<data:blog.pageTitle/>

This Page

has moved to a new address:

http://duniaperpustakaan.com

Sorry for the inconvenience…

Redirection provided by Blogger to WordPress Migration Service
Dunia Perpustakaan | Informasi Lengkap Seputar Dunia Perpustakaan: April 2008

Thursday, April 10, 2008

Menggali Kecintaan Anak Pada Perpustakaan Lewat Film Animasi

Menggali Kecintaan Anak Pada Perpustakaan Lewat Film Animasi.


Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 10 No. 1 - April 2008

Abstrak


Artikel ini mengulas adegan atau setting perpustakaan pada film Animasi Avatar The Legend of Aang. Film animasi Avatar, akhir-akhir ini sangat digemari tidak hanya oleh anak-anak tetapi juga penonton dewasa. Film yang menceritakan tentang perjuangan Avatar untuk menyatukan empat nafas bumi yaitu air, tanah, api dan udara.

Avatar banyak meminjam seni dan mitologi dari benua Asia untuk menciptakan sebuah dunia fiksi. Avatar juga mencampur filosofi, bahasa, agama, seni bela diri, pakaian, dan budaya dari negara-negara Asia. Pembuat film animasi ini menggunakan konsultan budaya  untuk meninjau naskah cerita agar mudah diterima dan sesuai dengan selera penonton di berbagai negara Asia termasuk Indonesia.

Film dengan salah satu adegan dan setting perpustakaan secara tidak sadar mampu membangkitkan kesadaran dan kecintaan anak untuk membaca.

Kepekaan pustakawan sebagai seorang animator inilah yang seharusnya terus dikembangkan untuk membangun citra perpustakaan agar lebih baik dari sebelumnya. Pustakawan yang berusaha untuk merekam suatu keadaan, mengemukakan sesuatu atau mengkomunikasikan gagasan, informasi kepada pengguna lewat film.

Selain itu, perpustakaan membutuhkan cara baru yang lebih segar dan lebih baik untuk menyampaikan `realitas' dan `pesan moral' kepada penonton tentang realitas perpustakaan yang sebenarnya.

Artikel Lengkap


Kesadaran dan kecintaan untuk membaca pada anak perlu ditumbuhkan sejak dini. Banyak cara yang bisa dilakukan seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang tua kepada anaknya yaitu memberi contoh kebiasaan membaca, membelikan hadiah sebuah buku, atau menonton film yang terdapat adegan atau setting perpustakaan seperti yang ditayangkan pada film animasi Avatar : The Legend of Aang pada hari Sabtu, 23 Juni 2007 pukul 16.30 disebuah stasiun TV Swasta.

Film animasi Avatar, akhir-akhir ini sangat digemari tidak hanya oleh anak-anak tetapi juga penonton dewasa. Film yang menceritakan tentang perjuangan Avatar untuk menyatukan empat nafas bumi yaitu air, tanah, api dan udara. Kekacauan datang ketika Avatar terakhir meninggal.

Bangsa Api mengambil keuntungan dan mereka ingin menjadi pemimpin dunia dan menguasai keabadian. Seratus tahun kemudian, Avatar kembali dalam tubuh seorang bocah berusia 12 tahun bernama Aang, yang ditemani  seekor banteng terbang yang bernama Appa, yang selamat setelah terperangkap dalam bongkahan es di Kutub Utara.

Berikut adalah cuplikan gambar dan cover film animasi Avatar : The Legend of Ang atau Avatar The Last Airbender.

avatar

Istilah `avatar` berasal dari Bahasa Sansekerta,  avatara, yang berarti "turun". Dalam Mitologi Hindu, para dewa memanifestasikan dirinya dengan turun menjelma ke dunia untuk mengembalikan keseimbangan di muka bumi setelah mengalami zaman kejahatan.

Aksara Cina yang muncul di atas kata "Avatar" pada pembukaan cerita berarti "perantara tuhan yang turun ke dunia fana".

avatar2

Dalam setiap generasi, ada seseorang yang mampu mengendalikan setiap unsur, ialah yang dipanggil sebagai Avatar, roh dari planet yang menitis dalam bentuk manusia.

Ketika seorang Avatar meninggal dunia, dia akan terlahir kembali di bangsa yang gilirannya selalu bergantian sesuai dengan siklus Avatar (Avatar Cycle), yang seiring dengan musim, yaitu: musim dingin untuk air, musim semi untuk tanah, musim panas untuk api, dan musim gugur untuk udara.

Berikut adalah peta empat bangsa yang menjadi ide film tersebut :

avatar3

Avatar banyak meminjam seni dan mitologi dari benua Asia untuk menciptakan sebuah dunia fiksi. Avatar juga mencampur filosofi, bahasa, agama, seni bela diri, pakaian, dan budaya dari negara-negara Asia, seperti misalnya Cina, Jepang, Mongolia, Korea, India, dan Tibet.

Secara jelas dapat ditemukan pengaruh dari seni dan sejarah Cina, anime Jepang, Hinduisme, Taoisme, Buddhisme,  dan Yoga. Pembuat film animasi ini menggunakan konsultan budaya (Edwin Zane) untuk meninjau naskah cerita agar mudah diterima dan sesuai dengan selera penonton di berbagai negara Asia termasuk Indonesia.

Film Animasi dan Perpustakaan


Film animasi sebagai sebuah tontonan bagi anak-anak mempunyai daya tarik tertentu yang membuat anak "kecanduan" atau "ketagihan" untuk terus dan terus setia menonton dari satu episode ke episode lain. Kata "animasi" itu sendiri sebenarnya penyesuaian dari kata animation yang berasal dari kata dasar to animate, yang dalam kamus umum Inggris-Indonesia berarti menghidupkan.

Secara umum animasi merupakan suatu kegiatan menghidupkan dan menggerakkan benda mati. Suatu benda mati diberikan dorongan kekuatan, semangat dan emosi untuk menjadi hidup dan bergerak, atau hanya berkesan hidup. Pengertian animasi secara khusus adalah "Animated, a motion picture consisting of series of individual hand-drawn sketches, in which the positions or gestures of the figures are varied slightly from one sketch to another.

Generally, the seried is film and, when projected on screen, suggest that figures are moving" (Djalle, 2006:2-5)
Dari sekian banyak film animasi yang beredar dan ditayangkan di televisi, film animasi 2D yang paling akrab dengan keseharian kita. Film animasi 2D biasa disebut dengan film kartun. Kartun sendiri berasal dari kata cartoon yang artinya gambar yang lucu.

Memang, film kartun itu kebanyakan film yang lucu dan menawarkan dunia keceriaan (tawa) pada penonton. Itulah sebabnya mengapa film animasi atau kartun sangat digemari oleh anak-anak maupun penonton dewasa. Berbeda dengan kondisi di perpustakaan yang digambarkan dalam adegan yang "serius" seperti kata-kata "sstt", "tidak boleh berisik", "sunyi", "gelap",  "buku yang berdebu dan tertata rapi" dan sebagainya.

Perpustakaan dalam film Animasi Avatar


Media visual terutama film memberi kemudahan dan menarik untuk ditonton terutama bagi anak. Salah satu cara untuk memperkenalkan perpustakaan yang paling mudah dan menarik adalah lewat film animasi.

Dalam film animasi Avatar : The Legend of Aang, perpustakaan digambarkan sebagai sumber pengetahuan dimana Aang dan teman-temannya dan seorang Profesor Antopologis mencari buku tentang pengetahuan untuk mengalahkan musuh-musuh mereka.

Perpustakaan itu adalah sebuah bangunan Romawi bertiang besar, bertingkat dan megah yang dijaga oleh seekor burung hantu yang mempunyai kekuatan dan pengetahuan yang sangat hebat. Setiap orang yang datang ke perpustakaan itu diwajibkan menyerahkan apa yang dimilikinya untuk disimpan dalam perpustakaan tersebut.

Keinginan untuk mengambil pengetahuan dari perpustakaan harus dibarengi dengan kemauan untuk memberi sesuatu untuk pengetahuan yang sudah ada. Mereka diperbolehkan untuk membaca dengan syarat hanya untuk kebaikan bukan untuk membalas dendam atau menghancurkan orang lain.

Anatomi kisah yang didapat pada adegan dengan setting di perpustakaan pada film Avatar diatas adalah :

  1. Perpustakaan sebagai sumber pengetahuan

  2. Perpustakaan adalah sebuah bangunan Romawi yang bertiang besar, megah dan bertingkat

  3. Pustakawan digambarkan seperti seekor burung hantu yang mempunyai kekuatan dan pengetahuan yang sangat hebat

  4. Pengguna/pembaca diwajibkan menukar apa yang dimilikinya untuk disimpan dalam perpustakaan tersebut

  5. Keinginan untuk mengambil harus dibarengi dengan kemauan untuk memberi sesuatu

  6. Membaca untuk kebaikan bukan balas dendam atau menghancurkan orang lain


Andai Pustakawan sebagai Animator


Keenam anatomi kisah yang didapat dari adegan Aang dan teman-temannya dalam mencari buku tentang pengetahuan di perpustakaan memberi pengertian dan pemahaman kepada seorang pustakawan tentang `citra’ yang terbangun dari relasi antara perpustakaan, pustakawan dan pengguna. Citra perpustakaan sebagai sumber pengetahuan.

Berikut adalah sketsa relasi antara perpustakaan, pustakawan dan pengguna yang memberikan citraan atau representasi semu (mirror image).

sketsa

Membangun citra dari sebuah realitas yang sebenarnya tentang perpustakaan adalah tugas seorang pustakawan. Citra (image) dalam Piliang (2004:15) didefinisikan sebagai sesuatu yang tampak oleh indra, akan tetapi tidak memiliki eksistensi substansial. Dalam pembuatan film animasi, sutradara atau filmmakers mengandalkan imajinasi.

Imajinasi dalam Tedjoworo (2001:21) adalah daya untuk membentuk gambaran (imaji) atau konsep-konsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari sensasi (pengindraan). Bahwa imajinasi sebagai suatu daya, maka film animasi yang kita lihat tidak sama dengan imaji yang muncul saat sutradara atau filmmakers berimajinasi.

Imajinasi direalisasikan oleh animator dengan sebuah teknik film. Teknik film animasi, seperti halnya film hidup, dimungkinkan adanya perhitungan kecepatan film yang berjalan berurutan antara 18 sampai 24 gambar tiap detiknya.

Gambar yang diproyeksikan ke layar sebetulnya tidak bergerak, yang terlihat adalah gerakan semu, terjadi pada indra akibat perubahan kecil dari satu gambar ke gambar yang lain, yang disebut persistence of vision, sehingga mengasilkan suatu ilusi gerak dari pandangan kita. (Djalle, 2006:6)

Citra atau imagi (image) adalah tanda yang secara langsung bersifat ikonis. Ikon  dalam Listiani (2007:46-48) adalah tanda yang didasarkan pada kemiripan di antara tanda (representamen) dan objeknya, walaupun tidak semata-mata bertumpu pada pencitraan "naturalistic" seperti apa adanya.

Charles Sander Pierce (Listiani, 2007:47) mencirikan ikon sebagai "suatu tanda yang menggantikan (stands for) sesuatu semata-mata karena ia mirip dengannya"; sebagai suatu tanda yang "mengambil bagian dalam karakter-karakter objek"; atau sebagai suatu tanda yang "kualitasnya mencerminkan objeknya dan membangkitkan sensasi-sensasi analog di dalam benak lantaran kemiripannya itu".

Gambar perpustakaan pada setting film animasi Avatar adalah ikon dari sebuah perpustakaan yaitu gambar yang mempunyai kemiripan dengan objeknya. Perpustakaan yang digambarkan sebagai  sebuah bangunan Romawi yang bertiang besar, megah dan bertingkat.

Tanda ikonis lain yang terdapat pada anatomi kisah diatas adalah metafora. Metafora dalam Webster’s Third New International Dictionary (Listiani, 2007:48) didefinisikan secara tipikal sebagai "sebuah kiasan yang menggunakan sepatah kata atau frase yang mengacu kepada objek atau sesuatu yang lain sehingga tersarankan suatu kemiripan atau analogi diantara keduanya".

Metafora sebagai sebuah perbandingan yang tersirat (implied comparison). Dalam anatomi kisah film animasi diatas, pustakawan digambarkan sebagai seekor burung hantu yang mempunyai kekuatan dan pengetahuan yang sangat hebat.

Seekor burung hantu yang mempunyai sifat-sifat kepustakawanan seperti:

  • "waspada", waspada dengan segala kemungkinan yang terjadi;

  • "peka atau cepat bereaksi", peka dengan kondisi sekitar dan cepat menyesuaikan dengan perkembangan baru;

  • "menjaga", selalu berjaga-jaga dan menjaga koleksi yang dimilikinya;

  • "kuat dan tangguh", memiliki kekuatan dan pengetahuan akan sesuatu (pengetahuan) dari koleksi yang ada dan selalu mengingatkan tentang kebaikan pada orang lain.


Itulah sifat-sifat kepustakawanan yang ada pada film animasi Avatar, sifat yang juga dimiliki seorang empu.

Sebagai seorang animator, pustakawan harus mengetahui pengertian dan teknik pembuatan film animasi. Film animasi adalah hasil karya manusia berupa gambar-gambar sketsa yang teratur dari satu kerangka ke kerangka yang berikutnya. Dalam film animasi, manusia berusaha untuk menghidupkan benda-benda mati, sebagaimana arti dari kata "animatus" yaitu memberi jiwa.

Pembuatan film animasi dibutuhkan sejumlah gambar sketsa yang selaras satu sama lain dengan percakapan yang berlangsung, selaras antara gerakan dengan musiknya atau efek suara yang dibutuhkan. Intisari dari film animasi khususnya kemampuan untuk mengubah apa yang secara statis menjadi sesuatu yang secara wajar hidup dalam sebuah gerakan.

Gerakan itu sendiri merupakan sifat khas dari kehidupan. Penambahan unsur audio pada perkembangan animasi, yang pada awalnya hanya berupa gambar bergerak, yang bisu memberi dampak yang besar dalam animasi. Unsur radio tersebut lebih memudahkan proses menyampaikan pesan/proses berkomunikasi.

Pengertian "animasi" (animation) adalah metoda pembuatan film yang menghasilkan gerakan-gerakan dengan proyeksi serangkaian urutan gambar yang digambar satu persatu sehingga merupakan susunan gerak. Film yang dihasilkan kerap disebut sebagai film animasi atau film kartun.

Sedangkan Animasi digital (digital animation) didalam Kamus Desain (Sachari, 1998:7) adalah teknik pembuatan film animasi yang dilakukan dengan program komputer grafis. Sedangkan untuk film-film yang bersifat merekonstruksi gerakan binatang atau manusia di gunakan sistem animatronik ialah perpaduan antara teknik animasi dengan media elektronik.

Menurut Djuadi (1983:5) film animasi mempunyai peranan-peranan yang penting, diantaranya adalah :

  1. Film animasi dapat menyajikan suatu kekuatan-kekuatan yang tidak terlihat oleh mata akan tetapi dapat kita rasakan. Suatu tekanan yang dirasakan waktu mengangkat suatu benda, kekuatan angin topan, gelombang suara, semuanya dapat digambarkan melalui film animasi.

  2. Film animasi dapat melukiskan suatu proses yang sedang berlangsung, seperti proses pertumbuhan tanaman, proses perubahan bunga menjadi buah, proses pencernaan makanan, proses terjadinya hujan, proses meletusnya gunung berapi, proses peredaran matahari – bulan- bumi, proses pertukaran zat, kesemuanya dapat digambarkan melalui film animasi dengan jelas.

  3. Film animasi dapat memberikan tanda-tanda secara kasat mata (visual)

  4. Film animasi dapat mempercepat/memperlambat suatu proses sesuai dengan kebutuhan

  5. Suatu pandangan atau penglihatan yang luas, yang tidak seluruhnya bisa ditangkap oleh mata, dapat dengan jelas digambarkan melalui film animasi dalam ukuran yang terbatas.

  6. Film animasi mempunyai kecepatan untuk menonjolkan suatu obyek dalam batas waktu yang begitu sempit, dengan kemampuannya untuk di ulang-ulang.

  7. Film animasi dapat menambahkan kejelasan suatu analisa dengan jalan menyederhanakan ke proses-proses dasar apa saja yang dalam kehidupan wajar terlalu cepat, terlalu lambat ataupun terlalu tersembunyi untuk bisa diabadikan.


Peranan penting dari film animasi diatas dibagi dalam beberapa jenis film animasi yaitu :

  1. Film gambar, merupakan hasil pemotretan kerangka demi kerangka dari rangkaian lembaran celuloid yang sudah digambar sebelumnya, dan lukisan latar belakangnya lembar dari lembar disusun sesuai dengan isi ceritanya, merupakan tahap dari gerakan yang ada dalam jarak waktu seperduapuluhempat bagian dari satu detik.

  2. Film boneka, bentuk film ini merupakan hasil pemotretan kerangka demi kerangka dari boneka-boneka yang dapat digerakkan

  3. Film bayangan

  4. Pixilasi

  5. Penggambaran langsung.


Begitu pula dengan gaya  film animasi dibagi menjadi 5 (lima) antara lain :

a. Gaya realis, didalam gaya realis lebih diutamakan kecermatan atau ketelitian dalam bentuk dari tokoh-tokohnya ataupun lukisan latar belakangnya. Demikian juga mengenai warna-warna yang dipergunakan mengesankan warna sesungguhnya dari benda-benda yang digambarkan, misalnya : daun berwarna hijau, langit berwarna biru dan lain-lain. Gaya realis ini sangat tepat untuk suatu kebutuhan akan komunikasi, karena dapat dikenal dengan cepat oleh penonton. Film animasi dengan gaya realis ini banyak dipakai untuk suatu keperluan pendidikan maupun untuk keperluan hiburan semata-mata.

b. Gaya karikatur, didalam gaya karikatur ini bentuk dari pada tokoh-tokohnya dan tulisan latar belakangnya diubah bentuknya yang asli menjadi bentuk-bentuk yang sederhana dan bebas. Film animasi dengan gaya ini pada umumnya sangat disukai oleh anak-anak.

c. Gaya dekoratif, gaya ini merupakan stilasi dari bentuk sebenarnya suatu benda, sehingga menjadi bersifat hiasa. Gaya dekoratif ini banyak dianut oleh seniman-seniman animasi dari Cekoslowakia. Penggambaran yang dipakai berasal dari buku-buku ilustrasi anak-anak yang banyak berisi cerita-cerita rakyat mereka.

d. Gaya perlambangan (simbolis), film animasi dengan gaya perlambangan ini mempunyai dasar-dasar yang bersifat budaya dalam bentuk grafis yang mempunyai suatu arti yang khas bagi suatu masyarakat. Bentuk swastika, palu atau silang, membawa suatu gambaran tertentu tentang nilai-nilai budaya. Lambang dapat mewakili kekuatan-kekuatan di balik beberapa gejala alam atau mungkin juga digunakan untuk melambangkan sifat-sifat dari suatu aksi.

e. Gaya bebas, gaya ini merupakan suatu hasil kesenian yang bersifat bebas, tanpa dipengaruhi oleh tema-tema tertentu, angan-angan seniman yang diterjemahkan  dalam bentuk gambar, serta bahan-bahan yang dipakai juga bisa bebas tergantung dari sipembuatnya. Film yang dihasilkannya mempunyai nilai dan keindahan tertentu dan tidak mempunyai sasaran tertentu untuk para pemirsa. Jadi hanya bersifat pengembangan gagasan-gagasan saja.

Dilihat dari durasinya, animasi dapat dibagi menjadi 5 kategori (Cahyono, 2001:13) yaitu :

  1. spot animation (durasi 10-60 detik)

  2. pocket animation (durasi 50-2 menit)

  3. short animation (durasi 2-20 menit)

  4. medium length animation (durasi 20-50 menit)

  5. full length animation (durasi 50 menit <)


Sedangkan dari tampilannya, film animasi dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu :

  1. animasi 2 dimensi (termasuk animasi gambar dan cut out)

  2. animasi 3 dimensi (menggunakan objek 3 dimensi dengan reka komputer)

  3. animasi gabungan antara 2 dimensi dan 3 dimensi


Teknik animasi (Mulyanegara, 1994:17-19; Djalle, 2006: 6-8) yang biasa dilakukan dapat digolongkan pada 3 jenis teknik bentuk dasar yaitu :

1. Animasi gambar, jenis film animasi ini seluruhnya menggunakan runtun kerja gambar. Semua runtun kerja jenis ini dikerjakan di atas bidang datar atau papar. Ada 2 jenis animasi gambar ini yaitu pertama, film animasi "sel" (cel technique) yang merupakan teknik dasar dari film animasi kartun (cartoon animation), yang memanfaatkan serangkaian gambar yang dibuat diatas lembaran plastik tembus pandang (sel). Kedua, penggambaran langsung pada film, tanpa melalui runtun pemotretan kamera "stop frame".

2. Animasi obyek, pengertian dalam film animasi adalah segala macam bentuk benda yang sifatnya 3 dimensi, yang digunakan untuk tujuan yang sama. Bentuknya dapat berupa apa saja yang berada disekitar kita, yang mungkin pada mulanya tidak terbayangkan akan berfungsi sebagai benda animasi.

3. Animasi komputer adalah film animasi yang dalam pengerjaannya menggunakan komputer sebagai alat bantu. Semula komputer digunakan hanya untuk mempermudah proses pengerjaannya, tetapi sekarang tidak sedikit film animasi yang total semua pengerjaannya oleh komputer.

Dengan adanya komputer proses pembuatan film animasi dapat berlangsung lebih cepat jika dibanding dengan cel animasi/animasi obyek dan juga mengenai biaya dapat ditekan sehingga cukup hemat jika dibanding dengan teknik animasi yang lain.

Hanya saja film animasi komputer pada saat ini kehalusan geraknya masih sangat terbatas kemampuannya, tetapi jika kita bandingkan dengan pengerjaan secara manual komputer mempunyai beberapa kelebihan seperti dalam proses pewarnaan yang dapat lebih cepat pemilihan dan pembuatan tekstur yang mungkin jika dilakukan secara manual akan memakan waktu lama dan tidak mudah.

Komputer juga dapat membantu animator dalam hal sudut pengambilan kamera atau lazimnya disebut proses layout. Tetapi kesemuannya itu tergantung kepada kecanggihan komputer dan kelengkapan fasilitas yang dapat diberikan dari software yang kita gunakan.

Selain penguasaan akan teknik film, seorang pustakawan harus memiliki pengetahuan dan kepekaan untuk mengetahui oposisi biner yang ada pada sebuah film. Pengetahuan oposisi biner dari film yang ada mengenai "kejahatan/kebaikan", "mengambil/memberi", "lemah/kuat", "langit/bumi", "hitam/putih" dan sebagainya, digunakan pustakawan sebagai bekal dalam membuat film selanjutnya (Listiani, 2006:20).

Kepekaan atau "sense" pustakawan sebagai seorang animator inilah yang seharusnya terus dikembangkan untuk membangun citra yang lebih baik dari sebelumnya.Pustakawan yang mencoba berperan sebagai animator (pembuat film animasi) yang berusaha untuk merekam suatu keadaan, mengemukakan sesuatu atau memenuhi kebutuhan umum yaitu mengkomunikasikan suatu gagasan, informasi kepada pengguna/penonton lewat media visual (film).

Karena film mempunyai keunikan dimensi, mempunyai sifat "menghibur, menerangkan dan pendidikan", sehingga film diterima sebagai salah satu media audio visual yang paling popular dan digemari.

Selain itu pustakawan sebagai animator (pembuat film animasi) karena perpustakaan membutuhkan cara baru yang lebih segar dan lebih baik untuk menyampaikan "realitas" dan "pesan moral" kepada penonton tentang realitas perpustakaan yang sebenarnya.

Penulis: Wanda Listiani (sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 10 No. 1 - April 2008)

Labels:

Wednesday, April 9, 2008

Manajer Informasi: Peran Pustakawan Pengadaan di Era Digital

Manajer Informasi: Peran Pustakawan Pengadaan di Era Digital.


Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 10 No. 1 - April 2008

Abstrak


Pada era digital, pengadaan koleksi lebih kearah manajemen koleksi yang mengatur mengenai penggunaan koleksi, cara penyimpanan, cara mengorganisasi dan membuatnya mudah diakses oleh pengguna.

Kemudahan akses ini membawa perubahan besar bagi penyebaran informasi, pertama kemudahan akses informasi menyebabkan perkembangan koleksi dalam bentuk elektronis semakin melimpah; dan kedua kemudahan akses informasi juga memberi peluang kepada perpustakaan untuk menjadi produsen informasi.

Pustakawan sebagai manajer informasi dalam proses pengadaan harus memiliki kebijakan yang jelas yang dituangkan dalam sebuah pedoman pengadaan dan memiliki Standard Operating Procedure (SOP) yang jelas.

Pengantar


Pada era informasi dan digital seperti saat ini pustakawan perguruan tinggi bukan lagi hanya seorang tenaga administrasi yang membantu mahasiswa mencari informasi di tempat yang dinamakan perpustakaan tetapi seseorang yang menyediakan kebutuhan informasi, fasilitas layanan dan pembelajaran tanpa dibatasi tempat, waktu dan bentuk. Era digital membawa perubahan pada setiap bidang layanan Perpustakaan, seperti pada bidang pembinaan koleksi dan bidang layanan pengguna.

Artikel ini menjelaskan perubahan peran pustakawan pengadaan, khususnya pustakawan perpustakaan perguruan tinggi pada era digital sebagai manajer informasi, juga menjelaskan perubahan yang terjadi dan peluang yang dapat diambil dengan menitik beratkan pada perpustakaan sebagai konsumen informasi maupun produsen informasi.

Pengembangan Koleksi menuju manajemen koleksi


Pengadaan koleksi yang lazim dilakukan sebelum era digital menitikberatkan pada perkembangan koleksi atau "collection development", tapi pada era digital pengadaan koleksi lebih kearah manajemen koleksi atau "collection management".

Pengembangan koleksi meliputi seleksi dan pengadaan bahan-bahan pustaka berdasarkan kebutuhan pengguna saat ini dan dimasa mendatang.  Tetapi  manajemen koleksi, lebih dari sekedar membangun atau meningkatkan jumlah koleksi saja. Manajemen koleksi juga mengatur penggunaan koleksi, cara penyimpanan, cara mengorganisasi dan membuatnya mudah diakses oleh pengguna (Singh, 2004).

Pada perpustakaan tradisional, pengadaan koleksi terbatas pada koleksi yang mempunyai wujud atau bentuk secara fisik berupa koleksi tercetak seperti buku, majalah, jurnal, koleksi audio visual, dan lain-lain.

Namun pada era digital ini, koleksi yang dilanggan tidak terbatas pada koleksi tercetak, tapi juga koleksi yang hanya dapat diakses secara maya seperti database jurnal dalam bentuk online, koleksi buku online.  Secara fisik kita tidak memiliki koleksinya, tetapi kita memiliki akses ke koleksi tersebut jika kita melanggannya.

Menurut Branin (1994), dengan melimpahnya jenis informasi yang ada, pustakawan pengadaan harus dapat menjadi seorang "knowledge manager", daripada sebagai seorang "collection manager".    Knowledge disini menggantikan kata collection, karena pada saat ini fokus pengembangan koleksi tidak hanya berupa koleksi  tercetak seperti pada era tradisional.

Tetapi pustakawan pengadaan saat ini berperan dalam proses survey terhadap beragamnya sumber-sumber dan jenis informasi baik yang tercetak maupun elektronis, kemudian melakukan seleksi, mengorganisasi, dan  memelihara resources yang merupakan rekaman ilmu pengetahuan/record of knowledge (dikutip dalam Singh, 2004).

Manajer Informasi


Manajer menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer diartikan sebagai "orang yang berwenang dan bertanggung jawab membuat rencana, mengatur, memimpin dan mengendalikan pelaksanaannya untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan" (p. 924).

Sebagai seorang manajer informasi, pustakawan memiliki kewenangan untuk merencanakan, mengorganisasi, melakukan pengaturan, mengarahkan untuk mencapai tujuan dan melakukan kontrol terhadap proses pengadaan koleksi.

Manajemen koleksi diartikan sebagai usaha untuk menyesuaikan koleksi perpustakaan dengan kebutuhan pengguna, mengupayakan agar koleksi yang ada dimanfaatkan seefektif mungkin, dan tidak menutup kemungkinan membangun program resource sharing dengan perpustakaan atau pusat informasi lain.

Sebagai seorang manajer informasi, menurut  Friend (2000), pustakawan pengadaan seharusnya memiliki kemampuan untuk menganalisa kebutuhan pengguna baik dimasa kini maupun masa mendatang, mengikuti perkembangan kebijakan universitas  maupun diluar universitas, mampu membuat perencanaan dan mengalokasikan dana dengan baik, melakukan kontrak-kontrak kerjasama, melakukan evaluasi koleksi secara makro maupun seleksi informasi secara mikro, penyiangan, pemeliharaan maupun menciptakan sistem evaluasi koleksi (dikutip dalam Singh, 2004).
Kemudahan akses informasi menggunakan teknologi internet, membawa dua perubahan besar bagi penyebaran informasi.

Pertama, kemudahan akses informasi menyebabkan perkembangan koleksi dalam bentuk elektronis semakin melimpah, baik yang disediakan secara cuma-cuma maupun dengan cara berlangganan, sehingga perpustakaan merupakan konsumen yang harus dengan cermat dan teliti menyeleksi koleksi yang sesuai dengan kebutuhan pengguna.

Kedua, kemudahan akses informasi juga memberi peluang kepada perpustakaan untuk menjadi produsen informasi dengan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya.

Bukankah 2 perubahan besar tersebut berada dalam wilayah kerja seorang pustakawan pengadaan?
Berikut ini akan dijelaskan beberapa tugas pustakawan pengadaan di era digital yang memberinya peran baru sebagai manajer informasi.

Pedoman Pengadaan


Keberagaman jenis informasi yang dapat dengan mudah dikoleksi oleh sebuah Perpustakaan terkadang menimbulkan kebingungan tersendiri bagi pihak penentu kebijakan di bagian pengadaan untuk mengabulkan usulan koleksi dari pengguna. Perpustakaan, khususnya pustakawan pengadaan perlu menentukan kebijakan sistem pengadaan yang sejalan dengan visi dan misi lembaga induk.

Sebagai seorang manajer informasi, pustakawan pengadaan harus memiliki kebijakan yang jelas yang dituangkan dalam sebuah "Pedoman Pengadaan" yang berisi poin-poin penting dalam pengadaan koleksi Perpustakaan, yaitu:

  1. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengadaan koleksi

  2. Sistem penilaian koleksi

  3. Kebijakan pengadaan koleksi, meliputi anggaran, jumlah eksemplar, dll.

  4. Sistem pengadaan koleksi, meliputi proses pembelian koleksi dan

  5. Sistem pemeliharaan koleksi (jangka pendek maupun jangka panjang)

  6. Sistem penyiangan koleksi


Pustakawan pengadaan harus dapat memberi panduan yang jelas dalam melakukan penyiangan koleksi, karena dalam prakteknya tugas ini tidak saja dilakukan oleh pustakawan pengadaan tapi juga dari bagian lain, bahkan juga melibatkan dosen.

Semua pedoman tersebut harus memiliki Standard Operating Procedure (SOP) yang jelas, dan menjadi pedoman dari pustakawan pengadaan dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya.

Sistem Seleksi Pangkalan Data Terpasang (Online Database)


Kemudahan akses informasi yang menyebabkan perkembangan koleksi dalam bentuk elektronis semakin melimpah, baik yang disediakan secara cuma-cuma maupun dengan cara berlangganan yang merupakan dampak dari era digital,  perlu dicermati oleh pustakawan dengan kejelian dalam menyeleksi  koleksi, termasuk koleksi online database yang memerlukan biaya tinggi jika kita melanggannya.

Pada saat ini online database sudah tidak asing lagi bagi dunia perpustakaan dan penggunanya.  Keberadaan online database saat ini sepertinya menjadi sebuah gengsi tersendiri bagi perpustakaan yang melanggannya.

Online database atau pangkalan data terpasang  menurut Putu Laxman Pendit (2006), keberadaannya sudah cukup lama ada di dunia kepustakawanan di berbagai negara maju, dan bahkan  sampai dengan tahun 1975 saja sudah ada 300 penjaja (vendor) yang menyediakan aneka pangkalan data terpasang secara komersial kepada umum.

Saat ini di era teknologi informasi yang ditandai dengan kehadiran teknologi internet pada tahun 90-an di Indonesia, ribuan bahkan mungkin jutaan pangkalan data terpasang beredar dan bersaing untuk memperoleh pelanggan baru.

"Pangkalan-pangkalan data terpasang inilah yang sesungguhnya merupakan perwujudan dari konsep virtual, karena keberadaannya tidak sungguh-sungguh di dalam lingkungan fisik perpustakaan" (Pendit, 2006, p. 2)

Keberagaman jumlah dan jenis online database yang tersedia menuntut kejelian konsumen sebelum memutuskan berlangganan.  Pustakawan pengadaan harus jeli dalam memutuskan dilanggan/tidaknya pangkalan data yang ditawarkan oleh vendor, dengan memperhatikan beberapa hal seperti tersebut dibawah ini:

1. Ketersediaan dana

Keinginan untuk melanggan online database hanya akan menjadi keinginan yang tak akan pernah terwujud jika memang tidak tersedia dana yang cukup untuk melanggannya. Pada era digital ini, konsorsium merupakan salah satu jawaban bagi perpustakaan untuk meningkatkan jumlah pangkalan data elektronik dengan biaya yang relatif lebih murah karena ditanggung para peserta konsorsium.  Sehingga dana yang tersedia dapat dialokasikan untuk melanggan berbagai pangkalan data lainnya.  Hal tersebut memungkinkan karena data dalam bentuk digital dapat dengan mudah di share.

2. Disiplin ilmu yang menjadi fokus institusi induk

Hendaknya online database yang dilanggan disesuaikan dengan disiplin ilmu lembaga induknya.  Jika disiplin ilmu yang menjadi fokus institusi induk cukup beragam, sebaiknya dibuat skala prioritas atau dipilih database yang bisa menjawab cukup banyak disiplin ilmu yang dilayani.

3. Kebutuhan pengguna

Kebutuhan untuk membeli online database hendaknya tidak didasari keinginan lain selain untuk memenuhi kebutuhan informasi dari para penggunanya.

4. Ketersediaan fasilitas pendukung

Keberadaan online database harus didukung oleh ketersediaan fasilitas pendukung, misalnya jaringan internet apakah sudah tersedia, fasilitas komputer yang cukup memadai untuk mengakses database, dll.

5. Tingkat melek informasi dan teknologi pengguna

Kesiapan dari para pengguna juga perlu dipertimbangkan sebelum melanggan sebuah online database.  Apakah pengguna sudah melek teknologi, minimal dapat menggunakan komputer.  Disamping itu, pengguna juga perlu sedikit mengetahui strategi penelusuran informasi (melek informasi).  Jika kedua hal ini sudah dapat dipenuhi, tidak ada salahnya perpustakaan melanggan online database.

Disamping ke-lima hal diatas, pustakawan pengadaan juga perlu melakukan seleksi dan evaluasi terhadap kandungan informasi, fitur, kemudahan akses, layanan purna jual dari vendor online database yang hendak dilanggan.

Dokumentasi Koleksi Lokal


Seperti dijelaskan diatas bahwa kemudahan akses informasi pada era digital ini juga memberi peluang kepada perpustakaan perguruan tinggi sebagai produsen informasi dengan menyebarkan karya yang dihasilkan oleh sivitas akademika secara luas.  Hal ini tentu saja dapat meningkatkan citra institusi induk.

Perpustakaan perguruan tinggi dapat menggali informasi lokal yang dimiliki Universitas untuk disajikan secara digital kepada masyarakat sebagai sumber pembelajaran, sarana edukasi bagi masyarakat untuk menghargai milik sendiri, dan memperkaya khasanah budaya lokal.

Koleksi lokal yang paling banyak dihasilkan universitas adalah Tugas Akhir mahasiswa.  Hampir setiap semester, perpustakaan menerima Tugas Akhir mahasiswa, dan koleksi ini pasti akan bertambah banyak seiring dengan pertambahan waktu.

Digitalisasi Tugas Akhir merupakan pilihan yang mau tidak mau harus diambil oleh Perpustakaan Perguruan Tinggi. Disamping keterbatasan ruang, digitalisasi Tugas Akhir memberi nilai tambah tersendiri bagi perpustakaan.

Ketika memutuskan untuk melakukan digitalisasi koleksi Tugas Akhir, Perpustakaan dengan dukungan dari Universitas harus menyiapkan beberapa kebijakan seperti:

  1. Menentukan pedoman penulisan Tugas Akhir,

  2. Menentukan kebijakan tentang hak penyebaran informasi secara digital

  3. Menentukan sistem dan standard yang akan dipakai dalam proses pengolahan koleksi digital

  4. Menentukan sistem informasi (database) yang akan dipakai dalam pengolahan maupun temu kembali informasi.


Selain Tugas Akhir, pustakawan pengadaan juga dapat mengambil inisiatif untuk bekerjasama dengan jurusan atau unit lain di kampus agar koleksi lain yang akan dialih-formatkan dalam bentuk digital dapat tersistem dengan baik.  Yang dimaksud tersistem meliputi:

  1. Jenis koleksi yang  akan di digitalisasi; harus jelas baik dari sisi definisi maupun karateristiknya

  2. Sistem pengumpulan karya oleh mahasiswa; apakah mahasiswa juga perlu mengumpulkan dalam bentuk digital selain bentuk aslinya, sehingga pihak jurusan/perpustakaan tidak perlu mengalihkan dalam format digital

  3. Sistem seleksi karya; apakah karya yang dihasilkan perlu diseleksi dari sisi nilai, karakteristik, keunikan, ataukah semua koleksi akan ditampilkan dalam bentuk digital?

  4. Sistem distribusi ke perpustakaan; distribusi ke perpustakaan dilakukan selama berapa kurun waktu?  Setiap semester ataukah setelah semua karya dari mahasiswa terkumpul?

  5. Kepemilikan; apakah karya yang dihasilkan oleh mahasiswa menjadi milik jurusan ? apakah perpustakaan perlu mengoleksi karya-karya terpilih?  Bagaimana kepemilikannya, apakah secara otomatis menjadi milik perpustakaan, ataukah pembuat karya mereproduksi untuk perpustakaan dengan biaya dari perpustakaan?, Jenis media apa saja yang memungkinkan untuk dikoleksi?

  6. Pameran; apakah perlu koleksi yang terpilih untuk dipamerkan di perpustakaan?  Pihak-pihak siapa saja yang harus dilibatkan?
    Semua itu membutuhkan kebijakan yang jelas dari pihak perpustakaan, dalam hal ini pustakawan pengadaan, sehingga jurusan memiliki panduan yang jelas, dan sistem pengadaan koleksi lokal dapat berjalan dengan baik dan tersistem.


Sebagai contoh, mulai sekitar tahun 2000, Perpustakaan UK Petra telah memulai melakukan proyek digitalisasi koleksi terhadap karya-karya sivitas akademika yang memiliki karakteristik lokal/local content (diproduksi secara lokal dan/ atau mengandung karakteristik suatu entitas lokal).

Koleksi tersebut terdiri dari Surabaya Memory (dokumentasi berupa foto, lukisan, karya tulis, dll. ttg perkembangan kota Surabaya), Digital Thesis (karya tugas akhir mahasiswa UK Petra), eDIMENSI  (artikel jurnal ilmiah DIMENSI yang diterbitkan UK Petra), Petra@rt Gallery (karya seni hasil komunitas UK Petra),

Petra iPoster (poster dari kegiatan/acara yang diselenggarakan di UK Petra) dan Petra Chronicle (dokumen dan foto perkembangan UK Petra).  Kesemua koleksi tersebut dapat diakses dari katalog iSPEKTRA http://dewey.petra.ac.id)

Semua koleksi digital tersebut dikembangkan melalui proyek "Desa Informasi" (www.petra.ac.id/desa-informasi), merupakan proyek yang memayungi upaya pengembangan Local eContent di Perpustakaan UK Petra.

Desa Informasi tidak lagi sekedar upaya pengembangan koleksi Local eContent, namun juga berupa upaya-upaya advokasi dan promosi koleksi Local eContent ke komunitas kampus dan masyarakat secara umum.

Kesimpulan dan Saran


Peran sebagai manajer informasi membawa perubahan yang cukup besar bagi seorang pustakawan pengadaan, khususnya perpustakaan perguruan tinggi. Pustakawan pengadaan tidak hanya asal membeli koleksi sesuai dengan permintaan pengguna.

Mereka tidak lagi hanya melakukan seleksi koleksi, tetapi juga mengharuskannya memiliki kemampuan manajerial dengan melakukan perencanaan program pengadaan secara tersistem, mengatur alokasi anggaran  dengan jelas dan terarah, melakukan evaluasi dan perencanaan pengadaan koleksi sesuai dengan kebutuhan pengguna baik untuk kebutuhan masa kini maupun kebutuhan di masa mendatang.

Pustakawan pengadaan dalam era digital seperti saat ini perlu peran sebagai manajer informasi karena kemudahan akses informasi menjadikan perpustakaan sebagai konsumen yang harus dengan cermat dan teliti menyeleksi koleksi yang sesuai dengan kebutuhan pengguna.

Selain itu era digital juga memberi peluang kepada pustakawan untuk melakukan digitalisasi koleksi yang dihasilkan oleh institusi induk, yang tentunya dapat menjadi media dan sarana pembelajaran bagi pengguna dan masyarakat pada umumnya.

Penulis: Dian Wulandari (sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 10 No. 1 - April 2008)

Labels:

Tuesday, April 8, 2008

Kerangka Analisis Kinerja Ikatan Pustakawan Indonesia DenganMenggunakan Pendekatan Balanced Scorecard

Dunia Perpustakaan | Untuk anda para pustakawan (pengelola perpustakaan), anda pastinya sudah tahu kan terkait dengan keberadaan IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia)?

Jika anda mendenagr kata IPI, apa yang anda ingat terkait dengan organisasi yang satu ini?

Kalau kita mengintip IPI melalui website resminya ipi.web.id (yang ipi.or.id tidak bisa diakses (update: 23/1/2020), Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) merupakan wadah berkumpulnya para pustakawan dan pemerhati perpustakaan dalam mengembangkan perpustakaan di Indonesia. IPI didirikan di Ciawi, Bogor, pada tanggal 7 Juli 1973.

Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) | gambar: ipi.web.id
Dalam halaman utama websitenya tersebut, kita langsung disambut dengan tagline yang sangat perfect berbunyi, "Profesional, Bersinergi, Mandiri dan Berdaya Saing untuk Kesejahteraan Anggota dan Masyarakat".

Saat membaca semua visi dan misi suatu organisasi, suydah pasti semuanya tertulis dengan sangat perfect dan ideal sekali.

Namun untuk melihat praktek langsung di lapangan, tentunya kita perlu menguji dengan berbagai cara dengan melihat pelaksanaanya di lapangan.

Nah, untuk menguji terkait keberadaan IPI dan sejauh mana peran IPi selama ini, kami menemukan sebuah tulisan yang memang sudah lama berjudul "Kerangka Analisis Kinerja Ikatan Pustakawan Indonesia Dengan Menggunakan Pendekatan Balanced Scorecard".

Tulisan ini ditulis oleh Luthfiati Makarim dan pernah dipublikasikan dalam Majalah Visi Pustaka Edisi : Vol. 10 No. 1 - April 2008.

Terkait isinya apakah masih sesuai dengan kondisi IPI yang sekarang?

Tentunya ini peluang untuk siapapun yang mungkin melanjutkan kajian terkait yang bisa menjadikan tulisan ini sebagai referensinya.

Selamat membaca...

Abstrak

Untuk mengetahui kinerja organisasi selama ini, IPI perlu mengevaluasi kinerjanya secara menyeluruh. Salah satu metode penilaian kinerja organisasi yang menyeluruh adalah balanced scorecard, yaitu model pengukuran kinerja organisasi yang mampu menerjemahkan visi dan strategi organisasi ke dalam seperangkat ukuran kinerja yang terpadu dan ke berbagai tujuan dan ukuran yang terukur; terdiri dari empat perspektif, yaitu: finansial, pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan.

Hasil yang diperoleh dapat memberi informasi tentang faktor yang mendorong keberhasilan organisasi saat ini dan di masa  datang. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja organisasi IPI sehingga diketahui aspek apa yang sudah baik dan aspek apa yang perlu ditingkatkan.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif (eksplanatif) dengan memakai data sekunder dari organisasi IPI, data primer dari kuesioner terstruktur yang diberikan kepada responden serta wawancara untuk mendapatkan informasi dan data yang relevan dengan penelitian. Responden meliputi anggota dan pengurus IPI.

Data yang terkumpul diukur dengan menggunakan skala Likert lalu dianalisis dengan menghitung skor total masing-masing variabel dan indikator-indikatornya lalu ditabulasikan. Hasil penilaian atas kinerja organisasi IPI dapat terlihat dari skor total masing-masing variabel dan indikator-indikatornya.

Artikel Lengkap

Untuk mengetahui kinerja organisasi selama ini, IPI perlu mengevaluasi kinerjanya secara menyeluruh. Salah satu metode penilaian kinerja organisasi yang menyeluruh adalah balanced scorecard, yaitu model pengukuran kinerja organisasi yang mampu menerjemahkan visi dan strategi organisasi ke dalam seperangkat ukuran kinerja yang terpadu dan ke berbagai tujuan dan ukuran yang terukur; terdiri dari empat perspektif, yaitu finansial, pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan.

Hasil yang diperoleh dapat memberi informasi tentang faktor yang mendorong keberhasilan organisasi saat ini dan di masa  datang. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja organisasi IPI sehingga diketahui aspek apa yang sudah baik dan aspek apa yang perlu ditingkatkan.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif (eksplanatif) dengan memakai data sekunder dari organisasi IPI, data primer dari kuesioner terstruktur yang diberikan kepada responden serta wawancara untuk mendapatkan informasi dan data yang relevan dengan penelitian. Responden meliputi anggota dan pengurus IPI.

Data yang terkumpul diukur dengan menggunakan skala Likert lalu dianalisis dengan menghitung skor total masing-masing variabel dan indikator-indikatornya lalu ditabulasikan. Hasil penilaian atas kinerja organisasi IPI dapat terlihat dari skor total masing-masing variabel dan indikator-indikatornya.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ikatan Pustakawan Indonesia (selanjutnya disingkat IPI) adalah organisasi profesi yang menaungi profesi pustakawan di Indonesia. IPI didirikan pada tanggal 6 Juli 1973 dalam Kongres Pustakawan Seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Ciawi, Bogor tanggal 5-7 Juli 1973.

Kongres ini merupakan realisasi kesepakatan para pustakawan dalam pertemuan yang diadakan di Bandung tanggal 21 Januari 1973. Organisasi pustakawan yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah Asosiasi Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Indonesia (APADI) yang berdiri tahun 1962, Himpunan Perpustakaan Chusus Indonesia (HPCI) – berdiri tahun 1969 dan Perkumpulan Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta (PPDIY) (Harahap, 1998: 1).

Dengan demikian, IPI saat ini telah memasuki usia 34 tahun dan berulang tahun tanggal 6 Juli 2007 ini. Selamat ulang tahun IPI.
Pada momen ulang tahun ini, akan sangat bermanfaat bila IPI melakukan introspeksi dan evaluasi kiprahnya selama 34 tahun, khususnya kinerja IPI untuk para pustakawan dan kemajuan bidang pusdokinfo di Indonesia.

Banyak harapan pustakawan dan masyarakat kepada IPI, antara lain kiprah IPI diharapkan lebih nyata manfaatnya bagi seluruh pustakawan Indonesia, mampu menjadi organisasi profesi yang memberi kontribusi positif kepada kemajuan bangsa Indonesia dan seterusnya menjadi organisasi profesi yang disegani karena profesionalitas dan kontribusi positif para pustakawan anggotanya.

Berbagai harapan pustakawan dan masyarakat kepada IPI tampaknya belum sepenuhnya terwujud saat ini, bahkan perjuangan untuk mewujudkan berbagai harapan tersebut masih berat dan panjang. Seluruh anggota dan terutama pengurus IPI "dari setiap tingkatannya" harus berjuang bersama, bersinergi mewujudkan berbagai harapan tersebut.

Tulisan ini bermaksud untuk memberi kontribusi nyata dalam upaya tersebut dengan membuatkan kerangka analisis kinerja IPI yang bersifat ilmiah dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard.

B. Perumusan Masalah

Masalah umum penelitian dirumuskan umum sebagai berikut: "Bagaimanakah kinerja organisasi Ikatan Pustakawan Indonesia bila diukur dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard, dilihat dari perspektif kepuasan pelanggan (stakeholders), proses bisnis internal, pertumbuhan dan pembelajaran serta keuangan." Rumusan umum tersebut perlu dirinci dan diuraikan agar penelitian ini lebih fokus dengan pertanyaan-pertanyaan kunci berikut ini:
  1. Bagaimanakah kinerja organisasi IPI dilihat dari aspek reputasi dan kepuasan anggota dan stakeholder lainnya (selanjutnya disebut pelanggan) terhadap berbagai kegiatan dan layanan IPI ?;
  2. Bagaimanakah kinerja organisasi IPI dilihat dari aspek proses bisnis internal organisasi yang meliputi proses operasi penyampaian produk berupa berbagai kegiatan dan layanan kepada pelanggannya serta inovasi untuk kemajuan organisasi ?;
  3. Bagaimanakah kinerja organisasi IPI dilihat dari aspek pertumbuhan dan proses pembelajaran, meliputi tingkat kemampuan/pengetahuan pengurus pada setiap levelnya, tingkat sistem informasi organisasi, tingkat penerapan pembelajaran (dinamika belajar, pembaruan organisasi, pemberdayaan individu, pengelolaan pengetahuan dan penerapan teknologi) ?;
  4. Bagaimanakah kinerja organisasi IPI dilihat dari aspek kepuasan pelanggan terhadap berbagai kegiatan dan layanannya ?;
  5. Bagaimana kinerja keuangan organisasi IPI selama tiga tahun terakhir, apabila diukur dengan menggunakan rasio-rasio keuangan ? bila memungkinkan.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja organisasi IPI sehingga diketahui aspek apa yang sudah baik dan aspek apa yang perlu ditingkatkan demi peningkatan kinerja IPI di masa datang.

Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah:
  1. Untuk mengetahui kinerja organisasi terhadap pelanggannya, dilihat dari tingkat kepuasan mereka;
  2. Untuk mengetahui kinerja proses bisnis internal di IPI, dilihat dari aspek operasi dan inovasi organisasi;
  3. Untuk mengetahui kinerja pertumbuhan dan pembelajaran dilihat dari tingkat kemampuan pengurus, sistem informasi organisasi dan tingkat penerapan pembelajaran;
  4. Untuk mengetahui kinerja keuangan di organisasi IPI ihat dari rasio-rasio keuangan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian mencakup berbagai pihak terkait, yaitu:
  1. Bagi peneliti: penelitian yang baru berupa kerangka penelitian ini memberi informasi dan horison baru, memperkuat kemampuan analisis kinerja dengan metode balanced scorecard serta menambah pengetahuan yang lebih luas mengenai kelemahan dan kekuatan penerapan alat ukur kinerja organisasi ini;
  2. Bagi IPI: kerangka penelitian ini diharapkan memberi masukan positif yang dapat membangun organisasi IPI. Hasil penelitian yang bersifat ilmiah diharapkan dapat meningkatkan kinerja IPI di masa datang sehingga dapat menjadi organisasi profesi yang memiliki nilai-nilai kompetitif untuk dapat bersaing di masa datang;
  3. Bagi pemerintah (dalam hal ini Perpustakaan Nasional RI sebagai lembaga pembina perpustakaan dan pustakawan di Indonesia): penelitian ini memberi masukan dan input sebagai bahan pertimbangan untuk melihat sejauh mana kinerja organisasi profesi pustakawan IPI ini dengan menggunakan alat ukur balanced scorecard sehingga terlihat mana aspek yang sudah baik dan mana aspek yang harus ditingkatkan;
  4. Bagi peneliti selanjutnya: penelitian ini menjadi referensi untuk masalah yang relevan, khususnya penelitian tentang organisasi publik dengan alat ukur balanced scorecard.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif (eksplanatif) dengan memakai data sekunder dari organisasi IPI serta data primer yang diperoleh melalui kuesioner terstruktur yang diberikan kepada responden serta wawancara untuk mendapatkan informasi dan data yang relevan dengan penelitian. Responden penelitian meliputi anggota dan pengurus IPI.

F. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah seluruh anggota dan pengurus IPI. Sedangkan sampel penelitian ditetapkan peneliti sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peneliti, sebagaimana yang dikatakan oleh Sugiyono (2000: 58): "Bila populasi besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu."

Dengan demikian, peneliti dapat menetapkan jumlah sampel yang akan diambil berdasarkan pertimbangannya. Sampel dapat diambil dari seluruh Pengurus Pusat IPI (100%), setengah dari jumlah pengurus tingkat wilayah dan daerah (50%), serta 10 orang anggota masing-masing dari wilayah yang berbeda, misalnya Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

II. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori

1. Pengukuran Kinerja Organisasi

Bagi suatu organisasi, pengukuran kinerja sangat penting karena ukuran kemanfaatan organisasi bagi anggotanya dapat dilihat dan ditunjukkan dengan kinerja atau produktivitasnya. Menurut Siegal, et.al. (dalam Sudarso, 2003: 4), pengukuran kinerja adalah proses penentuan efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan karyawan/pengurusnya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan yang dilakukan secara periodik.

Menurut Lynch dan Cross (dalam Yuwono, dkk, 2002: 29), penilaian kinerja yang baik akan memberi manfaat sebagai berikut:
  1. Menelusuri kinerja organisasi terhadap harapan pelanggan sehingga dapat membawa organisasi lebih dekat pada pelanggannya dan membuat seluruh orang dalam organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan pelanggan;
  2. Memotivasi pegawai (baca: pengurus) untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata rantai pelanggan dan pemasok internal;
  3. Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya pengurangan terhadap pemborosan tersebut (reduction of waste);
  4. Membuat suatu tujuan strategis yang biasanya masih kabur menjadi lebih kongkret sehingga mempercepat proses pembelajaran organisasi;
  5. Memberi motivasi yang jelas dalam merealisasikan visi dan misi organisasi;
  6. Membangun konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan memberi reward atas perilaku yang diharapkan tersebut.
Suatu organisasi dinyatakan memiliki kinerja yang baik bila dia berhasil menjalankan tujuan dan mencapai strategi yang ditetapkan (Ganie, 2002: 13). Banyak aspek yang harus diperhatikan dalam menilai kinerja sebuah organisasi, terlebih bagi organisasi publik dan nirlaba.

Organisasi publik dan nirlaba menitikberatkan kegiatannya pada misi dan jasa yang mereka sampaikan. Pelayanan jasa sendiri merupakan sesuatu yang tidak nyata (intangible) dan sulit untuk diukur dimana masing-masing stakeholders memiliki standar penilaian sendiri. Pelanggan yang menerima jasa dan staf profesional/pengurus yang menyediakan jasa memiliki perbedaan dalam menilai mutu pelayanan.

Begitu pula dengan donor sebagai pihak yang menyediakan dana juga memiliki standar penilaian sendiri. Oleh karenanya, bagi organisasi yang bergerak dalam pelayanan jasa publik, manajemen strategis dan perencanaan menjadi sangat berperan untuk menjawab tantangan pengukuran kinerja (Joyce, 1999: 60).

Balanced Scorecard merupakan salah satu metode pengukuran kinerja organisasi yang bersifat komprehensif dan strategis.

2. Balanced Scorecard

Balanced scorecard yang dikembangkan pertama kali oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton dalam artikelnya di Harvard Business Review terbitan Januari-Februari 1992 dengan judul "The Balanced Scorecard – Measures that Drive Performance" adalah salah satu model pengukuran kinerja organisasi dengan dasar pemikiran bahwa saat ini perusahaan/organisasi di seluruh dunia mentransformasikan diri mereka untuk mampu berkompetisi di lingkungan yang kompleks.

Untuk itu mereka membutuhkan kerangka kerja dan instrumen yang komprehensif yang dapat mengarahkan mereka kepada keberhasilan kompetitif di masa datang. Instrumen yang mampu menerjemahkan visi dan strategi organisasi ke dalam seperangkat ukuran kinerja yang terpadu dan ke berbagai tujuan dan ukuran yang terukur.

Tujuan dan ukuran tersebut dibagi ke dalam empat perspektif, yaitu finansial, pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan. Diharapkan hasilnya dapat memberi informasi tentang faktor yang mendorong keberhasilan saat ini dan yang akan datang (Kaplan and Norton, 1996: 75).

Metode balanced scorecard dapat diterapkan pada entitas komersial seperti organisasi swasta (private sector) maupun entitas non-komersial yang berorientasi non-profit seperti instansi atau organisasi pemerintah (public organization) (Kaplan and Norton, 1996: 134), termasuk organisasi Ikatan Pustakawan Indonesia.

Namun berbeda dengan organisasi swasta yang berorientasi laba (profit seeking) dimana aspek finansial ditempatkan pada hirarki paling atas dalam penyusunan asli scorecard, maka penyusunan balanced scorecard untuk organisasi publik (non-profit seeking) harus dimodifikasi (re-arranged) arsitekturnya dengan menempatkan misi dan atau tujuan organisasi atau pelanggan pada level paling atas dalam hirarki balanced scorecard-nya.

Berikut adalah kerangka adaptasi balanced scorecard untuk organisasi publik sebagaimana yang digambarkan oleh Kaplan dan Norton (2000: 135):

Sumber: Kaplan dan Norton. The Strategy Focused Organization: How Balanced Scorecard Companies Thrive in the New Business Environment, 2000: 134
3. Organisasi Fokus Strategi

Balanced scorecard sebagai sistem manajemen mencakup tiga dimensi yang saling terkait satu sama lain. Ketiga dimensi tersebut adalah strategi, fokus dan organisasi.

Strategi merupakan agenda sentral suatu organisasi yang dideskripsikan, dijabarkan dan dikomunikasikan secara berjenjang melalui balanced scorecard. Fokus dengan balanced scorecard merupakan alat navigasi untuk menyelaraskan dan menserasikan sumber daya dan aktivitas sehingga fokus pada strategi yang telah ditetapkan.

Sedangkan organisasi dalam konteks ini merupakan sarana memobilisasi sumber daya manusia agar bertindak dengan cara yang berbeda secara fundamental.

Berikut adalah lima prinsip dasar organisasi fokus strategi menurut Kaplan dan Norton (2000: 1-17):
  1. Menerjemahkan strategi ke dalam bentuk-bentuk operasional;
  2. Menyelaraskan organisasi dengan strategi;
  3. Menjadikan strategi sebagai pekerjaan rutin pegawai;
  4. Menjadikan strategi sebagai sebuah proses yang berkesinambungan;
  5. Memobilisasi perubahan melalui kepemimpinan eksekutif.
4. Organisasi Pembelajar (Learning Organization)

Organisasi pembelajar adalah organisasi yang terus-menerus belajar secara bersama-sama serta terus mentransformasikan dirinya agar dapat mengoleksi, mengelola dan menggunakan pengetahuannya secara lebih baik bagi keberhasilan organisasi tersebut (Sudarso, 2003: 53).

Senada dengan definisi di atas, hakekat organisasi pembelajar adalah organisasi yang secara terus-menerus dari waktu ke waktu membentuk siklus belajar sehingga memungkinkan pengembangan keahlian dan kemampuan lebih lanjut bagi organisasi itu sendiri dan bagi para anggotanya.

Dengan kata lain, organisasi pembelajar adalah suatu proses pengembangan kemampuan secara terus-menerus oleh organisasi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik (Senge, 2002: 24).

Untuk dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi IPI, saat ini dirasakan sangat mendesak bagi IPI untuk mengevaluasi kinerjanya selama ini dan menjadikannya sebagai organisasi pembelajar yang fokus pada strategi. Terlebih dalam mukadimah AD/ART-nya, IPI telah berikrar untuk bersatu guna bersama-sama memberi sumbangan dalam pembangunan negara dan bangsa di bidang pendidikan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Semua itu didorong oleh rasa tanggung jawab untuk ikut serta dalam usaha mencapai tujuan kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang dilandasi pada pengertian, keinsyafan dan keyakinan bahwa perpustakaan dengan segala aspek kegiatannya mempunyai fungsi dan peranan penting dalam membangun bangsa dan negara Indonesia (Ikatan Pustakawan Indonesia, 1999: 1).

B. Hipotesis

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, batasan masalah dan landasan teori yang ada, maka hipotesis pembahasan ini adalah:
  1. Kinerja organisasi IPI kurang baik sehingga tujuan organisasi belum tercapai;
  2. Pelanggan belum merasa puas atas layanan yang diberikan IPI;
  3. Proses pertumbuhan dan pembelajaran dalam organisasi IPI belum berjalan;
  4. Proses bisnis internal belum berjalan baik;
  5. Aspek keuangan perlu diperbaiki pengelolaannya.

III. PEMBAHASAN

Pembahasan dimulai dengan melakukan operasionalisasi keempat aspek balanced scorecard sebagai sistem manajemen strategik dalam organisasi IPI dan menjadi variabel-variabel penelitian ini.

A. Variabel Kinerja Pelanggan

Perspektif utama yang digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik IPI dengan pendekatan balanced scorecard adalah perspektif pelanggan. Perspektif ini memiliki satu indikator, yaitu kepuasan pelanggan atau anggota IPI. Untuk mendapatkan data mengenai indikator ini digunakan teori service quality dari Valerie A. Zeithaml (1990: 26).

Menurut Zeithaml, kualitas layanan mencakup lima hal, yaitu: (1) tangibility atau tampilan fisik; (2) reliability atau kapabilitas mewujudkan janji; (3) responsiveness atau kemampuan organisasi dalam memberikan layanan yang cepat dan memuaskan; (4) assurance atau kemampuan organisasi memberikan jaminan pelayanan; (5) empathy, yaitu kemampuan organisasi dalam memahami kebutuhan pelanggan.

Untuk mengukur tingkat layanan organisasi, disebarkan kuesioner yang berhubungan dengan kelima kualitas kelompok layanan di atas. Kuesioner berisi pertanyaan-pertanyaan tertutup dengan lima pilihan jawaban, yaitu: sangat tidak puas, tidak puas, hampir puas, puas dan sangat puas.

Masing-masing pilihan jawaban memiliki bobot berbeda dimana pilihan pertama memiliki bobot paling rendah dan pilihan kelima memiliki bobot paling tinggi. Jawaban hasil kuesioner dihitung dengan menggunakan skala Likert. Sedangkan untuk mengukur tingkat layanan organisasi, dilakukan dengan menggunakan rumus berikut ini:

Tingkat layanan = skor persepsi x 100%
organisasi IPI       skor harapan

Langkah yang sama juga diterapkan untuk mengukur kinerja kepuasan pelanggan, yaitu membandingkan skor harapan pelanggan dengan skor persepsi pelanggan terhadap kenyataan layanan yang diterima dari organisasi. Hasil pengukuran tingkat layanan organisasi dan kinerja kepuasan pelanggan akan ditampilkan dalam bentuk tabulasi.

B. Variabel Kinerja Proses Bisnis Internal

Indikator variabel ini adalah operasi dan inovasi. Kinerja indikator pertama (operasi) diukur dengan cara membandingkan antara biaya operasional yang dianggarkan IPI dan realisasinya dengan waktu pengerjaan produk, yaitu jasa layanan yang dilakukan IPI.

Dalam hal ini akan diukur waktu pengerjaan produk/jasa yang berkaitan dengan lamanya pelayanan. Sedangkan untuk pengerjaan produk/jasa, akan diukur dengan mempergunakan waktu antara proses pengerjaan permintaan layanan dengan waktu pelayanan dilakukan. Dengan membuat perbandingan ini, akan diketahui perbedaan waktunya.

Lama pemrosesan permintaan layanan ini akan menjadi tolok ukur kepuasan pelanggan. Untuk mendapatkan data mengenai hal ini, disebarkan kuesioner yang berkaitan dengan aspek kecepatan layanan. Data yang terkumpul akan diukur dengan menggunakan skala Likert dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk tabulasi.

C. Variabel Pertumbuhan dan Pembelajaran

Tujuan dari perspektif ini adalah menyediakan infrastruktur yang memungkinkan visi, misi dan tujuan organisasi dari ketiga perspektif lainnya dapat tercapai. Dengan demikian, variabel ini sangat penting dan menjadi leading factor dalam pengukuran kinerja ini.

1. Variabel Pertumbuhan

Variabel ini memiliki dua indikator, yaitu: (1) tingkat kapabilitas pengurus IPI; (2) kapabilitas sistem informasi untuk menyelaraskan organisasi IPI. Masing-masing indikator dalam variabel ini kemudian diturunkan menjadi indikator-indikator yang lebih detail dan spesifik menjadi sub-variabel sebelum dikembangkan menjadi pertanyaan-pertanyaan terstruktur dalam kuesioner. Hasil kuesioner akan diukur dengan menggunakan skala Likert dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk tabulasi.

2. Variabel Pembelajaran

Variabel ini memiliki lima indikator, yaitu: (1) tingkat penerapan dinamika belajar; (2) tingkat pembaruan organisasi; (3) tingkat pemberdayaan individu; (4) tingkat mengelola pengetahuan; dan (5) tingkat penerapan teknologi.

Masing-masing indikator pembelajaran tersebut selanjutnya diturunkan menjadi pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner untuk dijadikan acuan pengukuran. Setiap pertanyaan dalam kuesioner memiliki lima pilihan jawaban, yaitu belum diterapkan, diterapkan pada sebagian organisasi, diterapkan pada bagian-bagian tertentu organisasi, diterapkan pada sebagian besar organisasi dan terakhir diterapkan secara menyeluruh pada organisasi.

Kuesioner tersebut akan disebarkan kepada seluruh stakeholders IPI sesuai dengan jumlah sampel yang ditetapkan. Jawaban yang diberikan akan ditabulasi dan selanjutnya dengan menggunakan skala Likert akan diketahui sejauh mana tingkat penerapan lima indikator variabel pembelajaran di organisasi IPI.

D. Variabel Kinerja Keuangan

Variabel terakhir ini diperkirakan cukup sulit untuk diukur, namun tetap penting untuk diketahui kinerjanya karena mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan.

Untuk mengetahui kinerja keuangan organisasi IPI, peneliti dapat menggunakan laporan keuangan IPI yang telah diaudit oleh akuntan publik selama tiga tahun terakhir. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan rasio-rasio keuangan.

IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan di atas, maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan yang masih bersifat garis besar. Berikut garis besar kesimpulan analisis kinerja organisasi IPI dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard:
  1. Kinerja pelanggan (yang menjadi prioritas utama organisasi IPI) memiliki kinerja sangat  baik apabila memiliki nilai skor yang berada dalam range skor tertinggi, begitu pula sebaliknya. Sebelumnya berdasarkan metode penelitian, telah ditentukan skor minimal dan skor tertinggi untuk aspek kinerja pelanggan. Tingkat layanan IPI kepada pelanggannya dikatakan baik apabila tingkat persepsi pelanggan atas layanan IPI memiliki skor rata-rata lebih tinggi dibandingkan skor rata-rata tingkat harapan pelanggan atas layanan IPI, begitu pula sebaliknya;
  2. Kinerja proses bisnis internal memiliki kinerja baik apabila skor yang diperoleh mendekati skor maksimal yang ditentukan. Kinerja ini memiliki dua aspek, yaitu inovasi dan operasi. Kemampuan inovasi IPI dikatakan baik apabila memiliki skor yang mendekati skor maksimal, yaitu ditandai dengan adanya kebijakan dari pengurus pusat yang mengarahkan pada pengembangan atau kemajuan organisasi. Sedangkan operasional organisasi IPI dikatakan baik bila proses pengerjaan order layanan dengan waktu tindakan yang dilakukan IPI atas order tersebut cukup cepat. Begitu pula sebaliknya;
  3. Kinerja pertumbuhan dan pembelajaran organisasi publik IPI dikatakan baik apabila total skor indikator-indikator pertumbuhan dan pembelajaran mendekati total skor maksimal, begitu pula sebaliknya;
  4. Kinerja finansial organisasi publik IPI dikatakan baik apabila skor komponen rasio-rasio penilaian keuangan mendekati skor maksimal, begitu pula sebaliknya.

B. Saran

Berdasarkan temuan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, dapat diberikan beberapa saran bagi peningkatan kinerja organisasi IPI sebagai berikut ini:
  1. IPI perlu merumuskan visi, misi dan strategi organisasinya secara tertulis agar dapat menjadi organisasi pembelajar yang fokus pada strategi sehingga mampu eksis dan berkompetisi di masa depan;
  2. Guna lebih meningkatkan kinerja aspek pelanggan, dalam hal ini aspek kualitas layanan dan kepuasan pelanggan, maka sebaiknya IPI lebih memahami, memperhatikan dan lebih responsif terhadap berbagai kebutuhan layanan bagi pustakawan anggota IPI pada khususnya dan pustakawan Indonesia pada umumnya;
  3. Perlu adanya prosedur operasional standar bagi pemberian layanan kepada anggota, sehingga layanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan dapat terlaksana secara cepat dan efisien;
  4. Penerapan organisasi belajar perlu lebih ditingkatkan melalui pengembangan dinamika belajar organisasi, pembaruan organisasi, pemberdayaan individu/anggota, pengelolaan pengetahuan dan penerapan teknologi;
  5. Mengelola keuangan secara lebih baik dan transparan sehingga dapat mendukung gerak operasional organisasi secara berkelanjutan;
  6. Agar secara konsisten melakukan evaluasi terhadap kinerja organisasi dari seluruh aspek;
  7. Mengkomunikasikan penerapan pengukuran kinerja organisasi dengan pendekatan balanced scorecard secara intensif kepada seluruh pengurus di setiap tingkatannya untuk memberikan motivasi yang jelas dalam merealisasikan visi dan misi organisasi IPI.

Labels: