<data:blog.pageTitle/>

This Page

has moved to a new address:

http://duniaperpustakaan.com

Sorry for the inconvenience…

Redirection provided by Blogger to WordPress Migration Service
Dunia Perpustakaan | Informasi Lengkap Seputar Dunia Perpustakaan: July 2017

Thursday, July 27, 2017

Kisah Perjuangan Dedek: Pejuang Literasi, Bikin Perpustakaan di Garasihingga Dikucilkan

Dunia Perpustakaan | Ada banyak kisah inspirasi terkait pejuang literasi di Indonesia. Diantara mereka ada yang mungkin bernasib baik karena sudah diliput media sehingga banyak pihak mengenalnya.

Namun masih banyak para pejuang literasi di negeri ini yang terkadang berjuang dalam "sunyi" tapi mereka terus berjuang untuk terus kampanyekan minat baca di daerah mereka masing-masing.

Namun semuanya sama-sama hebat dan luar biasa, mau diliput media ataupun tidak, mereka adalah pejuang dan pahlawan di bidang literasi.

Salah satu kisah inspirasi yang kami hadirkan kali ini adalah Dedek, pendiri dari TBM Ar-Rasyd di Baitussalam, Aceh Besar.

Kisah perjuanganya sudah diliput di beebrapa media, dan terbaru kami baca di kompas.com yang dipublikasikan 26/7/2017.

Untuk anda yang belum sempat membacanya, berikut ini kami lampirkan kisahnya, semoga bisa menginspirasi untuk pembaca.

------------------------------------

Udara cukup panas mencapai 35 derajat celcius berdasarkan catatan pengukur suhu. Namun perempuan dengan kostum blazer orange ini seolah tak merasakan panasnya udara. Dia tetap berdiri sambil mengawasi aktivitas sejumlah anak.

“Mereka sedang latihan penyelamatan diri jika bencana gempa disusul tsunami tiba-tiba melanda. Kalau sudah latihan, setidaknya mereka paham apa yang harus dilakukan saat bencana tiba,” jelas Alfiatunnur, pendiri Taman Bacaan Ar-Rasyid, Baitussalam, Aceh Besar.

Perempuan yang akrab disapa Dedek ini mengatakan, TBM Ar-Rasyid tidak hanya menyediakan buku bacaan bagi anak-anak saja, tetapi juga memberikan program kursus gratis, seperti kursus Bahasa Inggris, kursus matematika dan beberapa pelajaran sekolah lainnya.

“Yang mengajar ya relawan kita di sini, dan mereka semua masih mahasiswa dan setiap sore menjadi relawan di TBM sekaligus menjadi guru untuk kegiatan kursus, dan anak-anak di sini sangat senang ikut kursus dan bisa mendapat buku bacaan yang tidak ada di sekolah,” jelas Dedek.

Bagi Dedek, mendirikan TBM adalah cita-citanya sejak lama. Sejak tahun 2000, Dedek sudah aktif menjadi relawan dan bergerak di bidang pendidikan, perempuan dan anak.

“Kita tahu saat itu masyarakat Aceh hidup dalam konflik dan imbas terbesarnya adalah terhadap kehidupan perempuan dan anak, dan lebih miris lagi anak-anak terampas haknya, terutama hak pendidikan," jelasnya.

"Nah, sejak saat itulah kemudian saya bertekad untuk membantu anak dan perempuan di Aceh bersama teman-teman. Kami melakukan apa yang bisa kami lakukan, termasuk mengumpulkan aneka buku dan membagikannya kepada anak-anak di kamp pengungsian dan desa-desa,” kenang Dedek.

Hingga suatu saat, kisah Dedek, dia mendapat kesempatan dan peluang pasca-bencana gempa dan tsunami di Aceh untuk mewujudkan cita-citanya mendirikan sebuah Youth Centre di Aceh, yang di dalamnya terdapat sebuah taman bacaan masyarakat.

“Perjuangan yang panjang dan cukup melelahkan, saya dan beberapa teman berhasil mendirikan sebuah yayasan bernama Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Aceh (Yakesma) dengan perjalanan yang cukup berliku, dan kemudian juga mendirikan TBM,” jelas lulusan program beasiswa fullbright Amerika Serikat ini.

Energi Dedek sempat terkuras habis dalam proses pendirian Yayasan Yakesma, namun mendapat dukungan moral yang kuat dari komunitas Taman Bacaan Masyarakat Indonesia (TBMI).

Menyulap garasi

Pada tahun 2012, Dedek pun berhasil menyulap sebuah garasi di komplek Yakesma menjadi taman bacaan masyarakat.

“Perjalanan TBM tak semulus perkiraan saya. Meski dapat dukungan dari masyarakat sekitar, namun tidak sedikit juga yang menentang sehingga melarang anak-anak mereka datang ke TBM untuk menikmati buku," kenang Dedek.

"Belum lagi pengucilan yang kami terima dari pihak pemerintah, terutama dinas pendidikan yang tidak mengakui keberadaan TBM Ar-Rasyid, tapi saya tidak menyerah begitu saja. Bahkan kita sempat di-blacklist. Tapi justru dengan situasi seperti ini semakin membuat saya untuk terus bekerja keras agar bisa mandiri dan survive,” ungkapnya.

Gedung Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Ar-Rasyiid Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar.

Gedung Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Ar-Rasyiid Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar.(Daspriani Y Zamzami)

Di Yakesma sendiri, kata Dedek, mereka juga menampung anak-anak yang kurang mampu untuk bisa melanjutkan pendidikan.

“Ada 30-an anak di sini, dan sebagian mereka itulah yang kita berdayakan untuk menjadi relawan di TBM, khususnya yang sudah mahasiswa. Hal ini bertujuan agar mereka bisa mengaplikasikan semua ilmu yang diterima di kampus dalam kehidupan sehari-hari,” sebut pengajar di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh ini.

Para relawan dilatih dan dididik dengan intens, untuk tidak hanya bisa berinteraksi dengan anak-anak yang berkunjung ke TBM, tetapi juga harus memiliki kreativitas yang bisa dikembangkan dan bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan orang lain.

“Salah satunya adalah kreativitas mereka yang dituangkan dalam kisah singkat perjalanan TBM Ar-Rasyid, yang kemudian diikutkan dalam kompetisi GRCC Gramedia, dan alhamdulillah TBM ini terpilih menjadi terbaik di regional Sumatera. Selain itu, para relawan ini juga sudah berkesempatan melawat ke luar negeri untuk mengunjukkan kemampuan mereka seperti menampilkan kreasi seni. Pastinya ini sebuah kebanggaan bagi mereka,” katanya.

Dengan kreativitas para relawan ini, kini TBM Ar-Rasyid pun sudah mendapat tempat di hati masyarakat sekitar, bahkan juga di lingkungan pemerintah, terutama Dinas Pendidikan.

“Alhamdulillah kini TBM sudah terus dilirik untuk bisa menjadi mitra terutama bagi banyak pihak bahkan pemerintahan. Kita mulai banyak kerja sama, satu di antaranya adalah melakukan kegiatan program Gerakan Membaca Indonesia (GMI) yang akan dilakukan awal Agustus mendatang. Ini tak terlepas dari kiprah para relawan yang ada di TBM,” jelas Dedek, yang ditemui Kompas.com, Selasa (25/7/2017).

Ita, seorang relawan di TBM Ar-Rasyid mengaku mendapat kesempatan luar biasa bisa berada di lingkungan TBM Ar-Rasyid.

“Saya tidak pernah bermimpi bisa mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan dan kemudian bisa mengabdikan ilmu saya di TBM dengan mengajarkan anak-anak di sini,” ungkapnya.

Berada di Yakesma sejak tahun 2012, Ita mengaku sedikit banyaknya juga mengalami asam garamnya perjalanan TBM Ar-Rasyid.

“Awalnya kami hanya memiliki jumlah buku yang sedikit, namun kini sudah mencapai puluhan ribu. Bahkan buku-buku di TBM juga membantu saya dalam pendidikan,” ujar Ita.

Pojok baca

Ketua TBM Ar-Rasyid Periode 2017, Eni Darlia, menyebutkan, demi mengembangkan sayap TBM ke tengah masyarakat, TBM Ar-Rasyid pun membentuk empat pojok baca di empat dusun di sekitarnya. Masing-masing Dusun Lambateung, Dusun Rekompak, Dusun Keude Aron dan Dusun Gampong Meurah.

“Di sini kami bertujuan untuk melibatkan masyarakat sebagai pengelola TBM sehingga keberadaan TBM semakin dekat dengan masyarakat, dan ini juga sekaligus bertujuan untuk meningkatkan kebiasaan warga untuk membaca. Jadi ada alasan untuk orangtua mengarahkan anak-anaknya untuk memilih TBM sebagai tempat bermain dan belajar,” jelas Eni.

Para Relawan TBM Ar-Rasyid dan anak-anak pengunjung TBM

Para Relawan TBM Ar-Rasyid dan anak-anak pengunjung TBM(Daspriani Y Zamzami)


Bagi Eni, menjadi relawan di TBM adalah sebuah tantangan yang menyenangkan. Setiap hari dia dituntut untuk bisa selalu menciptakan suasana baru yang penuh inovasi agar masyarakat bisa menjadikan membaca sebagai sebuah kebiasaan.

“Pojok-pojok baca tidak hanya kami tempatkan di tempat-tempat pengajian Al Quran dimana anak-anak beraktivitas sore hari, tetapi juga satu lemari buku kami tempatkan di sebuah warung kopi. Jadi jika ada warga yang duduk sambil ngopi, mereka bisa menikmati bacaan yang bisa menambah wawasan mereka,” sebut Eni.

Bahkan, kata Eni, ada juga satu pojok baca yang pengelolaannya dipercayakan kepada kelompok ibu-ibu pengajian, sehingga para ibu bisa mengarahkan anak-anak mereka untuk menjadikan buku sebagai teman bermain sehari-hari.

“Inovasi-inovasi seperti ini yang setiap hari kita kembangkan agar TBM bisa menjadi kebutuhan di masyarakat dan kreativitas serta inovasi ini selalu kita coba gali dalam setiap diskusi dan evaluasi dari para relawan di gedung TBM yang sebelumnya hanya sebuah garasi ini,” ungkap perempuan yang murah senyum ini.

Eni pun kemudian melanjutkan kegiatannya memandu anak-anak pengunjung tetap TBM melakukan simulasi penyelamatan diri saat menghadapi bencana gempa dan tsunami.

Labels: , ,

Wednesday, July 5, 2017

Kemegahan dan Kenyamanan Perpustakaan Umum Seattle Amerika Serikat

Dunia Perpustakaan | Perpustakaan Umum Seattle Amerika Serikat | Perpustakaan sudah sewajibnya selalu mengikuti perkembangan zaman dan selalu mengutamakan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Termasuk saat dunia berubah dengan begitu cepatnya dalam hal teknologi.

Dalam kondisi ini perpustakaan tidak boleh tertinggal apalagi menutup diri dan menolak perubahan.

Walaupun harus terus mengikuti kemajuan teknologi, yang harus dicatat tentunya perpustakaan tetap menjaga nilai-nilai penting dalam bidang perpustakaan.

Kemajuan teknologi yang begitu pesat membuat berbagai perpustakaan di negara maju terus lakukan inovasi. Salah satu perpustakaan tersebut yaitu Perpustakaan Umum di Seattle Amerika Serikat.

Saat dibuka pada tahun 2004, perpustakaan umum baru di Seattle, Amerika Serikat, dipublikasikan sebagai model yang mewakili era digital dan semangat warga dalam menyambut milenium baru.

Dikutip dari kompas.com [29/6/2017], Gedung empat lantai itu terhubung dengan tangga berbentuk spiral sehingga orang bisa naik turun melalui tangga yang landai. Desain yang disebut membanggakan itu dibuat oleh Rem Koolhaas dan Joshua Prince-Ramus dari rumah produksi OMA.

Buku dan E-Book

Di sisi lain, banyak orang menduga bahwa buku-buku yang tersimpan di dalam perpustakaan itu akan masuk ke katalog kartu dan rekaman kaset.

Namun, setelah lebih dari satu dekade, permintaan terhadap buku yang masih bisa ditemukan di perpustakaan itu tetap kuat.

"Ide bahwa setiap orang akan membaca tulisan di layar belum terbukti benar. Tetap ada tempat untuk buku-buku kuno. Industri penerbitan mengerti soal itu. Hal ini bisa dilihat dari desain berkualitas tinggi perpustakaan tersebut," ujar Meredith TenHoor, sejarawan arsitektur dan profesor di Pratt Institute School of Architecture.

Desain paling inovatif di perpustakaan itu, menurut TenHoor, yaitu deretan buku yang bukan hanya sebagai sumber informasi, melainkan juga sebagai sumber praktik sosial dan intelektual yang berkembang di seputar dunia bacaan dan penelitian.

Sementara itu, Wakil Presiden Bidang Perencanaan Modal di Perpustakaan Umum New York atau New York Public Library (NYPL) Risa Honig mengatakan, saat itu pihaknya menganggap bahwa buku tidak hanya soal eksistensi arsitektural.

Waktu itu, sekitar 20 persen dari keseluruhan sirkulasi NYPL adalah buku elektronik (e-book).

"Buku menciptakan suatu penampilan dan memberi rasa dalam suatu ruangan. Jadi tidak hanya bagian dari desain, tetapi merupakan hal penting,” kata Honig.

Hal itu bisa dilihat di cabang perpustakan yang baru dibuka di 53rd Street dan yang segera direnovasi di Mid-Manhattan.

Tata Ruang

Ada suatu perubahan yang terjadi, yaitu perpustakaan semakin berperan untuk mengakomodasi banyak kegunaan, di antaranya untuk tempat menyimpan dan mengedarkan buku.

Hal itu seperti yang terlihat dari hasil rancangan ulang di Mid-Manhattan oleh Mecanoo dan Beyer Blinder Belle, arsitek dari perusahaan Belanda.

Mereka akan menambahkan tempat duduk, bagian pelayanan, dan ruang publik di perpustakaan yang terbesar di kota tersebut. Rencananya, pembangunan dimulai pada musim gugur.

"Ada ruang untuk penelitian dan berbagai tugas yang perlu dikerjakan di perpustakaan. Tersedia juga ruang sesuai penggolongan buku seperti di perpustakaan lama yang disukai orang," ucap TenHoor mengacu pada desain Mecanoo.

Menurut Honig, ketika merancang ulang perpustakaan, NYPL berusaha memadukan tempat duduk formal dan santai, ruang multiguna, lebih banyak akses internet dan keluar, serta cahaya alami.

Hal itu bisa dilihat di Washington Heights yang baru saja direnovasi dan di Stapleton, Staten Island.

"Kami menciptakan ruangan yang menginspirasi bagi komunitas di mana mereka bisa berinteraksi satu sama lain. Itu merupakan suatu hal penting," kata Honig.

Sehubungan dengan itu, saat merancang bangunan untuk masa depan, bagian yang paling penting mungkin bukanlah arsitekturalnya, melainkan bangunan itu sendiri.

Pendanaan

Dalam beberapa tahun terakhir, NYPL dan Perpustakaan Umum Brooklyn berusaha mengatasi masalah kekurangan dana dengan menjual sejumlah cabang di daerah yang bernilai jual tinggi, lalu menggantinya dengan perpustakaan yang lebih kecil.

Justin Davidson, kritikus arsitektur di New York, misalnya, menyebut perpustakaan baru di 53rd Street tersebut sebagai ruang bawah tanah yang ramping tetapi menyusut.

Menurut dia, perpustakaan itu bisa saja memiliki banyak elemen cerdas, tetapi kurang cahaya dan ruang bagi pendahulunya.

Beberapa tahun setelah penjualan perpustakaan di 53rd Street, NYPL pun mempertimbangkan penjualan lain di Mid-Manhattan, yang diharapkan akan membantu pendanaan renovasi cabang utama di Fifth Avenue.

Namun, dalam menghadapi pertentangan kuat dari masyarakat, NYPL memilih untuk merenovasinya.

Ruang yang terbuka bagi publik untuk kali pertama seharusnya merupakan ruang yang bisa menyesuaikan dengan perubahan teknologi di masa depan, yaitu teras di atap, satu-satunya bagian yang bebas di Midtown.

Labels: