diri sendiri dengan menggunakan media (Buckingham 2005, Livingstone 2005).

Akses meliputi menggunakan serta kebiasaan media artinay kememapuan menggunakan fungsi dan kompetensi navigasi(mengubah saluran televisi, menggunakan sambungan Internet): kompetensi mengendalikan media (misalnya menggunakan sistem terpasang interaktif, melakukantransaksi melalui Internet); pengetahuan tentang legislasi dan peraturan lain dalam bidang tersebut (misalnya kebebasan berbicara, mengungkapkan pendapat, perlindungan privasi, pengetahuan mengenai materi yang mengganggu, perlindungan terhadap “sampah internet).

Pemahaman artinya memiliki kemapuan untuk memahami/menafsirkan serta memperoleh perspektif isi media serta sikap kristis terhadapnya.

Menciptakan mencakup berinteraksi dengan media (misalnya bebricara di radio, ikut serta dalam diskusi di internet) juga menghasilkan isi media. Bagi seseorang yang memiliki pengalamanengisi berbagai jenis media massa membuat seseorang memiliki  pemahaman yang lebih baik tentang dan pendekatan kritis terhadap isi media.

Jadi literasi media adalah masalah ketrampilan, pengetahuan dan kompetensi, juga tergantung pada institusi, lembaga dan teknik untuk mediasi informasi dan komunikasi. Secara analitis, konsep literasi media digunakan pada aras perorangan dan masyarakat.

Istilah media mencakup semua media komunikasi, kadang-kadang digunakan istilah media massa merujuk ke semua media yang dimaksudkan untuk mencapai audisi sangat besar seperti televisi siaran dan bayar, radio, film, surat kabar dan majalah. Sering pula istilah “dalam semua media dan format” mengacu pada komunikasi dan diseminasi informasi dalam berbagai media berlainan serta berbagai format (teks, grafik, foto, tabel statistik dll).

Marshall McLuhan dianggap sebagai pencipta istilah “medium is the message”, artinya isi seringkali tidak dapat dilepaskan dari media khusus yang digunakan untuk memancarkan berita. Karena itu karena alasan keterbatasan waktu dan anggaran, berita yang dipancarkan melalui media televisi harus diformat dan ditata  cara paling optimal guna “berita diteruskan”. Singkatnya, berita dalam media televisi, tidak boleh terlalu panjang, dalam bahasa sederhana dll.

Media interaktif memungkinkan pemakai berinetraksi langsung dengan gawai komunikasi atau telekomunikasi seperti model “layar sentuh”, kini mulai banyak digunakan di restoran, hotel, pusat informasi wisata dll.

Literasi media mencakup semuanya dari memiliki pengetahuan yang dipelrukan untuk menggunakan teknologi media lama dan baru sampai dengan memiliki hubungan kritis ke konten medua. Tulisan seperti Buckingham (2005), Livingstone (2005) menyatakan bahwa trikotomi untuk mendefinisikan literasi media adalah memeliki akses ke media, memahami media dan menciptakan, mengekspresikan diri sendiri menggunakan media. Liiterasi media mengakui pengaruh harian pada manusia yang berasal dari televisi, film, radio, musik, surat kabar, dan majalah.

C. Literasi teknologi komputer dan komunikasi  lazim disebut literasi komputer (IFLA ALP 2006)

Literasi komputer artinya kemampuan tahu bagaimana mengguinakan dan mengoperasikan komputer secara efisien sebagai mesinpemroses informasi (Horton Jr, 2007). Bagian ini merupakan separuh bagian dari literasi teknologi informasi dan computer, separo lainnya adalah Literasi media.

Bagian ini terdiri dari: literasi perangkat keras dan perangkat lunak. Literasi perangkat keras mengacu kepada operator dasar yang iperlukan untuk menggunakan komputer seperti Personal Computer, Laptop, Notebook, Tablet Computer serta gawai genggam semacam Blackberry. Ada pun literasi perangkat lunak mengacu  pada himpunan prosedur dan instruksu tujuan umum yang disyaratkan oleh perangakt keras computer atau telekomunikasi untuk melaksanakan fungsinya.

Dalam LI  computer paling utama adalah perangkat lunak pengoperasian dasar seperti Windows, lembar batang (spreadsheet) untuk data numeric seperti Excell peramgkat lunak penyajian preesenatsi seperti PowerPoint dan perangkat lunak  penyedia jasa infotmasi untuk menggunakan Internet termasuk penelusuran WWW. Bagian ketiga adalah luetrasi aplikasi mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk menggunakan berbagai paket perangkat lunak tujuan khusus.

D. Literasi  jaringan

Merupakan literasi  dalam menggunakan jaringa digital secara efektif, yang banyak berkembang berkat keberadaan Internet.  Bagi pustakawan literasi informasi mensyaratkan perubahan pikir, dari “kepemilikan” ke “akses” artinya informasi milik perpustakaan  namun dapat diakses oleh publik sehingga menimbulkan pertanyaan seberapa jauh konsep kepemilikan itu. Dalam konteks ekonomi informasi, hal itu menunjukkan ciri khas informasi dilihat dari segi ekonomi, misalnya informasi yang telah dijual akan tetap menjadi milik penjual. Hal itu berbeda dengan penjualan benda misalnya makanan, sekali dijual maka makanan itu pindah ke  tangan pembeli (Kingma, 2001).

Literasi  ini berarti seseorang memahami bagaimana informasi dihasilkan, dikelola, tersedia, dapat menelusur infromasi dari jaringan dengan menggunakan berbagai alat telusur, memanipulasi  informasi berjaring dengan kombinasi berbagai sumber, menambahnya atau meningkatkan nilai informasi dari situasi tertentu.

Bagi manajer informasi termasuk pustakawan perlu ada perubahan cara berpikir, dari pendekatan kepemilikan ke pendekatan akses dan ini menuntut kompetensi dalam temu balik informasi dan akses ke sumber daya elektronik jarak jauh.

E. Literasi kultural

Literasi kultural artinya pengetahuan mengenai, serta pemahaman tentang, bagaimana tradisi, kepercayaan, simbol dan ikon, perayaan dan sarana komunikasi sebuah negara, agama, kelompok etnik atau suku berdampak terhadap penciptaan, penyimpanan, penanganan, komunikasi, preservasi serta pengarsipan data, informasi dan pengetahuan dengan menggunakan teknologi. Pemahaman literasi informasi dalam kaitannya dengan literasi kultural adalah baaimana faktor budaya berdampak terhadap penggunaan teknologi komunikasi dan informasi secara efisien.

Dampak itu dapat positif maupun negatif. Penyebaran televisi misalnya berdampak hilangnya permainan anak-anak yang secara tradisional dilakukan waktu  terang bulan. Di segi lain, penyebaran telepon seluler, televisi dan komunikasi nirkabel terjadi sebagai hasil kemauan penduduk lokal untuk mengakui, menerima dan mengadaptasi teknologi tersebut dalam budaya masing-masing.

F. Literasi digital

Literasi informasi berbeda dengan literasi digital. Literasi informasi fokus pada pemahaman kebutuhan informasi seseorang, dilakukan dengan kemampuan untuk menemukan dan menilai informasi yang televan serta menggunakannya secara tepat. Literasi informasi mulai banyak digunakan sejak tahun 1980an.

Istilah literasi digital mulai popular sekitar tahun 2005 (Davis & Shaw, 2011) Literasi digital bermakna kemampuan untul berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti bacaan  takberurut berbantuan komputer.

Istilah literasi digital pernah digunakan tahun 1980an, (Davis & Shaw, 2011), secara umum bermakna kemampuan untuk berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti membaca non-sekuensial atau nonurutan berbantuan komputer (Bawden, 2001). Gilster (2007) kemudian memperluas konsep literasi digital sebagai kemampuan  memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital.;  dengan kata lain kemampuan untuk membaca, menulis dan berhubungan dengan informasi dengan menggunakan teknologi dan format yang ada pada masanya.

Penulis lain menggunakan istilah literasi digital untuk menunjukkan konsep yang luas yang menautkan bersama-sama berbagai literasi yang relevan serta literasi berbasis  kompetensi  dan ketrampilan teknologi komunikasi, namun menekankan pada kemampuan evaluasi informasi yang lebih “lunak” dan perangkaian pengetahuan bersama-sama pemahaman dan sikap (Bawden, 2008; Martin, 2006, 2008) .

IFLA ALP Workshop (2006) menyebutkan bagian dari literasi informasi adalah literasi digital, didefinisikan  sebagai  kemampuan memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format dari sejumlah besar sumber daya tatkala sumber daya tersebut disajikan melalui komputer. Sesusia perkembangan Internet, maka pemakai tidak tahu atau tidak mempedulikan dari mana asalnya informasi, yang penting ialah dapat mengaksesnya.

Literasi digital mencakup pemahaman tentang Web dan mesin pencari. Pemakai memahami bahwa tidak semua informasi yang tersedia di Web memiliki kualitas yang sama; dengan demikian pemakai lambat laun dapat mengenal9i situs Web mana yang andal dan sahih serta situas mana yang tidak dapat dipercayai. Dalam literasi digital ini pemakai dapat memilih mesin pemakai yang baik untuk kebutuhan informasinya, mampu menggunakan mesin pencara secara efektif (misalnya dengan “advanced search”).

Singkatnya literasi digital adalah himpunan sikap, pemahaman, keteramnpilan menangani dan mengkomunikasikan informasi dan pengetahuan secara efektif dalam berbagai media dan format. Ada definisi yang menyertakan istilah hubung, berhubungan (coomunicating); mereka yang perspektisi manajemen rekod atau manajemen arsip dinamis menyebutkan istilah penghapusan (deleting) dan pelestarian (preserving).

Kadang-kadang istilah penemuan (finding) dipecah-pecah lagi menjadi pemilihan sumber, penemuan kembali dan pengakaksesan (accessing) (Davis & Shaw, 2011). Walau pun literasi digital merupakan hal penting dalam abad tempat informasi berwujud bentuk digital, tidak boleh dilupakan bagian penting lainnya dari literasi digital ialah mengetahui bila menggunakan sumber non digital.

Menurut Bawden (2008), komponen literasi digital terdiri dari empat bagian sebagai berikut :

(1) Tonggak pendukung berupa :
  • literasi itu sendiri dan
  • literasi komputer, informasi , dan teknologi komunik
(2) Pengetahuan latar belakang terbagi atas :
  • dunia informasi dan
  • sifat sumber daya informasi
(3) Komptensi berupa :
  • pemahaman format digital dan non digital
  • penciptaan dan komunikasi informasi digital
  • Evaluasi informasi
  • Perakitan engetahuan
  • Literasi informasi
  • Literasi media
(4) Sikap dan perspektif.

Ad 1. Landasan ini  mencerminkan ketrampilan  tradisional, di dalamnya termasuk literasi computer yang memungkinkan sesdeorang mampu berfungsu dalam masyarakat. Menyangkut literasi komouter, ada pendapat yang mengatakan bahwa  literasi computer merupakan bagian dari literasi digital, namun ada pula yang berpendapat bahwa literasi computer sudah merupakan bagian literasi informasi. Literasi computer kini dianggap sebagai literasi saja dalam latar pendidikan atau di bawah tajuk semacam smart working, basic skills di tempat kerja (Robinson, 2005).

Literasi ini merupakan keterampilan dasar yang diperlukan untuk mampu menangani infomasi dan pengetahuan. Literasi tradisional dan ktrampilan TU tetap diperukan.

Ad 2. Pengetahuan latar belakang ini dapat dibagi lebih lanjujut menjadi dunia informasi dan sifat sumber daya informasi. Jenis pendidikan ini dianggap dimiliki oleh orang  berpendidikan semasa informasi masih dalam bentuk buku, surat kabar, majalah, majalah akademis, laporan profesional; umumnya diakses melalui bentuk cetak di perpustakaan.

Ketika Internet berkembang yang memunculkan dokumen elektronik maka pola komunikasi kepanditan (scholarly communication) atau komunikasi ilmiah (scientific communication) berubah. Bila dulu dikenal model tradisional Garbey/Griffith yang  dimulai dari penelitian sampai ke penerbitan yang dilakukan secara tradisional, maka kini mucul model Garvey/Griffith yang sudah dimodernisir karena munculnya dokumen elektronik (Crawford, Hurd, & Weller, 1996) sehingga terjadi modus perubahan transfer informasi (Norton, 2000).

Ad 3. Kompetensi utama

Dalam literasi digital, yang menjadi kompetensi  utama mencakup :

(1) Pemahaman format digital dan non digital;
(2) Penciptaann dan komunikasi informasi digital;
(3) Evaluasi informasi;
(4) penghimpunan atau perakitan pengetahuan;
(5) Literasi informasi dan
(6) Literasi media (Davis & Shaw, 2011).

Kesemuanya itu merupakan ketrampilan dan kompetensi, dibuat pada tonggak (nomor i) yang merupakan landasan literasi digital. Ketramnpilan dan kompetensi tersebut memiliki jangkauan  luas dan mungkin berbeda antara satu negara dengan negara lain. Di sini dapat juga ditambahkan kompetensi dimensi etis dalam arti  pemakai mengetahui bagaimana mnsitat buku, jurnal, laporan  teknis dalam format kertas, melainkan juga tahu menyitat dokumen yang diterbitkan di Web.

Ada yang menambahkan pada kompetensi utama itu kompetensi penerbitan n artinya kompetensi menghasilakn swaterbitan di situs  pribadi Web. Kompetensi ini menggunakan berbagai kompetensi yang telah ada sebelumnya seperti mengunduh dan mengunggah berbagai jenis berkas digital citra, audio, teks dsb) dengan harapan seseorang menerbitkan informasi bermutu dengan tetap menghormati hak cipta.


Ad 4. Sikap  dan perspektif.

Ini merupakan hal yang, menciptakan tautan antara konsep baru literasi digital dengan gagasan lama tentang literasi. Perseorangan tidak cukup memiliki ketrampilan dan kompetensi melainkan hal itu harus berlandaskan kerangka kerja moral,yang diasosiasikan  dengan seseorang yang terdirik. Dari semua komponen literasi digital, mungkin yang paling sulit diajarkan adalah kerangka kerja moral, namun hal itu paling kuat  kedekatannya dengan istilah informasi dalam akar bahasa Latinnya informare artinya membentuk, memaparkan.

Pembelajaran mandiri dan literasi moral dan sosial merupakan kualitas yang ada pada seseorang dengan motivasi dan pikiran mendayagunakan informasi sebaik-baiknya. Ketiga hal tersebut merupakan dasar pemahaman pentingnya informasi sertaurusan yang baik dengan sumber daya informasi dan saluran komunikasi serta insentif untuk meningkatkan kemampuan seseorang ke tingkat yang lebih baik.

Literasi moral menyangkut pemahaman bahwa akses yang hampir tidak terbatas pada Web diikuti dengan pemahaman bahwa tidak semua materi yang diunduh itu bebas dari hak cipta.

Keempat komponen dianggap merupakan  tunutan yang berat yang ditujukan pada pemakai informasi. Rasanya berat namun hal tersebut merupakan keharusan bila seseorang berkecimpung dan berhasil dalam lingkungan informasi dewasa ini. Dalam hal ini khususnya literasi digital merupakan alat yang ampuh untuk menghindari masalah dan paradoks dalam perilaku informasi seperti beban luwih informasi (information overload), kecemasan informasi, penghindaran informasi dan sejenisnya (Bawden & Robinson, 2009).

Dunia kini dipenuhi informasi yang diperoleh melalui berbagai cara seperti berikut :

(1)   Manusia menemukan informasi melalui indera fisik, mental, dan emosi.
(2)   Manusia mencari informasi dengan cara bertanya dan mencarinya.
(3)   Manusia memperoleh informasi sebagai masukan dari manusia lain dan dari berbagai sistem informasi.
(4)   Manusia menata informasi dalam benak dan catatannya dan juga membuat informasi.

Maka manusia akan mencatat atau mengeluh tentang terlalu banyak informasi  di dunia ini. Hal itu bukan hal baru karena pada tahun 1755 Ensiklopedi Denis Dideot mengatakan bahwa peningkatan jumlah materi yang diterbitkan akan membuat manusia lebih mudah menemukan ulang fakta dengan cara mengamati alam  dariapa menemukan informasi yang tersembunyi dalam banyak materi. Akhir Perang Dunia 2 juga sering ditandai dengan banyaknya informasi sehingga muncul istilah seperti ledakan informasi atau banjir informasi. Alvin Tofler dalam bukunya Future Shock (1970) menggambarkan perubahan tknologi dan structural pada masyarakat serta mempopulerkan istilah information load (beban lebih informasi).

Beban lebih informasi itu menyebabkan timbulnya kecemasan informasi (information anxiety) yang timbul akibat kesenjangan yang semakin lebar antara apa yang dipahami manusia dengan apa yang seyogyanya dipahami manusia. Seperti dikatakan Wurman (1989) dan business dictionary, kecemasan informasi adalah lubang hitam (black hole) antara data dengan pengetahuan,  dan apa yang terjadi manakala infortmasi tidak memberitahukan apa yang diinginkan manusia atau yang perlu diketahui manusia.

Sikap kecemasan informasi menimbulkan penghindaran informasi (information avoidance) yang berarti setiap perilaku yang dirancang untuk menghindari atau menunda akuisisi informasi yang tersedia namun sebenarnya merupakan informasi yang tidak  diinginkan (Frey, 1982; Kate Sweeny et al, 2010). Maka literasi digital merupakan alat bantu yang ampuh untuk mengatasi masalah dan paradox perilaku informasi seperti beban lebih informasi, kecemasan informasi, penghindaran informasi dan sejenisnya (Bawden&Robinson, 2009).

Literasi digital berdampak pada pustakawan karena dia harus menguasai literasi informasi serta literasi lainnya sehingga memungkinkan pustakawan mengembangkan kegiatan literasi informasi di lingkungannya.

Pengetahuan latar belakang juga menimbulkan masalah pada pendidikan pustakawan. Apakah pola pendidikan pustakawan yang didominasi program sarjana masih diteruskan atau diubah? Pengalaman menunjukkan bahwa pustakawan yang berbasis sarjana ilmu perpustakaan merasakan kurang bekal ilmu pengetahuan lain untuk kepentingan pekerjaannya. Maka banyak pustakawan yang bergelar sarjana ilmu perpustakaan, manakala sudah bekerja, melanjutkan pendidikan di tingkat pascasarjana bidang lain seperti komunikasi, pendidikan, sejarah dll.

Keadaan semacam itu mencetuskan gagasan mengapa beberapa lembaga penyelenggara pendidikan pustakawan lebih memusatkan pada pendidikan pascasarajana disertai dengan kegiatan riset sedangkan lembaga lain tetap berkonsentrasi pada program sarjana saja. Juga secara tidak langsung hal itu Nampak pada usulan Forum Kerjasama Perpustakaan Perguruan Tinggi yang mengusulkan agar kepala perpustakaan universitas adalah mereka yang bergelar magister ilmu perpustakaan atau yang lebih tinggi.

Penutup

Literasi informasi mencakup pengetahuan dan kebutuhan informasiseseorang dan kemampuan untuk mengenali, mengetahui lokasi, mengevaluasi, mengorganisasi dan menciptakan, menciptakan dan mengkomunikasikan informasi secara efektif untuk mengatasi isu atau masalah yang dihadapi seseorang. Literasi informasi terbagi atas literasi visual, ~media,~komputer,~jaringan dan IFLA menyertakan pula literasi digital walau pun hal ini tidak selau disebuit-sebut dalam buku lainnya. Istilah literasi informasi mulai popular sekitar athun 1980 an, terbadiri dari berbagai jenis literasi.

Informasi digital merupakan himpunan sikap, pemahaman, dan keterampilan untuk menangani dan mengkomunikasikan informasi dan pengetahuan secara efektif dalam berbagai media dan format. Istilah literasi digital mulai popular sekitar tahun 2005. Literasi digital terbagi atas empat komponen yaitu tonggak literasi, pengetahuan latar belakang, kompetensi utama dan sikap serta perspektif, masih ditambah dengan kerangka moral.

Bibliografi.

  • Bawden, D. (2001). Information and digital literacy: a review of concepts. Journal of Documentation, 57(2),218-259
  • Bawden, D. (2008). Origins and concepts of digital literacy. Dalam C. Lankshear&M. Knobel (eds). Digital literacies : concepts, policies, and paradoxes. Pp:15-32. New Yok: Peter Lang
  • Bawden, D. & Robinson, L (2009). The dark side of information: overload, anxiety and other paradoxes and pathologies. Journal of Information Science, 35(2),180-1911
  • Behrens, S. (1994).A conceptual analysis and historical review of information literacy. College and Research Libraries, 55,309-322
  • Bruce, C. (1997). The seven faces of information literacy. Adelaide: Auslib Press
  • Bundy, A. (2004).Australian and New Zealand Information Literacy Framnework. 
  • Principles, standards and practice. 2nd ed. Adelaide:ANZIL,2004. ANZIL (Australian and New Zealand Institute for Information Literacy). http://www.anzil.org
  • Businnesdictionary.com. What is information literacy?definition and menaing. http:www.business dictionary.com/definition/information-anxiety.html. Diunduh 30 Agustus 2012.
  • Crawford,Susan Y.; Hurd,Julie M. and Weller, Ann C. (1996). From p[rint to electronic: the transformation of scientific communication. Medford,NJ:Information Today.
  • Davis, Charles H.; Shaw,Debora (eds). (2011). Introduction to information science and technology. Medford,NJ: Information Today
  • Frey, Dieter. (1982). Different levels of cognitive dissonance, information seeking, and information avoidance. Journal of Personality and Social Psychology, 43(6),1175-1183
  • Gilster, P. (1997). Digital literacy. New York;Wiley
  • Glosarium istilah asing – Indonesia.(2007). Jakarta: Pusat Bahasa
  • Grassian,E.(2004). Building on bibliographic instruction. American Libraries,35(9),51-53
  • High-Level Colloquium on Information Literacy and Life-long Learning. Bibliotheca
  • Alexandrina, Alexandria, Mesir, November 6-9, 2005. Report of a meeting sponsored by the United Nations Education, Scientific, and CXultural organization (UNESCO), National FDorum on Information Literacy (NFIL) and the International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA).  http://www.infolit.org/International_Colloquium/alexfinalreport.doc. Diunduh 8 Maret 2012
  • Horton,Jr, Forest Woody.(2007). Understanding information literacy: a prime. Paris”UNESCO
  • IFLA ALP Woorkshop on Information Literacy and IT, Auckland,New Zealand. (2006). The basic information literacy skills.
  • Martin, A. (2006). Literacies for tge digital age. Dalam A.Martin&D.Madigan(eds). Digital literacies forlearning. London:Facet.
  • Martin,A. (2008). Digital literacy and the”digital society:. Dalam C. Lanskhear & M.Konel(eds). Digital literacies: concepts, policies, and paradoxes.  New York:Peter Lang.
  • Norton,Melanie J. (2011). Introductory concepts in information science. 2nd ed.  Medford,NJ: Information Today.
  • Owusu-Ansah,E.K. (2003). Information literacy and the academic library: a critical look at a concept and the controversies surrounding it. Joournal of the Academic Libraries, 29(4),219-230.
  • Owusu-Ansah,E.K.  (2005)).Debating definitions of information literacy: enough is enough, Library Review, 54(6),366-374
  • Shapiro,J.J. and Hughes,S.K. (1996). Information literacy as a liberal art. Educom Review, 31(2),31-35
  • Snavely,L. and Cooper, N. (1997). The information  literacy debate. Journal of the Academic Librarianship,23(1),9-14
  • Sudarsono, Blasius et al. (2007; 2009), Literasi informasi (information literacy): pengantar untuk  perpustakaan sekolah. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
  • Sweeney, Kate et al. (2010). Information avoidance: who, what,when, and why. Review of General psychology, 14(4) Dec,340-353
  • Toffler, Alvin. (1970). The future shock. New York:Random House.

sumber: https://sulistyobasuki.wordpress.com/

Labels: ,